Oleh: Bahrul Ulum
Nama
Syed Naquib Al-Attas, bagi kaum Muslimin nusantara tidak asing lagi.
Pendiri Institute of Islamic Thought and Civilization (ISTAC), Kuala
Lumpur, Malaysia Ini adalah salah satu menara keilmuan Islam modern.
Melalui ISTAC, ia punya gagasan dan
proyek menjadikan peradaban Islam kembali hidup dan memiliki pengaruh
yang mewarnai peradaban global umat manusia melalui Islamisasi Ilmu
Pengetahuan.Tentu saja gagasan ini amat mencemaskan perkembangan ilmu
pengetahuan modern.
Namun sebelum kita kaji secara mendalam ide-idenya itu, ada baiknya kita mengenal sosok dan kiprahnya terlebih dulu.
Nama lengkapnya yaitu Syed Muhammad
Naquib bin Ali bin Abdullah bin Muhsin bin Muhammad al-Attas. Ia lahir
pada tanggal 5 September 1931 di Bogor, Jawa Barat, Indonesia. Silsilah
resmi keluarganya yang terdapat dalam koleksi pribadinya menunjukkan
bahwa beliau merupakan keturunan ke 37 dari Nabi Muhammad SAW.[1]
Secara umum, pendidikannya dimulai di
Sukabumi, Jawa Barat (Indonesia) dan Johor Baru (Malaysia).Ketika remaja
masuk militer di Inggris.Setelah itu kuliah di Universitas Malaya (UM)
di Singapura.Ketika masih mengambil program S1 di Universitas Malaya,
al- Attas telah menulis dua buah buku. Buku pertama berjudul “Rangkaian Rubaiyat.”
Buku ini termasuk salah satu karya sastra pertama yang dicetak oleh
Dewan Bahasa dan Pustaka, Kuala Lumpur, pada tahun 1959. Sedangkan buku
kedua yang sekarang menjadi karya klasik yaitu “Some Aspects of Sufism as Understood and Practiced among the Malays”,
yang diterbitkan oleh lembaga penelitian sosiologi Malaysia pada tahun
1963. Sedemikian berharganya buku yang kedua ini, sehingga pemerintah
Kanada melalui “Canada Counsel Fellowship” memberinya beasiswa
untuk belajar di Institute of Islamic Studies, Universitas McGill,
Montreal yang didirikan oleh Wilfred Cantwell Smith.Akhirnya Al-Attas
pun melanjutkan studinya hingga memperoleh gelar M.A dari kampus
tersebut.Ia lulus tahun 1962, dengan tesis berjudul “Raniri and the Wujudiyyah of 17th Century Acheh.”
Kemudian ia melanjutkan ke Ph.D
University of London di Inggris, dengan fokus kajian pada teologi dan
metafisika alam. Di universitas inilah al-Attas berkenalan dengan
beberapa orang sarjana ternama seperti Sir Hamilton Gibb (Inggris),
Fazlur Rahman (Pakistan), Toshihiko Izutsu (Jepang), dan Sayyed Hossein
Nashr (Iran).[2]
Dan selama kurang lebih dua tahun
(1963-1965) atas bimbingan Prof. Martin Lings, al-Attas menyelesaikan
perkuliahan dan meraih gelar Ph.D (Philosophy Doctor) dalam
bidang filsafat Islam dan kesusastraan Melayu Islam dengan
mempertahankan disertasi yang berjudul Mistisisme Hamzah Fansuri dengan
predikat cumlaude. Disertasi tersebut telah dibukukan dengan judul “Mysticism of Hamzah Fansuri”.[3]
Dalam perjalanan karir akademiknya,
al-Attas mengawali karirnya dengan menjadi seorang dosen.Dia banyak
membina perguruan tinggi dan ikut berpartisipasi dalam pendirian
universitas di Malaysia, baik sebagai ketua jurusan, dekan, direktur dan
rektor.Pada tahun 1968-1970 al-Attas menjabat sebagai ketua Departemen
