Coaching Instruktur Nasional
CIN – Jakarta 7-10 Januari 1982
Oleh : Abdul Qodir Djaelani
Peranan dan partisipasi Pelajar Islam Indonesia (PII) di
dalam kebangkitan Orde Baru adalah sangat besar dan penting. Peran itu bukan
saja lahir disaat-saat gagalnya G 30 S/PKI, tetapi jauh sebelum meletusnya
kudeta komunis itu, yaitu semenjak Orde Lama yang otoriter dan komunistis
berdiri. Tetapi kesan tu hanya bisa diingat dan dihayati oleh eks aktifs PII
yang hidup di sekitar peristiwa Orde Baru itu atau aktifis-sktifis PII dewasa
ini dari informasi yang samar-samar serta terputus-putus yang diberikan oleh
pelaku-pelaku sejarah itu. Sebab secara tertulis, oleh PII atau penulis-penulis
Islam hingga saat ini hampir dapat dikatakan tidak ada.
Sebaliknya golongan-golongan lai telah menulis peranan
mereka di dalam kebangkitan Orde Baru secara berlebihan diluar proorsi yang
sebenarnya, serta tidak mau sama sekali menyebutkan peranan umat Islam, apalagi
PII. Hal ini dapat dimengerti sebab apabila peranan umat Islam atau PII
ditonjolkan sebagaimana mestinya, maka secara idiologis dan politis sangat
merugikan mereka. Karena peranan mereka di dalam kebangkitan Orde Baru sangat
kecil sekali dan tidak menentukan, jika dibandingkan dengan umat Islam atau
PII. Selai itu, apakah gerangan yang
mendorong PII untuk dapat tapil menjadi subjek di dala kebangkitan Orde Baru
itu? Apakah karena faktor lingkungan semata atau memang ada kesadaran idiologis
yang ditanamkan selama bertahun-tahun di dalam latihan-latihan yang dimiliki
PII? Secara objektif faktor-faktor lingkungan memang turut mempengarusi
penampilan PII di dalam sejarah itu, tetapi lebih besar pengaruh itu disebabkan
oleh faktor-fktor sistem training yang dimilikinya.
Pengertian
Pembicaraan tentang peranan dan partisipasi PII di dalam
kebangkitan Orde Baru, baru dapat dimulai apabila pengertian tentang stilah
genarasi atau Angkatan 66 dapat ditempatkan secara proposional sebab umumnya
orang berpendapat bahwa Angkatan 66 adalah pelopor Orde Baru (1). Sedangkan
pengertian Angkatan 66 yang ditampilkan sampai dewasa ini sangat beraneka ragam
dan bersifat sederhana sekali. AH Nasution menyatakan bahwa angkatan 66 adalah
KAMI dan KAPPI (2) sedangkan simposium Kebangkitan Semangat Enam-enam Menjelah
Tracee Baru menyimpulkannya bahwa angkatan 66 adalah sebagai pelopor generasi
muda Indonesia. (3) MPRS berpendapat bahwa angkatan 66 adalah kesatuan
kessatuan aksi dan fron Pancasila.
Dari pengertian yang beraneka ragam tentang istilah angkatan
66, maka menjadi kbur dan aneka ragam pulalah pengertian missi dari angkatan
itu. Harry Chan Silalahi, bekas pimpinan PMKRI dan sekretaris jenderl Komando
Aksi Pengganyangan (KAP) GESTAPU, menyatakan bahwa Angkatan 66 lahir dan
bergerak karena adanya bayangan yang hampir-hampir menyangkut hidup matinya
kelompok counter elit waktu itu (5).
Marsilam Simandjuntak, Ketua prsidium KAMI Jaya malahan
berpendapat bahwa gerakan 66 sebagai suatu gerakan adalah kosong (6). Sedangkan
Parakitri Tahi Simbolon, dengan nada yang sama menyatakan,” Sesungguhnya
peranan Angkatan 66 sekitar perristiwa 1966 hanyalah sampai pada taraf spontan,
insidental belaka. Itulah sebabnya tidak mengherankan kalau kesadaran mereka
baru sampai pada untutan atau serupa TRITURA. Setelah PKI dibubarkan, Kabinet
direshuffle dan harga mulai direm, makin habislah raisond’etre ini (7). Bahkan Cosmas Batubara dari Presidium KAMI
Pusat berkesimpulan bahwa dengan jatuhnya kekuasaan Orde Lama tak ada lagi yang
dituntut dari gerakan 66. Merka bkan eksekutor, sehingga tidak masuk akal
mengharapkan pelaksanaan politik selanjutnya dari mereka. (8)
Gambaran keanekaragaman tentang pengertian Angkatan 66 dan
missinya seperti diungkapkan di atas adalah akibat dari metode pengamatan yang
terbatas padahal ang nampak di atas
permukaan dan hanya sebagian dari peristiwa sejarah, khususnya pada babak
keruntuhan Orde Lama. Atau kemungkinan juga ada faktor ketidakjujuran dari para
pengamat mengena kebangkitan Angkatan 66 serta missi yang dibawanya itu,
sehingga yang diwawncaai hanya orang-orang tertentu saja, disebabkan pemegang
peran utama dari kebangkitan tersebut dipegang dari golongan lain, yang secara
idiologis dan politis berbeda dengan pengamat yang bersangkutan.
Pengungkapan suatu kebangkitan generasi baru seperti Angkatan
66 tidak dapat dilakukan secara baik, apaila pengamatn itu hanya terbatas pada
hal-hal yang mengembang di atas permukaan dn tertentu pada satu babak dari
rentetan peristiwa sejarah yang panang. Apalagi jika ditambah dengan sikap
tidak jujur, karena alasan-alasan idiologis politis.
Sebelum pembahasan tentang pengertian Angkatan 66 dan
missinya dilanjutkan, sebaiknya diletkkan secara proposional pengertia tentang
istilah angkatan dan genarasi. Menurut Selo Sumardjan, pengertian generasi
ialah generasi atau angkatan adalah suatu golongan dalam masyarakat yang mempunyai
hubungan tertentu dengan sosial orde yang ada pada suatu waktu. Maka golongan
itu belum tentu terikat pada batas umur; karena hubngan ditentukan oleh
kedudukan dan sistem yang berlaku dlam masyarakat untuk mengatur kehdupan
masyarakat. (9) Contoh dari rumusan Selo Sumardjan ini dapat dikemukakan
tentang kebangkitan Angkatan 45.
Berbicara tentang angkatan 45 tidak mungkin hanya terbatas
pada pemda-pemuda yang tergabung di
dalam Pembela Tanah Air (PETA) atau
pemuda Menteng Raya 31 dan badan-badan perjuangan pemuda lainnya serta terbatas
pada momen-momen proklamasi dan revolusi fisik tahun 1945, tetapi mau tidak mau
harus diuangkapkan pula peranan golongan tua yang memelopori lahirnya PETA dan
Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan (Dokuritsu Jumbai Coo Sakai)
yang menelorkan Pancasila, Piagam Jakarta, dan Rancangan Undang-undngDasar 1945
serta Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia yang melahirkan teks Proklamasi
dan membacakannya pada tanggal 17 Agustus 1945, mengesahkan Rancangan
Undang-undang Dasar 1945 menjadi Undang-undang Dasar Republik Indonesia,
memilih Soekarno menjadi Presiden dn Mohammad Hatta menjadi Wakil Presiden.
Dari informasi sejarah kebangkitan 45 ini dapat dsimpulkan
bahwa Angkatan 45 adalah angkatan yang melepaskan diri dari penjajahan dan
membentuk Orde Baru yaitu Orde Indonesia Merdeka, yang dilakukan oleh hampir
seluruh potensi rakyat Indonesia. Jadi Angkatan
45 tidak identik dengan generasi muda atau pemuda-pemuda yang tergabung
di dalam badan-badan perjuangan militer seperti yang lahir pada akhir-akhir
ini.
Pemuda dalam revolusi 45, menurut Ongkokham haus dijelaskan
sebagai mereka yang mempunyai sikap-sikap politis dan budaya tertentu tanpa
batas umur. Pemuda harus dilihat sebagai istilah politis 10.
Seperti tergambar dengan jelas di dalam sejarah kebangkitan
Angkatan 45, bahwa ia tidak lahir secara spontan begitu saja Jepang bertekuk
lutut kepada sekutu, tetapi dipersiapkan jauh ebelumnya, baik dalam badan
perjuangan militer seperti PETA, Hizbullah maupun badan perjuangan politik
seperti Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan dan Panitia
Persiapan Kemerdekaan Indonesia. Tanpa kelahiran badan-badan perjuangan ini
tidak mungkin Indoensia ‘merdeka’ bisa diproklamirkan pada tanggal 17 Agustus
1945.
Dengan alasan-alasan ini, maka pengertian ‘Angkatan 66 dan
missinya’ baru bisa dimengerti apabila latar belakang kelahiran Angkatan 66 itu
diungkapkan serta analisanya tidak terbatas paa momen-momen dari satu babak
sebelumnya sebagai rangkaian sejarah yang berjalin berkelindan satu dengan
lainnya.
Sikap anti Komunis yan meledak begitu G 30 S?PKI gagal,
seperti ditampilkan oleh apel Akbar tanggal 3 Oktober 1965 di halaman gedung
Fron Nasional Jalan Merdeka Selatan 13 Jakarta, yang dibanjiri oleh puluhan
ribuan pemuda, mahasiswa, pelajar Islam anggota PII yang diteruskan dengan
pawai keliling kota dengan spanduk-spanduk besar yang berbunyi antara lain
“Ganyang Bandit (Soebandrio-Aidit) G 30 S”, “Tndang Soebandrio.” Kemudian
tanggal 4 Oktber 1965, bertempat di Taman Sunda Kelapa Jakarta, di
selenggarakan rapat umum Komando Aksi Pangganyangan (KAP) Gestapu, yang diadiri
oleh ratusan ribu massa rakyat umumnya kaum Muslimin.
