Oleh: Susiyanto (Peneliti Pusat Studi dan Peradaban Islam, Solo)
Serangan Girindrawardhana, Faktor Utama
Prof. Dr. N. J. Krom dalam buku “Javaansche Geschiedenis”
menolak anggapan bahwa pihak yang telah menyerang Majapahit pada masa
Prabu Brawijaya V (Kertabhumi) adalah Demak. Tetapi, menurut Prof. Krom
serangan yang dianggap menewaskan Prabu Brawijaya V tersebut dilakukan
oleh Prabu Girindrawardhana. Demikian juga Prof. Moh. Yamin dalam buku “Gajah Mada”
menjelaskan bahwa raja Kertabhumi atau Brawijaya V tewas dalam keraton
yang diserang oleh Prabu Rana Wijaya dari Keling atau Kediri.[20] Prabu Rana Wijaya yang dimaksud adalah nama lain dari Prabu Girindrawardhana.
Teori
penyerangan Prabu Girindrawardhana terhadap Majapahit ini ditolak oleh
Prof. Dr. Slamet Muljana. Menurut Muljana, nama Girindrawardhana
ditemukan pada prasasti Jiyu 1408 tahun Saka atau 1486 M, delapan tahun
setelah tahun yang dianggap sebagai masa keruntuhan Majapahit akibat
serangan Demak. Muljana lantas menghubungkannya dengan kronik Cina yang
berasal dari kuil Sam Po Kong di Semarang. Muljana menyatakan bahwa
seorang menantu Kertabhumi menjadi bawahan Demak dan harus membayar
upeti. Tarikh tahun yang digunakan adalah 1488. Tokoh yang dimaksud
dalam kronik Tionghoa disebutkan dengan nama Pa Bu Ta La. Slamet Muljana
berspekulasi bahwa Pa Bu Ta La yang dimaksud adalah Girindrawardhana,
sebab menurutnya kata “Ta La” adalah transkripsi dari dra sebagai unsur nama Girindrawardhana.[21]
Dari analisa ini maka ditarik kesimpulan bahwa Girindrawardhana tidak
mungkin menyerang kepada Majapahit sebab justru Girindrawardhana justru
tunduk kepada Demak. Menurut Muljana, Demaklah yang menyerang Majapahit
pada masa Prabu Brawijaya V.
Bagaimana
pun analisa Prof. Dr. Slamet Muljana tersebut membingungkan dan terlalu
spekulatif. Seolah hal tersebut tidak membuka kemungkinan lain terhadap
pemaknaan sejarah. Pertama, Muljana, menggunakan angka
tahun 1486 sebagai tahun yang dianggap sebagai keberadaan
Girindrawardhana pasca runtuhnya Majapahit. Padahal tahun 1468 M
tersebut lebih merupakan tahun dari prasasti Jiyu, bukannya manifestasi
keberadaan Girindrawardhana. Sudah tentu penulisan tentang
Girindrawardhana bisa saja ditulis pada masa-masa selanjutnya. Kedua, menghubungkan antara kata “Ta La” dengan dra sebagai unsur nama Girindrawardhana adalah bentuk spekulasi yang berlebihan. Metode otak-atik gathuk
seperti ini rasanya terlalu riskan digunakan sebagai cara pemaknaan
terhadap sejarah. Justru dengan membuka diri terhadap kemungkinan lain
maka akan ditemukan jawaban yang lebih rasional. Misalnya dengan
menghubungkan nama “ Pa Bu Ta La ” dengan Prabu Udara (Brawijaya VII)
maka justru menghasilkan analisa yang lebih baik. Coba perhatikan bahwa
kata “Ta La” lebih sesuai dengan kata “dara” sebagai unsur nama “Prabu
Udara”. Demikian juga kata “Pa Bu” adalah unsur yang mewakili kata Prabu. Cara kedua ini diakui juga bersifat spekulatif, namun jelas lebih rasional dibandingkan cara yang sebelumnya.
Lantas
siapakah Prabu Udara yang dimaksud ? Pasca serangan Girindrawardhana
atas Majapahit pada tahun 1478 M, Girindrawardhana kemudian mengangkat
dirinya menjadi raja Majapahit bergelar Prabu Girindrawardhana atau
Brawijaya VI. Raden Patah mencoba menuntut haknya atas tahta Majapahit.
