Oleh: Fahmi Salim, MA
Hari Rabu 13 April 2011 pukul 15.10, penulis berkesempatan menonton film “?” (baca: Tanda Tanya) di Jakarta Theater. Awalnya, saya selaku Direktur Lembaga Kajian Islam dan Arab (LemKIA) Universitas Islam As-Syafi’iyah yang juga anggota Komisi Pengkajian dan Penelitian MUI, ditunjuk oleh Rektor UIA Ibu Prof. DR. Hj. Tutty Alawiyah AS (Ketua MUI bidang Advokasi Perempuan dan Perlindungan Anak), untuk mewakili beliau memenuhi undangan pimpinan MUI menonton film yang kontroversial itu.
Tampak hadir beberapa pimpinan yang saya kenal, Slamet Efendi Yusuf (Ketua MUI Bidang Kerukunan Umat Beragama), Ichwan Syam (Sekjend MUI), KH. Muhyiddin Junaidi (Ketua MUI Bidang Kerjasama Luar Negeri), dan lain-lain. Nonton Bareng (Nobar) unsur pimpinan MUI itu sendiri adalah keputusan musyawarah rapat pimpinan MUI sehari sebelumnya pada 12 April menyusul desakan dan masukan para tokoh dan masyarakat luas kepada MUI untuk menanggapi resmi terhadap konten film tersebut. Para pimpinan MUI sepakat bahwa agar tidak salah menanggapi maka harus menonton terlebih dahulu secara utuh dan bukan atas dasar informasi setengah-setengah.
Duduk di kursi deretan D no. 9, sedari awal saya sudah penasaran. Dan sejak detik pertama tayang, saya terus khusuk memperhatikan dan mencatat setiap kalimat, gerak, adegan dan cuplikan gambar yang ditampilkan.Hampir tak ada satu cuplikan pun yang luput dari perhatian dan kepekaan saya, insya Allah.
Kesan umum yang ditampilkan film besutan sutradara Hanung Bramantyo dari awal sampai akhir adalah fakta yang disodorkan kepada penonton bahwa Islam dus, umatnya adalah agama yang kasar, penuh dengan sikap picik dan kebodohan, intoleran, eksklusif, rasis, suka anarkisdan bahkan menebar terror! Citra Islam dan umatnya betul-betul babak belur ditampilkan oleh sang sutradara film.
Sementara agama dan etnis tertentu (dalam hal ini Katolik dan etnis China) diangkat setinggi langit dan digambarkan sebagai penuh kesantunan, kesabaran, pengertian, penuh kasih, toleran dan sering (tentu saja) jadi korban kekerasan umat Islam.
Adegan pembukanya saja, yang berupa penusukan terhadap seorang pastur gereja Katolik sesaat sebelum kebaktian di halaman gereja, sudah menebarkan fitnah dan kesan kuat bahwa umat Islam adalah otak pembunuhan itu. Adegan itu hanya menampilkan insiden penusukan dan berita media elektronik yang mengutip pernyataan pejabat (dalam hal ini Walikota Semarang) bahwa insiden itu tak ada kaitannya dengan isu agama, alias tindakan kriminal murni. Tanpa ada klarifikasi pengadilan atau motif sama sekali. Namun, siapa pun akan mudah berkesimpulan bahwa tuduhan itu diarahkan kepada Muslim . Kesan ini sudah pasti ditangkap secara umum.
Stereotype Buruk Umat Islam
Alih-alih ingin mengirimkan pesan kuat dari film tentang pentingnya kerukunan dan toleransi hidup umat beragama di tanah air. Justru alur dan segmen cerita yang mengalir dalam film berdurasi 110 menit (dalam hitungan saya) sudah menyuguhkan penggambaran buruk alias stereotipikal terhadap umat Islam, dan tak ketinggalan pula pendiskreditan atas beberapa ajarannya.
