Header Ads Widget

Responsive Advertisement

Ticker

6/recent/ticker-posts

Berebut “Pancasila”

Oleh: Tiar Anwar Bachtiar

Sejak SBY berkuasa tanggal 1 Juni kembali diperingati sebagai hari kelahiran Pancasila. Padahal selama Orde Baru berkuasa, peringatan yang dilakukan oleh Sukarno sejak tahun 1947 itu sudah terganti dengan peringatan Hari Kesaktian Pancasila tanggal 1 Oktober yang mengambil setting peristiwa Gerakan 30 September (Gestapu). Tanggal 1 Juni sepanjang Suharto berkuasa tidak pernah lagi diperingati. Kini tanggal ini diperingati lagi.

Soal peringat-memperingati sebetulnya lebih memperlihatkan “selera” penguasa daripada soal fakta kesejarahan dan kepentingan bangsa secara luas. Pada zaman Sukarno, peringatan 1 Juni tentu ingin memperkuat politik identitas untuk semakin meneguhkan posisi Sukarno. Sukarno ingin menunjukan bahwa “dialah” yang paling berjasa atas berdirinya bangsa ini sehingga dia memang layak untuk menjadi pemimpin utama Republik Indonesia yang baru didirikan.

Sementara itu, penghapusan peringatan 1 Juni oleh Suharto untuk menunjukkan bahwa kali ini Suharto-lah yang paling berkuasa. Identitas ini diperkuat dengan peringatan Kesaktian Pancasila 1 Oktober yang pada peristiwa itu Suharto dianggap sebagai aktor penting yang membuat Pancasila menjadi “sakti”. Dan setelah itu, Suharto membuat Pancasila menjadi “angker” dengan menciptakan P4 (Pedoman Pengamalan dan Penghayatan Pancasila) dan mewajibkan Pancasila sebagai asas tunggal.

Di pihak lain, ada yang ingin mencoba melepaskan kedua kepentingan penguasa tersebut dengan menunjuk hari lahir Pancasila tanggal 18 Agustus 1945[1]. Alasannya memang logis. Bagaimanapun kalimat-kalimat yang tertuang dalam Pancasila yang ada sekarang memang tidak ada dalam naskah manapun baik yang diklaim dalam pidato Muh. Yamin 29 Mei 1945[2], pidato penutupan sidang BPUPK Sukarno pada 1 Juni 1945[3], maupun dalam Piagam Jakarta 22 Juni 1945[4]. Naskah Pancasila yang ada saat ini adalah naskah hasil revisi Piagam Jakarta yang disahkan dan ditandatangani olek PPKI (Penitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) pada tanggal 18 Agustus 1945. Justru naskah inilah yang memiliki kekuatan konstitusional yang tetap dan mengikat hingga saat ini, terutama setelah ditetapkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang mengesahkan kembali penggunaan UUD 1945 sebagai dasar negara setelah sebelumnya menggunakan UUD Republika Indonesia Serikat (RIS) dan UUD Sementara 1950.

Alternatif-alternatif kemungkinan kapan mulai adanya Pancasila yang banyak itulah yang akhirnya akan mengantarkan pada perdebatan dan kontroversi yang tidak berkesudahan. Oleh sebab itu, terbukalah peluang bagi siapa saja yang berkuasa untuk menentukan pilihan hari yang diinginkannya sesuai dengan kepentingan masing-masing. Bahkan, tidak sedikit penilaian para sejarawan dan intelektual yang memberikan pilihan pada hari tertentu pada Pancasila didasarkan pada kepentingan pragmatis atau ideologisnya, sekalipun belum tentu tepat secara historis.