Namun upaya tersebut nampaknya kurang berhasil. Justru kemudian
Girindrawardhana terbunuh oleh patihnya sendiri yang bernama Patih
Udara. Patih Udara sendiri kemudian menggantikan Girindrawardhana
menjadi raja Majapahit dengan nama Prabu Udara atau Brawijaya VII.[22]
Dengan demikian serangan Demak atas Majapahit bukan terjadi pada masa
Prabu Kertabhumi atau Brawijaya V, ayah Raden Patah. Namun terjadi pada
masa Prabu Brawijaya VI atau Girindrawardhana dan Brawijaya VII atau
Prabu Udara.
Pasca
perebutan kekuasaan di Majapahit antara Patih Udara dan
Girindrawardhana dengan hasil akhir kemenangan atas Patih Udara
tersebut. Patih Udara yang kemudian menggunakan gelar Prabu Udara atau
Brawijaya VII tersebut justru merasa was-was terancam kekuasaannya
disebabkan Kesultanan Demak yang semakin menguat. Beberapa catatan
menyebutkan bahwa Raden Patah sendiri membiarkan saja Majapahit berdiri
di bawah pimpinan Prabu Udara. Catatan lain menyebutkan bahwa Prabu
Udara telah tunduk kepada Kesultanan Demak. Namun yang terjadi kemudian,
kekhawatiran Prabu Udara akan kehilangan kekuasaan telah memuncak dan
kemudian meminta bantuan kepada Portugis di Malaka. Sejarah mencatat
bahwa Prabu Udara atau Brawijaya VII mengirim utusan kepada Alfonso
d’Albuquerque dengan membawa hadiah berupa 20 buah genta, sepotong kain
panjang tenunan Kambayat, 13 buah lembing, dan sebagainya. Melihat
gelagat yang kurang baik inilah maka kemudian tentara Kesultanan Demak
yang dipimpin oleh Adipati Yunus (Pati Unus atau Pangeran Sabrang Lor)
menyerang Portugis di Malaka dan sekaligus Majapahit di bawah
kepemimpinan Prabu Udara untuk membubarkan persepakatan gelap yang
terjadi.[23]
Seandainya saja Majapahit tidak diserang pada masa Prabu Udara tersebut
maka dapat dipastikan bahwa Portugis akan menjajah tanah Jawa lebih
cepat dari masa agresi Belanda.
Terlebih
lagi, Prof. Dr. Slamet Muljana menyebutkan bahwa penyerangan Demak atas
Prabu Girindrawardhana di Majapahit terjadi pada tahun 1517 M.[24]
Hal ini semakin menunjukkan bahwa analisa yang digunakan oleh Muljana
adalah lemah. Sebab masa pemerintahan Prabu Girindrawardhana hanya
berlangsung antara tahun 1478 sampai 1489 M.[25]
Tahun 1489 M tersebut merupakan tahun terbunuhnya Girindrawarhana oleh
Patih Udara yang kemudian menggantikannya sebagai raja Majapahit dengan
gelar Prabu Udara. Dengan demikian serangan Demak atas Girindrawardhana
di Majapahit, sebagaimana dikemukakan oleh Slamet Muljana, dapat
dipastikan hanya merupakan kesalahan analisa semata. Sebab pada tahun
1517 tersebut Girindrawardhana telah mati jauh-jauh hari sebelumnya.
Ada
pun yang lebih masuk akal adalah serangan Demak itu terjadi pada masa
Pemerintahan Prabu Udara yang berkuasa antara tahun 1489 sampai 1518.[26]
Motifnya, jelas upaya untuk mempertahankan kehormatan Islam dan
mengambil kembali tahta Majapahit yang merupakan hak sepenuhnya dari
sultan Demak. Hal ini juga menguatkan bahwa Pa Bu Ta La dalam kronik
Tionghoa di kuil Sam Po Kong bukanlah transkripsi dari nama
Girindrawardhana melainkan lebih sesuai sebagai nama dari Prabu Udara
atau Brawijaya VII. Oleh karena itu analisa Samet Muljana sebagai
penyebab keruntuhan Majapahit pada masa Prabu Kertabhumi (Brawijaya V)
adalah tidak terbukti. Dengan demikian, jika sejarah menulis bahwa
penyebab keruntuhan Majapahit adalah karena serangan dari Demak dan
tanpa dierangkan lebih lanjut tentang faktor-faktor penyebabnya yang
melatarbelakanginya maka hal ini jelas merupakan paparan yang tidak
netral dan berusaha menyembunyikan fakta yang urgen. Dengan kata lain
jelas memiliki sejumlah motif dan kepentingan tertentu.
