Menengok
kembali ke dalam beberapa materi ajar sejarah yang diberikan kepada
generasi muda Indonesia, dari pendidikan Dasar hingga bangku
perkuliahan, barangkali akan membuat kita terhenyak dan terheran-heran.
Sejumlah fakta atau bahkan opini terkadang hanya ditampilkan sekilas,
sehingga tidak jarang membentuk persepsi yang salah terhadap
substansinya. Pemaparan fakta yang bersifat demikian sudah tentu akan
membuka ruang bagi kesalahan penafsiran. Sejarah, bisa jadi, memang
berasal dari fakta tunggal yang kemudian ditafsirkan dengan menggunakan
berbagai sudut pandang sehingga menghasilkan berbagai penafsiran
berbeda. Namun memaparkan fakta secara sekilas dan memberi ruang bagi
kesalahan penafsiran juga merupakan hal yang mesti dihindari.
Sebut
saja, misalnya, informasi bahwa keruntuhan Majapahit disebabkan oleh
serangan dari kadipaten Demak di bawah pimpinan Adipati Jimbun Patah
pada tahun 1478 M atau 1400 saka. Dari mulai pelajaran Pendidikan Dasar
hingga lanjutan Atas bahkan di bangku perkuliahan, selalu dikemukakan
dalam sejumlah buku teks pelajaran sejarah bahwa faktor penyebab
keruntuhan Majapahit salah satunya adalah akibat serangan Demak.
Biasanya
pernyataan ini tidak diikuti dengan pembahasan dan keterangan lain
secara jelas, terkait misalnya, mengapa Demak harus menyerang dan lain
sebagainya. Pernyataan ini seolah-olah memang memperlihatkan
superioritas dan keunggulan Demak di atas Majapahit. Namun jika ditilik
lebih mendalam, sebenarnya merupakan upaya untuk mengaburkan pandangan
bahwa Islam di Tanah Jawa telah disebarkan melalui praktik kekerasan
bersenjata dan pertumpahan darah. Tidak jarang juga dimanfaatkan untuk
menyerang pribadi Raden Patah, sebagai raja Islam pertama di Tanah Jawa,
sebagai ‘anak durhaka’ yang telah menyerang ayahnya sendiri, Prabu
Brawijaya V. Seringkali juga digunakan untuk menyerang pribadi para
ulama tanah Jawa, dalam majlis dakwah Walisanga, yang menjadi pendukung
bagi Kesultanan Demak. Oleh karena itu pemaparan sejarah yangt bersifat
demikian hendaknya segera dibenahi sebab dimuati sejumlah kepentingan
dan motif tersembunyi, terutama dalam mendiskreditkan dan memarginalkan
peran Islam di Tanah Jawa.
Majapahit, Demak dan Kerukunan Agama
Berdasarkan
kesimpulan Seminar Masuknya Islam ke Indonesia pada tanggal 17 sampai
20 Maret 1963 di Medan, Islam telah masuk ke wilayah Nusantara sejak Abad pertama hijriyah.[1]
Bahkan upaya ekspedisi ke Nusantara telah dilakukan pada masa Abu Bakar
Ash Shidiq dan dilanjutkan oleh khalifah-khalifah setelahnya.[2]
Berdasarkan literature China menjelang seperempat Abad VII telah
berdiri perkampungan Arab muslim dipesisir Sumatra. Sedangkan di Jawa
Penguasa Kalingga yang bernama Ratu Shima telah mengadakan korespondensi
dengan Muawiyah Bin Abu Sufyan,[3] salah seorang shahabat Nabi dan pendiri dinasti Umayyah.[4]
Akan tetapi karena terpaut jarak yang jauh, maka dakwah di pulau Jawa
berjalan secara lamban. Namun demikian secara jelas Islam telah
disebarkan di Pulau Jawa jauh sebelum berdirinya kerajaan Majapahit.
Dengan demikian anggapan penulis Darmagandul, bahwa Islam berkembang di
tanah Jawa adalah semata-mata karena ‘kebaikan’ Prabu Brawijaya,[5] adalah tidak benar.