Kesusastraan dalam Pengkajian Melayu.al-Attas merancang dasar bahasa
Malaysia pada tahun 1970. Dan pada tahun 1970-1973 al-Attas menjabat
Dekan pada Fakultas Sastra di universitas tersebut. Akhirnya pada
tanggal 24 januari 1972 dia diangkat menjadi Profesor Bahasa dan
Kesusastraan Melayu, dalam pengukuhannya dia membacakan pidato ilmiah
yang berjudul Islam dalam Sejarah dan Kebudayaan Melayu.[4]
Al-Attas telah menulis sekitar 26 buku
dan monograf dalam bahasa Inggris dan Melayu, banyak dari buku dan
monograf itu yang telah diterjemahkan ke bahasa lain seperti bahasa
Arab, Persia, Turki, Urdu, Malayalam, Indonesia, Perancis, Jerman,
Rusia, Bosnia, Jepang, India, Korea dan Albania. Berikut adalah
karyakaryanya yang telah diterbitkan diantaranya yaitu:Rangkaian
Rubaiyat, Some Aspects of Sufism as Understood and Practiced Among the
Malays, Raniri and the Wujudiyyah of 17th Century Acheh, The Mysticism
of Hamzah Fansuri, Risalah Untuk Kaum Muslimin, Islam and Secularism,
The Concept of Education in Islam, A Commentary on the Hujjat al Siddiq
of Nur al Din al Raniri, Islam and the Philosophy of Science,
Prolegomena to the Metaphysics of Islam: an Exposition of the
Fundamental Elements of the Worldview of Islam, dan lainnya.[5]
Definisi ilmu Menurut Al-Attas
Sebelum menyebarkan gagasannya,
Al-Attas terlebih dulu mendefinsikan apa itu ilmu pengetahuan. Baginya
hal ini penting, karena mendefinisikan ilmu pengetahuan bukan perkara
mudah.Salah satu problem umat Islam saat ini diantaranya ketidakmampuan
mendefinisikan sebuah konsep dengan benar.[6]
Karenanya, kemudian Al-Attas
mendefinisikan ilmu sebagai sebuah makna yang datang ke dalam jiwa
bersamaan dengan datangnya jiwa kepada makna dan menghasilkan hasrat
serta kehendak diri.[7]Dengan
kata lain, hadirnya makna ke dalam jiwa berarti Tuhan sebagai sumber
pengetahuan, sedangkan hadirnya jiwa kepada makna menunjukkan bahwa jiwa
sebagai penafsirnya.[8]
Berpijak pada pemahaman ini Al-Attas
mendefinisikan ilmu sebagai satu kesatuan antara orang yang mengetahui
dengan makna, dan bukan antara yang mengetahui (subyek ilmu) dengan yang
diketahui (obyek ilmu).Unsur-unsur makna ini dikonstruksikan oleh jiwa
dari obyek-obyek yang ditangkap oleh indera ketika jiwa menerima
iluminasi dari Allah swt, dan berarti unsur-unsur tersebut tidak
terdapat dalam obyek-obyek yang ada.[9]
Dalam mendefisikan ilmu, Al-Attas
memegang teguh unsur penting yang menjadi dimensi dari ilmu pengetahuan
yaitu jiwa, makna, serta sifat-sifat dan kegunaan ilmu pengetahuan.
Dalam unsur tersebut jiwa merupakan
dimensi penting sehingga definisi ilmu pengetahuan harusmemposisikan
jiwa manusia sebagai entitas spiritual yang aktif untuk mempersiapkan
diri dalam menerima makna yang merupakan bentuk intelijibel.
Sebagai agama yang datang dari Tuhan, Islam tidak hanya memperhatikan dimensi fisik tetapi juga jiwa.[10]Bahkan
porsi perhatian terhadap jiwa jauh lebih besar dibanding fisik.Ini
karena lewat dimensi jiwa dapat dibedakan antara orang yang baik dan
tidak baik.