Oleh sebab itu, menurut hemat penulis, persoalan “perebutan” hari lahir Pancasila ini semestinya harus dihentikan karena beberapa hal. Pertama, peringatan hari-hari seperti ini apalagi yang terlampau official sehingga hanya mementingkan formalitas peringatan dan mengabaikan substansi tidak banyak memberikan manfaat bagi kemajuan dan kesejahteraan bangsa ini. Kedua, peringatan-peringatan ini lebih mementingkan arogansi kekuasaan daripada substansi kepentingan negara. Ketiga, dalam perkara Pancasila ini versi mengenai kelahiran tidak tunggal dan semuanya argumentatif sehingga menjatuhkan pilihan secara ‘paksa’ terhadap salah satunya hanya akan menyisakan ruang perdebatan tidak berujung yang seringkali sangat tidak produktif, terutama bagi kepentingan rakyat banyak.
Dalam konteks Pancasila ini hal yang lebih penting untuk diperbincangkan justru masalah substansi dan tafsir dari Pancasila ini yang sejak diperbincangkan, disahkan, diganti, hingga digunakan kembali menimbulkan berbagai polemik berkepanjangan. Masing-masing pihak yang memperdebatkannya tidak pernah memiliki satu kesepahaman tentang apa makna Pancasila, terutama pada sila pertama “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Pasal ini, tidak seperti rumusan dalam Piagam Jakarta yang tidak ambigu, menimbulkan banyak tafsir yang satu sama lain memiliki bisa saling menegasikan. Kalau hanya sekadar beda tafsir mungkin biasa saja, tetapi ketika perbedaan tafsir ini menjurus kepada penyerangan pihak lain sebagai dianggap anti-Pancasila dan hendak melakukan maker. Pada bagian berikutnya, tulisan ini ingin mengajak para pembaca untuk melihat bagaimana kontroversi Pancasila, terutama tentang sila pertama, tidak pernah berhenti sejak awal hingga saat ini agar kita bisa lebih tepat dalam menyikapinya. Bahkan pemilihan “hari lahir” Pancasila pun sesungguhnya merupakan bagian dari upaya memperkuat tafsir atas Pancasila yang saat ini ada seperti nanti akan kita lihat pada paparan berikutnya.

Penetapan Pancasila yang Kontroversial
Ketika tanggal 22 Juni 1945 disepakati Piagam Jakarta yang nantinya akan digunakan sebagai pembukaan UUD bagi negara Indonesua yang baru akan berdiri ini muncul optimism dari berbagai tokoh kunci pendiri bangsa ini. Sukarno dengan pasti akan meletakkannya sebagai Mukaddimah dalam UUD yang akan disusun berikutnya. Muhammad Yamin menyebutnya sebagai “Piagam Jakarta”, sementara tokoh Masyumi Sukiman Wirjosandjojo kesepakatan ini disebut sebagai Gentlemen’s Agreement. Sekalipun kemudian rumusan ini menimbulkan ketidaksetujuan, terutama dari kalangan Kristen militan seperti dari Latuharhary rumusan ini tetap dipertahankan sampai dalam siding BPUPK periode kedua. Ini menunjukkan ada optimisme atas perumusan ini sebagai perumusan yang paling baik untuk masa depan Indonesia.

Dalam tanggapan resminya pada siding BPUPK tanggal 11 Juli 1945, Latuharhary[5] menyampaikan kritik yang sangat tajam terhadap perumusan Piagam Jakarta, terutama poin tentang kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi para pemeluknya. Ia katakan:

Akibatnya akan sangat besar sekali, umpamanya terhadap pada agama lain. Maka dari itu, saya berharap supaya dalam hukum dasar, meskipun ini berlaku buat sementara waktu, dalam hal ini tidak boleh diadakan benih-benih atau kemungkinan yang dapat diartikan dalam rupa-rupa macam. Saya usulkan supaya dalam hukum dasar diadakan pasal 1 yang terang supaya tidak ada kemungkinan apapun yang dapat membawa perasaan tidak senang pada golongan yang bersangkutan.[6]

Latuharhary bahkan menganggap bahwa kalau tujuh kata Piagam Jakarta itu jadi diberlakukan akan membawa kekacauan pada hukum adat. “Jadi, kalimat semacam ini dapat membawa kekacauan yang bukan kecil terhadap adat-istiadat,” katanya.[7] Kritik cukup tajam yang disampaikan Latuharhary spntan mendapat tanggapan dari anggota-anggota BPUPK yang lain, termasuk Sukarno. Haji Agus Salim membantah pernyataan bahwa Piagam Jakarta akan mengacaukan adat, padahal dia sendiri orang Minangkabau yang dikenal sangat teguh berpegang pada adat. Ia bahkan menegaskan:

Wajib bagi umat Islam menjalankan syariat, biarpun tidak ada Indonesia merdeka, biarpun tidak ada hukum dasar Indonesia, itu adalah satu hak umat Islam yang dipegangnya. Cuma kalau kita sesuaikan pikiran tentang itu, umat Islam menjalankan haknya dalam persetujuan pikiran dengan segala orang Indonesia. Dan kalau kita tidak membenarkan itu, umat Islam (tatap) akan merasa berkewajiban menjalankan itu.”[8]
Senada dengan Salim, Sukarno juga menyampaikan pandangan yang sama dalam perspektif yang lebih strategis. Sukarno justru melihat jika hak umat Islam ini tidak diakomodasi, maka di masa yang akan datang justru umat Islam yang tidak akan menerima rumusan Pancasila yang tidak menjamin hak umat Islam untuk menjalankan syariat yang diyakini kebenarannya. Sukarno menegaskan:

