SEBAGAI orang yang nyaris 25 tahun menetap di Belanda, saya sering
ditanya tentang masa lampau Belanda di Indonesia. Ada pertanyaan menarik
seperti adakah bekas-bekas masa lampau itu terlihat di Belanda? Ada
pula pernyataan langsung seperti “Apakah Belanda sampai 350 tahun
menjajah Indonesia?” Bagi saya, itu tidak terlalu menarik.
Apakah benar Belanda menjajah selama itu?
Ayo kita hitung. Apakah kita harus bersetuju bahwa Belanda mulai
menjajah Indonesia bersamaan dengan berdirinya VOC pada 1602? Mungkin
karena tidak tahu versi angka tahun lain, biasanya langsung dijawab
setuju. Ada pula versi yang mengatakan penjajahan dimulai pada 1596,
ketika kakak beradik De Houtman tiba di Banten. Tapi itu pun sulit
disebut sebagai awal penjajahan Belanda, karena Cornelis de Houtman cuma
melakukan penjajakan. Belanda belum benar-benar menjajah. Jika awal
penjajahan tahun 1602 ditambah 350, kita baru merdeka pada 1952.
Bagaimana dengan proklamasi 17 Agustus 1945 dan pengakuan Belanda pada
kedaulatan Indonesia pada 27 Desember 1949?
Sebenarnya banyak sekali dampak buruk kolonialisme Belanda di Indonesia.
Tapi, mengapa kita selalu menekankan lamanya kolonialisme yang justru
tidak benar itu? Ini bukti betapa kita benar-benar buta sejarah, selain
akibat ulah Orde Baru menghapus sejarah, mereduksinya hanya sebagai
angka tahun dan peristiwa belaka. Sejarah sebagai narasi tentang
perubahan, pergeseran dan perkembangan pemikiran tetap asing bagi kita.
Bagaimana sebaiknya melihat penjajahan Belanda serta pelbagai macam
aspek negatifnya? Pernyataan “Belanda menjajah Indonesia selama 350
tahun” mengandung banyak ketidakbenaran dan salah persepsi. Tidak ada
satu pun wilayah Indonesia yang benar-benar dijajah selama 350 tahun.
Maluku dan Banten/Jakarta sebagai markas besar VOC mengalami penjajahan
maksimal selama 340 tahun. Bahkan Maluku atau Ambon baru Belanda kuasai
pada 1630, kalau dihitung dari 1602 sampai 1942 ketika Jepang masuk,
Belanda jelas sudah tidak efektif lagi menguasai Nusantara.
Selain Banten/Jakarta dan Maluku, Belanda bertahap menundukkan
wilayah-wilayah Nusantara. Kebanyakan baru berlangsung pada abad ke-20
ketika kolonialismenya bercorak Politik Etis. Sisi lain Politik Etis
yang bertujuan mendidik kaum inlanders, oleh orang Belanda disebut
sebagai pacificatie, gampangnya penaklukan wilayah-wilayah luar Jawa.
Aceh baru ditaklukkan pada 1904 –bahkan Belanda baru sepenuhnya berkuasa
pada 1912–, dan Bali dikuasai pada 1906. Dengan begitu Aceh maksimal
dijajah Belanda selama 38 tahun dan Bali selama 36 tahun.
Artinya, kita tidak bisa pukul rata bahwa seluruh wilayah Indonesia
dijajah Belanda selama 350 tahun. Kalau itu tetap dilakukan, kita akan
keliru memahami perjuangan orang-orang Aceh dan Bali yang mempertahankan
wilayahnya dari pendudukan Belanda. Kita juga akan salah memahami
kepahlawanan Tjoet Njak Dien, karena dia mati-matian mempertahankan
kemerdekaan dan kedaulatan Aceh. Bukan karena Tjoet Njak memberontak
terhadap (penjajahan) Belanda. Waktu itu, Aceh belum dikuasai Belanda.