Awalnya,
informasi bahwa keruntuhan Majapahit disebabkan oleh serangan Demak,
dapat ditelusur, hanya merupakan akibat kesalahpahaman semata. De Graf,
mencatat bahwa nama Girindrawardhana yang menyerang Majapahit dan
merebut kekuasaan Prabu Brawijaya V, seringkali disalah pahami merupakan
sosok yang sama dengan tokoh Sunan Giri, seorang ulama muslim anggota
Walisanga.[27] Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh Muhammad Yamin, seorang tokoh Indonesia yang dikenal sebagai Majapahit-sentris. Muhammad Yamin menyatakan bahwa nama “Giri” dalam beberapa babad
yang menceritakan tentang keruntuhan Majapahit merupakan nama seorang
penganut Hindhu, yang tidak lain adalah Girindrawardhana. Pengarang
babad, dalam pernyataan Mohammad Yamin, umumnya telah mencampuradukkan
antara nama Girindrawardhana dan Sunan Giri.[28]
Padahal kedua nama tersebut adalah tokoh yang berbeda. Dari sinilah
maka kesalahpahaman tersebut berlanjut, bahwa Majapahit runtuh akibat
serangan Demak. Bahkan terkesan bahwa ada upaya untuk memelihara
kesalahpahaman tersebut tanpa memberikan koreksi terhadap pelajaran
Sejarah di Indonesia terutama di tingkat Sekolah Menengah ke bawah. Hal
ini jelas merupakan indikasi kuat bahwa sebuah kepentingan sedang
bermain untuk pencitraan negatif terhadap Islam.
Penutup
Dengan
demikian dapat diketahui bahwa awalnya, cerita tentang penyerangan yang
dilakukan oleh Demak terhadap Majapahit, awalnya terjadi karena
kesalahan pandangan dari para penulis cerita babad. Kesalahan ini
terjadi akibat menganggap sama dua tokoh yang sebetulnya berbeda, yaitu
Girindrawardhana dan Sunan Giri. Tidak jarang, sejarawan memanfaatkan
cerita babad ini sebagai bahan pendukung analisa sejarah. Terkait bahwa
cerita dari babad tidak memiliki akurasi yang tinggi dalam penggambaran
sejarah, telah banyak diketahui. Oleh karena itu usaha memelihara
“sejarah” dari hasil pandangan yang kurang benar, jelas merupakan upaya
yang sarat kepentingan untuk mendiskreditkan Islam.
[1] Panitia Seminar. Risalah Seminar Sejarah Masuknya Islam ke Indonesia. (Panitia Seminar, Medan, 1963). Hal. 265
[2] Herry Nurdi. Risalah Islam Nusantara. (Sabili Edisi Khusus : Sejarah Emas Muslim Indonesia, No. 9 Th. X, 2003). Hal. 9
[3] Prof. DR. Hamka. Sejarah Umat Islam. Cetakan V. (Pustaka Nasional Pte Ltd, Singapore, 2005).Hal. 671-672
[4] A. Latif Osman. Ringkasan Sejarah Islam. Cetakan XXIX. (Penerbit Widjaya, Jakarta, 1992). Hal. 77
[5] Noname. Darmagandul. Penerbit Sadoe Budi … Opcit. Hal. 48
[6] Prof. Dr. Abubakar Aceh. Pengantar Sejarah Sufi dan Tasawwuf. Cetakan IV. (Ramadhani, Surakarta, 1989). Hal. 370
[7] Prof. Dr. Abubakar Aceh. Sejarah Al Quran. Cetakan VI. (Ramadhani, Surakarta, 1989). Hal. 325
[8] Denys Lombard. Nusa Jawa : Silang Budaya Kajian Sejarah Terpadu. Bagian II : Jaringan Asia. Cetakan III. (PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2005). Hal. 34
[9] Drs. Sentot D. Tj. Sejarah Nasional dan Dunia. (Prima Offset, Wonogiri, tth). Hal. 57