Barangkali tidak perlu diulangi bahwa preambule adalah hasil jerih payah untuk menghilangkan perselisihan faham antara golongan-golongan yang dinamakan golongan-golongan kebangsaan dan golongan Islam. Jadi, manakala kalimat itu tidak dimasukkan, saya yakin bahwa pihak Islam tidak bisa menerima preambule ini; jadi perselisihan nanti terus.[9]

Penolakan terhadap pandangan Latuharhary terus disampaikan oleh anggota yang lain termasuk dari wakil NU, K.H. Wahid Hasjim yang meyakinkan bahwa seandainya umat Islam menjalankan syariatnya, sama sekali tidak akan mengurangi hak-hak golongan lain. Pandangan yang senada disampaikan juga disampaikan oleh tokoh Muhammadiyah Ki Bagus Hadikusumo, tokoh Nasionalis Muh. Yamin, dan tokoh Islam lain K.H. Ahmad Sanusi. Pandangan-pandangan mayoritas anggota BPUPK yang tetap menyetujui rumusan Piagam Jakarta akhirnya mengantarkan persetujuan mayoritas anggota BPUPK atas pembukaan UUD beserta batang tubuhnya pada akhir masa persidangan kedua tanggal 17 Juli 1945 yang berisi kalimat-kalimat penting berikut:
  1. Tujuh kata dalam pembukaan (Pancasila sila pertama):  “dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi para pemeluknya.”
  2. Klausul mengenai presiden pada batang tubuh UUD 1945 pasal 6 ayat 1 yang berisi: “Presiden ialah orang Indonesia asli yang beragama Islam.”
  3. Klausul tentang dasar negara pada batang tubuh UUD 1945 pasal 29 ayat 1: “negara berdasar atas ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syari’at islam bagi para pemeluknya.”
Kesepakatan ini sesungguhnya benar-benar merupakan suatu Gentlemen’s Agreement seperti yang diungkapkan Sukiman yang akan mewadahi semua kepentingan warga bangsa ini. Umat Islam yang memang sangat khas karena memiliki syari’at dapat terwadahi dengan rumusan di atas. Sementara, pemeluk agama lain dan kaum adat tetap akan terlindungi hak-hak masing-masing karena klausul syari’at itu hanya dibatasi pemberlakuannya bagi umat Islam. Akan tetapi, sejarah berkata lain. Rumusan yang sudah diperbincangkan begitu lama dengan berbagai argumen yang sangat baik, tiba-tiba harus berubah dengan proses yang sangat prematur.
Setelah melalui proses yang cukup dramatik, akhirnya Sukarno atas desakan para pemuda yang menculiknya ke Rengasdengklok Karawang bersedia memprolkamasikan kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945. Kemerdekaan ini sedianya akan diberikan oleh Jepang dan dicanangkan pelaksanaannya pada tanggal yang lain yang belum dipastikan.

Menjelang pemberian kemerdekaan itu, pada tanggal 12 Agustus 1945 memutuskan untuk memberikan kemerdekaan kepada Indonesia. Untuk itu, Pemerintah Jepang membentuk Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Sukarno ditunjuk sebagai ketua bersama Mohammad Hatta dan Radjiman Wediodiningrat sebagai wakilnya. Akan tetapi, panitia ini dipilih berdasarkan perwakilan daerah, bukan representasi ideologi seperti pada saat sidang-sidang BPUPK sehingga banyak wakil umat Islam yang tidak ada. [10] Kalangan Islam hanya diwakili Wahid Hasjim, Ki Bagus Hadikusumo, Mr. Teuku Moh. Hasan, dan Kasman Singodimedjo. Sementara sisanya mewakili kalangan nasionalis, Kristen, dan Hindu. Posisi wakil umat Islam yang tidak seimbang inilah yang memungkinkan diubahnya kesepakatan BPUPK oleh PPKI pada tanggal 18 Agustus 1945.