Menurut Al-Attas, jiwa memiliki dua
aspek dalam hubungan penerima dan pemberi efek. Pada saat menerima efek,
dia berhubungan dengan apa yang lebih tinggi dari “derajat” dirinya.
Jiwa akan berperan sebagai pemberi efek pada saat ia berhubungan dengan
sesuatu yang lebih rendah sehingga timbul prinsip etis sebagai petunjuk
bagi tubuh untuk menentukan mana yang baik dan buruk. Sedangkan pada
saat jiwa berhubungan dengan realitas yang lebih tinggi maka pada saat
itulah ia akan menerima ‘pengetahuan’.[11]
Jiwa manusia memiliki kekuatan (quwā)
yang termanifestasi melalui hubungannya dengan tubuh.Iamirip sebuah
genus yang terbagi menjadi tiga jiwa yang berbeda yaitu: jiwa vegetatif
(al-nabātiyyah), jiwa hewani (al-hayawāniyyah), dan jiwa insani
(alinsāniyyah) atau jiwa rasional (al-nātiqah). Jiwa vegetatif memiliki
fungsi sebagai kekuatan nutrisi, pertumbuhan dan regenerasi atau
reproduksi.Kekuatan khas pada jiwa hewani adalah penggerak (motive) dan
perseptif.Sedang jiwa insani atau rasional memiliki dua kekuatan yaitu
intelek aktif (praktis) dan intelek kognitif. Intelek aktif yaitu yang
mengatur gerak tubuh manusia, mengarahkan tindakan indvidu (dalam
kesepakatan dengan fakultas teoritis atau intelek kognitif), bertanggung
jawab akan emosi manusia, mengatur obyek fisik dan menghasilkan
keterampilan dan seni, serta memunculan premis-premis dan kesimpulan.
Sedangkan Intelek kognitif adalah daya jiwa untuk menerima kekuatan
kreatif dari pengetahuan melalui inteleksi dan intuisi jiwa. Kekuatan
intelek kognitif ini bersifat spekulatif (nazariyyah).[12]
Sebagaimana jiwa manusia yang memiliki
beberapa istilah, makna(ma’na) menurut al-Attas juga merujuk kepada
beberapa nama. Pada hakikatnya makna merupakan bentuk intelijibel yang
berkaitan dengan kata, ekspresi, atau simbol yang diterapkan untuk
menunjukkan itu. Ketika itu kata, ekspresi, atau simbol menjadi gagasan
dalam pikiran (‘aql: nutq) hal itu disebut ‘dipahami’(mahfūm). Sebagai
bentuk Intelijibel yang dibentuk untuk menjawab pertanyaan “apa itu?”
bentuk intelijibel itu disebut ‘esensi’ (māhiyyah). Apabila ia dianggap
sebagai sesuatu yang ada di luar pikiran, atau secara obyektif hal itu
disebut ‘realitas’ (haqīqah). Sebagai suatu realitas yang membedakan
sesuatu dari yang lainnya, maka ia disebut ‘individualitas’ atau
‘eksistensi individu’ (huwiyyah). Secara umum makna (ma’na) diartikan
sebagai “the recognition of the place of anything in a system” atau
pengenalan terhadap ‘tempat’ dari segala sesuatu di dalam sebuah
sistem. Konsep ‘tempat’ pada definisi makna, mengacu kepada pengenalan
terhadap ‘tempat yang tempat’ yang berkaitan domain ontologis yang
mencakup manusia dan dunia empiris, serta domain ontologis yang mencakup
aspek relijius pada eksistensi manusia.
