Rasulullah Saw sebagai tauladan terbaik umat manusia sepanjang zaman
mengatakan jika dalam melakukan sesuatu itu, manusia harus memahami
terlebih dahulu apa yang akan dilakukan atau diperbuatnya. Istlahnya: “Fahmu qabla ‘amal” atau “Paham terlebih dahulu baru melakukan”.
Ini merupakan prinsip yang harus diikuti oleh manusia yang oleh Allah
Swt diberi akal, sehingga manusia bisa bepikir, memilah yang baik atau
buruk, dan tidak melakukan sesuatu hanya karena latah atau berdalih
“sudah tradisi”.
Akal-lah yang membedakan manusia dengan hewan. Dengan akal, manusia
bisa berpikir. Beda dengan hewan yang hanya mengandalkan insting,
sehingga semua yang dilakukan hewan sesungguhnya hanya merupakan
pengulangan dari apa yang telah dilakukan hewan-hewan lainnya.
Sebab itu, sangatlah tidak layak seorang manusia di dalam melakukan
sesuatu hanya menyatakan “Sudah tradisi”. Karena yang namanya tradisi
tentu ada yang bagus dan ada pula yang jelek.
Salah satu peringatan yang terus dipelihara sepanjang tahun oleh
penguasa di negeri ini adalah Peringatan Hari Kebangkitan Nasional.
Tidak dahulu tidak sekarang, pemerintah selalu saja mendengungkan jika
tanggal 20 Mei, tanggal berdirinya organisasi priyayi Jawa Boedhi Oetomo
tahun 1908, merupakan tonggak kebangkitan nasional. Padahal Boedhi
Oetomo sama sekali tidak berhak mendapat tempat terhormat seperti itu.
Mengapa?
Budi Utomo Tidak Punya Andil Dalam Perjuangan Kemerdekaan Indonesia
Adalah KH. Firdaus AN, mantan Ketua Majelis Syuro Syarikat Islam
dalam bukunya “Syarikat Islam Bukan Budi Utomo: Meluruskan Sejarah
Pergerakan Bangsa“, dengan tegas menulis jika Budi Utomo (BO) tidak
punya andil dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia. BO terdiri dari para
pegawai negeri (ambtenaar) yang hidupnya tergantung pada uang penjajah Belanda.
BO juga tidak turut mengantarkan bangsa ini ke pintu gerbang
kemerdekaan, karena telah bubar pada tahun 1935. BO adalah organisasi
sempit, lokal dan etnis sentris. Hanya bangsawan Jawa Tengah dan Madura
yang boleh menjadi anggotanya, orang Sunda, Betawi, dan sebagainya
dilarang masuk BO.
BO didirikan di Jakarta tanggal 20 Mei 1908 atas prakarsa para
mahasiswa kedokteran STOVIA, Soetomo dan kawan-kawan. Di dalam
rapat-rapat perkumpulan dan bahkan dalam penyusunan Anggaran Dasar
Organisasi-pun BO tidak menggunakan bahasa Indonesia, melainkan bahasa
Belanda.
Dalam rapat-rapat, BO tidak pernah membahas tentang kesadaran
berbangsa dan bernegara yang merdeka. Mereka hanya membahas bagaimana
memperbaiki tarap hidup orang Jawa dan Madura di bawah pemerintahan Ratu
Belanda.
Di dalam Pasal 2 Anggaran Dasar BO tertulis tentang tujuan organisasi
yakni untuk menggalang kerjasama guna memajukan tanah dan bangsa Jawa
dan Madura secara harmonis. Tujuan BO tersebut jelas bersifat
Jawa-Madura sentris, sama sekali bukan kebangsaan.
BO juga memandang Islam sebagai batu sandungan bagi upaya mereka.
Noto Soeroto, salah seorang tokoh BO, di dalam salah satu pidatonya
tentang Gedachten van Kartini Alsrichtnoer voor de Indische Vereniging
berkata: “ Agama Islam merupakan batu karang yang sangat berbahaya….
sebab itu soal agama harus disingkirkan, agar perahu kita tidak karam
dalam gelombang kesulitan “.
Sebuah artikel di ”Suara Umum“, sebuah media massa milik BO di bawah
asuhan Dr. Soetomo terbitan Surabaya, yang dikutip oleh Al-Ustadz A.
Hassan dalam majalah “Al-Lisan “ terdapat tulisan berbunyi:
“Digul lebih utama dari pada Mekkah, Buanglah Ka’bah dan jadikanlah
Demak itu kamu punya kiblat.“ ( M.S. Al-Lisan Nomer 24, 1938)
Oleh karena sangat loyal pada penjajah Belanda, tidak ada seorang pun
anggota BO yang ditangkap Belanda. Arah perjuangan BO yang tidak
nasionalis, telah mengecewakan dua pendiri BO sendiri, yakni Dr. Soetomo
dan Dr. Cipto Mangunkusumo, sehingga keduanya keluar dari BO.
Bukan itu saja, di belakang BO pun terdapat fakta yang mencengangkan.