Dalam
era kerajaan Majapahit beberapa pelabuhan telah ramai dikunjungi oleh
saudagar-saudagar asing. Guna kepentingan komunikasi dengan saudagar
asing maka pemerintah kerajaan Majapahit mengangkat sejumlah pegawai
muslim sebagai sebagai pegawai pelabuhan atau syahbandar.[6]
Alasannya, pegawai beragama Islam pada masa itu kebanyakan telah
menguasai Bahasa asing terutama Bahasa Arab sehingga mampu berkomunikasi
dan memberikan pelayanan kepada saudagar-saudagar asing yang kebanyakan
beragama Islam.[7]
Bahkan,
jika menilik salah satu kompleks pemakaman Majapahit dapat digambarkan
bahwa telah banyak bangsawan Majapahit yang sudah memeluk agama Islam
dan tetap mengabdi kepada pemerintahan. Ditengarai kerukunan agama juga
nampak di sana. Denys Lombard mengungkapkan bahwa di Jawa Timur terdapat
salah satu prasasti Arab tertua, yaitu parasasti Leran dari abad ke-11,
ditambah pula adanya prasasti pada makam Malik Ibrahim, yang mungkin
sekali adalah pedagang dari Gujarat. Prasasti itu berangka tahun 1419
dan terletak di Gresik, dekat Surabaya. Tetapi justru di situs ibu kota
lama Majapahit sendiri-lah, di dekat kota Mojokerto sekarang, di
pekuburan-pekuburan lama Trowulan dan terutama di Tralaya, L.-Ch. Damais
telah menemukan makam-makam Islam yang paling menarik. Ada beberapa
yang memuat teks suci pendek dalam Bahasa Arab, akan tetapi nama orang
yang dikubur tidak pernah disebut (kecuali satu kali). Kalau disebut, perhitungannya menurut tarikh saka, kecuali satu kali menurut
tarikh hijriah. Ada 3 makam dri abad ke-14 (1368, 1376, dan 1380 M) dan
delapan dari Abad ke-15 (antara 1407 dan 1475), tetapi mungkin saja ada
prasasti bertahun lain yang lolos dari penelitian di salah satu
pekuburan di Jawa Timur. Di Trowulan terdapat makam yang pantas disebut
secara khusus, karena menurut tradisi dianggap sebagai makam seorang
Puteri Cempa, dan berangka tahun 1370 Saka, atau 1448/9 M.[8] Dengan demikian dapat dikatakan bahwa dakwah Islam bukan hanya berkembang di kalangan
rakyat jelata namun telah merambah kepada kalangan bangsawan Istana
Majapahit. Sementara itu kerukunan antar agama terjadi pada masa itu.
Sementara
itu dakwah Islam telah menjangkau masuk ke dalam lingkungan istana
Majapahit dan berpengaruh terhadap para bangsawan. Para bangsawan yang
telah menganut agama Islam, sebagiannya pindah keluar istana menuju
daerah pantai yang dikuasai oleh para bupati yang telah beragama Islam.[9] Alasannya adalah demi toleransi dan mendapatkan kemerdekaan beragama. Dengan semakin berkurangnya sejumlah bangsawan di lingkungan
kerajaan dan diiringi dengan semakin banyaknya rakyat Majapahit yang
memilih Islam maka bisa dipastikan kerajaan tersebut menjadi semakin
lemah.
Senja Kala Tahta Majapahit
Jaman
keemasan Majapahit digambarkan oleh banyak sejarawan terjadi pada masa
pemerintahan Prabu Hayam Wuruk yang didampingi Patih Gajah Mada. Namun
sepeninggal Patih Gajah Mada, Majapahit mengalami krisis kepemimpinan.
Kaderisasi yang mengarah kepada penyiapan kepemimpinan generasi
selanjutnya tidak berjalan dengan baik. Salah satu penyebabnya adalah
kepemimpinan yang didasarkan kepada keturunan, bukan kepada keahlian.
Kewibawan politik yang dihasilkan dari kekuatan pasukan perang merupakan
faktor penentu masa kejayaan dan keemasan Majapahit. Pasca Gajah Mada,
kekuatan wibawa kerajaan tersebut mulai melemah akibat berbagai
perebutan kekuasaan dan intrik-intrik politik di dalamnya, sehingga
menyebabkan melemahnya negara, dimana basis militer merupakan salah satu
penopangnya.
Pada
masa Patih Gajah Mada hidup, kerajaan Hindhu Jawa ini diklaim hampir
berhasil menguasai seluruh wilayah kepulauan Nusantara. Kerajaan
Sriwijaya pada masa sebelumnya pun dianggap belum dapat melakukan proses
penguasaan wilayah seluas itu.[10]
Kejayaan Majapahit tersebut dibangun melalui peperangan dan penaklukan
atas wilayah yang melampaui pulau Jawa. Proses pencapaian kejayaan yang
bersifat demikian sudah tentu memiliki sejumlah konsekuensi turunan.