Makna harus melibatkan pengakuan
terhadap tempat segala sesuatu di dalam sistem sehingga ilmu pengetahuan
sejati terdiri atas pengakuan terhadap ‘tempat yang tepat’ bagi Allah
swt dalam urutan “being” dan eksistensi. Al-Attas menegaskan bahwa
“tempat” merujuk kepada letaknya yang wajar dalam sistem, yaitu sistem
pemikiran dalam al-Qur’an yang diuraikan secara sistematis melalui
tradisi para nabi dan dituturkan oleh agama sebagai suatu pandangan alam
(worldview ) sehingga menghantarkan kepada pengenalan terhadap Tuhan
Semesta Alam.[13]
Dari penjelasan ini dapat kita tarik
benang merah bahwa ilmu pengetahuan tanpa pengakuan terhadap eksistensi
Tuhan, bukan merupakan ilmu pengetahuan yang sesungguhnya.
Salah satu aspek dari ilmu pengetahuan
yang dibahas secara substansial oleh al-Attas yaitu sifat dan kegunaan
ilmu pengetahuan yang berbeda dengan kegunaan dan sifat ilmu dalam
pandangan hidup Barat (Western Worldview) terutama dalam memandang
realitas dan hakikat kebenaran. Pandangan alam Barat tersebut telah
menyebabkan pengaburan antara yang haq dan yang batil, ‘yang
sebenarnya’ dengan ‘yang palsu’, karena ilmu telah terlepas dari Iman
atau Tuhan dan hal-hal yang bersifat metafisik akibat Sekularisasi.
Padahal dalam pandangan alam Islami, Iman mengandung unsur ilmu yang
memahamkan tentang kebenaran pada akal manusia.[14]
Sifat dan kegunaan Ilmu pengetahuan
menurut al-Attas diantaranya; Ilmu pengetahuan yang sejati mungkin untuk
dicapai manusia karena ciri atau sifat Ilmu pengetahuan dalam Islam
memiliki ketegasan langsung pada manusia dan tidak bisa menunda
keputusan terhadap kebenaran pengetahuan tersebut di masa mendatang.
Ilmu yang benar dapat meyakinkan dan memahamkan secara nyata dan
merupakan sifat yang akan menghapuskan kejahilan, keraguan dan dugaan.
Ilmu Pengetahuan sejati merupakan pengetahuan yang mengenali batas
kebenaran dalam setiap obyeknya melalui kebijaksanaan. Kebijaksanaan
tersebut pada gilirannya akan menghantarkan manusia menjadi seseorang
yang beradab. Ilmu pengetahuan tersebut diperoleh manusia melalui
hidayah Allah swt dan bukan diawali oleh keraguan sebagaimana
epistemologi Barat. Ilmu pengetahuan menurut al-Attas bersifat tidak
netral atau tidak bebas nilai karena ia dipengaruhi oleh nilai-nilai
yang terdapat dalam diri manusia sebagai subyek ilmu.
Islamisasi Ilmu Pengetehuan Menurut Al-Attas
Al-Attas melihat bahwa ilmu
pengetahuan yang ada ini tidak bersifat netral, sehingga ilmu pun tidak
dapat berdiri bebas nilai. Menurutnya, ilmu tidaklah bebas nilai (value-free) akan tetapi syarat nilai (value laden).[15]
Ironisnya, ilmu yang ada ini sudah
terbaratkan atau tersekulerkan.Pengetahuan dan ilmu yang tersebar sampai
ke tengah masyarakat dunia, termasuk masyarakat Islam, telah diwarnai
corak budaya dan peradaban Barat.Apa yang dirumuskan dan disebarkan
adalah pengetahuan yang dituangi dengan watak dan kepribadian peradaban
Barat.
Pengetahuan yang disajikan dan dibawakan itu berupa pengetahuan yang semu yang dilebur secara halus dengan yang sejati (the real)
sehingga manusia yang mengambilnya dengan tidak sadar seakan-akan
menerima pengetahuan yang sejati.Karena itu, al-Attas memandang bahwa
peradaban Barat tidak layak untuk dikonsumsi sebelum diseleksi terlebih
dahulu.[16]
Kehidupan Barat yang bercirikan sekuler
telah menjadikan sains (ilmu pengetahuan) sebagai satu-satunya
pengetahuan yang bersifat otentik yang hanya dikaitkan dengan fenomena
semata.Kriteria untuk mengukur sebuah kebenaran juga hanya berpatokan
pada rasio.