Bersamaan dengan itu massa PII yan dibantu dengan mssa GP
Anshor menghancurkan gedung CC-PKI. Semenjak itu sampai tanggal 20 Oktober
1965, massa PII secara berturut-turut menhancurkan gedung Pemuda Rakyat,
SOBSI, LEKRA, Universitas Ali Archam dn lain-lain, jauh sebelum Kesatuan
Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) terbentuk 25 Oktober 1965, bukanlah sekadar
spontanitas praktis karena 7 orang jenderal Angkatan Darat terbunuh, tetapi
suatu manifestasi dari sikap anti Komunis yang semenjak lama telah ada di dalam
dada kaum Muslimin.
Sebagaimana dicatatt oleh sejarah bahwa Majelis Syuro
Muslimin Indonesia (Masyumi) ebagai salah satu partai politik Islam terbesar di
Indonesia, di dalam muktamarnya ke-7 di Surabaya , Desember 1954 telah
memutuskan falsafah Komunisme (Historicsch matrialism) bertenangan dengan dasar
iman kepada qodrat Ilahi dan perjuangan kaum Komunis selalu menentang dan
memsuhi hukum syari’at Islam. Karenanya komunisme itu menurut hukum Islam adalah
kufur (11). Keputusan Muktamar Masyumi ke-7 tahun 1954 ini diperkuat dengan
keputusan Muktamar Alim Ulama se-Indonesia di Palembang, pada tanggal 8-11
September 1957, yang antara lain menyatakan idiologi/ajaran komunisme adalah
kufur hukumnya dan haram bagi umat Islam.
Keputusan Masyumi dan Alim Ulama ini benar-benar menjadi
landasan utama bagi kaum Muslimin Inodnesia yang secara idiologis menentang komunis dengan segala resikonya.
Dala landasan nilai Pengurus Besar PII, membuat satu tulisan yang berjudul, “TANTANGAN
MENUNTUT JAWABAN,’ di dalam pengantar
training centre PB PII tahun 1962 dimana dinyatakan bahwa komunisme dari segi
aama, ia terang-terangan memaklumkan perang terhadap semua agama.”
Sikap anti komunis kemudian muncul di kalangan anggota PII
semenjak tahun 1962 sampai runtuhnya rejim Orde Lama adalah merupakan
menifestasi dari sikap yang parsial dan bukan sikap yang bersifat insidentil
dan spontanitas.
Jadi berdasarkan fakta-fakta tersebut di atas, terbukti
bahwa sikap anti komunis yang merupakan ciri utama Angkatan 66, bukan ahir sevara
spontan dan isnidentil, tetapi telah ada sejak lama, yang terkadang bergerak di
atas permukaan dan terkadang bergerak di bawah permukaan, tergantung sistuasi
medan yang dihadapi.
Selain anti komunis, ciri utama Angkatan 66 juga adalah anti
otokrasi Soekarno. Hal ini dapat dilihat dari kesimpulan Simposium Kebangkitan
Semangat 66 Menjelajah Tracee Baru yang diselenggarakan pada 6-9 Mesi 1966
bertempat di Universitas Indonesia, dimana pada bidang sosial, poin 4
menyatakan,”Dalam sosial orde yang baru oleh Angkatan 66 tidak dikehendaki
kekuasan politik, idiologi, ekonomi dan sosial dimonopoli oleh satu golongan,
siapa saja orag atau golongan itu, karena kekuasaan –kekuasaan adalah milik
seluruh rakyat.” (14)
Sikap anti otokrasi Soekarno dilakukan secara terbuka di
tengah-tengah sidang MPRS IV berlangsung, yau dalam bentuk satu demontrasi yang
sangat besar, pada tanggal 25 Juni 1966, yang dilakukan oleh kesatuan-kesatuan
aksi dimana mereka menuntut kepada MPRS untuk menghentikan Soekarno dari
jabatan Presiden RI. Tetapi jenderal Soeharto malah menyatakan kepada massa
demontrasi itu bahwa, Soekarno masih presiden kita yang sah sesuai dengan
Undang-undang Dasar 1945. Kita mesti meghormai.” 15)
Usaha untuk menentang otokrasi Soekarno teru dilakukan,
dimana pada 16 Desember 1966, Persatuan Sarjana Hukum Indonesia (IKAHI)
mengeluarkan satu “Deklarasi Keadilan dna Kebenaran.”
Di dalam deklaasi itu diberikan ikhtisar tentang
tersangkutnya Soekarno dalam kudeta komunis 30 September 1965 itu. Dengan
mengmabil pertimbangan pasal demi pasal dari pemeriksaan Oemar Dhani sebagai
dasar utama, maka deklarasi tersebut menuntut agar diselidiki hubungan Soekarno
dengan PKI dan kudeta yang aggal itu menurut hukum yang berlaku. Kepada MPRS
dan Jaksa Agung diminta dengan sangat segera turun tangan. 16)
Gerakan untuk menentang otokrasi Soekarno eningkat dengan
keluarnya resolusi dan memorandum DPR GR tanggal 9 Pebruari 1967 yang isinya
meyatakan bahwa Soekarno bertanggungjawab atas kerusakan poitik, ekonomi, dan
akhlak serta secara langsung terlibat dengan G 30 S/PKI.17)
Sikap anti otokrasi Soekarno tidak secar amndadak setelah G
30 S/PKI gagal, tetapi telah ada setidak-tidaknya setelah ia membubarkan
Masyumi pada 17 Agustus 1960, Prawoto Mangunsasmio selaku Ketu Umum Masyumi telah
memebri kuasa masing-masing kepada Mr. Mohammad Roem Cs, dan Mr.Lukman
Wiriadinata Cs untuk melakukan gugatan kepada presiden Soekarno melalui Keua
Pengadilan Istimewa Jakarta, atas tindakan yang melawan huku yang dilakukan
Soekarno.
Berdasarkan surat kuasa dari Prawoto Mangkusasmito ini, maka
Mr. Mohammad Roem selaku pengacar yang diberi kuasa telah megajukan surat
gugatannya kepada Ketua Pengadilan Negeri Istimewa tertanggal yang 9 Setember
1960. 18)
Mohammad Hatta yang
telah mengundurkan diri dari jabatan Wakil Presiden sejak tahun 1956, mak
padatahun 1961 telah menulis satu buku kecil yang berjudul Demokrasi Kita,
dimana antara lain dinyatakan bahwa, “Dengan perubahan DPR yang terjadi
sekarang, dimana semua anggota ditunjuk oleh Presiden lenyaplah sisa-sisa
demokrasi yang penghabisa. Demokrasi terpimpin Soekarno menjadi suatu ditaktor
yang didukung oleh golongan-golongan tertentu. 19)
Buku Demokrasi Kia ni dicetak secara besar-besaran dan
diedarkan pula secara massal di masjid-masjid, di majelis-majelis ta’lim oleh
pemuda, mahasiswa, dan pelajar Islam. PII memegang peranan yang paling besar di
dalam mengedarkan buku ini, apalagi setelah keluar larangan dari Soekarno.pada
tanghal 10 Juli 1963 Gerakan Pemuda Islam Indonesia (GPII) dibuabarkan oleh Soekarno
dengan dalih bahwa beberapa angotanya terlibat peristiwa Cikini dan Idul Adha
serta GPII tidak mau mendukung Manifesto Politik dan Sosialisme Indonesia. 20)
Dengan pembubaran ini, maka pucuk
piminan GPII telah mengeuarkan memorandum tertanggal 9 Agustus 1963, yang
menyatakan antara lain bahwa tindakan pembuaran GPII adalah tindakan yang
memperksa hak-hak assi manusia dan bersifat diktatorial. 21)
Dalam situasi yang demikian, PII di dalam Konfrensi Besarnya
yang ke-7 tanggal 11-15 Oktober 1963, telah melakukan satu ikrar anti komunis
dan anti otokrasi Soekarno, yang ditanda tangani oleh segenap anggota pengurus
besar dan ketua-ketua wilayah PII dari seluruh Indonesia.
Dari informasi sejarah dapat disimpulkan bahwa sikap anti
otokrasi Soekarno, yang merupakan ciri utama yang kedua, telah ada sejak tahun
1960 dan tidak lahir secara spontan dan insidentil begit G 30 S/PKI gagal.
Dengn pembuktian ciri-ciri utama kebangkitan Angkata 66, maka tidak benarlah
anggapan bahwa Angkatn 66 lahir secara spontan tanpa missi.
Tetapi angkatan 66 adalah gerakan yang lahir secara sadar
dan memakan waktu yang cukup lama, setidak-tidaknya memakan waktu lebih dari
lima tahun dan mempunyai missi untuk mengikis habs ominasi komunis di dala
pemerintahan danmenentang otokrasi Soekarno. Dengan kata lain Angkatan 66
mempunyai misi untuk tegaknya demokrasi
dan terjelmanya kehidupan rakyat yang taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Di atas dasar pembuktian ini, maka Angkatan 66 tidak identik
dengan KAMI dan KAPPI atau fron Pancsila, tetapi Angkatan 66 adalah angkatan
yang menginginkan satu orde Baru yatu orde yang berdiri di atas landasan
demokrasi dan taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, yang telah diperjuangkan oleh
sebagan rakyat Indonesia, teruama umat Islam.
Peranan PII
Kepurtusan Presiden RI No. 200 tahun 1960 tertanggal 17
Agustus 1960 tentang pembubaran Masyumi,
23) sangat mempengaruh PII, sebab semenjak kelahirannya pada 4 Mei 1947,
PII telah menjadi anggota istimewa pendukung Masyumi. Oleh karena itu tidaklah
heran apabila musibah ini menimbulkan semangat dan kesadaran bagi PII untuk
tampil lebih dewasa seperti terlihat dengan jelas di dalam Ikrar Jakarta, yan
dikeluarkan didalam Konfrensi Besar ke-6 pada 6 Shafar 1381/23 Juli 1961 di
Jakarta, seperti antara lain berbunyi, “
Menyediakan iri menjadi abdi Allahuntuk berjuang di jalanNya dengan bentuk dan
sifat, dalam suasana dan tempat bagaimanapun juga, dengan berpegang tegh pada
prinsip-prinsip Islam.” 24).
