HTI-Press. Pengadilan Syariah di Inggris yang telah beroperasi setahun untuk mengatasi hukum pertikaian di komunitas Muslim akhirnya diberi kekuasaan untuk mengatur penyelesaian kasus perselisihan sipil.
“Kami menyadari jika dibawah Undang-Undang Arbitrase, kami dapat membuat aturan yang dapat diterapkan oleh pengadilan wilayah dan pengadilan tinggi,” ujar Sheikh Faiz-ul-Aqtab Siddiqi, kepala Muslim Arbitration Tribunal, seperti yang dilansir oleh Harian Sunday di Inggris.
Berdasar laporan yang ditulis dalam suratkabar tersebut, pemerintah telah memberi persetujuan diam-diam atas kekuasaan Pengadilan Syariah untuk mengatur kasus mulai dari pertikaian seputar pernikahan, keuangan, dan kekerasan dalam rumah tangga.
Sebelumnya, aturan yang diterapkan pengadilan tersebut tidak diakui oleh undang-undang dan bergantung pada pemenuhan kebutuhan sukarela umat Muslim yang berjumlah sekitar 2 juta di Inggris.
Sheikh Siddiqi, pemimpin majelis hakim yang dibentuk tahun lalu untuk membantu Muslim mengatasi pertikaian sesuai dengan landasan agama mengatakan, kekuasaan baru itu ditetapkan berdasar UU Arbitrase tahun 1996.
Berada di bawah undang-undang tersebut pengadilan dikategorikan sebagai mahkamah arbitrase, yakni aturan didalamnya mengikat secara hukum, menyatakan jika dua pihak yang bertikai menyepakati seluruh proses di dalam pengadilan
Hukum juga memungkinkan pihak bertikai menggunakan solusi alternatif seperti pengadilan biasa. Metode ini dinamakan solusi alternatif sebab Muslim bisa langsung menyepakati keputusan pengadilan Syariah,” tambah Siddiqi. Isu yang diatur dengan pengadilan Syariah kini dapat diselenggarakan dengan kekuasan penuh dalam sistem judisial melalui pengadilan wilayah ataupun pengadilan tinggi.
Lima pengadilan Syariah dengan kekuasaan baru tersebut ditempatkan di seluruh Inggris dengan rencana ditambah dua pengadilan lagi. Pengadilan Syariah di Inggris sendiri telah beroperasi di Inggris selama dua dekade. Dewan Syariah Islam, panel tertinggi ulama Muslim di Inggris telah memutuskan ribuan perkara perselisihan para Muslim secara hukum tidak hanya di Inggris tetapi juga negara Eropa, sejak didirikan 25 tahun lalu.
Kekuasaan baru pengadilan Syariah itu bukan berarti melenggang mulus. Tak sedikit komentar penolakan muncul dari sejumlah politisi di Inggris. “Jika memang benar hakim melewati keputusan mengikat di area keluarga dan hukum kriminal, Saya ingin tahu pengadilan apa yang menyelenggarakan itu. Sebab saya akan menganggap keputusan tersebut tidak mengandung arti hukum,” ujar Dominic Grieve, Sekretaris Kabinet Bayangan, seperti yang dilansir oleh Times.
Sementara yang lain mengklaim jika kemampuan pengadilan Syariah dapat menandai era “sistem hukum paralel”. “Saya pikir ini mengerikan,” ujar Douglas Murray, direktur Pusat Kohesi Sosial. “Menurut saya arbitrase yang dilakukan oleh Syariah tidak seharusnya didukung oleh Pemerintah Inggris,” ujarnya.
Pernyataan kontra tersebut bermunculan setelah tujuh bulan lalu, Rowan William, Archbishop, Cantebury merekomendasikan undang-undang di Inggris mengakui beberapa aspek dari Syariah untuk menyelesaikan permasalahan warga sipil Muslim. Dalam Bulan Juli lalu, bahkan Hakim Tinggi, Lord Nicholas Philips, hakim paling senior di Inggris dan Wales juga menyarankan jika Shariah dapat berperan dalam sistem legal.
Pemimpin Muslim menerima perkembangan baru tersebut sebagai pengakuan jika komunitas mereka memiliki hak yang sama dengan minoritas lain. Inayat Bunglawala, asisten sekretaris jendral dari organisasi induk, Muslim Council of Britain (MCB), merujuk pada pengadilan Yahudi Beth Din yang beroperasi di wilayah yang sama yaitu UU Arbitrase juga menyelesaikan kasus-kasus komunitas warga sipil. “The MCB mendukung pengadilan ini,” tegasnya. “JIka Pengadilan Yahudi diijinkan untuk berkembang, sudah seharusnya Syariah juga biarkan,” *** (republika)
0 Komentar