''... palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. Dan di
mana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya...” (QS. Al-Baqarah:
144).
Ahli hadis dan usul fikih terkemuka, Asy-Syaukani, menegaskan, menghadap ke arah kiblat merupakan salah satu syarat sah shalat.
''Ulama semuanya telah menetapkan hal itu, kecuali jika tak sanggup melakukannya,'' papar ulama terkemuka itu.
Menurut dia, pengecualian itu seperti ketika mengalami ketakutan saat perang dan ketika shalat yang dikerjakan di atas kendaraan dalam sebuah perjalanan. Menghadap ke arah kiblat (Ka'bah), saat menunaikan ibadah shalat telah diperintahkan Allah SWT melalui Rasulullah SAW.
Dalam Alquran Surah Al-Baqarah ayat 144, Allah SWT berfirman, ''Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit, maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. Dan di mana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya.''
''Dan sesungguhnya orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang diberi Al Kitab (Taurat dan Injil) memang mengetahui, bahwa berpaling ke Masjidil Haram itu adalah benar dari Tuhannya; dan Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang mereka kerjakan.''
Selain itu, dalam Alquran Surah Al-Baqarah ayat 149-150, Allah SWT juga memerintahkan hal yang sama, ''Dan dari mana saja kamu keluar, maka palingkanlah wajahmu ke arah Masjidil Haram. Dan di mana saja kamu (sekalian) berada, maka palingkanlah wajahmu ke arahnya, agar tidak ada hujjah bagi manusia atas kamu, kecuali orang-orang yang zalim di antara mereka. Maka janganlah kamu takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku. Dan agar Kusempurnakan nikmat-Ku atasmu, dan supaya kamu mendapat petunjuk."
Perintah Sang Khalik itu diperkuat dengan hadis. Nabi Muhammad SAW bersabda, "Bila kamu hendak mengerjakan shalat, hendaklah menyempurnakan wudlu kemudian menghadap kiblat lalu takbir " (HR Bukhari dan Muslim).
Atas dasar ayat Alquran dan hadis itulah para ulama, menurut Asy-Syaukani, bersepakat bahwa menghadap ke Baitullah hukumnya wajib bagi orang yang melakukan shalat.
Lalu timbul persoalan, apakah harus persis ke Baitullah atau boleh hanya ke perkiraan arahnya saja? Dalam konteks ini perlu dipahami bahwa agama Islam bukanlah agama yang sulit dan memberatkan. Namun demikian, perlu berusaha memadukan antara teks dan konteks agar pemahaman tentang arah kiblat mendekati kebenaran.
Ahli hadis dan usul fikih terkemuka, Asy-Syaukani, menegaskan, menghadap ke arah kiblat merupakan salah satu syarat sah shalat.
''Ulama semuanya telah menetapkan hal itu, kecuali jika tak sanggup melakukannya,'' papar ulama terkemuka itu.
Menurut dia, pengecualian itu seperti ketika mengalami ketakutan saat perang dan ketika shalat yang dikerjakan di atas kendaraan dalam sebuah perjalanan. Menghadap ke arah kiblat (Ka'bah), saat menunaikan ibadah shalat telah diperintahkan Allah SWT melalui Rasulullah SAW.
Dalam Alquran Surah Al-Baqarah ayat 144, Allah SWT berfirman, ''Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit, maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. Dan di mana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya.''
''Dan sesungguhnya orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang diberi Al Kitab (Taurat dan Injil) memang mengetahui, bahwa berpaling ke Masjidil Haram itu adalah benar dari Tuhannya; dan Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang mereka kerjakan.''
Selain itu, dalam Alquran Surah Al-Baqarah ayat 149-150, Allah SWT juga memerintahkan hal yang sama, ''Dan dari mana saja kamu keluar, maka palingkanlah wajahmu ke arah Masjidil Haram. Dan di mana saja kamu (sekalian) berada, maka palingkanlah wajahmu ke arahnya, agar tidak ada hujjah bagi manusia atas kamu, kecuali orang-orang yang zalim di antara mereka. Maka janganlah kamu takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku. Dan agar Kusempurnakan nikmat-Ku atasmu, dan supaya kamu mendapat petunjuk."