Pada tanggal 18 Agustus itu, Piagam Jakarta dalam waktu berubah pokok yang paling subtansial, yaitu hak umat Islam atas kewajibannya menjalankan syari’at. Tujuh kata dalam sila pertama diubah menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Perubahan yang kelihatan sepele tetapi berdampak sangat luas. Negara yang tadinya sangat afirmatif terhadap Islam dan terbuka untuk menjadi negara yang berdasar atas Islam, justru menjadi sangat terbuka untuk dimasuki sekularisme secara leluasa dan memarjinalkan Islam.
Perubahan yang singkat ini, menurut pengakuan Hatta dalam Memoir Mohammad Hatta, sore hari sebelum rapat PPKI dia kedatangan seorang perwira Angkatan Laut (AL) Jepang atas permohonan Nishijama, asisten Laksamana Maeda. Perwira ini memberitahukan bahwa orang-orang Katolik dan Protestan di Indonesia bagian Timur sangat berkeberatan dengan klausul Islam (“tujuh kata”) dalam Pembukaan karena dianggap sebagai diskriminasi. Jika kalimat ini tetap dimasukkan, katanya, mereka lebih suka berada di luar Republik Indonesia.[11]

Oleh sebab itu, Hatta kemudian berusaha mendekati tokoh-tokoh Islam membicarakan masalah ini. Teuku Hasan setuju. Kasman yang baru mendapat undangan kelihatan tidak siap sepenuhnya dengan ide ini. Wahid Hasjim tengah pergi ke Surabaya. Tersisa Ki Bagus Hadikusumo. Ia dibujuk sedemikian rupa untuk menerima.[12] Dengan alasan demi persatuan bangsa dan alassan sifat kesementaraan UUD ini, maka Ki Bagus Hadikusumo mau menerimanya. Lagi pula ia diyakinkan bahwa makna “Ketuhanan Yang Maha Esa” tidak lain adalah “Tauhid”. Kasman sendiri yang ikut dalam rapat amat memaklumi situasi kejiwaannya. Orang-orang Kristen sangat pandai memanfaatkan situasi yang tengah sangat genting saat semua orang ingin segera melihat wujud kemerdekaan dan ingin bersatu, maka desakan-desakan yang dilakukan Hatta atas nama persatuan bangsa dapat diamini dengan mudah.[13]

Di mana Ada Kepentingan, ke situ Pancasila Ditarik
Nasi memang sudah menjadi bubur. Tanggal 18 Agustus 1945 telah menjadi hari yang paling bersejarah mengubah arah haluan bangsa ini hanya dengan hilangnya beberapa kata dari platform dasar bangsa ini. Inilah hari lahirnya “Pancasila” yang berlaku hingga saat ini, bukan Pancasila Yamin, Pancasila Sukarno, juga bukan Gentlemen’s Agreement 22 Juni 1945. Ki Bagus, Kasman, Teuku Hasan, dan Wahid Hasjim yang merasa bahwa Piagam Jakarta masih tetap bisa hidup dan bisa direvitalisasi tidak berhak dipersalahkan atas persetujuan mereka pada rapat PPKI. Mereka tidak pernah tahu bahwa nanti Sidang-Sidang Konstituante (1956-1959) yang menjadi ajang pertarungan kedua untuk mengembalikan peran Islam dalam platform negara ini akan digagalkan oleh Dekrit Presiden sepihak yang dikeluarkan oleh Sukarno hingga Pancasila 18 Agustus hidup kembali.

Proses sejarah itulah yang telah mengkristalkan Pancasila sampai saat itu. Pancasila telah benar-benar menjadi dasar yang sah untuk dijadikan fondasi membangun Indonesia. Sayangnya, rumusan Pancasila yang akhirnya sah ini tetap menyisakan paradigma dasar keagamaan yang ambigu, terutama bila dihubungkan dengan kepentingan umat Islam. Oleh sebab itu, setiap ada usaha dari umat Islam untuk mewujudkan hak keagamaannya, orang-orang yang tidak senang terhadap Islam akan dengan mudah menggunakan Pancasila untuk menuduhnya sebagai pembuat makar dan separatisme.