Pandangan seperti itu muncul karena
sains Barat tidak dibangun di atas wahyu.Ia dibangun di atas budaya yang
diperkuat oleh spekulasi filosofis kehidupan sekuler yang memusatkan
manusia sebagai makhluk rasional. Akibatnya, ilmu pengetahuan,
nilai-nilai etika dan moral, yang diatur oleh rasio manusia, terus
menerus berubah.
Inilah yang dikritisi oleh Al-Attas.Pandangan tersebut menurutnya tidak sesuai dengan epistimologi Islam.
Menurut al-Attas, pengetahuan Barat telah membawa kebingungan (confusion) dan skeptisisme (skepticism).Barat
telah mengangkat sesuatu hal yang masih dalam keraguan dan dugaan ke
derajat ilmiah dalam hal metodologi.Peradaban Barat juga memandang
keragu-raguan sebagai suatu sarana epistimologis yang cukup baik dan
istimewa untuk mengejar kebenaran.Tidak hanya itu, pengetahuan Barat
juga telah membawa kekacauan pada tiga kerajaan alam yaitu hewan, nabati
dan mineral.[17]
Padahal sejatinya, Islam telah memberi
kontribusi yang sangat berharga pada peradaban Barat dalam bidang
pengetahuan dan menanamkan semangat rasional serta ilmiah, meski diakui
bahwa sumber asalnya juga berasal dari Barat sendiri, yakni dari para
filosof Yunani. Namun berkat kegigihan usaha para sarjana dan
cendekiawan muslim di masa klasik, warisan yunani tersebut dapat digali
dan dikembangkan. Bahkan, pengetahuan-pengetahuan telah diaplikasikan
untuk kesejahteraan umat manusia, setelah dilakukan usaha-usaha secara
ilmiah melalui penelitian dan percobaan.Barat mengambil alih pengetahuan
dan ilmu tersebut dari dunia Islam.Pengetahuan dan semangat rasional
serta semangat ilmiah tersebut dibentuk dan dikemas kembali untuk
disesuaikan dengan kebudayaan Barat sehingga lebur dan terpadu dalam
suatu dualisme menurut pandangan hidup (worldview) dan
nilai-nilai kebudayaan serta peradaban Barat.Menurut al-Attas, dualisme
tidak mungkin diselaraskan karena terbentuk dari ide-ide, nilai-nilai,
kebudayaan, keyakinan, filsafat, agama, doktrin, dan teologi yang
bertentangan.[18]
Kebenaran dan realitas dalam pandangan
Barat tidak diformulasikan atas dasar pengetahuan wahyu dan keyakinan,
melainkan atas tradisi budaya didukung dengan premis-premis filosofis
yang didasarkan pada spekulasi atau perenungan-perenungan, terutama yang
berkaitan dengan kehidupan duniawi yang berpusat pada manusia (antropomorfisme),
sebagai makhluk fisik dan sekaligus sebagai makhluk rasional.
Perenungan filsafat tidak akan menghasilkan suatu keyakinan sebagaimana
yang diperoleh dari pengetahuan wahyu yang dipahami dan dipraktikkan
dalam Islam. Karena itu, pengetahuan dan nilai-nilai yang mendasari
pandangan hidup (worldview) dan mengarahkan kepada kehidupan Barat menjadi tergantung pada peninjauan (review) dan perubahan (change) yang tetap.[19]
Sedang kelahiran ilmu dalam Islam,
menurut Al-Attas , didahului oleh tradisi intelektual yang tak lepas
dari lahirnya pandangan hidup Islam yang bersumber dari al-Qur`an dan
penjelasannya dari Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam (SAW).