Perintah Sang Khalik itu diperkuat dengan hadis. Nabi Muhammad SAW bersabda, "Bila kamu hendak mengerjakan shalat, hendaklah menyempurnakan wudlu kemudian menghadap kiblat lalu takbir " (HR Bukhari dan Muslim).
Atas dasar ayat Alquran dan hadis itulah para ulama, menurut Asy-Syaukani, bersepakat bahwa menghadap ke Baitullah hukumnya wajib bagi orang yang melakukan shalat.
Lalu timbul persoalan, apakah harus persis ke Baitullah atau boleh hanya ke perkiraan arahnya saja? Dalam konteks ini perlu dipahami bahwa agama Islam bukanlah agama yang sulit dan memberatkan. Namun demikian, perlu berusaha memadukan antara teks dan konteks agar pemahaman tentang arah kiblat mendekati kebenaran.
Hadap
Timur atau Barat
Terdapat perbedaan pandangan di kalangan ulama ketika
menentukan pusat arah yang dihadapi itu.
Apakah yang dihadapi itu zat kiblat itu sendiri atau cukup dengan menghadap ke arahnya saja. Ensiklopedi Islam terbitan Ichtiar Baru van Hoeve, memaparkan pendapat beberapa imam mazhab.
Menurut Imam Syafi'i, orang yang melakukan sahlat wajib mengarah pada zat Ka'bah. Sedangkan orang yang jauh dari Ka'bah cukup dengan memperkirakan saja.
Akan tetapi, ada riwayat lain yang mengatakan bahwa Imam Syafi'i membolehkan orang shalat hanya menghadap ke arah ka'bah, bukan pada zatnya.
Riwayat itu diterima dari Al-Muzanni, murid Imam Syafi'i. Dari dua pendapat yang diriwayatkan dari Imam Syafi'i itu, pendapat pertama ternyata lebih popuper.
Lalu bagaimana dengan imam-imam yang lain? Imam-imam mujtahid lainnya seperti Imam Hanafi, Imam Malik dan Imam Hanbali , mewajibkan orang yang jauh dari Ka'bah untuk menghadap ke arah Ka'bah saja. Alasannya, tak mungkin bagi orang yang jauh dari Ka'bah untuk menghadap ke zat Ka'bah itu sendiri.
Jika seseorang melakukan shalat di tempat yang sangat gelap, menurut para Imam, boleh menghadap ke arah yang diyakini. Shalatnya dinyatakan sah, asalkan ia telah melakukan shalat tersebut. Akan tetapi, jika ketika selesai shalat mengetahui bahwa arah kiblat yang dihadapinya salah, maka shalatnya wajib di ulangi, kalau masih ada waktu.
Itulah pendapat Imam Syafi'i, ulama Hanafiah dan ulama Kufah pada umumnya. Akan tetapi, As-San'ani (ahli fikih dan hadis) serta Asy-Syaukani memandang shalat yang telah dikerjakan itu tak perlu diulang, karena sah.
Bagaimana jika sedang berada di atas kapal? Orang yang melakukan shalat di atas kapal wajib menghadap ke Kiblat ketika memulai shalat dan selama kondisi dan situasi memungkinkan untuk itu.
Menurut Ketua Umum DDII, Ustaz Syuhada Bahri, jika tak memungkinkan, maka shalatnya boleh menghadap kemana saja.
Dalam kondisi seperti ini berlaku firman Allah SWT dalam Surah Al-Baqarah ayat 115. ''Dan milik Allah timur dan barat. Kemanapun kamu menghadap di sanalah wajah Allah. Sungguh Allah Mahaluas, Mahamengetahui.''
