MASIH ingat pernyataan mantan Presiden AS,
George W Bush tiga bulan pasca tragedi 9/11 di WTC dengan menyatakan
bahwa perang Salib akan berjalan lama. "This Crusade, this war on terrorism, is going to take a long time." (Perang Salib dan perang melawan terorisme ini akan memakan waktu yang lama, BBC 16 September 2001).
Awalnya, ada yang berharap setelah terbunuhnya Usamah bin Ladin,
Amerika akan menghentikan perangnya di Afghanistan. Bukankah alasan
Amerika melakukan intervensi untuk membunuh Usamah? Namun kenyataannya
tidaklah seperti itu. Obama menegaskan kembali bahwa perang ini belum
juga berakhir.
Apalagi kalau memperhatikan pernyataan Tom Ridge mantan Sekretaris
Keamanan Dalam Negeri Amerika dalam editorial The Washington Times
(05/5/2011) saat mengomentari terbunuhnya Usamah bin Ladin dia
mengatakan, “we killed the man but not the ideology.”
Artinya yang menjadi sasaran perang ini jelas adalah ideologi Islam
yang berseberangan dengan nilai-nilai liberal yang dianut oleh Amerika
Serikat. Menurutnya, ini adalah medan pertempuran, perang ide, way of life (cara pandang hidup) Islam dan Amerika yang tidak bisa berdamai dan hidup berdampingan.
Pernyataan mantan pejabat tinggi senior Amerika Serikat ini bukanlah
dongeng yang dibuat-buat dan bukan pula hal yang baru. Semua ini
menunjukkan permusuhan abadi Barat terhadap dunia Islam bersifat agama
dan peradaban yang telah berakar dalam hati dan pikiran Barat. Barat
membangun semua hubungan ini atas dasar Perang Salib. Barat tak ingin
umat Islam bangkit kembali.
Perang Salib sendiri berawal dari seruan Paus Urbanus II pada tahun
1095 di Clermont, Prancis, tepat pada bulan November. Seruannya
membahana di seantero jagat wilayah Eropa. Masyarakat Eropa menyambut
antusias dan dengan semangat yang telah membara mereka menyiapkan bekal
sendiri guna keberangkatan ke medan laga dengan rela menjual
barang-barang berharga miliknya.
Ceramah Paus Urbanus didasari permintaan bantun Byzantium (Romawi
Timur) kepada Paus. Permintaan bantuan berupa kiriman pasukan perang
dimaksudkan untuk menghadapi pasukan Turki yang sering menyerang
wilayahnya. Permintaan inilah yang menjadi momentum mengumumkan perang
total terhadap pasukan Islam demi merebut Al-Quds. Raymond of
Saint-Gilles, Godfrey de Bouillon, Bohemond of Taranto, Baldwin, dan
Tancred, merupakan sederet nama panglima perang pasukan Salib.
Setelah serangan bertubi-tubi ke jantung pasukan Islam, maka pada
tahun 1099 atau 4 tahun setelah pengumuman perang Paus Urbanus II,
Al-Quds jatuh ke tangan pasukan Kristen. Bersamaan dengan jatuhnya
Al-Quds pula. Menurut sejarah, tidak kurang dari 70.000 orang Islam yang
menghuni wilayah Al-Quds tewas dibantai.
Kekalahan ini membawa duka mendalam di hati umat Islam yang kala itu
sibuk dengan debat dalam masalah mazhab, perebutan kekuasaan, yang
menyebabkan saling berperang, saling bersaing, dan saling bermusuhan.
Panglima Shalahuddin dan Nuruddin Zanki
Usaha menyatukan umat Islam dimulai dari penguasa Mossul dan Halab
(Aleppo), Imaduddin Zanki. Gerakan ke arah pembebesan yang lebih
intensif dilakukan oleh putranya, Nuruddin Zanki.
Dalam sejarah Perang Salib, kaum Muslimin sangat mengenal sosok
pejuang Shalahuddin al-Ayubi dibanding Nuruddin Mahmud Zanki ini.
Namanya tak setenar Shalahuddin, sang pembebas kota Yerussalem dari
kekuasan pasukan Salib. Meski demikian, Nuruddin-lah yang pertama kali
menggelorakan semangat perjuangan itu.
Menurut penulis, Alwi Alatas, upaya Nuruddin Mahmud Zanki membuat
umat Islam sadar atas kesalahan dan kelemahan dilakukan dengan
menjauhkan pasukannya dari menenggak minuman keras, memerintahkan mereka
untuk berkonsentrasi penuh dalam membebaskan Al-Quds dari cengkraman
tentara Salib, menghindari konflik dengan sesama umat Islam, menyatukan
wilayah-wilayah Islam yang tercecer di Suriah dengan lemah lembut
sehingga menarik simpati publik secara luas, dan menerapkan pola
kepemimpinan yang amanah, jujur, dan adil.
Seorang ulama Qutbuddin Annisaburi begitu khawatir akan keberanian
Nuruddin dengan mengatakan, "Demi Allah, jangan gadaikan nyawamu dan
Islam. Jika Anda gugur dalam peperangan, maka tidak seorang pun kaum
Muslimin yang tersisa pasti akan terpenggal oleh pedang,” ujar
Qutbuddin.
Maka ia pun menjawab, “Siapa Nuruddin itu, sehingga ia dikatakan
demikian? Mudah-mudahan karena (kematian) ku, Allah memelihara negeri
ini dan Islam. Itulah Allah yang tiada Tuhan yang berhak disembah dengan
hak melainkan Dia.”
Nuruddin adalah pemimpin yang selalu optimis. Pembebasan Baitul
Maqdis di Yerusalem dari genggaman pasukan Salib adalah hal yang paling
didambakannya. Hingga tahun 569 H/1173 M, kerja keras Nuruddin untuk
menyatukan kekuatan umat Islam yang terkotak-kotak dalam
kerajaan-kerajaan kecil mencapai puncaknya. Berbagai pertempuran dahsyat
antara umat Islam yang dipimpinnya dengan pasukan Salib kerap terjadi.
Berbagai serangan yang dilakukannya berhasil melemahkan pasukan Salib
hingga terpecah belah.
Walhasil, sekitar 50 kota dan benteng yang sebelumnya
dikuasai pasukan Salib berhasil direbut. Pada 570 H/1174 M, kekuatan
Islam telah terbentang dari Iraq ke Suriah, Mesir, hingga Yaman. Saat
yang dinanti-nanti untuk merebut Baitul Maqdis pun kian dekat. Namun
takdir Allah SWT berkata lain. Nuruddin meninggal akibat penyakit
penyempitan tenggorakan. Kepemimpinan kemudian dipikul muridnya,
Shalahuddin al-Ayyubi.
Siapa Shalahuddin dan siapa Nuruddin Zanki?
Untuk melihat lebih jauh perjalanan mereka, kami mengundang
rekan-rekan santri/mahasiswa/pelajar/seluruh kaum Muslimin mengikuti
acara bedah buku “Nuruddin Zanki dan Perang Salib” Ahad, 16
Desember 2012, pukul 08.00 sampai 11.00 WIB di Pondok Pesantren
Daruttauhid, Jalan Gajayana - Sunan Ampel III no 10 Malang (Utara UIN
Maliki Malang).
Bedah buku ini diharapkan dapat membuka wawasan dan menambah ilmu
tentang sejarah masa lalu yang sarat dengan heroisme, pengorbanan, dan
perjuangan. Raih Amal Saleh dengan ikut menyebarkan informasi ini.
Semoga Allah membalas amal dengan balasan yang baik. *


0 Komentar