Sejarah mencatat pada setiap fase selalu ada usaha-usaha untuk mengekslusufkan tafsir Pancasila dan dengan itu semua pihak yang berseberangan kepentingan divonis anti-Pancasila. Selama Orde Baru, tafsir Pancasila dimonopoli oleh kepentingan Suharto. Ia hendak menciptakan suatu sistem kekuasaan menurut versinya sendiri. Tafsir Pancasila yang diberi nomenklatur Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) dibuatnya menjadi Ketetapan MPR (TAP-MPR) tahun 1978 sehingga berkekuatan hukum sangat kuat sama seperti Pancasila itu sendiri. Setelah itu, pada tahun 1984 Pancasila versi P4 ini diundangkan menjadi asas tunggal tahun 1985.

Apa yang dilakukan oleh Suharto ini juga sama dengan ulah Sukarno saat ia berkuasa pada masa Demokrasi Terpimpin. Selepas Dekrit 5 Juli 1959 ia keluarkan, segara dicanangkan suatu ideologi baru, yaitu Nasakom (nasionalis, agama, dan komunis). Ideologi ini dituangkan dalam suatu Manifesto Politik (Manipol) dalam pidato Sukarno tanggal 17 agustus 1960 yang dijadikan dasar haluan negara. Inti dari Manipol ini terangkum dalam USDEK, singkatan darai UUD 1945, Sosialisme, Demokrasi terpimpin, Ekonomi Terpimpin, Kepribadian Indoneia. Setelah pidato ini dikukuhkan melalui Ketetapan MPRS No. 1/MPRS/1960 tentang GBHN, ia dikenal dengan istilah Manipol/USDEK.  Rumusan ideologis ini dipaksakan oleh Sukarno sebagai tafsir atas Pancasila.

Deilar Noer yang pernah mengalami zaman itu menggambarkan bagaiman “nasakom” menjadi tafsir monopolisti dari Pancasila:

“Dalam zaman Demokrasi Terpimpin, partai-partai politik juga dituntut untuk mengakui Pancasila sebagai landasan mereka bergerak; ini tercermin dalam perubahan anggaran dasar mereka masing-masing. Yang aneh tentu saja ketika Partai Komunis Indonesia juga mengakui Pancasila, padahal siapa pun tahu bahwa paham komunisme tidak mengenal Tuhan.”[14]

Atas nama Pancasila yang ditafsirkan secara monopilistik, kedua penguasa penguasa Indonesia itu berusaha memberangus semua lawan-lawan politiknya. Dengan dalih penolakan terhadap manipol/USDEK, banyak penjuang-pejuang bangsa, bahkan founding father bangsa ini ditangkap dan dipenjarakan. Tokoh-tokoh Masyumi seperti M. Natsir. Isa Anshary, dan  lainnya serta tokoh-tokoh PSI (Partai Sosialis Indonesia) seperti Subandrio harus merasakan pahitnya penjara politik zaman Sukarno karena tidak setuju dengan Manipol/USDEK hasil rekayasa Sukarno. Pada masa Suharto siapa saja yang bersebarangan dengannya akan dicap sebagai berusaha melakukan subversi dan anti-Pancasila. Puluhan tokoh politik Islam harus mendekam di balik jeruji besi Orde Baru gara-gara berusaha memperjuangkan haknya sebagai penganut agama Islam.

Kedua peristiwa besar di atas saja sudah menunjukkan bahwa Pancasila, terutama Sila Pertama (juga sila-sila yang lainnya), tidak tegas memposisikan agama. Akhirnya, siapapun boleh memiliki tafsiran apa saja atas nama Pancasila. “Ketuhanan Yang Maha Esa” bisa saja ditafsirkan sebagai “Tauhid” sebagaimana yang dikehendaki Ki Bagus Hadikusumo ketika harus menandatangani pencoretan “tujuh kata” pada tanggal 18 Agustus 1945. Kalau ini tafsirannya, semestinya negara ini adalah negara “Islam”, karena tidak ada istilah “tauhid” kecuali dalam Islam. Anehnya, sepanjang Sukarno dan Suharto berkuasa, justru para pejuang “negara Islam” untuk Indonesia ini yang dijadikan musuh paling utama. Mereka dikejar-kejar bak para kriminal. Akan tetapi, karena ambigunya kalimat “Ketuhanan Yang Maha Esa” itu. Sukarno dan Suharto atas masukan dari para intelektual pendukungnya boleh juga menafsirkan frasa itu dalam versinya masing-masing yang dalam prakteknya amat menindas hak-hak umat Islam yang hendak memperjuangkan kepercayaan dan keyakinannya.

