Islamisasi merupakan sebuah karkter dan identitas Islam sebagai pandangan hidup (worldview)[2] yang di dalamnya terdapat pandangan integral terhadap konsep ilmu (epistemology) dan konsep Tuhan (theology). Bahkan bukan hanya itu, Islam adalah agama yang memiliki pandangan yang fundamental
tentang Tuhan, kehidupan, manusia, alam semesta, dan lain sebagainya.
Oleh sebab itu, Islam adalah agama sekaligus peradaban.[3]
Secara
historis, ide atau gagasan islamisasi ilmu pengetahuan muncul pada saat
diselenggarakan konferensi dunia yang pertama tentang pendidikan Islam
di Makkah pada tahun 1977. Konferensi yang diprakarsai oleh King Abdul
Aziz University ini berhasil membahas 150 makalah yang ditulis oleh
sarjana-sarjana dari 40 negara, dan merumuskan rekomendasi untuk
pembenahan serta penyempurnaan sistem pendidikan Islam yang
diselenggarakan oleh umat Islam seluruh dunia. Salah satu gagasan yang
direkomendasikan adalah menyangkut islamisasi ilmu pengetahuan. Gagasan
ini antara lain dilontarkan oleh Syed Muhammad Naquib al-Attas dalam
makalahnya yang berjudul “ Preliminary Thoughts on the Nature of Knowledge and the Definition and the Aims of Education, dan Ismail Raji al- Faruqi dalam makalahnya “Islamicizing social science.”[4]
Dari
kedua makalah ini kemudian gagasan tentang islamisasi ilmu pengetahuan
menjadi tersebar luas ke masyarakat muslim dunia. Pihak pro maupun
kontra-pun bermunculan. Diantara tokoh yang mendukung “pro” terhadap
proyek islamisasi tersebut antara lain adalah Seyyed Hossein Nasr
(1933), Ziauddin Sardar (1951) dan beberapa tokoh lain yang menolak
adanya westernisasi ilmu.[5] Sedangkan pihak yang menentang “kontra” terhadap gagasan islamisasi ini yaitu beberapa
pemikir muslim kontemporer seperti Fazlur Rahman, Muhsin Mahdi, Abdus
Salam, Abdul Karim Soroush dan Bassam Tibi. Mereka bukan hanya menolak
akan tetapi juga mengkritik gagasan islamisasi ilmu pengetahuan.
Sebagaimana Fazlur Rahman, misalnya, dia berpendapat bahwa ilmu
pengetahuan tidak bisa diislamkan karena tidak ada yang salah di dalam
ilmu pengetahuan. Masalahnya hanya dalam penggunaannya. Menurut Fazlur
Rahman, ilmu pengetahuan memiliki dua kualitas. Dia kemudian
mencontohkan seperti halnya “senjata bermata dua” yang harus digunakan
dengan hati-hati dan bertanggung-jawab sekaligus sangat penting
menggunakannya secara benar ketika memperolehnya.[6]
Melihat
dari pro kontra inilah kemudian diskursus mengenai islamisasi menjadi
sesuatu hal yang menarik. Dan makalah ini setidaknya akan menjadi sebuah
‘‘bentuk penilaian’’ bagi para pembaca khususnya para
akademisi muslim yang terlibat di dunia pemikiran, dalam melihat ide
atau gagasan islamisasi ini. Karena dengan memahami tentang konsep yang
digagas oleh Syed Muhammad Naquib al-Attas dan dipopulerkan oleh Ismail
Raji al- Faruqi tentang islamisasi yang ditulis dalam makalah ini, maka
diharapkan para pembaca akan dapat mengambil gambaran secara umum
tentang konsep islamisasi yang dibawa oleh kedua tokoh tersebut dan
dapat memberikan penilaian sendiri terhadapnya.
Sekilas Biografi Tokoh
Syed
Muhammad Naquib bin Ali bin Abdullah bin Muhsin bin Muhammad al-Attas
lahir pada tanggal 5 September 1931 di Bogor, Jawa Barat, Indonesia.
Silsilah resmi keluarga Naquib al-Attas yang terdapat dalam koleksi
pribadinya menunjukkan bahwa beliau merupakan keturunan ke 37 dari Nabi
Muhammad SAW.[7]
Secara
umum, pendidikan al-Attas bermula di Sukabumi (Indonesia) dan Johor
Baru (Malaysia). Setamat dari situ al-Attas masuk militer di Inggris,
kemudian kuliah di Universitas Malaya (UM) di Singapura. Untuk
selanjutnya al-Attas melanjutkan studinya hingga memperoleh gelar M.A
dan Ph.D, masing-masing dari McGill University, Montreal di Canada dan
University of London di Inggris, dengan fokus kajian pada teologi dan
metafisika alam. Ketika masih mengambil program S1 di Universitas
Malaya, al- Attas telah menulis dua buah buku. Buku pertama adalah “Rangkaian Rubaiyat.”