Dalam film ini, pimpinan dan pengikut Katolik digambarkan seindah dan sebaik mungkin. Toleran dan bijak adalah sifat mereka. Ketika muncul protes atas peran seorang Muslim bernama Suryo dalam drama penyaliban Yesus Kristus dalam perayaan jumat agung Paskah, tampil Romo katolik yang membela peran tersebut dan meyakinkan jemaat yang protes. “Tak pernah ada dalam sejarah, kehancuran iman disebabkan pementasan drama, tapi hanya kebodohan lah yang jadi penyebab kehancuran iman”, tukas Sang Romo. Bandingkan dengan sikap umat Muslim yang digambarkan penuh kebencian dan intoleran terhadap penganut agama lain, seperti tindakan penusukan dan pengiriman paket bom Natal di dalam gereja saat misa malam Natal. Dengan cerdiknya pula, sang sutradara memang tak menampilkan pemuka agama Islam yang arogan, intoleran dan menebarkan kebencian terhadap penganut agama lain. Namun yang dimunculkan adalah sosok ustad pemuka agama yang inklusif - pluralis dan bahkan mendukung aksi Suryo yang memerankan Yesus Kristus dalam drama penyalibanitu.
Tampak, pesan yang ingin disampaikan adalah selayaknya tokoh Muslim harus meniru sikap dan pandangan ustad yang inklusif dan toleran itu. Apalagi secara terbuka, sang ustad tidak keberatan sama sekali saat menyaksikan Suryo tengah berlatih peran sebagai Yesus Kristus di dalam masjid, yang sebenarnya itu adalah tindakan yang mengotori dan melecehkan masjid sebagai simbol ketauhidan paling murni kepada Sang Khaliq, Allah subhanahu wa ta’ala.
Di sisi lain, penganut Katolik yang murtad dari Islam (Rika) ditampilkan sangat toleran dan inklusif. Buktinya, demikian sang sutradara berimajinasi, ia tetap membiarkan anak semata wayangnya yang bernama Abi sebagai Muslim, memperhatikan aktifitas ibadahnya, memasakkan sahur dan menuntunnya berniat puasa saat Ramadhan, dan bahkan menyelenggarakan syukuran atas prestasi Abi yang berhasil khatam baca al-Qur’an 30 juz dengan membagikan sedekah dan kue kepada teman-teman sekolah dan para orang tuanya. Bandingkan dengan sikap ayah dan ibu Rika yang (digambarkan kuat) telah memutuskan komunikasi karena kekecewaan dan protes mereka atas pilihan murtad sang anak dari Islam. Juga sikap masyarakat sekeliling Rika yang suka menudingnya telah mengkhianati Allah dan suka menganggapnya rendah, sehingga saking seringnya ia diperlakukan seperti itu Rika seperti jadi paranoid yang belum apa-apa langsung bereaksi sensitif terhadap orang yang dijumpainya. Sekali lagi Muslim dituding dan digambarkan intoleran terhadap pilihan murtad seseorang dari agama asalnya.
Lain pula cerita Tan Kat Sun, pemilik restoran China yang menghidangkan Babi disamping ayam, daging sapi dan lainnya. Si majikan Menukini, Muslimah berjilbab yang bekerja sebagai pramusaji restoran, demikian pula isterinya ditampilkan sangat toleran dan inklusif kepada para pramusaji dan tukang masaknya yang rata-rata Muslim. Para pegawainya itu diberikan kebebasan beribadah, dan dalam kondisi tertentu bahkan mengingatkan pegawainya agar jangan telat dan lupa shalat. Selain itu di bulan Ramadhan yang suci dan istimewa bagi umat Islam, meski tetap buka di siang hari, ia mentradisikan menutup kedai makannya itu dengan tirai dan kebijakan untuk tidak menjual hidangan Babi selama bulan suci, dengan resiko sepinya pelanggan yang berdampak pada cash flow. Itu semua demi menghormati umat Muslim. Apalagi ditambah kebiasaannya untuk memberi toleransi tinggi bagi para pegawainya untuk cuti hingga H+ 5 lebaran.
Namun belakangan tradisi dan kebijakan itu dilanggar anaknya sendiri, Hendra, sehingga menyebabkan aksi anarkis atas nama agama (berbau SARA) dengan para pelakunya adalah kader-kader Banser ANSOR yang meneriakkan yel takbir, Allahu Akbar, saat penyerangan terjadi. Di situ jelastergambar, etnis tertentu ditampilkan sebagai korban kekerasan padahal mereka tolerandan damai, dan lagi-lagi umat Islam jadi kambing hitam yang tertuduh!