Saat ini, saat gelombang kebebasan dibuka melalui Reformasi 1998, semua kebijakan despotik Suharto dikritik, termasuk P4 dan Asas Tunggal. Tap MPR dan UU mengenai kedua hal itu secara aklamasi dihapuskan oleh para penguasa baru. Namun, Pancasila yang dijadikan dasar negara tetap produk 18 Agustus 1945. Ketika tafsir hegemonic a la Orde Baru dihilangkan, maka kini giliran para penguasa baru ini kebingungan ketika harus memberi lagi tafsir atas Pancasila.

Sejak Era Abdurrahman Wahid, Megawati, hingga Susilo Bambang Yudhoyono saat ini memang belum ada yang seberani Sukarno atau Suharto untuk membuat tafsir tunggal atas Pancasila. Tapi kelihatannya usaha mempengaruhi penguasa untuk menarik Pancasila ke satu arah yang monopolistik terlihat lagi. Kali ini, Pancasila tengah di tarik ke wilayah yang murni “sekuler” dan liberal. Tentu saja, yang berusaha untuk mempengaruhi adalah para politisi, tokoh, dan pemikir-pemikir liberal di negeri ini yang kelihatannya semakin menemukan bentuknya. Mereka bisa saja berlabel tokoh agama, aktivis HAM, pejuang kemanusiaan, dan label-label semisalnya. Bagi mereka, Pancasila hendak diberi makna yang liberal sesuai dengan keinginan mereka.[15]

Dalam tafsir yang liberal, sila pertama Pancasila, secara paksa harus diartikan sebagai penerimaan terhadap paham “pluralisme agama” dan menempatkan agama hanya pada ruang-ruang privat. Dalam pandangan yang liberal seperti ini, tidak heran bila sila pertama ini dalam tafsir yang liberal juga dianggap membuka ruang buat “ateisme” seperti pendapat Syafi’i Ma’arif.[16] Padahal, dengan sangat jelas bahwa ateisme adalah anti-Tuhan sehingga secara telanjang bertentangan dengan Pancasila. Lebih ekstrim lagi, tokoh JIL, Lutfi Asy-Syaukani malah menganggap bahwa sila pertama dari Pancasila ini bertentangan dengan semangat kekinian dan Hak Asasni Manusia (HAM) karena tidak memberikan ruang bagi orang-orang yang tidak mau beragama atau percaya pada Tuhan (ateisme). Oleh sebab itu, ia mengusulkan agar sila ini diamandemen saja.[17]

Sejurus dengan itu, seperti biasa, yang kemudian menjadi sasaran tembak dari tafsir sekuler dan liberal atas Pancasila ini adalah umat Islam yang konsisten memperjuangkan keyakinan agamanya, baik di parlemen maupun melalui lembaga-lembaga dakwah. Umat Islam yang memperjuangkan haknya inilah yang dituduh sebagai orang-orang yang anti terhadap Pancasila dan hendak mengganti negara Indonesia ini dengan negara Islam.[18] Para pejuang Islam dengan segala cara dideskriditkan agar citranya menjadi buruk dan diopinikan sebagai perusak Republik. Inilah yang sekarang menjadi tantangan umat Islam. Sebab, di masa-masa yang akan datang tidak menutup kemungkinan peminggiran Islam dengan dalih Pancasila yang ambigu akan kembali terjadi lagi seperti pada zaman Sukarno dan Suharto. Walâhu A’lam.