Kesadaran dan semangat perjuangan di kalangan PII makin hari
makin matang, sehingga pada traning centre PB PII 1962 di Jakarta diputuskan
perlu adanya satu Khittah Perjuangan PII untuk periode 1962-1964. Di dalam
garis kejaksanaan umu antara lain disebutkan, “PB PII akan menjalan setiap
usaha yang idiologis mengunungkan dan tidak segan-segan menghindari setiap
langkah-langkah idiologis merugikan.” Dan didalam garis kebijakasanaan ke dalam
antara lin dinyatakan, “Betekad bulat dan berusaha sesunguh-sungguhnya agar
setiap anggota PII dari pusat ampai ke daerah menjadi kader umat Islam yang
militan dan konsekuen.” 25).
Suasana makin matang dan panas dengan keluarnya tulisan
Muhammad Natsir tenang counter indoktrinasi Usdek Manipol (percakapan antara
murid dan guru) pada awal tahun 1963, yang isinya pada dasrnya bertentangan 180
derajat dengan indoktrinasi Manipol Usdek yang dilakukan Soekarno 26). Tulisan
yang cukup telabl (28 halama) dipperbanyak dan disampaikan ke daerah-daerah
serta menjadi salah satu materi di dalam training-training PII.
Pembubabaran GPII pada bulan Juli 1963, tidak menyebabkan
PII menjadi gentar dan mundur, tetapi
malah mendorong PII untuk lebih dewasa dan berani, sehingga pada
Konfresni Besarnya yang ke-7, 11-15 Oktober 1963 di Bandung mengeluarkan satu
ikrarr komunis dan anti otokrasi Soekarno.
Akibat dari sikap-sikap ini, maka pada blan Nopember 1963,
Ahmad Djuwaini (Ketua umum) dan Jahja Sutisna (Ketua II) PB PII ditangkap oleh
Badan Pusat Intelijen (BPI). Sebagian besar anggota PII lainnya menyembunyika
diri mereka cukup lama, ada yan 6 bulan dan ada yang 2 tahun lebih, seperti
yang dialami penulis sendiri.
Walaupun ketua-ketuanya ditangkap, tetapi PII sebagai
organisasi yang militan dan dinamis tidak berhenti berjuang dan bergerak melanjtkan
Khittah perjuangnnya seperti yang telah digariskan sertakonsisten dengan tekad
untuk menentang komunis dan Soekarno yang telah diputuskan i dalam Konfrensi
Bearnya di Bandung.
Pada Januari 1965, PII mengedarkan buku/brosur “Kewaspadaan
Nasional” yang berisi topik-topik tentang:
1.
Nyono, Aidit dn Marxisme.
2.
Jiwa Para pemimpin PKI.
3.
Bahaya Subversi PKI. 27)
Brosur yang jumlahnya puluhan ribu itu disebarkan ke seluruh
tanah air hanya dalam waktu lebih satu bulan. Dan ii merupakan bukti bahwa
angota PII betul-betul cekatan dan terampil.
Sikap dan aksi-aksi menentang komunis, baik secara tertutup
maupun terbuka yang dilakukan PI, menyebabkan PKI menganggap bawa PI adalah
lawan yang serius dan harus dihadapi dengan sungguh-sungguh. Di dalam dokumen
PKI yang terungkap pada akhir tahun 1964 menyatakan bahwa PII adalah musuh yang
harus dihadapi secara khusus. Dan untuk iu Ikatan Pemuda Pelajar Indonesia
(IPPI) diharuskan menghadapinya dengan sungguh-sungguh. 28)
Usaha untuk menghancurkan PII direalisir oleh PKI denganjalan
mengerahkan 300 orang anggota Badan Tani Indonesia (BTI) dan PKI menyerbu
mental training PII di Kanigoro, Keras, Kabupaten Kediri Jawa Timur pada 13
Januari 1965, jam 04.00 dini hari. Berita selengkapnya seperti dimuat di dalam
surat kaar ‘Obor Revolusi’ Surabaya, tanggal 21 Januari 1965 sebagai berikut,”
Mental training PII diserbu 300 gerombolan liar obrak-abrik buku pelajaran,
kitab al Qur’an. Mental training (Latihan kejiwaan) PII yang diselenggarakan
waktu itu diikuti oleh 150 peserta dari seluruh Jawa Timur. Selagi mental
training tersebut berjalan 4 hari, terpaksa tidak dapat dilanjutkan sebab pada
hari Rabu, 13 Januari 1965 yang diserbu 300 orang gerombolan liar dibawah
pimpinan Suriadi (pimpnan BTI?PKI) semuanya bersenjata tajam. Sebelum merka
masuk telah membunyikan ledakan 3 kali, lalu mereka mulai menyerbu
ruangan-ruangn kuliah peserta pada waktu kuliah subuh, lalu dengan kata-kata
mengncam para peserta angkat tangan dan disuruh keluar, lalu dibagian tanganya
diikat. Setelah itu gerombolan-gerombolan tersbeut merampas semua buku-buku,
kertas-kertas, celana, baju, kain, arloji peserta dan uang.
Selanjutnya mereka menfgadakan penghinaan terhadap agama ja
masuk ke masjid dan memaksa keluar kiai masjid di desa termaksud yang disegani
oleh masyarakat setempat dengan disertai pukulan-pukulan kepada kiai tersebut.
Setelah mereka mengadakan perampasan-perampasan,
pemukulanpemukulan terhadap sebagian peserta dan kiai setempat, lalu mereka
diikat tangannya dan digiring seperti lembu ke kantor polisi. Dalam perjalan
pengiringan tersbeut mereka berkata antara lain, “Gnyang santri, ganyang
teklek, ganyang dan bunuh saja, jojoh saja, ingat peristiwa Madiuan saya akan
membalas dendam sebanyak teman saya yang dibunuh, sekarang saya akan membalas.”
Dan kata-kata yang semuanya bersifat mengancam.
Akhirnya karena hari sudah agak siang rupanya karena mereka
takut kalau dituduh perampok besar-besaran, maka peserta traning diserahkan ke
kantor Polisi Kerasa dan mereka lalu bubar. Selanjutnya setelah keadaan aman para
peserta kembali ke desa Kanigoro.
Dengan kejadian ini, Pengurus Wilayah PII Jawa Timur bersama
ini menyatakan:
1.
Tindakan-tindakan mereka terang-terangan telah
mengina agama Islam dengan menginjak-injak al Qur’an dan masuk masjid dengan
tindakan amoral dan kaki-kaki mereka dalam keadaan kotor.
2.
Pemukulan-pemukulan keada kiai masjid stempat
adalah suatu penghinaan yang luar biasa, karena kiai tersebut sangatlah
berpengaruh pada asyarakt setempat.
Selanjutnya PW PII Jawa Timur menyerukan kepada seluruh umat
Islam dan anggota PII Jawa Timur khusus ya untuk awas dan waspada kepada
golongan-golongan tersebut, sebab setiap mereka yang mengaku muslim tentu
mengakui bahwa tidak ada sesuatu kekuatan yang lebih besar selain kekuasaan
dari Allah SWT dan PII akan berjiihad sampai drah-darah kami menjadi darah
syahid. 29).
Patut diketahui bahwa training PII terebut sudah mendapat
ijin pihak yang berwajib.
Dengan peristwa Kanigoro ini, PII tidk merasa kecut dan
mundur, malah menumbuhkan ruhul jihad yang tinggi. Semboyan,” Tampil
kegelanggang walau seorang,” ini merupakan semboyan PII terengar dimana-mana.
Walau Soekarno dengan terang-terangan merangkul PKI
sebagaimana yang telah ditunjukkannya di waktu hari ulang tahu ke-45 PKI pada
23 Mei 1965, dimana ia memeluk Aidit, sambil berteriak pada tukang potret,”
Ambil gambar kami berdua supaya imperialisme dapat melihat dengan jelas bahwa
saya merangkul Partai Komunis Indonesia,30) tetapi PII tidak merasa gentar,
malah mereka bertkad mengganyang PKI.
Pada Konfrensi Besar PII ke-8 di Jogjakarta pada Agustus
1965, yang dihadiri oleh 24 daerah tingkat I/propinsi seluruh Indonesia, PII
kembali menunjukkan tekadnya untuk menghadapi komunis dengan jalan melakukan
show of force dengan disertai nyanyian-nyanyian dan yelyel yang menentang
perang kepada golongan anti Tuhan, khususnya PKI. Nyandian-nyanyian seperti,”
Ayo-ayo PII, singsingkan lengan baju.bangsa kita menunggu. Biar aku hancur.
Biar aku binasa. Asal agama Islam dapat emenangannya.” Yel-yel seperti
,”PII....jihad! Ganyang ateisme! Ganyang anti Tuhn! Bergema sepanjang konfrensi
berlangsung, yang kemudian berkembang di seluruh tanah air.
Pidato Aidit di depan Kongres SGMI ada awal September 1965
menyatakan apabila SGMI tidak mampu membubarkan HMI lebih baik pakai sarung saja.31)
pernyataan Aidit ini disambut oleh satu ‘demonstrasi perang’ Generasi muda
Islam Indonesia di Jakarta
Yang 90 persen erdiri dari massa PII. Dengan berpakaian
seragam hitam-hitam kepala diikat dengan kain merah, dipinggang menyandang golok dipimpin Syarifuddin Siregar
Pahu (Ketua umum PB PII), Gomsoni Yasin (Ketua umum PW PII Jakarta) dan Fahmi
Idris (HMI Cabang Jakarta) dengan spanduk besar berbunyi,” Langkahi mayatku
sebelum membubarkan HMI.” Mereka melakukan demonstrasi di depan kantor komando tertinggi
Rutiling Aat Revolusi (Kotrar) di jalan Merdeka Barat pada 9 September 1965.
Demonstrasi perang generasi muda Islam Indonesia yang siap syahid di depan
Kotrar itu ditampilkan secara emosional, menyebabkan tidak ada satupun reaksi
dari pihak PKI dan antek-anteknya.