Inilah yang saya istilahkan bahwa citra dan visualisasi umat Islam betul-betul babak belur, tak ada kebaikan sedikitpun. Jika pun ada, yaitu satu-satunya, ialah adegan Soleh, suami Menuk yang jadi anggota Banser, menyelamatkan jemaat misa Natal di sebuah gereja dari paket bom Natal. Itu pun menurut saya, tak jelas klarifikasi identitas pengirim paket bom, yang biasanya diarahkan kepada kelompok Muslim. Ditambah kesalahan fatal sutradara, alih-alih ingin menggambarkan tindakan heroik Soleh, justru yang terjadi adalah mirip kejadian bunuh dirinya yang dengan sengaja mendekap isi paket bom tersebut di halaman gereja.
Virus Liberal: Pro-Pluralisme Agama
Dalam film ini, propaganda dan kampanye pluralisme agama juga sangat kental. Rika ditampilkan sebagai sosok yang ideal. Ia murtad dari Islam, tapi toleran dan hiduprukun. Pada segmen lain, secara harfiah Rika mengatakan, BAHWA agama-agama ibarat jalan setapak yang berbeda-beda tetapi menuju tujuan yang sama, yaitu Tuhan. Ia pun mengutip ungkapan sebuah buku, “… semua jalan setapak itu berbeda-beda, namun menuju ke arah yang sama; mencari satu hal yang sama dengan satu tujuan yang sama, yaitu Tuhan.” Lebih dari itu, di beberapa segmen lain, langkah Rika yang memilih murtad dari Islam dipuja-puja sebagai “telah mengambil langkah besar dalam hidup”, atau dikesankan “berubah untuk menjadi yang lebih baik”, seperti beberapa kutipan kalimat Suryo dalam film itu.
Selain tidak mempersoalkan kemurtadan seseorang dari Islam, yang dalam pandangan Islam ini adalah soal yang sangat besardan fundamental, film ini juga hendak mengaburkan konsep agama dan Tuhan dalam masing-masing agama.
Padahal, soal kemurtadan, beberapa ayat al-Quran menyebutkan bahaya dan resikonya dunia – akhirat bagi seorang Muslim.
”Barangsiapa yang murtad di antara kamu dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, Maka mereka Itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat, dan mereka Itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.” (QS 2:217).
“Dan orang-orang kafir amal-amal mereka adalah laksana fatamorgana di tanah yang datar, yang disangka air oleh orang-orang yang dahaga, tetapi bila didatanginya air itu Dia tidak mendapatinya sesuatu apapun. dan didapatinya (ketetapan) Allah disisinya, lalu Allah memberikan kepadanya perhitungan amal-amal dengan cukup dan Allah adalah sangat cepat perhitungan-Nya.” (QS 24:39).
Jadi, kemurtadan adalah masalah besar dalam pandangan Islam. Tapi sangat enteng dalam pandangan kaumpluralisdan liberalis! Tindakan murtad semestinya bukan untuk dipertontonkan apalagi diidealkan dengan embel-embel toleran dan suka kerukunan.Dalam perspektif Islam, patutkah seorang bangga dengan kekafirannya?
Konsep Tuhan berikut nama dan sifat-sifat-Nya juga dibuat absurd dan rancu. Contohnya pada segmen Rika, penganut Katolik muallafyang akan dibaptis, saat diberikan tugas menjawab pertanyaan Romo katolik apakah arti penting Tuhan Yesus dalam kehidupan anda? Ia menyatakan bahwa Tuhan itu adalah Allah. Ia memiliki sifat Arrahman, sang maha kasih, Almu’min, sang maha pemberi rasa aman, dst yang ia kutip dan ambil dari Asmaul Husna dalam tradisi khas Islam.
Dalam Islam, hal ini tidak dapat dibenarkan. Konsep Tuhan berikut nama dan sifat-Nya, lengkap dengan tata cara beribadah sesuai yang dikehendaki Allah dari hamba-Nya dalam Islam telah tegas dan jelas dalam tuntunan wahyu Islam, yaitu al-Qur’an dan Hadits Rasul. Ia tidak bisa begitu saja dicampur aduk dengan konsep ketuhanan dalam agama lain yang tidak berbasis kepada wahyu yang otentik dan final dari Allah subhanahu wa ta’ala, seperti penjelasan verbatim dan praktek visual yang dicontohkan oleh Rasulullah Muhammad saw kepada ummat. Ini, hemat saya, bisa dikategorikan penodaan terhadap ajaran Islam, dan juga barangkali akan dinilai sama oleh kalangan Katolik yang menolak pencampuradukan konsep agama dan Tuhan dalam agama mereka dengan Islam.