Berdasar inilah, sains dalam Islam
menempatkan wahyu sebagai sumber ilmu untuk alat ukur sebuah kebenaran
akhir.Wahyu menjadi dasar bagi kerangka metafisis untuk mengupas
filsafat sains sebagai sebuah sistem yang menggambarkan realitas dan
kebenaran dari sudat pandang rasionalisme dan empirisisme.
Realitas dan kebenaran dalam Islam bukan
semata-mata pikiran tentang alam fisik dan keterlibatan manusia dalam
sejarah, sosial, politik, dan budaya, sebagaimana yang ada di dalam
konsep Barat. Namun, ia dimaknai berdasarkan kajian metafisika terhadap
dunia yang tampak dan tidak tampak.
Pandangan hidup Islam mencakup dunia dan
akhirat. Aspek dunia itu harus dihubungkan dengan cara yang sangat
mendalam kepada aspek akhirat, dan aspek akhirat memiliki signifikansi
yang terakhir dan final.
Pandangan hidup dalam Islam, menurut al-Attas, adalah visi mengenai realitas dan kebenaran (the vision of reality and turth).
Realitas dan kebenaran dalam Islam bukanlah semata-mata fikiran tentang
alam fisik dan keterlibatan manusia dalam sejarah, sosial, politik dan
budaya sebagaimana yang ada di dalam konsep Barat sekuler mengenai
dunia, yang dibatasi kepada dunia yang dapat dilihat. Akan tetapi
realitas dan kebenaran dalam Islam dimaknai berdasarkan kajian metafisis
terhadap dunia yang nampak dan tidak nampak.Pandangan hidup Islam tidak
berdasarkan kepada metode dikotomis seperti obyektif dan subyektif,
historis dan normatif.Namun, realitas dan kebenaran dipahami dengan
metode yang menyatukan (tauhid).Pandangan hidup Islam bersumber
kepada wahyu yang didukung oleh akal dan intuisi.Substansi agama seperti
keimanan dan pengalamannya, ibadahnya, doktrinnya serta sistem
teologinya telah ada dalam wahyu dan dijelaskan oleh Nabi.[20]
Dengan demikian, sangat jauh berbeda antara pandangan hidup (worldview) yang dibawa oleh Barat dari nilai-nilai keislaman (al-qiyam al-islamiyah).Karena
Barat mendasarkan segala sesuatunya dengan kecenderungan pada
dikotomisme sedangkan Islam pada konsep tauhid. Dari situlah kemudian
al-Attas mencoba untuk menggagas sebuah konsep islamisasi yang
diharapkan dari konsep ini akan meng-counter peradaban Barat yang
sekuler.[21]
Kita berharap konsep ini dapat menolak
posisi sains modern sebagai sumber pencapaian kebenaran yang paling
otoritatif dalam kaitannya dengan epistemologis, karena banyak kebenaran
agama yang tak dapat dicapai oleh sains yang hanya berhubungan dengan
realitas empirik.
[1]Wan Mohd Nor Wan Daud, The Educational Philosophy and Practice of Syed M. Naquib Al-Attas (Malaysia: ISTAC, 1998), hal.2
[2]Ibid hal. 49
[3]Hasan Mu’arif Ambary et.al, Suplemen Ensiklopedi Islam (Jakarta: P.T. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1995), hal. 78
[4]Ismail SM, Paradigma pendidikan Islam Prof. Dr. Syed Muhammad Naquib al-Attas (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999), hal. 271-272
[5]Tentang biografi al-Attas juga dapat dilihat dalam bukunya Kemas Badarudin, Filsafat Pendidikan Islam: Analisis Pemikiran Prof. M. Naquib al-Attas(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009, cet. ke-2). Sedangkan untuk karya al-Attas lihat dalam Wan Daud, The Educational Philosophy…, hal. 10-13.