Kerajaan-kerajaan yang berada di wilayah Nusantara pada masa itu
kebanyakan merupakan pemerintahan yang bersifat mandiri. Hal ini berarti
kerajaan-kerajaan tersebut tidak pernah memposisikan dirinya sebagai
negara jajahan, sebab hakikatnya masing-masing kerajaan adalah sebuah
wujud dari negara yang merdeka. Pasca penaklukan yang dilakukan oleh
Majapahit atas wilayahnya, maka posisi ‘merdeka’ ini telah berubah.
Kerajaan-kerajaan lain tersebut pada akhirnya harus ‘rela’ menjadi
negara taklukan dari imperium Majapahit. Dengan kata lain, negara-negara
taklukan tersebut yang menganggap Majapahit sebagai penjajah.
Babad Soengenep,
misalnya, buku yang menceritakan tentang asal mula wilayah Sumenep di
Madura ini, dengan jelas memaparkan kebencian masyarakat Soengenep
terhadap kerajaan Majapahit. Buku ini menceritakan bagaimana proses
penaklukan Majapahit atas Soengenep yang berdarah-darah dan
bangkitnya pahlawan setempat yang bernama Kudapanole dalam melawan
agresi militer Majapahit yang dipimpin oleh Gajah Mada.[11]
Walaupun buku tersebut kemungkinan disusun pada era belakangan, namun
semangat dari buku tersebut bukannya tidak memiliki akar yang kuat.
Spirit yang digambarkan oleh babad tersebut adalah jiwa perlawanan yang
kuat terhadap penjajahan dari negara lain. Sifat khas dari bangsa yang
ingin memiliki kemerdekaannya sendiri.
Demikian
juga cerita-cerita tentang penyerangan Gajah Mada ke beberapa wilayah
di Sumatra yang menimbulkan kekejaman-kekejaman, berupa pembunuhan,
penjarahan, dan pembakaran umumya hanya ditanggapi sebagai dongeng
belaka.[12] Termasuk kisah tentang pemusnahan Kerajaan Silo di Simalungun oleh Tentara Majapahit.[13]
Juga cerita yang mendasari Perang Bubat umumnya hanya dikomentari
secara “biasa saja” oleh sejarawan. Perang Bubat ini merupakan sebuah
kesalahan besar dalam diplomasi Majapahit. Dimana terjadi kesepakatan
antara Maharaja Pajajaran untuk menikahkan putrinya dengan sang Prabu
Hayamwuruk. Sang Maharaja Pajajaran kemudian mengantarkan putrinya
hingga ke sebuah gelanggang yang bernama Bubat. Sesuai kebiasaan kuno,
raja Sunda tersebut hendak menantikan kedatangan sang menantu untuk
menjemput mempelainya.[14]
Namun yang terjadi selanjutnya merupakan hal menyedihkan. Sejak awal
Gajah Mada menganggap bahwa Pajajaran akan menjadi negeri taklukan
Majapahit, sehingga proses pernikahan tidak terjadi namun justru
berakhir dengan peperangan dengan kematian sang Maharaja Pajajaran.
Sikap Gajah Mada yang berlaku demikian umumnya hanya disikapi secara
‘dingin’ oleh para sejarawan.
H.
J. Van Den Berg, Dr. H. Kroeskamp, dan I. P. Simandjoentak mencatat
penyebab lain dari keruntuhan Majapahit adalah tidak loyalnya para
pelaku ekonomi terhadap pemerintahan Majapahit. Dikatakan bahwa mata
pencaharian utama rakyat Majapahit adalah bertani. Kaum petani ini
umumnya memiliki loyaliyas yang tinggi terhadap Majapahit. Namun
demikian golongan ini tidak memiliki akses untuk mempengaruhi kebijakan
bahkan tidak mengetahui seluk beluk pemerintahan Majapahit. Golongan
lain di luar kaum petani adalah orang-orang kaya dan kaum saudagar.
Golongan tersebut umumnya memiliki pengaruh terhadap kehidupan
perekonomian, namun justru merasa bahwa dirinya merdeka dari Majapahit.