Suasana panas yang membara inilah 13 hari kemudian, sesudah
kegagalan G 0 S PKI, PII melakukan apel Akbar tanggal 3 Oktober 1965 di halaman
gedung FrontNasional jalan Merdeka Selatan 13 Jakarta, yang dibanjiri oleh
puluha ribu massa anggota PII, yang diteruskan dengan pawai keliling kota
dengan spanduk-spanduk besar yang berbunyi antara lain “Ganyang Bandit
(Soebandro-Aidit) G 30 S”, “Tendang Soebandiro”. 32). Dan hari berikutnya yaitu
ada 4 Oktber 1965, bertempat di Taman Sunda Kelapa Jakarta, Komando Aksi
Pengganyngan (KAP) Gestapu mengadakan rapat umum yang dihadiri oleh ratusan
ribu massa umat Islam khususnya dan rakyat Jakarta pada umumnya, yang terdri
dari massa organsasi-organisasi yang tergabung dalam GP Anshor, Pemuda
Muhammadiyah, Pemuda Muslimin, Pemuda Pancasila, HMI, PII, Gasbindo, PMKRI, dan
lain-lain. Dalam rapat umum ini telah dikeluarkan suatu resolusi yang berisi
tuntutan pembubaran PKI dan segala antek-anteknya.33)
Bersamaan dengan itu pula, sebagian massa PII dibawah pimpinan
Hari M. Arifin dan Abdul Wahid Kadungga (PB PII), Gomsoni Yasin, M. Nadjib, dan
Zulkifli HS (PW PII) dengan dibantu massa dari Anshor, SEPMI, dan IPNU menyerbu
dan membakar gedung CC PKI di jalan Kramat Raya No. 81 Jakarta. 34)
Apabila di Jakarta PII dan KAP Gestapu telah melakukan aksi
massa pada 3-4 Oktober 1965 untuk pembubaran PKI, maka pada 6 Oktober 1965, PII, HMI, dan umat
Islam di Jogjakarta melakukan aksi mssa menuntut pembubaran PKI.35)
Pada 6 Otober 1965 itu juga, Soekarno mengadakan sidang Kabinet
Paripurna di Bogor, didalam sidang ini Soekarno menginstruksikan antara lain:
1.
Diperlukan dan dibutuhkan suasana tenang dan
tertib untuk mengambil tindakan-tindakan selnjutnya.
2.
Jangan kehilangan akal 36).
Walaupun Soekarno dan kabinetnya telah mengintruksikan
supaya suasana ditenangkan, tetapi pada tanggal 1 Oktober 1965 dibawah pimpinan
Azis Ati, Abdul Wahid Kadungga (PB PII), Gomsoni Yasin (PW PII Jakarta),
menyerbu Gedung Dewan Nasional Pemuda Rakyat di jalan Tanah Abang III/2A dengan
jalan merusak gedung dan menurunkan papan namanya serta menghancurkannya. 370.
Hari-hari berikutnya yaitu tanggal 12 Oktober 1965 massa PII bersama-sama
dengan massa Pemuda Pancasila, yang dipimpin oleh Gomsoni Yasin, Manaf Mufti
(PW PII Jakarta) dan Faisal (Pemudan Pancasila Jakarta) menyerbu gedung SOBSI
di jalan Salemba Tengah Jakarta dan mendudukinya. Apabila di Jakarta massa PII
dan Pemuda Pancasila menghancurkan gedung SOBSI, maka di medan Sumatera Utara,
PII dan uma Isam pada 12 Oktobr 1965 itu juga melaksanakan apel Akbar umat
Islam yang dihadiri oleh 1.640.000 massa umat Islam yang menuntut pembubaran
PKI dengan antek-anteknya.38)
Semangat dan keberanian massa PII dalam penyerbuan ke gedung
milik PKI dan antek-anteknya berkembang begitu cepat dan meluas, sehingga pada
tanggal 13 Oktober 1965 massa PI dibawah piminan Atam (pengurus cabag Senen)
menyerbu rumah pribadi Aidit dan Nyono yang terletak di jlan Timah Senen
Jakarta. Kemudian taggal 14 Oktober 1965 massa PII dibawah pimpinan Gomsoni
Yasin, Zulkifli HS, Manaf Mufti, M. Royani, Unun, Ja’far (pengurus cabang
Tebet) menyerbu dan membakar Akademi Ilmu Sosial Ali Archam, di jalan Sahardjo
Tebet Jakarta. Berbarengan dengan itu Hari M. Arifin dan Andi M. Arif (PB PII)
memimpin penggeledahan terhadap rumah kediaman resmi D.N. Aidit sebagai wakil
Ketua MPRS di Jalan Pegangsaan Barat Jakarta. 39)
Pada tanggal 15 Oktober 1965, sehari berikutnya walaupun
mendapat perlawanan yang hebat dari mahasiswa-mahasiswa Cina BAPERKI), massa
PII dan HMI dibawah pimpinan Gomsoni Yasin dan Harisman, serta A. Saragih (HMI
Cabang Jakarta) menyerbu dan membakar gedung Universitas Respublica di jalan
Daan Mogot Jakarta 40)
Walaupun tanggal 16 Oktober 1965 massa PII gagal menyerbu
dan menguasai gedung Himpunan sarjana Indonesia (HSI) di dekat jalan Raden
Saleh, karena dikawal oleh polisi BRIMOB, tetapi tanggal 17 Oktober 1965 massa
PII cabang Tebet dan Bali Matraman Jakarta berhasil menyerbu dan menguasai
gedung LEKRA di jalan Slamet Riyadi dan rumah Tjugito di gang Haji Murtadho
Matraman Jakarta. 41)
Gerakan massa PII dan umat Islam untuk menguasai dan
menghancurkan gedung-gedung milik PKI dan antek-anteknya, tidak saja terjadi di
Jakarta, tetapi juga di Tangerang, dimana massa PII Tangerang dapat menguasai
gedung BAPERKI Chung Hua pada 19 Oktober 1965. Dan pada tanggal 20 Oktober 1965
massa PII dan umat Islam, menyerbu sekolah Cina, kantor PKI dan Pemuda rakyat
di Krawang. Begitu juga di Bogor, massa PII dan umat Islam mengambil alih
Universitas Pertanian EKOM di Cipayung Bogor.
Aksi-aksi ini diikuti oleh umat Islam di daerah-daerah
seperti Semarang, Magelang, Solo, Klaten, Boyolali dengan jalan membakar
gedung-gedung PKI, BAPERKI, toko-toko Cina sekitar tanggal 20 Oktober 1965.42)
Demonstrasi penyerbuan dan penghancuran yang dilakukan oleh
massa PII dn umat Islam terhadap gedung-gedung PKI dan para pendukungnya,
disaat-saat Soekarno secara terang-terangan di dalam sidang paripurna Kabinet
Dwikora di istana Bogor membela PKI. Dan ia tetap tidakmau membubarkan PKI. 43)
Bahkan pada tanggal 21 Oktober 1965, Spekarno dengan marah memerintahkan,” Oleh
sebab itu....saya perintahkan ciptakan persatuan, persatuan dari lima azimat.
Hindarkan tindakan-tindakan destriktif, jauhkan diri daripada fitnah dan balas
dendam. Larang semua demonstrasi tanpa ijin.” Dan di dalam pidatonya di depan
Pancatunggal pada 23 Oktober 1965, ia menyatakan,” Bencana 30 September
1965..... biasa dianggap sebagai suatu hl yang lumrah, biasa disuatu revolusi;
yang penting adalah revolusi, bukan saya, bukan juga jenderal-jenderal yang
penting, dan juga bukan beratus-ratus pemuda rakyat yag dibunuh.” 44) Sedangkan
Jenderal Soeharto dengan tegas menyatakan dukungan penuh dan ketaaatan terhadap
Soekarno dan mayoritas ABRI masih erpihak kepadanya. 45)
Setelah massa aksi PII dan umat Islam bergerak menghancurkan
gedung-gedung PKI dan menguasainya selama lebih dari 20 hari, baru pada tnggal
25 Oktober 1965, bertempat di kediaman resmi Menteri PTIP Syarief Thayeb, rapat
pimpinn-pimpinan mahasiswa ekstra universitas bersama-sama Menteri PTIP,
memutuskan dan meresmikan berdirinya Kesatuan Aksi Mahasisw Indonesia (KAMI)
460. Sehari kemudian tanggal 26 Oktober 1965, KAMI untukk pertama kalinya
mengerahkan aksi massa sekitar 100 ribu orang yang terdiri dari mahasiswa dan
pelajar. Tetapi seminggu kemudian, tanggal 3 Nopember 1965, KAMI mengeluarkan
pernyataan berdiri di belakang Bung Karno dan membela ajarnnya secara
mati-matian, sambil mengutuk imperialisme Amerika Serikat. Hal ini akibat dari
pidato Soekarno berapi-api pada tanggal 27 Oktober 1965 di hadapn ormas-ormas
yang telah dijinakkan, yang menyatakan,”Jangan bergerak ke kanan.” Hampir semua
penentang Soekarno , akhirnya menyatakan mendukung Soekarno dan tetap bergerak
ke kiri. Disini tampak bahwa Soekarno telah mulai melakukan ofensif untuk
memgokohkan kembali kekuasaanya, khususnya yang selma sebulan seolah-olah
hampir lepas dari genggamannya. Dalam siatuasi seperti ini, setelah Mayjen
Ibrahim Adjie, sebagai panglima siliwangi pada tanggal 17 Nopember 1965
membubarkan PKI se-Jawa Barat. Walaupun demikian keadaan tidak menolong
Soekarno, karena harga-harga kian hari kian membumbung. Terutama setelah
pemerintah menaikkan harga bensin pada tanggal 23 Nopember 1965. 47)
Harga-harga yang terus mmbumbung ini mendoro KAMI untuk
melakukan aksi pada 8 Januari 1966 di sekretariat negara, jalan Veteran
Jakarta, yang hanya beberapa ratus meter saj dari Istana negara. Aksi ditujukan
kepada wakil Perdana Menteri III Chaerul Saleh, sebagai pennggungjawab di
memuncaknya harga-harga. Dua hari kemudian, rapat umum protes di depan Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia (UI) yang dihadiri oleh puluhan ribu mahasiswa
dan pelajar dengan tampilnya Kolonel. Sarwo Edi Wibowo sebagai salah seorng
pembicaranya. Aksi protes ini kemudian menjelma dengan aksi corat coret di
tembok-tembok, mobil-mobil, mengutuk menteri-menteri goblok, “Bubarkan PKI”,
memacetkan jalanan.