Nabi SAW juga bersabda, ''Antara Timur dan Barat terdapat kiblat.'' (HR at-Tirmizi, Ibnu Majah dan Abu Hurairah). Ayat dan hadis ini juga berlaku bagi orang yang sedang ketakutan.
Lalu bagaimana dengan yang akan shalat pada saat dalam kendaraan sperti mobil, kereta api serta pesawat terbang? Menurut ulama Mazhab Syafi'i, orang tersebut harus menghadap ke kiblat dan wajib berdiri jika memungkinkan. Akan tetapi, mazhab hanafi memperbolehkan orang tersebut shalat sambil duduk dan menghadap ke arah mana saja sesuai dengan gerak kendaraan yang dinaiki.
Apakah yang dihadapi itu zat kiblat itu sendiri atau cukup dengan menghadap ke arahnya saja. Ensiklopedi Islam terbitan Ichtiar Baru van Hoeve, memaparkan pendapat beberapa imam mazhab.
Menurut Imam Syafi'i, orang yang melakukan sahlat wajib mengarah pada zat Ka'bah. Sedangkan orang yang jauh dari Ka'bah cukup dengan memperkirakan saja.
Akan tetapi, ada riwayat lain yang mengatakan bahwa Imam Syafi'i membolehkan orang shalat hanya menghadap ke arah ka'bah, bukan pada zatnya.
Riwayat itu diterima dari Al-Muzanni, murid Imam Syafi'i. Dari dua pendapat yang diriwayatkan dari Imam Syafi'i itu, pendapat pertama ternyata lebih popuper.
Lalu bagaimana dengan imam-imam yang lain? Imam-imam mujtahid lainnya seperti Imam Hanafi, Imam Malik dan Imam Hanbali , mewajibkan orang yang jauh dari Ka'bah untuk menghadap ke arah Ka'bah saja. Alasannya, tak mungkin bagi orang yang jauh dari Ka'bah untuk menghadap ke zat Ka'bah itu sendiri.
Jika seseorang melakukan shalat di tempat yang sangat gelap, menurut para Imam, boleh menghadap ke arah yang diyakini. Shalatnya dinyatakan sah, asalkan ia telah melakukan shalat tersebut. Akan tetapi, jika ketika selesai shalat mengetahui bahwa arah kiblat yang dihadapinya salah, maka shalatnya wajib di ulangi, kalau masih ada waktu.
Itulah pendapat Imam Syafi'i, ulama Hanafiah dan ulama Kufah pada umumnya. Akan tetapi, As-San'ani (ahli fikih dan hadis) serta Asy-Syaukani memandang shalat yang telah dikerjakan itu tak perlu diulang, karena sah.
Bagaimana jika sedang berada di atas kapal? Orang yang melakukan shalat di atas kapal wajib menghadap ke Kiblat ketika memulai shalat dan selama kondisi dan situasi memungkinkan untuk itu.
Menurut Ketua Umum DDII, Ustaz Syuhada Bahri, jika tak memungkinkan, maka shalatnya boleh menghadap kemana saja.
Dalam kondisi seperti ini berlaku firman Allah SWT dalam Surah Al-Baqarah ayat 115. ''Dan milik Allah timur dan barat. Kemanapun kamu menghadap di sanalah wajah Allah. Sungguh Allah Mahaluas, Mahamengetahui.''
Nabi SAW juga bersabda, ''Antara Timur dan Barat terdapat kiblat.'' (HR at-Tirmizi, Ibnu Majah dan Abu Hurairah). Ayat dan hadis ini juga berlaku bagi orang yang sedang ketakutan.
Lalu bagaimana dengan yang akan shalat pada saat dalam kendaraan sperti mobil, kereta api serta pesawat terbang? Menurut ulama Mazhab Syafi'i, orang tersebut harus menghadap ke kiblat dan wajib berdiri jika memungkinkan. Akan tetapi, mazhab hanafi memperbolehkan orang tersebut shalat sambil duduk dan menghadap ke arah mana saja sesuai dengan gerak kendaraan yang dinaiki.
0 Komentar