Walhasil, film ini sarat dengan pesan dan kampanye pluralisme agama yang secara resmi MUItelah memfatwakan bahwa haram hukumnya bagi umat Islam untuk menganut dan memeluk pandangan semacam itu.
Pelecehan terhadap Syariat Islam
Tak hanya sebatas wacana pluralisme agama yang diusung film itu untuk menikam akidah Islam. Film “?” (Tanda Tanya)juga telah memperolok-olok syariat Islam yang abadi dan universal, sehingga dikesankan merendahkan perempuan, intoleran dan anti-HAM, dan penetapan standar halal-haramnya makanan yang abai terhadap ‘kelezatan’lidah. Setidaknya hal ini tersingkap dari kesan implisit yang dimunculkan skenario film itu dalam tiga aspek syariah:
Pertama, dalam kisah flash back Rika digambarkan bahwa ia kecewa terhadap aturan Islam yang melegalkan praktek poligami. Saat suaminya bersikeras ingin berpoligami, Rika menolaknya dan bahkan lebih memilih cerai dari suaminya yang tetap ingin mempertahankan Rika sebagai istri namun dimadu. Selain itu ada kesan bahwa alasan syariat inilah yang memicu Rika menukar agamanya menjadi Katolik.
Penilaian saya itu cukup beralasan, sebab sejauh yang saya amati tidak ada alur kisah lain di luar hikayat poligami itu yang melatari perpindahan agama Rika. Saya berusaha mencari-cari kemungkinan ada kisah lain yang ditampilkan sutradara untuk melatari penyebab ia murtad dari Islam. Namun usaha saya sia-sia, sebab satu-satunya tayangan flash back hanyalah kisah poligami suaminya yang ia tolak.
Olok-olok terhadap syariat poligami dalam Islam dimunculkan secara tersirat, apalagi dalam Katolik (agama baru yang dipilih Rika), poligami dilarang. Sehingga ia merasa nyaman dengan ajaran itu dan (mungkin) karena sebab itu lah ia murtad dari Islam dan memilih Katolik. Sebab dalam Kristen, secara umum, pernikahan harus ‘monogami’karena doktrin Bible yang menyatakan bahwa perempuan (Hawa) diciptakan dari tulang rusuk laki-laki (Adam). Oleh sebab itu jangankan poligami, perceraian pun diharamkan dalam Kristen karena konsep pernikahan mereka adalah hanya satu istri/suami dan untuk selamanya. Berbeda dengan konsepsi Islam yang membolehkan poligami sesuai ketentuan dan syarat yang berlaku, dan juga menghalalkan talak/cerai yang diungkapkan Rasulullah sebagai “tindakan halal yang paling dibenci oleh Allah”.
Kedua, syariat Islam yang melarang perkawinan campur (beda) agama, terutama untuk Muslimah kawin dengan pria non-Muslim, disinggung juga dalam film itu secara halus sekali. Sehingga bagi penonton yang tidak jeli dan peka terhadap setiap kalimat di adegan-adegan film itu tak akan merasakan kejanggalan tersebut.
Pelecehan dan olok-olok terhadap syariat Islam itu tersingkap dari ungkapan curhat Hendra, putra Tan Kat Sun, yang sempat menjalin hubungan asmara dengan Menuk. Saat itu, Hendra yang curhat kepada mamanya, menyesalkan sikap Menuk yang lebih memilih Soleh, lelaki yang seagama dengan Menuk hanya karena alasan iman.
Ia bertutur begini: “…(saya kecewa) bayangkan mi, si Menuk lebih memilih lelaki lain dan bukan aku hanya karena lelaki itu konon taat beragama (seagama)..”, yang saya tangkap adalah karena seagama seakidah. Sikap Menuk ini tentu saja telah sesuai dengan tuntunan syariat Islam yang melarang Muslimah menikah dengan lelaki non-Muslim. Soal ini Al-Qur’an telah dengan gamblang menjelaskan hukumnya dalam dua ayat yaitu Q.s. Al-Baqarah: 221 dan Al-Mumtahinah: 10. Juga diperkuatlagi oleh Ijma’ para ulama dari seluruh mazhab dalam Islam. Sikap tegas syariat Islam yang melarang perempuan Muslimah kawin dengan non-Muslim ini lah yang kerap jadi bulan-bulanan kaum liberal.
