MENURUT laporan
McKinsey, hanya 12 % usaha Indonesia saat ini yang menggunakan
pembiayaan kredit dari Bank. Lantas kemana uang masyarakat yang begitu
banyak ditabung di bank-bank?, menurut laporan yang sama pula antara
lain uang tersebut tersimpan dalam apa yang mereka sebut high-yield, low risk Bank Indonesia Certificates (SBIs).
Laporan ini seolah menguatkan alasan mengapa riba dilarang dalam Islam,
karena uang tidak perlu bekerja produktif sudah menjadi investasi
dengan hasil tinggi dan resiko rendah. Lantas mau digerakkan dengan apa
ekonomi kalau demikian?
Ketika ekonomi tidak berputar secara
merata, Indonesia bisa saja menjadi kekuatan ekonomi besar – ke 7 di
dunia pada tahun 2030 berdasarkan scenario di laporan McKinsey tersebut.
Tetapi ketimpangan juga semakin luas, saat itu diprediksi ada 55 juta
orang tidak memiliki akses sanitasi dan 25 juta orang tidak memiliki
akses air bersih.
Itulah pertumbuhan ekonomi yang antara lain
mengandalkan sektor finansial ribawi itu – seolah sah-sah saja kita
membuat skenario ekonomi yang akan memiskinkan sekian puluh juta orang
tersebut.
Bahwa hasil itu ada di tangan Allah semata, setidaknya
bila kita merencanakan dan berupaya membangun ekonomi untuk negeri ini –
targetnya harus meng-eliminasi kemiskinan atau meminimisasinya.
Lantas
dengan apa kita akan mengeliminasi kemiskinan itu? Secara umum kita
bisa mengeliminasi kemiskinan dengan “7 Sumber Pengentasan Kemiskinan”
yang telah saya muat di situs ini pada tanggal 7-September 2012 lalu.
Untuk
kemiskinan yang ditimbulkan oleh praktek-praktek ribawi, kitapun telah
dibekali oleh Allah antara lain dengan dua senjata utama yaitu
perdagangan dan sedekah sebagaimana tercantum di penggalan dua ayat yang
berurutan berikut :
“… Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba… Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah…” (QS al_Baqarah [2]:275-276).
Jadi
lawan riba itu dua – yaitu yang pertama perdagangan atau jual-beli dan
yang kedua sedekah. Dua lawan riba ini secara umum tercover dalam
tulisan saya tersebut di atas, hanya pada tulisan ini akan saya
elaborasi salah satunya yaitu perdagangannya.
Bila perdagangan
itu hanya mengandalkan permodalan – maka kita akan terjebak pada
kapitalisme ribawi sebagaimana terungkap oleh data McKinsey tersebut –
dimana hanya segelintir pengusaha saja (12%) yang memiliki akses
pembiayaan kredit bank. Mayoritasnya tidak punya modal dan tidak bisa
mengakses modal perbankan.
Lantas dengan apa kita bisa berdagang
bila tanpa modal? Ingat pelajaran yang sangat berharga dari jaman
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam – salah satu orang terkaya di
jaman itu adalah Abdurrahman bin ‘Auf – dia memulai perdagangannya tanpa
modal, dia memulai perdagangannya hanya dengan tahu di mana pasar!
Kemudian
di pasar dia bertemu orang-orang yang membutuhkan barang apa, di pasar
pula dia ketemu orang-orang yang memiliki barang dagangan apa. Dengan
mempertemukan demand dengan supply-nya, dengan itulah Abdurrahman bin
‘Auf mulai berdagang.
Cara perdagangan saat itu juga tergambar dengan jelas melalui hadits sahih yang sangat sering saya sajikan di situs ini.
“(Juallah)
emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, beras
gandum dengan beras gandum, kurma dengan kurma, dan garam dengan garam
(dengan syarat harus) sama dan sejenis serta secara tunai. Jika jenisnya
berbeda, juallah sekehendakmu jika dilakukan secara tunai.” (HR. Muslim).
Ketika
barang atau kebutuhan kita ditukarnya dengan emas atau perak – itulah
jual beli dengan uang yang kita kenal sampai sekarang. Ketika ditukar
antar jenis barang yang berbeda – misalnya gandum ditukar dengan kurma –
maka itulah jual beli dengan barter yang telah sekian lama
ditinggalkan.
Dalam era perdagangan atau jual beli yang
mengandalkan uang atau modal, umat yang mayoritas di negeri ini
terperdaya oleh segelintir minoritas yang menguasai perdagangan hampir
di seluruh aspek kehidupan kita. Dari perdagangan mie sampai mobil
dikuasai mereka.
Lantas bagaimana kita merebut kembali dominasi
perdagangan ini untuk kembali berada di tangan umat – sebagaimana umat
ini dahulu perkasa di perdagangan? Salah satu caranya ya meng-eksplorasi
cara-cara perdagangan yang tersirat dalam hadits tersebut di atas.
Mayoritas
umat ini tidak memiliki akses modal untuk berdagang, maka ayolah kita
mulai belajar berdagang a la Abdurrahman bin ‘Auf – berangkat ke pasar
tanpa modal. Dengan barter yang dijaman modern ini saya sebut barter
modern atau perdagangan kreatif – Anda bisa berangkat ke pasar untuk
mulai berdagang tanpa modal (uang).
Maka bagi Anda yang sudah confirm hadir
untuk acara besuk di Rumah Hikmah, bayangkan diri Anda besuk adalah
seperti hari pertamanya Abdurrahman bin Auf berangkat ke pasar.
Di
sana Anda akan ketemu seratusan lebih orang-orang yang membutuhkan
barang atau jasa ini dan itu, dan sejumlah orang yang sama yang
menawarkan barang atau jasa ini dan itu. Challenge Anda adalah bagaimana
mempertemukannya tanpa harus dengan uang atau modal.
Dengan cara
inilah umat ini dahulu diunggulkan dalam perdagangan, maka insyaAllah
dengan cara ini pula kita akan bisa mengulangi keunggulan itu. Bila kita
bisa unggul dalam perdagangan, otomatis lawan dari perdagangan - yaitu
riba akan melemah.
Bila riba melemah syukur-syukur menghilang
dari umat ini, insyaAllah negeri ini akan bisa kembali hidup dalam
keberkahanNya. Amin.* Penulis Direktur Gerai Dinar, kolumnis hidayatullah.com
0 Komentar