Ketua pertama BO yakni Raden Adipati Tirtokusumo, ternyata tokoh
Freemasonry. Dia aktif di Loge Mataram sejak 1895. Sekretaris BO (1916) ,
Boediardjo, juga seorang mason yang mendirikan cabang sendiri dengan
nama Mason Boediardjo. Buku “Tarekat Mason Bebas dan Masyarakat di
Hindia Belanda dan Indonesia 1764-1962”, karya Dr. Th. Stevens memuat
fakta ini.
Peneliti Robert van Niels juga mengatakan, “Tanggal berdirinya Budi
Utomo, sering disebut sebagai Hari Pergerakan Nasional atau Kebangkitan
Nasional. Keduanya keliru, karena Budi Utomo hanya memajukan satu
kelompok saja.
Sedangkan kebangkitan Indonesia sudah dari dulu terjadi…Orang-orang
Budi Utomo sangat erat dengan cara berpikir barat. Bagi dunia luar,
organisasi Budi Utomo menunjukkan wajah barat. ” (Robert van Niels,
Munculnya Elit Modern Indonesia, hal. 82-83).
Budi Utomo merupakan organisasi binaan Freemasonry yang menginduk
kepada Yahudi Belanda. Pengkultusan terhadap Budi Utomo, dengan
menisbatkannya sebagai organisasi pelopor kebangkitan Indonesia,
merupakan hasil kerja Freemasonry dan Yahudi Belanda.
Jadi, siapa pun yang dengan sadar memelihara pengkultusan ini—dengan
salah satunya ikut-ikutan merayakan Hari Kebangkitan Nasional 20 Mei
dengan sadar, padahal mereka tahu tentang sejarah yang sesungguhnya dari
Budi Utomo ini—berarti telah ikut bergabung dengan barisan kaum
Freemasonry dalam menyesatkan bangsa ini.
Berdirinya Syarikat Islam Jadikan Sebagai Harkitnas
Seharusnyalah peringatan Hari Kebangkitan Nasional bukan tanggal 20
Mei, namun tanggal 16 Oktober. Sejarah telah mencatat jika tiga tahun
sebelum Budi Utomo berdiri, Syarikat Dagang Islam (yang kemudian berubah
menjadi Syarikat Islam) didirikan, tepatnya pada 16 Oktober 1905.
Sangat beda dengan Budi Utomo, SI lebih nasionalis dan berterus
terang ingin mencapai Indonesia yang merdeka. Keanggotaan SI terbuka
bagi semua rakyat Indonesia yang mayoritas muslim. Sebab itu para
pengurusnyapun terdiri dari berbagai macam suku dari seluruh Nusantara.
SI bertujuan Islam Raya dan Indonesia Raya, bersifat nasional,
Anggaran Dasarnya ditulis dalam Bahasa Indonesia, bersikap
non-kooperatif dengan Belanda, dan ikut mengantarkan bangsa ini melewati
pintu gerbang kemerdekaan.
Sejarawan Fred R. von der Mehden (1957: 34) dengan tegas mengatakan
bahwa SI-lah organisasi politik nasional pertama di Indonesia. Der
Mehden tidak sendirian, ada banyak sejarawan asing dan juga Indonesia
yang dengan tegas menyatakan jika SI-lah organisasi nasionalis pertama.
Sedangkan Budi Utomo bukanlah organisasi yang nasionalis.
Usaha untuk menjadikan SI (atau SDI) sebagai tonggak Harkitnas
menggantikan kesalah-kaprahan sejarah selama ini, pernah diusulkan umat
Islam kepada pemerintah. Pada Kongres Mubaligh Islam Indonesia di Medan
(1956), umat Islam mengusulkan kepada pemerintah untuk menjadikan
tanggal berdirinya SDI sebagai Harkitnas berdasarkan karakter dan arah
perjuangan SDI. Namun sangat disayangkan, seruan ini tidak didengar
pemerintah, bahkan sampai saat ini.
Akhir tahun 1980-an Indonesia katanya dilanda fenomena kebangkitan
Islam dan saat ini sudah ada banyak orang yang mengaku sebagai tokoh
Islam yang masuk ke lingkaran pusat pemerintahan, bahkan duduk dalam
pos-pos strategis. Namun bukannya mewarnai pemerintahan, mereka malah
terwarnai pemerintahan yang sampai hari ini masih saja mewarisi tradisi
Yahudi Belanda.
Bukannya meluruskan sejarah negeri Muslim terbesar di dunia ini,
mereka malah ikut-ikutan latah memelihara warisannya Freemasonry Belanda
ini.
Jika untuk meluruskan sejarah yang kecil saja mereka tidak punya
keberanian sebesar biji dzarrah sekali pun, maka apa lagi yang bisa kita
harapkan dari mereka? [rz]
Sumber: http://www.eramuslim.com/berita/tahukah-anda/merayakan-harkitnas-20-mei-mewarisi-kebodohan-sejarah.htm#.UZsbFcpUOnw
0 Komentar