Sebuah kitab turats (klasik) dinilai
bagus jika kitab tersebut memiliki validitas yang tinggi terhadap
manuskrip aslinya. Dalam pengantar kitab, biasanya disebut nama muhaqiq dan manuskrip yang dijadikan rujukan dalam proses tahqiq. Dan jangan heran jika banyak kitab yang merujuk manuskrip yang berada di perpustakaan Barat.
Sebagai contoh, kitab Al Adzkar, karya Imam Nawawi yang diterbitkan oleh Dar Al Minhaj
Beirut (2005), merujuk manuskrip yang ditulis oleh murid Imam Nawawi,
Ibnu Al Atthar, yang tersimpan di perpustakaan Alfred Chester Beatty,
Dublin, Irlandia. Juga kitab Fawa’id fi Naqd Al Asanid, karya Hafidz As Shuri yang diterbitkan Dar Al Kutub Al Arabi Beirut
(1987) merujuk manuskrip yang berada di Perpustakaan Musium Inggris di
London. Begitu pula Majmu’ah Al Fatawa Ibnu Taimiyah yang diterbitkan
Dar Al Wafa’ Mesir, pada tahun 2002, meurujuk kepada manuskrip
perpustaakaan Alfred Chester Baetty Irlandia.
Bukan hal yang aneh, karena ratusan ribu manuskrip
telah “diboyong” ke Barat, tatkala mereka menjajah negeri-negeri muslim.
Koran Sarq Al Ausath (14/3/2004) menyebutkan bahwa ada 15.000
manuskrip Arab yang berada di Perpustakaan Musium Inggris. Prof. Dr.
Muhammad Isa As Shalihiyah dalam bukunya Taghrib Turats Al Arabi baina Ad Diblumasiyah wa At Tijarah
(Pembaratan Karya Klasik Arab, antara Diplomasi dan Perdagangan)
menyatakan, “Lebih dari 30 dari 72 ruangan yang berada di Musium Inggris
berisi peninggalan Mesir yang dicuri, begitu juga di Perancis, walau
tidak sebanyak itu”. Beliau juga mangatakan bahwa Musium Inggris ada
setelah didirikan armada Inggris dan sejumlah pasukan perang negara itu
membawa turats dan benda-benda bersejarah, bahkan mereka tidak segan-segan memerangi rakyat, untuk memperolehnya.
Harian Al Wathan (4/4/2005), juga melansir tentang
manuskrip-manuskrip Yaman yang diselundupkan keluar, yang terjadi antara
abad 19 hingga 20. Menurut data resmi, ada sekitar 10.000 manuskrip
Yaman berada di Perpustakaan Miroziyana Italia, dan 3000 manuskrip
berada di Perpustakaan Kongres Amerika, 2000 manuskrip di Perpustakaan
Musium Inggris.
Abdul Lathif Zaki Abu Hashim, Direktur Urusan Turats
di Kementrian Wakaf Palestina juga menyatakan bahwa Perpustakaan
Nasional Paris juga penuh dengan manuskrip hasil curian, yang berasal
dari Mesir, Syiria dan Libanon. Serta sejumlah perpustakaan di Spanyol
dipenuhi dengan manuskrip dari Andalusia. Nampaknya Barat paham akan
pentingnya benda-benda itu bagi umat Islam.
Khusus, tentang kasus pencurian manuskrip di Iraq, Dr. Ushamah Naqsabandi menulis di Majalah Turatsiyat (edisi
Juli, 2006) tentang “serial” penyelundupan manuskrip ke luar negeri
seribu satu malam itu, yang sudah berjalan sejak abad 17. Kasus kejadian
yang paling heboh, adalah hilangnya 1200 manuskrip dari Iraq dan
berpindah ke Perpustakaan Musium Inggris, yang dilakukan oleh Wilson
Bettj, seorang pelancong Inggris. Pada tahun 80-an pihak Iraq telah
berusaha meminta kembali manuskrip-manuskrip itu, walau akhirnya gagal.
Hal yang sama dilakukan oleh Fr. Marteen dari Swedia di akhir abad 19, manuskrip-manuskrip
itu diwanya hingga ke Boston Amerika, lalu setelah itu, nampaknya ia
mulai menikmati hasil curiannya, hingga ia berprofesi sebagai penjual
manuskrip dan benda-benda bersejarah di Eropa pada awal abad 20.
Pada tahun 1973, koran Karkuk menurunkan sebuah
tulisan tentang seorang warga Libanon yang ditemani beberapa orang Iraq
yang memahami masalah manuskrip yang berhasil mengirimkan manuskrip
dalam jumlah besar ke Universitas Princeton New Jersey.