[10] Alwi Shihab. Membendung Arus : Respon Gerakan Muhammadiyah Terhadap Penetrasi Misi Kristen di Indonesia. (Penerbit Mizan, Jakarta, 1998). Hal. 22
[11] Es Danar Pangeran. Menggali Sejarah Madura Lewat Babad Soengenep (8) : Kudapanole Menaklukkan Blambangan. Tabloid POSMO Edisi 44 Tahun I/ 2000. Hal. 15
[12] Lihat misalnya tulisan Prof. Dr. Slamet Muljana. Runtuhnya Kerajaan Hindu – Jawa dan Timbulnya Negara – negara Islam di Nusantara. Cetakan VI. PT LKiS Pelangi Aksara, Yogyakarta, 2008). Hal. 139 -140
[13] Prof. Dr. Slamet Muljana. Ibid. Hal. 14 dan 19
[14] Terkait dengan perang Bubat lihat H. J. Van Den Berg, Dr. H. Kroeskamp, I. P. Simandjoentak. Dari Panggung Peristiwa Sedjarah Dunia. Jilid I : India, Tiongkok, dan Djepang, Indonesia. Cetakan II. (J. B. Wolters, Jakarta – Groningen, 1952). Hal. 367-368
[15] H. J. Van Den Berg, et. all. Dari Panggung….Ibid. Hal. 365-366
[16] Lihat artikel Dr. W. B. Sidjabat. Latar Belakang Sosial dan Kultural dari Geredja-geredja Kristen di Indonesia. Dalam Dr. W. B. Sidjabat (ed.). et. all. Panggilan Kita di Indonesia Dewasa ini. (Badan Penerbit Kristen, Jakarta, 1964). Hal. 20 – 21
[17] H. Soekama Karya., et all. Ensiklopedi Mini Sejarah dan Kebudayaan Islam. (Logos, Jakarta, 1996). Hal. 364
[18] Prof. Abu Bakar Aceh. Sejarah Al Quran. (Ramadhani, Surakarta, 1989). Hal. 234-235.
[19] Buku Darmagandul menggambarkan bahwa para ulama adalah seperti tikus yang merusak dari dalam. Mereka meminta jabatan kepada raja Majapahit dan pasca itu kemudian merusak kerajaan dari dalam. Lihat Noname. Darmagandul. Penerbit Sadoe Budi … Opcit. Hal. 46-47
[20] Umar Hasyim. Sunan Giri dan Pemerintahan Ulama di Giri Kedaton. (Penerbit Menara, Kudus, 1979). Hal. 88 – 89
[21] Prof. Dr. Slamet Muljana. Runtuhnya … Opcit. Hal. 107
[22] Sholichin Salam. Sekitar Walisanga. (Menara Kudus, Kudus, 1960). Hal. 13
[23] MB. Rahimsyah. Legenda dan Sejarah Lengkap Walisongo.
(Amanah, Surabaya, tth). Hal. 50. Tulisan lain mencatat bahwa alasan
penyerangan Demak (dipimpin Adipati Yunus) ke Majapahit (masa
Girindrawardhana) adalah sebagai serangan balasan terhadap
Girindrawardhana yang telah mengalahkan kakek Adipati Yunus, yaitu Bhre
Kertabumi (Prabu Brawijaya V). Lihat Marwati Djoenoed Poesponegoro dan
Nugroho Notosusanto. Sejarah Nasional Indonesia. Jilid II. Cetakan V. (PN. Balai Pustaka, Jakarta, 1984). Hal. 451
[24] Prof. Dr. Slamet Muljana. Runtuhnya … Opcit. Hal. 108
[25] Sholichin Salam. Sekitar … Opcit. Hal. 13
[26] Sholichin Salam. Sekitar … Ibid.
Hal. 13. Berita dari Duarte Barbarosa yang berasal dari tahun 1518,
menyebutkan bahwa Jawa masih dikuasai kerajaan kafir yang dipimpin Patih
Udra. Lihat Marwati Djoenoed Pusponegoro dan Nugroho Notosusanto. Sejarah Nasional Indonesia. Jilid II. … Hal. 449
[27] De Graf dalam kutipan Prof. Dr. Rasjidi. Faham Tentang Islam …Opcit. Hal. 15
[28] Lihat Muhammad Yamin. Gajah Mada : Pahlawan Persatuan Nusantara. Cetakan IX. (PN. Balai Pustaka, Jakarta, 1977). Hal. 89
0 Komentar