Suasana seperti ini memaksa Soekarno mengadakan sidan
Kabinetnya pda tangal 15 Januari 1966 di Istana Bogor. Disamping sidang
Kabinet, Soekarno mengundang 120 wakil-wakil mahasiswa dan GMNI, anak Partai
Nasional Inodnesia (PNI) untuk hadir di Istana Bogor.
Bersamaa itu beribu-ribu mahasiswa, massa KAMI dengan
menggunakan bis-bis dari Jakarta, melakukan demonstrasi di depan Istana Bogor.
Para demonstran ini hanya bisa ditahan dengan melepaskan serentetan
temabakan-tembakan otomatis yang dilakukan oleh par apengawal istana. Sedangkan
maksud diundangnya 120 wakil-wakil
mahasiswa dari GMNI adalah untuk mendengarkan secara langsung instruksi
Soekarno untuk dibentuknya Barisan Soekarno. Pada sidang Kabinet ini pulalah
Soekarno telah melaporkan bahwa 87.000 orang telah terbunuh, berdasarkan hasil
raffinding mission yang dibentuk pemerintah 48).
Sehari sesudah itu, pada 16 Januari 1966, Wakil Pedana
Menteri I Soebandrio menyerukan dibentuknya
Barisan Soekarno yang meliputi potensi buruh, tani, pemuda dan wanita
baik di kota maupun di desa-desa untuk melawan ‘Teror kontra teror’. Seruan ini
dilakukan melalui RRI sehingga bisa didengar di seluruh Indonesia. 49). Akibat
dari seruan ini, maka Jenderal Soehrto selaku Panglima Angkatan Darat pada hari
itu juga mengeluarkan pernyataan bahwa Angkatan Darat berdiri sepenuhnya di
belakang Soekarno. Kemudian atas saran A.H. Nasution pernyataan ini diperluas
meenjadi pernyataan seluruh angkatan bersenjata (ABRI). Sikp kesetiaan Jenderal
Soeharto kepada Soekarno dikongkritkan dengan instruksi diadakannya ‘Apel-apel
kesetian’ seperti tertuang di dalam pengumuman KOTI NO. 01/KOTI?1966. pada
tanggal 21 Januari 1966 diadakan rapat raksasa untuk mendukung Soekarno yang
dihadiri oleh 120 parpol/ormas dengan pembicara utamanya Mayjen. Amir Machmud
Panglima Darah militer Jakarta Raya. Kemudian diikuti oleh Pangdam-pangdam di
daerah-daerah.50).
Dengan adanya Barisan Soekarno dan apel-apel kesetiaan
kepada Soekarno yang dipelopori ABRI, maka posisi golongan-golongan yang
menentang Soekarno, khususnya umat Islam menjadi sangat sulit. Karena ternyata
J enderal Seharto pun, yang semula menjadi tumuan harapan menjadi orang pertama
unuk memimpin aksi menentang Orde Lama/Soekarno, ternyata malah sebaliknya. Ia
memelopori untuk melakukan apel-apel kesetian kepada Soekarno. Dalam posisi di
atas angin, Soekarno membentuk ‘Kabinet Dwikora’ yang disempurnakan, pada
tanggal 21 Pebruari 1966 dengan menyingkirkan Jenderal Nasution dan Laksamana
Martdinata, dan mengangkat Kolonel Syafii (Pimpinan Barisan Soekarno) enjadi
Menteri untuk keamanan pribadi Soekarno. Nama Kabinet Dwikora ini dikalangan
mahasiswa lebih dikenal dengan nama ‘Kabinet 100 Menteri’ atau ‘Kabinet
Gestapu’.
Disaat Soekrno melakukan pelantikan Kabinet 100 Mentri,
yaitu tanggal 24 Pebruari 1966, KAMI melakukan aksi dengan jalan mengempeskan
ban-ban mobil, mencegat paramenteri yang mau dilantik dan mengepung Istana
Negara. Tembakan-tembakan dari pasukan Cakrabirawa yang ditujukan kepada
mahasiswa yang melakukan demonstrasi menyebabkan Arif Rachman Hakim, mahasiswa
UI itu gugur.51). Gugurnya Arif Rachman Hakim menimbulkan rasa perlawanan yang
makin keras di kalangan mahasiswa dan pelajar (pemuda), yang terbukti dalam
acara penguburan Arif Rachman Hakim pada hari berikutnya tanggal 25 Pebruari
1966 di pekuburan Blok P Kebayoran Baru Jakarta. Dengan dia ntar oleh massa
pemuda, mahasiswa, dan pelajar yang berjumlah lebig dari 100.000 orang dengan
berjalan kaki dari kampus UI, mobil jenazah Arif Rachman Hakim bergerak bagai
keong. Rasa solidaritas tidk hanya timbul dari laangan genarasi muda, tetapi
juga oleh rakyat kecil, sperti terbukti para tukang akso, es, buah-buahan
dengan sukarela memberikan dengan Cuma-Cuma barang dagangannya kepada massa
pengantar jenazah Pahlawan Ampera
tersebut.
Tetapi seharisesudah penguburan Arif Rachamn Hakim, yaitu
tanggal 26 Pebruari 1966, KAMI dibubarkan oleh Soekarno dengan keputusan No.
41/KAGAM/1966, 52) yang diiikuti dengan menutup kampus UI serta pameran
kekuatan militer di jalan-jalan Jakarta, dengan kendaraan lapis baja, rintangan
kawat-kawat berduri, beberapa batalyon pasukan tempur yang modnar mandir hilir
mudik 53).
Dalam situasi yang berbahaya, piminan KAMI terutama eleson
kedua, dengan diam-diam seminggu kemudian pada tanggal 4 Maet 1966 embentuk
Laskar Arif Rahman Hakim dengan kekuatan 7 batalyon dari 42 universitas.
Bersamaa dengan itu, pada tnggal 5 Maret 1966 dengan dipelopori Plejar Islam
Indonesia (PII), Ikatan Pelajar Al Washliyah , Ikatan Pelajar Ekonomi (IPE),
dan GSNI Osa-Usep, bertmpat di kantor PB PII jalan Menteng Raya 58 dibentklah
Ksatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia (KAPPI)
Dengan sikap anti komunis dan Soearno seta pengalaman dan
keberanian yang dimiliki PII sebagaimana telah diungkapkan dimuka, PII tampil
memimpin KAPPI dengan sangat gemilang. Berdasarkan pegalaman aksi-aksi yang
dilakukan PII yaitu penyerbuan dan pendudukan geung-gedung PKI da
ormas-ormasnya maka metoda itu dipakai kembali di dalam KAPPI. Aksi pertama
dengan bekerjasama dengan Laskar Arif Rahman Hakim, KAPPI menduduki Departemen
Luar Negeri pada tnggal 8 Maret 1966. 540. Aksi-aksi KAPPI yang makin hari makin
besar sampai jumlah ratusan ribu rang bergerak menguasai jalan-jalan di seluruh
Jakarta. Aksi untuk menduduki gedung Departemen P & K dengan segala
eselonnya, dan kemudian dijadikan Marks KAPPI baik tingkat pusat maupun
daerah-daerah dan rayon-rayonnya. Aksi ini terus berlangsung dengan jalan
menduduki gedung Kedutaan Besar RRC di jalan Gajah Mada, gedung Konsulatnya di
jalan Petamburan Jakarta, sekolah-sekola Cina, rumah-umah Jusuf Muda Dalam,
Karkam dan lain-lain.
Tampilah nama-nama tokoh PII di dalam KAPPI seperti M. Husni
Thamrin, Syarifuddin Siregar Phu, Hussein Umar, Abdul Wahid Kadungga, Sri
Syamsiar, Wifrah Ilyas di tingkat Pusat dan Anhari Achadi, Oo Cholis Rohendi,
Gomsoni Yasin, M. Nadjib, Maryati Nasution, titi Nurhayati, Ruminah ER, dan lain-lain
di KAPPI Jaya. Dan dengan menggunakan eselon PII di daerah-daerhn, maka
pembentukan KAPPI di tingkat propinsi, kabupaten dan bahkan kecamatan
berkembang sangat pesat, dan tidak sampai memakan waktu 2 bulan, KAPPI di
daerah-daerah telah terbentuk dan beraksi.
Satu hal yang tidak pernah terpikir selama ini oleh kesatuan
kesatuan aksi tetapi sagat vital dalam operasi kesatuan aksi yaitu masalah
dapat umum yang bisa mensuplai makanan kepada massa KAPPI dan KAMI di
markas-markas. Disinilah peranan ibu-ibu dari Wanita Islam, Aisyiyah, Eks GPII
Putri dengan dapu umumya yang senantiasa mensuplai makanan ke markas-markas
kesatuan aksi . tampillah nama-nama seperti Syamsurizal, ibu L. Latjuba, Ibu
Khadijah Razak, ibu Rohana ZA Ahmad, ibu Nibras, ibu Aisyah Amini, dan
lain-lain. Berpuluh-puluh dapur umum telah didirikan oleh ibu-ibu ini dengan
usaha sendiri pula ibu-ibu itu mencari bahan-bahan natura utuk dimasak. Massa
kesatuan aksi hanya tinggal terima dan makan saja di markas mereka
masing-masing.