[2] Pada pidato dalam persidangan BPUPK itu, Muh. Yamin mengusulkan gagsan mengenai lima dasar negara yaitu: 1) Peri Kebangsaan, 2) Peri Kemanusiaan, 3) Peri Ketuhanan, 4) Peri Kerakyatan, dan 5) Kesejahteran Rakyat. Usualan ini yang diklaim Yamin sebagai asal muasal ditemukannya istilah “Pancasila” hingga ia layak disebut sebagai “penemu” dan penggagas Pancasila ini. Untuk menegaskan kepeloporannya, Yamin pada tahun 1949 menerbitkan tulisannya mengenai sidang-sidang BPUPK berjudul Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945. Buku ini dianggap oleh Nugroho Notosusanto sebagai naskah yang otentik karena ditulis oleh saksi sejarah. Buku ini pun diberi kata pengantar oleh Sukarno dengan tulisan tangan. Tidak ada gugatan dari Sukarno atas tulisan ini yang menunjukkan bahwa apa yang diceritakan Yamin adalah benar adanya. (Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia, VI, [Jakarta: Balai Pustaka, 1991] hal. 68-69).
[3] Bila usul Yamin disampaikan pada awal persidangan periode pertama BPUPK (29 Mei), maka pidato Sukarno yang berisi usulan tentang Pancasila disampaikan pada masa akhir persidangan, yaitu pada tanggal 1 Juni 1945. Pada pidatonya Sukarno menyampaikan Pancasila versinya, yaitu: 1) Kebangsaan Indonesia, 2) Internasionalisme atau Perikemanusiaan, 3) Mufakat atau Demokrasi, 4) Kesejahteraan Sosial, dan 5) Ketuhanan yang berkebudayaan. Kelima sila ini bisa diperas menjadi tiga sila (Trisila), yaitu: 1) Kebangsaan, 2) Internasionalisme atau Perikemanusiaan, dan 3) Ketuhanan. Trisala ini menurutnya bisa diperas lagi menjadi satu (Ekasila), yaitu: “gotong royong”. Pidato ini yang dijadikan alasan oleh, misalnya, Yudi Latif dan Mc Riclefs untuk menunjukkan bahwa Sukarno-lah yang berperan penting dalam menemukan “Pancasila”. (Lihat Yudi Latif, Negara Paripurna; Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila, [Jakarta: Gramedia, 2011] hal. 20-21; dan Mc Riclefs, Sejarah Indonesia Modern 1200-2004, [Jakarta: Serambi, 2005] hal. 424).
[4]  Piagam Jakarta 22 Juni 1945 ini adalah Pembukaan Undang-Undang Dasar yang di dalamnya termuat dasar negara yang dinamakan Pancasila. Semua kata-katanya hampir sama. Bedanya hanya pada sila pertama. Silam pertama Pancasila pada Piagam Jakarta berbunyi “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi para pemeluknya,” sementara pada Pancasila yang disahkan 18 Agustus 1945 sila pertama itu berbunyi “Ketuhanan Yang Maha Esa.” Piagam ini disetujui dan ditandatangani oleh 9 panitia kecil yang dibentuk oleh BPUPK setelah masa persidangan pertama (29 Mei – 1 Juni 1945) yang tugasnya adalah merumuskan pembukaan UUD sebagai bahan untuk dibicarakan pada masa persidangan kedua (10 – 17 Juli 1945). Setelah melalui perdebatan dan adu argumen Sembilan orang yang terdiri atas Sukarno (ketua). Mohammad Hatta, Muhammad Yamin, A.A. Maramis, Soebardjo (golongan nasionalis-sekuler), K.H. Wahid Hasjim, K.H. Kahar Moezakir, H. Agoes Salim, dan R. Abikusno Tjokrosoejoso (golongan Islam). Kesembailan orang inilah yang menandatangani naskah Piagam Jakarta di atas. Piagam ini beserta naskah batang tubuh UUD dasar yang sudah disiapkan oleh tim yang diketuai Dr. Soepomo disepakati tanpa perubahan pada akhir persidangan kedua tanggal 17 Juli 1945. (Yudi Latif, Op. Cit. hal. 23 dan 27; Adian Husaini, Pancasila bukan untuk Menindas Hak Konstitusional Umat Islam, [Jakarta: Gema Insani Press, 2009] hal. 37-44)
[5] Mr. Johannes Latuharhary (1900-1959) adalah anggota BPUPK mewakili Maluku dalam kapasitasnya sebagai tokoh pergerakan Ambon. Pria yang menyelesaikan sarjana hukumnya di Universitas Leiden ini setelah menjadi hakim untuk pemerintah Hindia-Belanda memilih untuk berhenti dan aktif di dunia pergerakan nasional melalui Sarekat Ambon. Perkumpulan ini lebih banyak diisi oleh aktivis-aktivis berhaluan Kristen seperti dirinya. Karena aktivitasnya inilah, Latuharhary terpilih sebagai anggota BPUPK. Jabatan terakhirnya setalah Indonesia Merdeka adalah sebagai Gubernur Maluku antara tahun 1950-1955). (http://id.wikipedia.org/wiki/Johannes_Latuharhary).