Sejak awal mereka telah merasa tidak tunduk terhadap pemerintahan
Majapahit. Perceraian kedua golongan inilah, yaitu petani dan kaum
saudagar atau orang kaya, yang dinilai sebagai salah satu penyebab keruntuhan Majapahit pada masa selanjutnya.[15]
Dengan
demikian dapat dikatakan bahwa dukungan terhadap pemerintahan Kerajaan
hanya ditopang oleh kesetiaan kaum petani. Loyalitas masyarakat petani
inipun umumnya bukan didasarkan atas pengetahuan yang mendalam tentang
hakikat pemerintahan kerajaan. Sedangkan kaum pedagang dan orang-orang
kaya yang banyak mempengaruhi perekonomian justru berada pada pihak yang
tidak loyal. Apalagi pasca rakyat kecil yang terdiri dari para petani
ini, pada masa selanjutnya justru banyak diantara mereka yang menganut
agama Islam, maka kekuatan pendukung Majapahit tersebut semakin
berkurang dan wibawa kerajaan semakin menurun drastis.
Dr.
W. B. Sidjabat memiliki analisa lain terkait penyebab keruntuhan
Majapahit. Faktor penyebab tersebut antara lain adalah sering terjadinya
banjir besar di sungai Berantas, salah satu sungai yang memiliki posisi
strategis bagi pelayaran dan ekonomi Majapahit. Hal ini mengakibatkan
perniagaan-perniagaan di Sungai Berantas terus berkurang. Lebih-lebih
pasca meletusnya Gunung Kelud, Sungai Berantas menjadi dangkal akibat
aliran lahar dan muaranya maju ke laut sehingga mengakibatkan pelayaran
di Canggu berhenti sama sekali. Belum lagi perebutan mahkota Kerajaan
turut memperlemah semua potensi Majapahit.[16]
Pada dasarnya Majapahit saat itu memang telah lemah secara politis akibat Perang Paregreg
yang cukup lama dan menghabiskan banyak sumber daya. Perang tersebut
merupakan perebutan tahta antara Suhita (putri dari Wikramawardana) dan
Wirabumi (putra Hayam Wuruk). Pada tahun 1478 ini Dyah Kusuma Wardhani
dan suaminya, Wikramawardhana, mengundurkan diri dari tahta Majapahit.
Kemudian mereka digantikan oleh Suhita. Pada tahun 1479, Wirabumi, anak
dari Hayam Wuruk, berusaha untuk menggulingkan kekuasaan sehingga pecah
Perang Paregreg (1479-1484). Pemberontakan Wirabumi dapat dipadamkan
namun karena hal itulah Majapahit menjadi lemah dan daerah-daerah
kekuasaannya berusaha untuk memisahkan diri. Dengan demikian penyebab
utama kemunduran Majapahit tersebut ditengarai disebabkan berbagai
pemberontakan pasca pemerintahan Hayam Wuruk, melemahnya perekonomian,
dan pengganti yang kurang cakap serta wibawa politik yang memudar.[17]
Pada
saat kerajaan Majapahit mengalami masa surut, secara praktis
wilayah-wilayah kekuasaannya mulai memisahkan diri. Wilayah-wilayah yang
terbagi menjadi kadipaten-kadipaten tersebut saling menyerang satu sama
lain dan berebut mengklaim sebagai pewaris tahta Majapahit. Sehingga
dengan demikian keruntuhan Majapahit pada masa itu dapat dikatakan
tinggal menunggu waktu sebab sistem dan pondasi kerajaan telah mengalami
pengeroposan dari dalam.
Dengan
demikian faktor penyebab melemahnya Majapahit juga disebabkan makin
pudarnya popularitas kerajaan Hindhu tersebut di mata rakyat. Keberadaan
Majapahit telah tertutupi dengan munculnya kerajaan Demak yang dianggap
membawa angin dan perubahan baru. Selain itu Demak juga semakin menguat
setelah bersekutu dengan Surapringga (Surabaya), Tuban, dan Madura,[18]
dimana wilayah-wilayah tersebut sebelumnya merupakan daerah kekuasaan
Majapahit. Dengan demikian tuduhan bahwa keruntuhan Majapahit akibat
‘digerogoti’ oleh ulama muslim dari dalam[19] dan semata-mata karena penyerangan kerajaan Demak terbukti tidak benar.
Lantas
mengapa sejarah negeri ini belum berpihak kepada umat Islam ? Terkait
dengan keruntuhan Majapahit buku-buku pelajaran sejarah seringkali
mengulang-ulang bahwa salah satu faktor penyebabnya adalah serangan dari
Kesultanan Islam Demak. Informasi tersebut biasanya hanya dikemukakan
begitu saja tanpa memberikan informasi secara jelas mengapa Demak harus
menyerang Majapahit. Sehingga pada akhirnya berdirinya Demak dianggap
sebagai sebuah produk ekspansi dalam penebaran ajaran Islam di Tanah
Jawa.


0 Komentar