Aksi-aksi KAMI dan KAPPI menelorkan tiga tuntutan rakyat
(Tritura) yang berisi: Turunkan harga, Reshuflle Kabinet, dan Bubarkan PKI,
pada 11 Maret 1966. Tritura ini kemudian menjadi saah satu dari strategi dasr
perjuangan Angkatan 66. Dan secra kebetulan malam harinya dikeluarka pula surat
perintah 11 Maret (Supersemar) kepda Letnan Jnderal Soeharo, Menteri Panglima
Angkatan Darat, dari Soekarno selaku Presiden/Panglima Tertinggi ABRI/Pemimpin
Besar Revolusi/ Mandataris MPRS.55. berdasarkan surat Perintah Sebelas Maret,
Soeharto atas nama Presiden, pada 12 Maret 1966 mengeluarkan surat Keputusan
Presiden No. 1/3/1966 untuk membubarkan PKI di seluruh Indonesia dengan segala
antek-anteknya.56).
Tetapi pada tangal 16 Maret 1966, Soekarno mengeluarkan
Pengumuman No. 1 yang menyatakan bahwa seluruh rakyat Inodnesia diperingatkan
akan kewajibannya yang muttlak untuk mempraktekkan ajaran-ajaan pemimpin besar
revolusi Bung Kano, sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia yang mengemban
semangat demokrasi terpimpin dan Resopim (Revolusi, sosialisme, dan pimpinan
nasional). Pada waktu itu juga Soekarno memberi peringatan keras kepada mereka
yang ingin memaksakan kehendaknya terhadap Presiden, sekalipun yang menyangkut
team pembantuanya. Menteri-menteri hanya ditunjuk leh Presiden sendiri dan tidak oleh orang
lain.57)
Walaupun Soekarno telah bicara dengan nada jeras, tetapi
KAPPI dan KAMI beserta kesatuan aksi lainnya seperti Kesatuan Aksi Wanita
Indoneia (KAWI), Kesatuan Aksi Pengusaha Nasional Indonesia (KAPNI), Kesatuan
Aksi Guru Indonesia (KAGI), Kesatuan Aksi Sarjana Indonesia (KASI), Kesatuan
Aksi Tani Indonesia (KATI), Keataun Aksi Beca Indonesia (KABI), Kesataun Aksi
Pelajar Indonesia (KAPI), terus menuntut turunya ‘Menteri-menteri goblok’
sehingga memaksa Jnderal Soeharto untuk mengeluarkan keputusan untuk menahan 15
oran menteri tertanggal 18 Maret 1966. Keputusan itu dikeluarkan dalam bentuk
pengumuman No 5 tertanggal 18 Maet 1966.
Jumlah menteri yang diamankan sebanyak 15 orang menteri.
Operasi penangkapan terhadap menteri-menteri ini tidak
dilaksanakan oleh aparat pemerintah (ABRI dan Kejaksaan), Rohendi, Rahmat
Mihardja, Gomsoni Yasin, Anhari Achadi, Azhar Djanin (semuanya tokoh PII yang
aktif di KAPPI) adalah pimpinan-pimpinan yang melakukan operasi penangkapan
terhadap menteri-menteri tersebut.
Akibat dari penangkapan ini, maka pada tanggal 27 Maret 1966
susunan Kabinet Dwikora yang telah disempurnakan lagi diumumkan an
diambilsumpahnya pada tanggal 30 Maret 1966. Susunan Kabinet seperti ini
tenryata sangat mengecewakan kesatuan-kesatuan aksi dan rakyat yang ingin
tegakkanya hukum dan demokrasi.
Kekecewaan ini mendorong kesatuan aksi untuk melakukan
demonstrasi menuntut diadakannya sidang MPRS IV guna melakukan koreksi total
terhaap bentuk-bentuk penyelewengan baik idiologi, politik, ekonomi, dan sosial
yang dilakukan oleh Soekarno. Untuk mengkrongkritisir ide perbaikan itu, maka
diselenggarakan satu ‘simposium Kebangkitan Semangat 66 Menjelajah Tracee Baru’
pada tanggal 6-9 Mei 1966 bertempat di Univeristas Indonesia. Materi yang
dibahas di dalam simposium tersebut meliputi masalah-masalah idiologi, politik,
ekonomi, sosial,. Salah satu kesimpulan bidang sosial pada poin 4 disebutkan
dalam sosial order yang baru oleh Angkatan 66 tidk dikehendaki kekuasaan
politik, idiologi, ekonomi dan sosial dimonopoli oleh satu orang atau satu
golongan, siapa saja orang atau golongan itu, karena kekuasaan-kekuasaan adalah
milik rakyat.58).
Melihat betapa besarnya penyelewengan-penyelewengan yang
telah dilakukan Sekarno dan menyadari bahwa betapa besar pula golongan-golongan yang ingin tetap
mempertahankannya, maka KAPPI menganggap perlu untuk melakukan konsolidasi dan
memantapkan garis perjuangnnya secara nasional, sehingga diadakanlah Musyawarah
Luar Biasa tingkat nasional pada tanggal 24-31 Mei 1966 di Senayan Jakarta. Di
dalam musyawarah ini tampak denga jelas bahwa PII memgang peranan utama didalam
kepemimpinan KAPPI di seluruh Indonesia, terbukti dari utusan-utusan daerah
yangdatang dalam musyawarah tersebut. Dari Aceh Mansur Amin (PII), Sumatera
Utara Muis Langat (PII), Sumatera Selatan Nursiden (PII), Jakarta Raya Anhari
Achadi (PII), Jawa Barat Uwies Corny (PII), Jawa Tengah, Jawa Timur, Jogja
bahkan dari Sulawesi Selatan Zubeir Bakri semuanya PII dan lain-lain hampir 95
perrsen pimpinan KAPPI di daerah-daerah dipimpin PII.
Tampilnya kepemimpinan PII didaam KAPPI dalah wajr dan
logis, sebab seain sebagai pengambil inisiatif pembentukan KAPPI, juga PII
adalah satu-satunya organisasi massa pemuda, mahasswa dan pelajar yang dengan
gigih anti komunis dan Soekarno. Dan ini terbukti sebelum terbentuknya
kesatuan-kesatuan aksi KAMI dan KAPI, PII telah mamu melakukan aksi menghancurkan gedung-gedung milik PKI dan
antek-anteknya.
Tetapi realita kepemimpinan PII didalam KAPPI tidak
disenangi oleh glongan-golongan tertentu yang disokog oleh ABRI, sehingga
golongan-golongan ini mengadakan musyawarah tandingan bertempat di wisma Warta
Jakarta dengan pengawalan dan dengan pendukungan dari ABRI (Kodam V Jaya).
Akibatnya terjadilah klas fisik antara KAPPI yang sebenarnya
(murni) dengan KAPPI tandingan (pembajak) di wisma Warta pada 30 Mei 1966.
Dengan klas fisik ini, gugurlah Ichwan Ridwan Rais, anggota KAPPI (PII) yang
sebenarnya murni terkena peluru yang ditembakkan oleh militer.
Dari peristiwa musyawarah luar biasa KAPPI ini terbukti
bahwa memang ada golongan-golongan tertentu, khususnya ABRI yang
Tidak senang
tampilnya umat Islam (PII) didalam potensi yang bersifat nasional dan kuat.
Walaupun tampilnya PII di dalam KAPPI itu adalah merupakan proses yang wajar
dan adil. Dan untuk itu maka tidak segan-segan menempuh berbagai cara, kalau
perlu dengan cara-cara kasar dan kekerasan.
Tuntutan kesataunn-kesatuan aksi untuk diadakannya sidang
MPRS IV akhirnya menjadi kenyataandengan diselenggaraknnya Sidang Umum MPRS
dari tanggal 20 Juni-6 Juli 1966 bertempat di senayan Jakarta. Jenderal A. H.
Nasution dengan suara bulat dipilih menjadi Ketua MPRS. 59)
Situasi sangat tegang antara yang pro dn kontra terhadap
Soekarno. Oleh karena itu kesatuan-kesatuan aksi menigkatkan aksinya dengan
corat-coret di tembok-tembok yang berbunyi antara lain,” Laksanakan dengan
konsekuen UUD ’45,” jalan-jalan penuh dengan aksi dan delegasi-delegasi
kesatuan-kesatuan aksi berulangkali datan menjumpai pimpinan MPRS untuk menyampaikan
tuntutan mereka, selama sidang berlangsung.60). dengan tekanan-tekanan dari
kesatuan aksi, golongan yang
mempertahanka Soekarno tidak banyak berbuat
didalam sidang MPRS.
Walaupun demikian hasil yang dicapai oleh Sidng Umum MPRS IV
ini masih bersifat kompromis. Hasil-hasil yang bisa dicapai hanya merupakan
perletakkan tonggak-tonggak yang memerlukan penggarapan lebih lanjut.61)
Sebagaimana dimaklumi bahwa ditengah-tengah sidang MPRS IV
sedang berlangsung, setelah ternyata Soekarno tidak memberikan keterangan-keterangan
yang lengkap kepada MPRS. Maka pada tanggal 25 Juni 1966 telah timbul suatu
demonstrasi yang sangat besar di gedung MPRS yang dilakukan oleh
kesatuan-kesatuan aksi dimana mereka menuntut kepada MPRS untuk memberhentikan
Soekarno. Tetapi untuk kesekian kalinya Jenderal Soeharto malah menyatakan
kepada massa demonstra itu bahwa,” Bung Karno masih Presiden kita yang sah
sesuai dengan UUD ’45. Kita mestilah
menghormatinya.” 62)
Sikap ABRI yang masih mempertahankan Soekarno, seperti
terlihat selama sidang-sidang MPRS IV, menimbulkan semangat di kalangan
PNI/Fron Marhen untuk berani bicara secara terag-teranganmenyokong Soekarno.
Seperti diketahui ahwa PNI/Front Marhaen yang selama ini hampir lumpuh, baik
karena perpecahan mauun karena banyak pimpinan-pimpinannya yang terlibt G 30
S/PKI, yang sebenarnya sulit untuk
melakukan konslidasi untuk bisa menjadi kekuatan yang berarti. Sedangkan Partai
Kristen Indonesia (Parkindo) dan Katholik yang selam ini memang masih berada
dalam pelukan Soekarno seperi terlihat dalam sidang-sidang MPRS dan di dalam
formasi kabinet Dwikora dan Kabinet 100 menteri, tentunya masih tetap
mempertahankan Soekarno.