Mereka pun menuding aturan semacam itu intoleran terhadap agama lain dan juga bertentangan dengan HAM yang menjamin seseorang untuk menjalin hubungan dan menikah dengan orang yang dicintainya tanpa sekat agama dan etnis. Naifnya, film ini ikut termakan bualan dan ejekan kaum liberal yang suka mempersoalkan ajaran syariah yang sudah baku dan permanen.
Ketiga, secara vulgar adegan dan kalimat di film itu juga terselip kampanye pro babi, jenis hewan yang diharamkan mengkonsumsinya oleh al-Qur’an bagi umat Islam. Dalam ungkapan Tan Kat Sen, dinyatakan “…kalo masak babi lu gak perlu pake bumbu banyak-banyak, karena dagingnya udah gurih. Beda sama ayam, daging sapi, atau cumi, kamu harus royal sama bumbu supaya enak..!” di situ terselip upaya olok-olok terhadap syariat Islam yang mengharamkan babi tanpa alasan jelas, padahal rasanya gurih dan lezat. Bukan sekedar itu, film ini dengan berbagai sorotan vulgarnya juga hendak menggiring opini penonton Muslim agar mengakrabi babi dan tidak perlu menjauhinya, apalagi menganggapnya menjijikkan.
Apakah artinya ini jika bukan memperolok-olok standar dan jenis makanan yang halal dan haram dalam pandangan Islam?
Namun, patut disayangkan film yang disutradari seseorang yang mengaku Muslim dan didanai oleh Mahaka Pictures, anak perusahaan Mahaka Group milik Erik Tohir yang menguasai mayoritas saham Republika, Koran nasional terbesar milik umat Islam, justru terseret arus ikut memperolok-olok beberapa aspek syariat Islam, entah itu disengaja atau tidak.
Kesimpulan
Banyak sekali ditemukan kejanggalan yang sempat saya rekam, seperti terungkap dalam fakta di atas. Sehingga hemat saya film ini tidak layak ditonton oleh umat Islam, karena banyak sekali hal-hal prinsipil dalam ajaran Islam yang dilecehkan –sengaja atau tidak sengaja- di dalam film itu.
Jika sedari awal film itu mengklaim terinspirasi dari kejadian yang sebenarnya seperti terpampang besar di awal screen, maka patut dipertanyakan kesesuaian dengan fakta sesungguhnya di lapangan. Prof. Tutty Alawiyah (Rektor UIA dan Ketua MUI) yang datang saat film telah diputar beberapa menit, ketika saya tanyakan apa kesan dan rekomendasi beliau setelah menyaksikan langsung film itu?, Ia menyatakan bahwa, “isinya terlalu dipaksakan, makna plural jadi kabur karena faktanya hampir susah putri Muslimah cari kerja dan diterima di resto Chinese Food yang menjual hidangan babi. Menurutnya, misi pesan agama juga amburadul, di situ Islam ditonjolkan secara negatifsebagai agama teroris, kasar, menohok dan membenci orang, suka memaki. Apalagi murtad dari Islam dianggap berubah kepada yang lebih baik. Gereja terkesan sangat penuh danumat Islam seadanya.
Walhasil film ini adalah propaganda menyudutkan Islam dan umat Islam. Ustadz digambarkan bodoh, sedangkan Romo Pastur bijaksana. Peran perempuan yang murtad tajam sekali kata-katanya dan sikapnya mengganti agama dianggap hal remeh”.
Beliau pun mengakhiri komentarnya dengan suatu harapan dan permintaan kepada yang berwenang agar film itu ditarik dari peredaran karena jauh dari fakta sebenarnya.Saya pun mengamini dan meminta hal yang sama. Amat miris menyaksikan Islam sebagai agama mayoritas di negeri ini selalu ditampilkan misleading, dan dilecehkan secara sistematis. Itu semua dilakukan atas klaim rapuh kreatifitas seni dan kebebasan berekspresi. Suatu hal yang tak akan dijumpai di belahan dunia manapun di negeri Muslim lainnya. Ironis bukan? Allahumma inni qad ballaghtu, Allahumma fasyhad.*
Penulis adalah Direktur Lembaga Kajian Islam dan Arab (LemKIA) Universitas Islam As-Syafi’iyah dan anggota Komisi Pengkajian dan Penelitian MUI
0 Komentar