Header Ads Widget

Responsive Advertisement

Ticker

6/recent/ticker-posts

Kasman Singodimedjo: Pejuang Islam yang Kritis


Tokoh Muhammadiyah yang berani melawan penguasa. Peletak dasar beberapa lembaga negara di masa awal kemerdekaan.

Pertemuan malam itu di Seibu Honbu (Markas Kemiliteran Tertinggi Jepang Jawa Barat), di Bandung, Jawa Barat, berlangsung singkat. Para komandan batalyon (Daidancho) Pembela Tanah Air (PETA) seluruh Jawa dan Madura dikumpulkan di tempat itu hanya untuk mendengar pengumuman dari Jenderal Mayor Mabuchi: Jepang sudah kalah. Mereka diminta menyerahkan semua persenjataan yang ada kepada militer Jepang.

Selesai pertemuan pada 16 Agustus 1945 itu, Kasman Singodimedjo, Daidancho Jakarta, mengadakan rapat gelap bersama 20 Daidancho lainnya di sebelah utara Hotel Kooa, tempat mereka menginap. Sebagai Daidancho paling senior, Kasman meminta mereka untuk mengabaikan perintah pelucutan senjata tersebut. Namun, tidak semua setuju dengan usul tersebut.

Mendengar itu, Kasman mengeluarkan sikap tegas. “Barang siapa yang menyetujui gagasan saya, silahkan melaksanakan tugas tersebut. Tetapi mereka yang tidak menyetujui, jangan merintangi. Barang siapa merintangi, saya tembak !”, ujar Kasman seperti dikutip dari bukunya, Hidup Itu Berjuang, Kasman Singodimedjo 75 tahun, yang diterbitkan Bulan Bintang, 1982.

Syafii Maarif, mantan Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah, menilai hal itu menunjukkan keberanian Kasman melawan Dai Nippon. “Dia nyalinya besar sekali dan dia tidak takut pada siapa saja. Kasman hanya takut kepada Tuhan,” ujarnya kepada Prioritas Senin pekan lalu.

Keberanian Kasman akhirnya menjadikan PETA cikal bakal Badan Keamanan Rakyat (BKR) pada 23 Agustus 1945. Di bawah kepemimpinan Kasman, BKR menggunakan senjata- senjata peninggalan Jepang itu untuk perjuangan organisasi. Dia juga menata organisasi dan kepangkatan bekas anggota PETA yang diperkirakan 80 ribu orang pasukan dan 400 ribu tenaga paramiliter di seluruh Indonesia.

Peran Kasman tak hanya di dunia kemiliteran. Sebelumnya, pria kelahiran Purworejo, Jawa Tengah, 25 Februari 1904, ini merupakan salah satu anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), yang menetapkan konstitusi negara yaitu Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Kasman yang juga warga Muhammadiyah, dianggap salah satu pelobi yang berhasil meyakinkan Ki Bagoes Hadikoesoemo, Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah saat itu, untuk menghapus tujuh kata dalam Preambule UUD 1945 : “….dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemelukpemeluknya.”

Tak lama setelah sidang PPKI usai, dibentuk Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP), semacam legislatif sementara, untuk menetapkan aturan peralihan dalam UUD 1945. Dalam rapat 29 Agustus 1945, Kasman dipilih sebagai Ketua KNIP. “Dia jadi ketua karena diterima semua pihak,” ujar AM Fatwa, yang mengaku sebagai anak didik ideologis Kasman.

Pada 15 Oktober 1945, putera Singodimedjo, seorang Modin (Muadzin), ini menyerahkan jabatan tersebut kepada Sutan Sjahrir. Setelah KNIP, Kasman lebih banyak bertugas dalam bidang hukum yang menjadi keahliannya. Peraih titel Meester in de Rechten (Mr) dari Rechts Hoge School atau Sekolah Tinggi Hukum ini kemudian diangkat menjadi Jaksa Agung pada 6 November 1945. Meskipun bukan jaksa agung pertama, Kasman dinilai sebagai peletak dasar institusi kejaksaan.
Wakil delegasi MII barisan paling depan Kasman Singodinejo (kedua kanan) di Amstel Hotel, Nederland.

Kasman berhenti bertugas di Kejaksaan Agung, pada 10 Mei 1946. Dia kemudian sempat menduduki beberapa jabatan di pemerintahan. Di antaranya, menjadi Kepala Urusan Kehakiman dan Mahkamah Tinggi pada Kementerian Pertahanan Republik Indonesia dengan pangkat Jenderal Mayor.
Setelah absen menjadi pejabat beberapa tahun, Kasman terpilih menjadi anggota Majelis Konstituante. Dia lantas menjadi Ketua Fraksi Islam, gabungan dari anggota Partai Masyumi, Partai Nahdlatul Ulama, Partai Syarikat Islam Indonesia, dan Partai Islam Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti). Belakangan, jejak politiknya di Indonesia lebih banyak bersama Partai Masyumi. “Itu pilihan politisnya sesuai dengan keyakinan ideologinya. Apalagi pada saat itu Masyumi merupakan partai modern yang membela demokrasi dan konstitusi,” ujar Maarif.