Sikap ABRI, PNI, Kriten dan Katholik diketahui sepenuhnya
oleh Soekrno dan dengan sokongan ini ia mencoba untuk menegakkan kembali
kewibawaannya. Dlam kesempatan yang baik, yaitu peringatan 17 Agustus 1966,
dengan penuh semangn dan dengan gaya seorang toriter, Soekarno menyatakan bahwa
dialah pemimpin besar bangsa Indonesia yang berhak memimpin mereka. Soekarno
berkata,” Hai rakyat jelata, hai prajurit-prajurit anak-anakku
yang memanggul bedil, hai smeua pejung progresif revolusioner, ha semua laskar
revolusi Indonesia kepada matahari kemenangan, yang abadi menyinari Indonesia
dan seluruh jagat kemanusiaan! Aku pemimpin besarmu, demikianlah kata MPR, aku
pemimpinmu...ikutilah pimpinanku, ikutilah semua pentunjuk-petunjukku.... Mri
berjalan terus melanjutka revolusi diatas jalan yang aku tunjuki! Ya Allah ya Rabbi, ridhoilah Revolusi Indonesia
dibawah kepemimpinanku.” 630
Pidato Soekrno ini, yang oleh kesatuan-kesatuan aksi
digelari oleh atau dengan ‘Jas Merah’ telah menimbulkan suasana panas. Disatu
pihak kesatuan-kesatuan aksi dan umat Islam melakukan demostrasi secara gencar
dan hampir setiap hari delegasi kesatun-kesatuan aksi menemui pimpinan MPRS
untuk menuntut agar MRS bertindak terhadap Soekarno di pihak lain, penyokong
Soekarno tambah berani dengan melakkan aksi-aksi pembalasan. Diberbagai tempat
enguasa militer (ABRI) melarang potensi dan aksi-aksi dri kesatuan aksi dan
dikalangan ABRI tambah banyak tindakan-tindaka membela Soekarno.64).
Tekad kesataun-kesatuan aksi untuk menurunkan Soekarno,
sebagai orang yang paling bertangguungjawab dari berbagai kerusakan baik
idiologi, ekonomi, politik, sosial, budaya maupun akhlaq dan keamaan, tidak
pernah mengendor seperti telah ditunjukkan selama tahun ini. Demonstrasi
besar-besarn terus dilakukan walaupun ABRI yang tetap mempertahankan Soekarno,
telah melarang demonstrasi-demonsrasi itu, sebagaimama dikeluarkan oleh Mayor
Jenderal Amir Machmud Pangdam V Jaya pada 2 Oktober 1966. Pada tanggal 3
Oktober 1966, para demonstran dari kesatuan-kesatuan aksi ditembaki oleh
pasukan Kodan V Jaya, sehingga Zaina Zakso (wartawan KAMI) yang ikut dalam
demonstrasi itu gugur dan 62 pemuda pemudi lainya mendapatka luka-luka berat.
65)
Pertentangan keras yang makin sengit dan hebat, dimana ABRI
tidak segan-segan menggunakan peluru untuk membunuh pemuda-pemudi dari kesatuan
aksi, dimanfaatka oleh Soekarno dengan sebaik-baiknya. Pada peringatan hari
Angkatan Bersenjata, 5 Oktober 1966, Soekarno melakukan pidato didepan semua
angkatan dan para jenderal-jenderal dengan kata-kata cukup menarik yaitu
anak-anakku yang memanggul senjata, bahwa tidak seorang pun yang bisa menjadi
pemipin bangsa Indonesia kecuali dia. Setelah ia mengucapkan pidato it,
kemudian ia mengunjungi korban-korban 1 Oktober 1965 di Taman Phlawan Kalibata
jakarta denganmemnangis dan berdoa. Tetapi pada malam harinya, ia mengadakan
pesta taman di Istana negara dengan para jenderal dan laksamana yang
dikelilingi oleh wanita-wanita cantik sambil bernyanyi bersendagurau.66)
Disini tampak dengan jelas bahwa rasa berkabung yang ia
tampilkan ada sang hari di Taman Pahlawan Kalibat hanya bersifat erpura-pura
dan tidak setulus hati. Hanya sekadar untuk menarik simpatik jenderal-jeneral
angkatan darat.
Akibat lanjutan dari sikap ABRI yang terus mendukung
Soekarno, mempercepa konsolidari PNI/Front Marhaen, terutama pada
basis-basisnya di Jawa Timur dan Jawa Tengah. Di beberapa daerah timbul
gerombolan-geromboan liar yang dengan pakaian hitam-hitam dan ikat kepala merah
pada lengannya ada ban yang bertuliskan “Aku Pendukung Soekarno”. Di Jawa
Tengah lahir gerombolan Mbah Suro, dengan pasukannya yang terdiri dari PNI ASU
(Ali Surahman) dengan bersenjatakan senjata api, tombak, dan bambu runcing.
Gerombolan yang terbnetuk setengah mistik ini baru bisa ditumpas setelah
pasukan RPKAD dan POMAD datang menyerbunya.
Dalam situasi yang terus tegang dan sengit antara
kekuatn-kekuatan yang menentang Soekarno engan mempertahankannya pengadilan
Mhmilub terus berjalan mengadili menteri-menteri pembantu terdekat Soekarno
dari mulai Jusuf Muda Dalam, Soebandrio, Omar Dhani, Soepardjo dan lain-lain.
Pada sidang-sidang Mahmilub ini terungkap dengan jelas peranan Soekarno, dalam
kerusakan menyangkut idiologi, politik, ekonomi, akhlak dan keamanan khususnya
G 30 S/PKI, sehingga para embela meminta supaya Soekarno tampil kemuka sidang
unutk memberi kesaksian.
Berita-berita pengadilan ini ditambah dengan fakta-fakta
tentang kebobrokan yang dibuat Soekarno, telah dimuat di surat-surat kabar
secara luas. Berita-berita pers yang demikian menimbulkan amarah Jenderal
Soehato sebagai Ketua Presidium Kabinet Ampera. Di dalam rapat dengan menteri
Kehakiman dan penerangan serta ejabat-pejabat tinggi lainnya dengan nada keras,
ia menyatakan, “Penyelidikan mestilah dijalankan terus. Fitnah baik secara
lisan maupun tulisan tidk dapat dtolelir terhadap kepala negara.” Sikap
Jenderal Soeharto yang terus membela
Soekarno seperti ini sangat menyudutkan kekuatan-kekuatan yang menentangnya
khususnya kekuatan-kekuatan aksi.
Walaupun Jenderal Soeharto bersikap terus untuk mempertahankan Soekarno, tetapi
kesatuan-kesatuan aksi tidak pernah nundur setapak juga. Pada tangal 16
Desember 1966, Persatuan Sarjna Hkum Indonesia (Persahi) bersama-sama Ikatan
Hakim Indonesia (Ikahi) mengeluarkan satu “Deklarasi Keadilan dan Kebenaran”.
Didalam deklarasi itu diberikan satu ikhtiar tentang tersangkutnya Soekarno
dalam kudeta komunis tanggal 30 September 1965 itu.
Dengan mengambil pertimbangan pasal demi pasal dari
pemeriksaan Omar hani sebagai dasar utama, maka deklarasi tersebut menuntut
agar diselidiki hubungan Soekarno dengan PKI dan kudeta yang gagal itu menuut
hukum yang berlaku. Kepada MPRS dan Jaksa Agung diminta dengan sangat segera
turun tangan 67)
Deklarasi keadilan dan kebenaran ini mendorong DPR-GR untuk
mengeluarkan rosolusi dan memorandum tentang “Persidangan Istimewa MPRS”
tertangal 9 Pebruari 1967. Didlam resolusi itu dinyatakn agar MPRS mengadakan
sidang istimewa selambat-lambatnya pada bulan Maret 1967. Dan untukbha materi
sidang istimewa MPRS itu maka memorandum DPR-GR hendaknya dijadikan bahan utama
sedangkan dalam memorandum itu menyatakn jelas-jelas bahwa Soekarno terlibat G
30 S/PKI, setidak-tidaknya mengetahui adanya gerakan tersbut. Disamping itu
Soekarno juga harus bertanggungjawab atas kebobrokan politik, ekonomi maupun
akhlak.68)
Melihat kekuatan-keuatan yang mempertahankan Soekarno makin
hari makin besar, khususnya ABRI dan PNI/Front Marhaen, maka untuk mengokohkan Resolusi dan
memorandum DPR_GR tersebut, umat Islam di Jakarta dan sekitarnya telah
menyelenggarakan apel kebulatan tekadnya pada 12 Pebruari 1967 dengan nama
Komando Jihad umat Islam yang dipimpin oleh penulis sendiri bersama-sama Nunung
Nurul Ichsan an M.D. Habusllah betempat di depan Fakultas Kedokteran UI Salemba
Jakarta.
Dengan dihadiri oleh puluan ibu umat Islam dai Jakarta,
Krawang, Beksi, Serang, Tangerang dan Bogor, apel tersbeut telah mengelaurkan
satu statemen yang berisi kebulaan tekad umat Islam dalam mendukung Resolusi
dan memorandum DPR-GR serta siap bertempur bersama-sama RPKAD, Siliwangi, dan
Kostrad dlam menghadapi kekuatan-keuatan yang masih mepertahnkan Orde Lama.”
Pernyataan pernyataan tentang dukungan kepada Rosulsi dn
memorandum DPR GR serta tuntutan diadakannya sidang Istimewa MPRS datang dari
kesatuan-kesatuan aksi seperti KAMI, KAPPI, KASI, KAPI, KABI, KAWI dari berbagi
derah di tanah air dan bahkan ada yang meminta diturunkannya Soekarno sert
iajukannya ke Mahmilub. 69)
Resolusi DPR_GR ini akhirnya menjelma dengan
diselenggarakannya sidang Istimewa MPRS pada tanggal 7-11 Maret 1967 dii
Jakarta. Di dalam sidang ini terohat dengan jelas bahwa umat Islam dan sebagian
mahasiswa dn utusan daerah menghendaki aagar Soekarno diberhentikan dan diajukan
kemuka Mahmilub. Sesungguhnya ABRI dan PNI/Front Marhaen tetap mempertahankan
Soekarno sebagai Presiden RI.