[6] Wan Mohd Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed M. Naquib al-Attas, Bandung: Mizan, 1998, hlm. 142.
[7]
Syed Muhammad Naquib al-Attas, Tinjauan Ringkas Peri Ilmu dan Pandangan
Alam, Pulau Pinang : Penerbit Universiti Sains Malysia, 2007, hlm. 13,
39
[8]
Syed Muhammad Naquib al-Attas, Prolegomena to the Metaphysics of
Islam, Kuala Lumpur : International Institute of Islamic Thought and
Civilization (ISTAC), 2001, hlm. 133.
[9] Wan Mohd Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam, hlm. 149
[10]
Dalam tradisi Islam, jiwa manusia dikenal dengan sebutan nafs, ‘aql,
qalb, dan ruh. Keempat istilah tersebut pada hakikatnya adalah realitas
tunggal dengan empat keadaan (ahwal/ modes) yang berbeda, dan
masing-masing terlibat dalam kegiatan-kegiatan yang bersifat kognitif,
empiris, intuitif dan spiritual.
[11]Syed Muhammad Naquib al-Attas, Prolegomena to the Metaphysics of Islam, hlm. 156
[12]Syed Muhammad Naquib al-Attas, Tinjauan Ringkas Peri Ilmu, hlm. 42
[13] Ibid
[14]Syed Muhammad Naquib al-Attas, Tinjauan Ringkas Peri Ilmu , hlm. 2
[15]Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam and Secularism (Kuala Lumpur: ISTAC, 1993), p. 134.Lihat juga Syed Muhammad Naquib al-Attas, Aims and Objectives of Islamic Education (London: Hodder & Stouhton, 1979) 19-20. Terkait dengan ilmu adalah syarat nilai (value laden) dapat dilihat dalam bukunya Suparlan Suhartono, Filsafat Ilmu Pengetahuan (Jogjakarta: Ar-Ruz, 2005), p. 7, 178-179. Dan menurut Thomas Samuel Kuhn, karena ilmu itu merupakan humanand social construction maka ilmu itu tidak bebas nilai, lihat dalam Muhammad Muslih, Filsafat Ilmu; Kajian atas Asumsi Dasar Paradigma dan Kerangka Teori Ilmu Pengetahuan, (Yogyakarta: Belukar, 2008, cet ke-5), hal.129
[16]Abdullah Ahmad Na’im, dkk., Pemikiran Islam Kontemporer(Yogyakarta: Jendela, 2003), p. 338
[17]Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam dan Sekularisme,
Terj. Karsidjo Djojosuwarno (Bandung: Pustaka, 1981), p. 195-196.
Tentang pengaruh Barat ini dapat dilihat juga dalam bukunya A.M.
Saefuddin et al, Desekularisasi Pemikiran: Landasan Islamisasi (Bandung: Mizan, 1991, cet. ke-3), hal. 107
[18]al-Attas, Islam dan Sekularisme…, hal. 197-198
[19]al-Attas, Islam dan Sekularisme…, hal. 20
[20]Adnin Armas, Westernisasi dan Islamisasi Ilmu,
Islamia, THN II NO.6 (Juli-September, 2005), p.14.Tulisan ini telah
dibukukan dan diterbitkan oleh Center for Islamic & Occidental
Studis (CIOS) pada tahun 2007 dengan judul “Krisis Epistemologi dan Islamisasi Ilmu”.
[21]al-Attas
membedakan konsep sekularisasi dan sekularisme. Sekularisasi adalah
suatu proses yang berkelanjutan dan terbuka di mana pandangan dunia (worldview)
secara terus menerus di perbaharui sesuai dengan revolusi sejarah,
sedangkan sekularisme memproyeksikan suatu pandangan dunia (worldview)
yang tertutup dan seperangkat nilai yang mutlak, sejalan dengan tujuan
akhir sejarah yang bermakna final bagi manusia. al-Attas, Islam dan Sekularisme…, hal. 21-22


0 Komentar