Konsistensi sikapnya untuk membela demokrasi dan konstitusi, kata Maarif, mengakibatkan dia mengakhiri bulan madu dengan Bung Karno. Kasman ditahan karena pidatonya yang kritis terhadap pemerintahan Soekarno, di Magelang, pada 31 Agustus 1958. Tuduhannya, dia dinilai menyelewengkan Pancasila, merongrong kekuasaan negara dan mengajak orang untuk memusuhi pemerintahan Soekarno.
Akibat penentangannya itu, dia dipenjara selama beberapa tahun. “Dia melawan Soekarno karena dianggap otoriter,” kata sejarawan Anhar Gonggong, kepada Prioritas, Senin pekan lalu. Menurut Anhar, Kasman juga melawan kepada Soekarno ketika Partai Masyumi dibubarkan. Upaya pembubaran ini terkait adanya pemberontakan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) Permesta yang diduga mendapatkan dukungan dari Partai Masyumi dan Partai Sosialis Indonesia.

Fatwa menilai perlawanan Kasman terhadap Bung Karno karena prinsip hidupnya yang selalu berani melakukan kritik terbuka ketika terjadi penyimpangan yang dilakukan penguasa. “Beliau mendidik sikap kritis dan tidak boleh berpangku tangan,” ujar Anggota Dewan Perwakilan Daerah mewakili DKI Jakarta ini.
Sikap kritisnya kepada kekuasaan terus berlanjut ketika rezim Orde Baru berkuasa. Menurut Fatwa, Kasman mengajukan Petisi 26 mengenai pemilihan umum, dan Pernyataan Keprihatinan (Petisi 50) yang mengeritik dua pidato Presiden Soeharto pada awal 1980-an.
Singa Podium
Buku karya Kasman Singodimedjo

Kata “Singodimedjo” yang tertera pada nama belakang Kasman sesuai dengan keahliannya. Dia dikenal ahli pidato yang mampu membius pendengarnya. “Kasman Singodimedjo itu biasa kita sebut Kasman singa di atas meja podium. Karena dia seorang orator ulung,” kata Syafii Maarif, mantan Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Ketika menjadi aktivis Muhammadiyah, Kasman sempat ditangkap Belanda lantaran pidatonya, pada Mei 1940. Dia menyampaikan pidato yang menegaskan bahwa perjuangan umat Islam dan Muhammadiyah adalah demi kemerdekaan Indonesia. 

Pidatonya yang berapai-api di Majelis Konstituante juga dikenang banyak orang. Ketika itu, dia dengan mudah mematahkan argumentasi yang dilancarkan petinggi Partai Komunis Indonesia (PKI) seperti Nyoto maupun Dasuki Siradj.

Tegas dan Disiplin
Dalam keluarga, Kasman Singodimedjo selalu mengajarkan kemandirian dan kedisiplinan kepada anak-anaknya. “Ia juga bersikap tegas dalam keluarga,” kata Dewi Nurul Mustaqimah, anak keenam Kasman. “Meski tegas, bapak jarang sekali marah,” Guru Besar Departemen Periodonsia Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia ini menambahkan.

Walaupun sibuk, tapi Kasman selalu membagi waktu untuk keluarga. Hampir saban pekan dia mengajak keluarga berlibur ke vila mereka di Puncak, Bogor. “Ketika kami libur sekolah, bapak mengajak kami sekeluarga untuk ikut acara partai ke daerah-daerah. Kami diajak bersosialisasi dengan masyarakat,” kata Dewi.

Seluruh anak Kasman tak ada yang mengikuti jejak sang ayah terjun ke dunia politik. “Bapak sendiri tidak pernah menceritakan pekerjaannya di bidang politik saat itu,” ujar wanita yang kini mengajar di Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Islam Yarsi, Jakarta. “Kami juga tidak pernah mau tahu dan ikut campur. Biarlah politik itu hanya menjadi urusan bapak.” Prof Dr Mr Raden Kasman Singodimejo, meninggal pada 25 Oktober 1982, di Jakarta, dalam usia 78 tahun.

Karir Kasman
Jabatan:
  • 1942-1945 : Komandan Batalyon Pembela Tanah Air (PETA) Jakarta
  • 1945 :
    • Anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia
    • Ketua Badan Keamanan Rakyat
    • Ketua Komite Nasional Indonesia Pusat
  • 1945-1946 :
    • Jaksa Agung Indonesia
    • Kepala Urusan Kehakiman dan Mahkamah Tinggi Kementerian Pertahanan
  • 1946-1947 : Kepala Kehakiman dan Pengadilan Militer Kementerian Pertahanan
  • 1947-1948 : Menteri Muda Kehakiman Kabinet Amir Sjarifuddin II
  • 1949 : Anggota Delegasi Konferensi Meja Bundar di Den Haag, Belanda
  • 1957-1959 : Ketua Fraksi Islam Majelis Konstituante
Anugerah :
  • 24 Desember 1977 : Gelar Doktor Hanoris Causa dalam Ilmu Hukum dari Universitas Muhammadiyah Jakarta

Posting Komentar

0 Komentar