Mengenai sikap ABRI didalam sidang Istimewa MPRS ini, A.H.
Nasution menyatakan perlu dicatat bahwa mayoritas AD/ABRI tetap mempertahankan
posisi Bung Karno sebagai Presiden bahkan juga dalam sidangIstimewa MPRS 1967
waktu ke-4 Panglima ABRI tetap mempertahanannya baik dengan tertulis maupun
lisan. Sebelum sidang Istimewa ituJenderal Soeharto sendiri menyampaikan kepada
ketua MPRS, 4 dokumen diteken masing-masig panglima AD, AL, AU, dan Kepolisian
yang menuntut pendirian tersebut.70)
Hasil sidang Istimewa MPRS ini pada dasarnya mempertahankan
status quo politik yang bersifat banci mengecewakan umat Islam dan
kesatuan-kesatuan aksi.
Pada awal tahun 1968 terjadi suasana shock ekonomi dimana
harga beras membumbung tinggi dan inflasi naik 36 persen dalam satu buln.
Situasi ii medorong kesauan-kesatuan aksi untuk bergerak kembal dengan
resolusi-resolusinya. Musyawarah kesatuan-kesatuan aksi tinggkat pusat pada 24
dan 26 Januari 1968 di Jakarta, telah mengeluarkan satu resolusi yang
menyeluruh dan tegas serta diharapkan
dilaksanakan sebelum sidang umum MPRS IV. Isinya resolusi itu antara lain
menuntut perombakan tota struktur politik dan tindakan tindakan drastis dan
radikal didalam mengatasi segala kesulitan dan jangan tambal sulam. 71)
Dari resolusi kesatuan-kesatuan aksi ini menghasilkan adanya
penyegarn anggota DPR-GR dan dari penyegaran DPR-GR menelorkan diantaranya
diadakannya usul untuk mengadakan Sidan Umum ke-V MPRS selambat-lambatnya 20
Maret 1968.
Menjelang Sidang Umum MPRS ke V, kesatuan-kesatuan aksi
tingkat pusat telah mengadakan rapat gabungan pada 4 Maret 1968 yang memutuskan
satu resolusi menuntut agar MPRS benar-benar menjelma sebagai lembag tertinggi
kedaulatan rakyat.
Sidang umum MPRS ke V berlangsung dalam suasana politik
psikologs yang tegang. Larangan demonstrasi diperkera dengan mengerahkan 30
batalyon tentara. Walaupun begitu demonstrasi-demonstrasi dan delegasi-delegasi
silih berganti datang ke MPRS, ancaman-ancaman dan operasi-operasi khusus
berjalan menambah tegangnya suhu didang.
Pada sidang umum MPRS ke V ini telah dibentuk Komisi I
hingga IV. Komisi III bertugas
menyelesaikan pelengkap UUD ’45 serta perincian Hak-hak azasi manusia yang
konsepsinya sudah dikerjakan oleh Badan Pekerja MPRS sejak tahun 1966, dan
sudah disetujui oleh Badan Pekerja MPRS. Padahal komis III ini adalah
satu-satunya komisi yang diharappkan dapat meletakkan rule of game dari demokrasi untuk masa-masa mendatang. Tetapi
ternyata komisi III ini tidak berhasil menelorkan apapun juga, sebab PNI dan
Kristen serta katholik menarik persetujuannya sedangkan ABRI dan golongan Karya
(Golkar) tidak mau menerima sama sekali. Tinggal umat Islam, utusan-utusan
daerah serta sebagian mahasiswa yang tetap mempertahankan hasil rumusan Badan
Pekerja MPRS; akibatnya gagal total.72)
Dengan gagalnya komis III meletakkan role of game demokrasi, maka semenjak sidang umum MPRS ke V tahun
1968, gagallah setrategi umat Islam untuk mencapai demokrasi di dalam Orde
Baru. Dan semenjak itu strategi demokrasi lenyap sama sekali.
Foot note:
1.
Laporan pimpinan MPRS tahun 1966-1972,
MPRS 1972, hal 41
2.
A. H. Nasution, Memperingati 10 tahun
Gugurnya Pahlawan Ampera Arif Rahman Hakim, penerbit sendiri, 1976, hal 7
3.
Kesimpulan bidang Sosial, Simposium
Kebangkitan Semangat 66 Menjelajah Tracee Baru, Universitas Indonesia, Mei 1966
4.
Laporan pimpinan MPRS tahun 1966-1972,
op.cit, hal 41
5.
Dialog, Prisma LP3ES, No, 12 Tahun 1977,
hal 72
6.
Ibid, hal 29
7.
Parakitri Tahi Simbolon, Dibalik Mits
Angkatan 66, Prisma LP3ES, No. 12 Tahun 1977, hal 54
8.
Ibid, hal 48
9.
Simposium Kebangkitan Semangat 66
Menjelajah Tracee Baru, Universitas Indonesia, Mei 1966
10.
Ongkokham, Angkatan Muda dalam Sejarah,
Prisma No. 12, 1977, hal 21
11.
S.U. Bayasut, Alam Pikiran dan Jejak
Perjuangan Prawoto Mangunsasmito, Dokumenta, Surabay, 1972, hal 49
12.
Dulah Islamiyah, Penerbitan Khusus,
Jakarta 1957, hal 86-88
13.
PII Menjelang Masa Datang Gemilang,
panitia Muktamar ke XI dan Porseni ke V, Jakarta 1966, hal 64-65
14.
Simposium Kebangkitan Semangat 66
Menjelajah Tracee Baru, Universitas Indonesia, Mei 1966
15.
O.G. Roeder, Anak Desa, Biografi Presiden
Soeharto, Gunung Agung, Jakarta 1976, hal 99
16.
Ibid, hal 111
17.
Laporan pimpinan MPRS tahun 1966-1972,
MPRS hal 311-331
18.
S. U. Bajasut, op.cit, hal 164-66
19.
Mohammad Hatta, Demokrasi Kita, Pustaka
Antara, Jakarta 1966, hal 7
20. Pengumuman
pucuk Pimpinan GPII No. 1 tanggal 17 Juli 1963
21.
Memorandum GPII, Jakata, 9 Agustus 1963
22. Dokumen
PB PII, Bandung, 1963
23. S.U
Bayasut, op.cit, hal 159
24. PII
Menjelang Masa Datang Gemilang, op.cit. hal 54-55
25. Ibid,
hal 50-53
26. Siaran
khusus, tanpa penulis dan penerbit, 1963, hal 1-26
27.
Siaran khusus Seri Kewaspadaan Nasional,
tanpa penulis, tanpa penerbit, 1965
28. S.
J. Imawan, Dokumen Gestapu, Kisah Teror G 30 S, seri ke-2 Srana Dwipa, 1966 hal
12-19
29. Obor
revolusi, Surabaya 21 Januari 1965
30. O.
G Rooder, op.cit, hal 56
31.
Fakta-fakta Persoalan G 30 S, Puspenad, No.
1-3, Oktober 1965 hal 145.
32. Hardi
M.Arifin, Dokumen PB PII 1965-1966
33. Fakta-fakta
Persoalan Sekitar G 30 S, op.cit, hal 105-106
34. Hardi
M. Arifin, op.cit, dan Gomsoni Yasin, Dokumen PW PII ’65, op.cit. hal 62
35. Fakta-fakta
Persoalan sekit G30S. Op.cit, hal 295, juga dialog, Prisma, LP3ES tahun 1977,
hal 29
36. O.G
Rooder, p.cit, hal 62
37.
Fakta-fakta Persoalan Sekitar G 30 S,
op.cit,hal 198
38. Gomsoni
Yasi, dokumen PW PII Jakarta dan Hardi M. Arifin, dokumen PB PII 1965-1966
39. Ibid
40. Gomsoni
Yasin, Dokumen PW PII Kjakarta, lihat juga Fakta-fakta persoalan G30S, op.cit,
hal 199
41.
Ibid
42. ibid
hal 287
43. O.G.
Rooder, op.cit hal 51-52
44. Ibid,
hal 59
45. A.H.
Nasution, op.cit, hal 12-13
46. Dialog,
Prisma LP3ES, No. 12. Th. 1977, hal 27
47. Parakitri
Tai Simbolon, op.cit, hal 50-51
48. O.G.
Rooder, op.cit, hal 57
49. Ibid,
hal 81-83
50. A.H.
Nasution, op.cit, hal 14-15
51.
Ibid, hal 6
52. Parakitri
Tai Simbolon, op.cit, hal 51
53. O.G.
Rooder, op.cit, hal 86
54. Parakitri
Tai Simbolon, op.cit, hal 51
55. O.G.
Rooder, op.cit, hal 392-393
56. Ibid,
hal 394-395
57.
Ibid, hal 90
58. Simposium
“Kebangkitan semangat Enam-enam Menjelajah Tracee Baru, Universitas Indonesia,
Jakarta 1966
59. O.G.
Rooder, op.cit hal 96
60. A.H.
Nasution, op.cit, hal 20
61.
Laporan pimmpinan MPRS 1966-1972, op.cit
hal 42
62. O.G.
Rooder, op.cit hal 99
63. Ibid,
hal 101
64. A.H.
Nasution, op.cit, hal 22
65. O.G.
Rooder, op.cit hal 103
66. Ibid,
hal 102
67. Ibid,
hal 111
68. Laporan
Pimpinan MPRS Tahun 1966-1972, op.cit, hal 311-331
69. Ibid,
hal 340-350
70. Laporan
Pimpinan MPRS Tahun 1966-1972, op.cit, hal 375
71.
Laporan Pimpinan MPRS Tahun 1966-1972,
op.cit, hal 375
72.
Ibid, ha 48-50
0 Komentar