Direktur Dar Mahtuthat Iraqiyah tersebut juga menyebutkan di koran Mesir Al Ahram
(14/11/2004), bahwa ketika Amerika mengancam hendak menyerang Iraq pada
tahun 1991, pencurian manuskrip mulai terjadi, sekitar 364 manuskrip
hilang, termasuk beberapa mahthuthat langka, seperti Sihr Al Balaghah dan Sir Al Bar’ah
karya Imam Tsa’labi yang ditulis pada 482 H. Tidak hanya itu,
manuskrip-manuskrip yang berada di perpustakaan Fakultas Adab
Universitas Baghdad juga banyak yang hilang. Benda-benda berharga itu
hendak diselundupkan ke luar, tapi di perbatasan usaha itu digagalkan
dan pelakunya yang berkebangsaan Brazil dan Yordania tertangkap.
Ketika Amerika menduduki Iraq, mahthuthat
semakin terancam. Bukan hanya pencuri yang menginginkan manuskrip,
tentara Amerika sendiri berusaha mengambilnya. Dr. Usamah menuturkan,
bahwa tentara Amerika berupaya menjebol pintu gudang, temapat
penyimpaman manuskrip, setelah manuskrip diselamatkan sejak 4 bulan
sebelum peperangan. Mereka mencoba membakar pintu, akan tetapi para
penduduk sekitar mencegahnya, hingga mereka pergi. Tapi mereka kambali,
dengan dalih bahwa tempat itu adalah penyimpanan bom. Kamudian Dr.
Usamah Naqsabandi akhirnya membuka tempat itu, dengan disaksikan para
wartawan internasional, untuk membuktikan bahwa bangunan itu adalah
tempat penyimpanan manuskrip. Akan tetapi keesokan harinya para serdadu
itu kembali dan hendak mengambil manuskrip-manuskrip yang
berada di 70 peti itu untuk di bawa ke kamp militer mereka, akan tetapi
masyarakat menghalangi dan mengepung pemimpin mereka, hingga mereka
pergi untuk kedua kalinya.
Tapi, tidak sedikit manuskrip yang hilang, hangus, atau hancur karena ulah penjajah dan para mafia benda-benda bersejarah. Mafkarah Al Islam
(20/4/2003) melansir, bahwa pasukan Amerika dan Inggris juga ikut
mencuri benda-benda bersejarah di Musium Nasional Iraq, serta membakar
beberapa perpustakaan yang berisi manuskrip. Para saksi mata yang enggan
disebut namanya (karena alasan kemanan), mengatakan bahwa paesukan
Amrika dan Inggris dengan membawa beberapa tank mendatangi Musium
Nasional Iraq, lalu mengambil benda-benda bersejarah, baru setelah itu
para penjarah ikut beraksi dengan penjagaan tentara Amerika dan Inggris.
Saksi itu mengatakan bahwa sekitar 17 ribu benda berharga yang menjadi
saksi sejarah dan peradaban Iraq telah hilang dari museum itu.Begitu
juga Perputakaan Waqaf Baghdad yang memiliki menuskrip langka terbakar
habis.
Seakan-akan kurang sempurna bagi Barat, jika
kekayaan intelektual umat Islam di Iraq tidak musnah total. Disamping
terjadi penjarahan terhadap Musium Nasional, Al Jazeera (17/3/2004) telah menyebutkan, bahwa Dar Al Kutub wa Al Watsaiq,
perpustakaan yang penuh dengan manuskrip juga menjadi sasaran
penghancuran dan penjarahan. Di tempat yang sudah hancur itu, dulu
tersimpan dokumen sejarah Iraq sejak masa Utsmani, penjajahan Inggris,
karajaan, hingga Iraq menjadi negara republik. Total, jumlah dokumen
bersejarah yang tersimpan di tempat itu sekitar 17 juta.
Sebenarnya Koichiro Matsura, kepala UNESCO, pernah
malakukan usaha untuk menghentikan “aktivitas pemusnahan” terhadap
manuskrip dan dokumen sejarah di Iraq, dengan mengirim surat kepada
pemerintah Inggris dan Amerika pada tahun 2003, agar pasukan mereka ikut
andil dalam menjaga kekeyaan intelektual di Iraq, dan meminta kepada
Interpol agar mencegah penyelundupan benda-benda bersejarah dan
manuskrip, akan tetapi hal itu tidak berarti sama sekali.
Sampai saat ini manuskrip Islam diperjual belikan
secara terang-terangan. Hingga kita bisa melihat di internet: “Dijual,
sebuah manuskrip dengan sampul kulit, dengan ukuran sedang, dari
Andalusia, tahun 581 H, Syama’il Muhamadiyah, karya Tirmidzi, harga
25000 dolar Amerika, negara Maroko”.

0 Komentar