Sampai akhir abad ke-19 Aceh merupakan sebuah negara berdaulat, bahkan
memiliki duta besar di Turki. Bukankah dengan menganggap Indonesia
dikuasai Belanda selama 350 tahun berarti kita juga menganggap Aceh
sudah lama dikuasai Belanda, sehingga Kesultanan Aceh dan perlawanan
Tjoet Njak Dien kehilangan maknanya.
Kesalahan lain adalah menyebut “Indonesia”. Seolah-olah Indonesia sudah
lama ada dan dijajah Belanda selama 350 tahun. Indonesia baru lahir pada
17 Agustus 1945. Sebelum itu adalah Hindia Belanda, dan sebelumnya pada
abad ke-19 adalah Kesultanan Aceh, Kerajaan Bone, Kerajaan Klungkung,
dan lain-lain. Indonesia sebagai sebuah negara, belum ada.
Ada pula pendapat yang menampilkan Belanda sebagai penjajah yang tidak
mengalami perubahan dalam kurun waktu tiga setengah abad. Ini jelas
tidak benar. Yang mulai menjajah sebenarnya adalah sebuah perusahaan
multinasional bernama VOC atau gampangnya Kumpeni. Selama abad 17 dan
18, Belanda merupakan republik. Ketika VOC bangkrut, jajahannya diambil
alih oleh Belanda yang masih belum bercorak monarki. Kemudian muncul apa
yang disebut interregnum (penguasaan sela) Inggris pada awal abad ke-19
dengan Sir Thomas Stanford Raffles sebagai gubernur jenderal. Pada
waktu itu Belanda sendiri dijajah oleh Napoléon.
Ketika Belanda merdeka dari jajahan Prancis dan berubah menjadi kerajaan
serta Inggris mengembalikan Nusantara, Belanda benar-benar menguasai
Indonesia pada 1813. Tak lama kemudian dengan memberlakukan Tanam Paksa,
alam dan rakyat Jawa langsung dijadikan sapi perahan. Sebagai kerajaan,
wilayah Belanda masih mencakup wilayah Belgia. Keduanya masih satu
kerajaan. Bahkan salah satu gubernur Hindia Belanda pada awal abad
ke-19, Leonard du Bus de Gisignies, adalah orang Belgia. Jangan-jangan
ini berarti kita juga pernah dijajah Belgia? Pada 1830 Belanda kembali
mengalami perubahan karena Belgia memisahkan diri.
Nah, kalau hanya menyebut Belanda menjajah Indonesia selama 350 tahun,
selain jangka waktu itu salah, pelbagai perubahan penting yang terjadi
di Belanda selama kurun waktu tiga setengah abad akan luput dari sudut
pandang kita. Bagaimana membicarakan kolonialisme Belanda tanpa terjebak
dalam pelbagai kesalahan tadi? Jangan khawatir: tanpa menyebut
durasinya, kita masih tetap bisa menuding banyak keburukan kolonialisme
Belanda di Indonesia. Salah satunya, dan ini jarang sekali diungkap
orang adalah Tanam Paksa.
Orang Belanda sendiri mengakui betapa Tanam Paksa merupakan cara
menyedot kekayaan dari wilayah jajahan. Bahkan sampai Cees Fasseur pun,
sejarawan konservatif Belanda, mengakui hal itu. Katanya, berkat apa
yang disebut Indische baten (keuntungan Hindia), Belanda bisa membangun
jaringan kereta api yang sampai sekarang masih dipergunakan. Demikian
pula dua jalan air penting Belanda, Noordzeekanaal dan de Nieuwe
Waterweg, dibangun dengan keuntungan Hindia itu.
Anehnya, walaupun sudah mengakui keburukan Tanam Paksa, orang Belanda
tetap saja menggunakan istilah Cultuurstelsel yang tak lain adalah
bahasa pejabat pada abad ke-19 ketika politik memaksa petani Jawa ini
dilancarkan. Ini juga bisa kita tudingkan pada mereka. Kalau sudah tahu
buruknya, mengapa tidak menggunakan istilah Tanam Paksa saja yang dalam
bahasa Belandanya adalah gedwongen coffieteelt? Di Belanda, baru Jan
Breman yang menggunakan istilah ini. Pakar sosiologi pedesaan ini
sekarang terlibat dalam polemik sengit dengan Cees Fasseur soal Tanam
Paksa. Fasseur berpendapat, walaupun dirugikan, tapi petani Jawa masih
sedikit memperoleh manfaat Tanam Paksa ketika hasil panen mereka dijual
ke pasar internasional.