[6] Yudi Latif, Op. Cit. hal. 26.
[7] Adian Husaini, Pancasila bukan untuk Menindas Hak Konstitusional Umat Islam, (Jakarta: Gema Insani Press, 2009) hal. 40.
[8] Ibid. hal. 41
[9] Ibid. hal. 41
[10] Anggota-anggota PPKI selengkapnya adalah sebagai berikut. Perwakilan Jawa: Ir. Sukarno, Drs. Moh. Hatta, dr. Radjiman Wediodiningrat, Oto Iskandardinata, K.H. Wahid Hasjim, Ki Bagus Hadikusumo, Surjoadimidjojo, Mr. Sutardjo Kartohadikusumo, R.P. Suroso, Prof. Dr. Mr. Supomo, Abdul Kadir Purubojo; perwakilan Sumatra: dr. Amir, Mr. Teuku Moh. Hasan, Mr. Abdul Abbas; perwakilan Sulawesi: Dr. G.S.S.J. Ratu Langie, Andi Pangeran; perwakilan Kalimantan: A.A. Hamidhan; perwakilan Sunda Kecil (Nusa Tenggara): Mr. I Gusti Ketut Pudja; perwakilan Maluku: Mr. J. Latuharhary; perwakilan Cina: Drs. Yap Tjwan Bing. (Nugroho Notosusanto. Op. Cit. hal. 78) Keduapuluh satu anggota yang ditunjuk Jepang itu kemudian ditambahkan lagi atas usulan Sukarno enam orang yang lain, yaitu: Kasman Singodimedjo, Ki Hajar Dewantara, Sajuti Melik, Iwa Kusuma Soemantri, dan Soebardjo. Sebetunya, semula akan ditambahkan Sukarni, Chairul Saleh, dan Adam Malik dari kalangan pemuda, tapi mereka menolak karena PPKI dianggap sebagai buatan Jepang. (Yudi Latif. Op. Cit. hal. 35)
[11] Dalam versi yang lain, yang datang kepada Hatta sesungguhnya bukan angkatan laut AL, melainkan tiga mahasiswa Ika Daigaku, yang salah seorangnya berwajah oriental dan memakai uniform AL Jepang. Lihat Anwah Harjono dan Lukman Hakiem, Di Sekitar Lahirnya Republik: Bakti Sekolah Tinggi Islam dan Balai Muslimin Indonesia kepada Bangsa, (Jakarta: Media Dakwah, 1997).
[12] Yudi Latif. Op. Cit. hal. 83.
[13] Adian Husaini, Op. Cit. hal. 46-50.
[14] Deliar Noer via Adian Husaini. Op. Cit. hal. 83.
[15] Sebagai contoh, dalam sebuah artikel di http://islamlib.com/id/artikel/ham-untuk-lgbti, usaha-usaha untuk menegakkan syariat dianggap sebagai hal yang bertentangan dengan Hak Asasi Manusia yang diakui oleh UUD 1945 Pasal 28 (hasil amandemen tahun 2000). Oleh sebab itu, pelarangan praktek lesbian, gay, bisex, dan transgender (LGBT) atas nama dokrtin agama dianggap bertentangan dengan UUD 1945. UUD 1945 sendiri merupakan turunan dari Pancasila yang masih dicantumkan dalam Pembukaannya.
[16] Pendapat Syafi’i Ma’arif ini penulis dapatkan dari rekaman diskusi Luthfi Asy-Syaukani di kantor JIL. Selangkapnya dapat dilihat di http://islamlib.com/id/artikel/sila-pertama-dan-sila-terakhir-pancasila-bermasalah (diunduh 1 Juni 2012)
[18] Salah satu preseden yang mencoba lagi ingin mendeskriditkan para pejuang Islam yang tengah memperjuangkan haknya secara sah dan konstitusional antara lain dapat dilihat dalam satu edisi tabloid Kristen yang terbit di Bandung Reformata (9 Juni 2009). Tabloid ini mempersoalkan penerapan syari’at Islam. Para Anggota DPR yang sedang menggodok RUU Makanan halal dan RUU Zakat dikatakan akan meruntuhkan Pancasila dan menghancurkan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Bahkan, Tabloid Kristen ini menuduh umat Islam Indonesia sedang berpesta pora melaksanakan syari’at Islam di Indonesia saat ini. (Adian Husaini. Op. Cit. hal. 9)

Posting Komentar

2 Komentar

Adi R mengatakan…
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
Adi R mengatakan…
Betul sekali, Negara ini berdiri dengan DASAR PANCASILA dan UUD 45, BUKAN berdasar ham, kalopun pegiat ham mau mengimplementasikan ham, atau pegiat apapun yg mau mengimplementasikan ideologinya mah JANGAN YANG BERTENTANGAN dan MELAWAN PANCAsila dan UUD 45 yg mana sebagai dasar negara.