
Siapakah Rasjidi? Lelaki bertubuh mungil ini memiliki nama kecil Saridi. Ia lahir di Kotagede Yogyakarta pada Kamis 20 Mei 1915 atau 4 Rajab 1333 H. Ia anak kedua dari Bapak Atmosugido. Pendidikan dasarnya ditempuh di sekolah Muhammadiyah Yogyakarta. Rasjidi
kemudian melanjutkan sekolah menengahnya di perguruan Al Irsyad al
Islamiyah, Malang, dibawah pimpinan Syekh Ahmad Surkati, pendiri
organisasi Al-Irsyad Islamiyah. Rasjidi termasuk
yang sangat tinggi semangat mencari ilmunya, karena ia diajar oleh
guru-guru yang bukan hanya dari Indonesia, tapi juga dari Mesir, Sudan
dan Mekkah.
Syekh Ahmad Surkati pendiri al Irsyad al Islamiyah, mendidik langsung Rasjidi dengan seksama. Menurut
Surkati, Rasjidi adalah anak yang tekun dan cerdas, sehingga dicintai
guru-gurunya. Kepandaian Rasjidi dalam bahasa Arab – mampu menghafal
Kitab Alfiyah Ibnu Malik dalam usia 15 tahun — menjadikannya
diangkat sebagai asisten pelajaran gramatika bahasa Arab. Dalam usia
remaja itu, Rasjidi juga hafal buku Logika Aristoteles yang berjudul “Matan as Sullam.”
Perkenalannya
dengan banyak guru-guru Timur Tengah itu, menjadikan Rasjidi
bersemangat untuk melanjutkan studinya di Mesir. Di Mesir, selain
mempelajari ilmu-ilmu agama, di Sekolah Persiapan Darul Ulum (setingkat
Sekolah Menengah) ia juga diajar aljabar, ilmu bumi, sejarah dan
lain-lain. Rasjidi menguasai bahasa Perancis, Inggris, Arab dan Belanda
tentunya. Ia pun menjadi seorang hafizh, hafal al Qur’an 30 juz.
Soebagijo IN menceritakan: “Dengan diantar oleh Syekh Thantawy Djauhary pengarang Tafsir al Jawahir yang
masyhur serta sahabat karib Syekh Ahmad Surkati, dia mendaftarkan ke
Sekolah Persiapan untuk memasuki Sekolah Guru Tinggi bahasa Arab yang
bernama Darul Ulum (kelas III)...Rasjidi diuji untuk masuk kelas V. Di kelas itu dia belajar 8 bulan lamanya, dan akhirnya berhasil meraih
diploma Sekolah Menengah Umum dengan agama dan hafal al Qur’an secara
lengkap, yakni 30 juz Al Qur’an, di samping mendapatkan sertifikat untuk
mata pelajaran bahasa Inggeris dan Prancis. Karena di sana berlaku
sistem Prancis, maka di Mesir diploma Sekolah Menengah Lanjutan disebut
surat ijazah Baccalaureat. Dengan ijazah Baccalaureat itu, Rasjidi berhak meneruskan ke perguruan tinggi.”
Pilihannya kemudian diarahkan ke Universitas al Azhar, Kairo. Di sana ia mengambil jurusan Filsafat dan Agama. Setelah empat tahun belajar di situ, ia mendapat gelar Licence. Di kelas itu mahasiswanya hanya tujuh orang. Ia menempati rangking satu mengalahkan mahasiswa dari Mesir, Albania dan Sudan.
Setelah
kembali ke tanah air beberapa tahun, Rasjidi melanjutkan kuliahnya di
Fakultas Sastra, Universitas Sorbonne, Paris. Pada hari Jumat, 23 Maret
1956, Rasjidi akhirnya meraih gelar doktor di universitas terkemuka itu
dengan disertasi berjudul l'Evolution de l'Islam en Indonesie ou
Consideration Critique du Livre Centini (Evolusi Islam di Indonesia atau
Tinjauan Kritik terhadap Kitab Centini).
HM
Rasjidi adalah Menteri Agama RI pertama. Di pemerintahan, ia juga
pernah menjabat sebagai Duta Besar RI di Mesir, Arab Saudi dan
lain-lain. Sebelumnya di bidang organisasi, ia pernah terlibat
diantaranya dalam organisasi PII dan Masyumi. Ia juga pernah aktif
sebagai Dosen di Sekolah Tinggi Islam (UII) Yogyakarta, Guru Besar
Fakultas Hukum UI, Guru Besar Filsafat Barat di IAIN Syarif Hidayatullah
dan menjadi Dosen tamu di McGill University.
Banyak buku telah ditulisnya, baik karya sendiri maupun terjemahan. Karya-karya asli Rasjidi antara lain : Islam
Menentang Komunisme, Islam dan Indonesia di Zaman Modern, Islam dan
Kebatinan, Islam dan Sosialisme, Mengapa Aku Tetap Memeluk Agama Islam,
Agama dan Etik, Empat Kuliah Agama Islam pada Perguruan Tinggi, Strategi
Kebudayaan dan Pembaharuan Pendidikan Nasional, Hendak Dibawa Kemana
Umat Ini? Sedangkan karya terjemahnya antara lain: Filsafat Agama, Bibel Qurán dan Sains Modern, Humanisme dalam Islam, Janji-janji Islam dan Persoalan-persoalan Filsafat.
Dalam
khasanah pemikiran Islam di Indonesia, Nama Rasjidi seperti sengaja
ditenggelamkan. Saat mengajar di McGill, Rasjidi-lah yang membawa Harun
Nasution untuk melanjutkan studi di McGill. Bahkan, selama satu tahun,
ia memberikan tumpangan rumah kepada Harun Nasution. Toh, Rasjidi
kemudian tidak kehilangan sikap kritis terhadap sahabat dekatnya itu.
Ketika buku Harun Nasution yang berjudul Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya dijadikan
sebagai buku pegangan di Perguruan Tinggi Islam, tahun 1973, Rasjidi
segera memberikan kritik-kritik tajamnya. Setelah menunggu dua tahun
surat pribadinya tidak dijawab oleh Menteri Agama, ia kemudian
menerbitkan bukunya yang berjudul: Koreksi terhadap Dr. Harun Nasution tentang Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya.
Tentang
buku Harun Nasution tersebut, Rasjidi menyatakan: “Saya menjelaskan
kritik saya fasal demi fasal dan menunjukkan bahwa gambaran Dr. Harun
tentang Islam itu sangat berbahaya, dan saya mengharapkan agar
Kementrian Agama mengambil tindakan terhadap buku tersebut, yang oleh
Kementrian Agama dan Direktorat Perguruan Tinggi dijadikan buku wajib di
seluruh IAIN di Indonesia.”
Kritik
Rasjidi dianggap angin lalu saja. Buku Harun Nasution dijadikan buku
pegangan wajib, tanpa menyertakan kritik dari Rasjidi. Bisa dipahami,
jika banyak mahasiswa yang kemudian mengenal dan menjadi pengikut setia
pemikiran Harun Nasution. Padahal, Rasjidi sudah mengingatkan, cara
pandang buku tersebut terhadap Islam adalah “sangat berbahaya”.
0 Komentar