Breman tidak setuju, integrasi ke pasar dunia itu menurutnya malah
memiskinkan. Mengutip seorang pejabat kolonial yang mbalelo, Breman
dalam buku terbarunya mengenai Tanam Paksa di Pasundan menulis bahwa
petani Zeeland (Belanda tenggara) pasti tidak akan mau kalau hasil
panennya dijual di bawah harga pasar. Lebih dari itu, pelbagai
pembatasan lain yang diterapkan penguasa kolonial terhadap warga
beberapa desa Pasundan pada abad ke-18 merupakan semacam laboratorium
untuk mengembangkan apartheid yang pada abad ke-20 berlaku di Afrika
Selatan.
Hal lain yang bisa kita tudingkan ke hidung orang Belanda adalah
kenyataan bahwa mereka tidak pernah mengakui proklamasi kemerdekaan 17
Agustus 1945. Bagi Belanda, Indonesia baru merdeka pada 27 Desember
1949, ketika Den Haag menyerahkan (bagi kita mengakui) kedaulatan
Republik Indonesia Serikat dalam sebuah upacara di Istana De Dam,
Amsterdam. Beda lima tahun itu adalah upaya gagal mereka merebut kembali
Indonesia yang sudah memproklamasikan kemerdekaannya. Baru pada 2005,
ketika hari ulang tahun proklamasi ke-60, Menteri Luar Negeri Belanda
Bernard Bot hadir pada upacara detik-detik proklamasi. Sebagai menlu
pertama Belanda yang hadir pada upacara itu, dia menyatakan mengakui
secara moral proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945. Pernyataan ini
tidak tegas dan sangat mengambang.
Apa maksudnya “mengakui secara moral” itu? Mengapa tidak langsung saja
mengakui proklamasi kemerdekaan kita? Ada yang menafsirkan ucapan
semacam ini tidak lebih dari tameng untuk melindungi negara (tentu saja
negara Belanda) dari kemungkinan tuntutan pengadilan yang diajukan
kalangan bekas pegawai negeri Hindia Belanda. Selama penjajahan Jepang
misalnya pemerintah Belanda tidak menggaji mereka lagi. Padahal mereka
belum dipecat sebagai pegawai negeri. Dihalangi oleh
kemungkinan-kemungkinan semacam ini Belanda pada akhirnya tidak pernah
bisa tegas dan jelas dalam berhubungan dengan Indonesia. Rasanya seperti
maju kena, mundur kena.
Melalui dua contoh di atas –sebenarnya contoh itu masih banyak– kita
diajak untuk melek sejarah supaya paham, sadar dan bisa menerima bahwa
dalam sejarah tidak ada yang statis dan tidak berubah. Indonesia baru
lahir setelah Proklamasi 17 Agustus, sebelum itu Indonesia adalah Hindia
Belanda yang dijajah Belanda. Tetapi selama penjajahan itu banyak
terjadi perubahan dan itu bukan hanya berlangsung di Hindia Belanda
melainkan juga di Belanda.
Sekarang Indonesia sudah merdeka, akankah perubahan itu berhenti seperti
sering kita dengar dalam slogan NKRI harga mati? Silahkan memikirkan
dan menjawabnya sendiri. Yang jelas Timor Timur sekarang sudah jadi
Timor Leste, itu karena Orde Baru sudah jatuh. Mungkinkah kita
menghentikan perubahan. Yang pasti, sejarah sebagai penjelas masa kini
yang juga berarti perubahan, pergeseran dan perkembangan pemikiran tetap
asing bagi kita.[JOSS WIBISONO/KONTRIBUTOR, peneliti tamu pada Pusat Kajian Asia Tenggara Universitas Kyoto, Jepang]
Sumber: http://www.majalah-historia.com
0 Komentar