Buku ini termasuk di antara karya sastra pertama yang dicetak oleh
Dewan Bahasa dan Pustaka, Kuala Lumpur, pada tahun 1959. Sedangkan buku
kedua yang sekarang menjadi karya klasik adalah “Some Aspects of Sufism as Understood and Practiced among the Malays”,
yang diterbitkan oleh lembaga penelitian sosiologi Malaysia pada tahun
1963. Sedemikian berharganya buku yang kedua ini, pemerintah Kanada
melalui “Canada Counsel Fellowship” memberinya beasiswa untuk
belajar di Institute of Islamic Studies, Universitas McGill, Montreal
yang didirikan oleh Wilfred Cantwell Smith. Di universitas inilah
al-Attas berkenalan dengan beberapa orang sarjana ternama seperti Sir
Hamilton Gibb (Inggris), Fazlur Rahman (Pakistan), Toshihiko Izutsu
(Jepang), dan Sayyed Hossein Nashr (Iran).[8]
Pada tahun 1962, al-Attas mendapat gelar M.A. dengan tesis yang berjudul “Raniri and the Wujudiyyah of 17th Century Acheh.”
Dan selama kurang lebih dua tahun (1963-1965) atas bimbingan Prof.
Martin Lings, al-Attas menyelesaikan perkuliahan dan meraih gelar Ph.D (Philosophy Doctor)
dalam bidang filsafat Islam dan kesusastraan Melayu Islam dengan
mempertahankan disertasi yang berjudul Mistisisme Hamzah Fansuri dengan
predikat cumlaude. Disertasi tersebut telah dibukukan dengan judul “Mysticism of Hamzah Fansuri”.[9]
Dalam
perjalanan karir akademiknya, al-Attas mengawali karirnya dengan
menjadi seorang dosen. Dia banyak membina perguruan tinggi dan ikut
berpartisipasi dalam pendirian universitas di Malaysia, baik sebagai
ketua jurusan, dekan, direktur dan rektor. Pada tahun 1968-1970 al-Attas
menjabat sebagai ketua Departemen Kesusastraan dalam Pengkajian Melayu.
al-Attas merancang dasar bahasa Malaysia pada tahun 1970. Dan pada
tahun 1970-1973 al-Attas menjabat Dekan pada Fakultas Sastra di
universitas tersebut. Akhirnya pada tanggal 24 januari 1972 dia diangkat
menjadi Profesor Bahasa dan Kesusastraan Melayu, dalam pengukuhannya
dia membacakan pidato ilmiah yang berjudul Islam dalam Sejarah dan
Kebudayaan Melayu.[10]
Al-Attas
telah menulis sekitar 26 buku dan monograf dalam bahasa Inggris dan
Melayu, banyak dari buku dan monograf itu yang telah diterjemahkan ke
bahasa lain seperti bahasa Arab, Persia, Turki, Urdu, Malayalam,
Indonesia, Perancis, Jerman, Rusia, Bosnia, Jepang, India, Korea dan
Albania. Berikut adalah karyakaryanya yang telah diterbitkan diantaranya
yaitu: Rangkaian Rubaiyat, Some Aspects of Sufism as Understood and
Practiced Among the Malays, Raniri and the Wujudiyyah of 17th Century
Acheh, The Mysticism of Hamzah Fansuri, Risalah Untuk Kaum Muslimin,
Islam and Secularism, The Concept of Education in Islam, A Commentary on
the Hujjat al Siddiq of Nur al Din al Raniri, Islam and the Philosophy
of Science, Prolegomena to the Metaphysics of Islam: an Exposition of
the Fundamental Elements of the Worldview of Islam, dan lainnya.[11]
Adapun Ismail R. al-Faruqi lahir di Yaifa (Palestina) pada tanggal 1 Januari 1921 dan meninggal dunia pada tanggal 24 Mei 1986.[12]
Pendidikan dasarnya dilalui di College Des Frese, Libanon sejak 1926
sampai 1936. Kemudian dia memperoleh gelar BA-nya pada tahun 1941 di The American University, Beirut.[13]
Sedangkan gelar masternya diraih di Indiana dan pada tahun 1952 dia
mencapai gelar doktoral (Phd.) dari Universitas Indiana, Harvard.
Meskipun al-Faruqi berhasil menyelesaikan gelar doktoral dalam filsafat
Barat, dikarenakan langkanya kesempatan kerja dan juga dorongan batin,
membawanya kembali ke akar dan warisan kecendekiawanan islamnya. Dia
meninggalkan Amerika menuju Kairo.
Ismail
R. al-Faruqi memulai karir profesionalnya sebagai guru besar sudi Islam
pada Institut Pusat Riset Islam di Karachi dari tahun 1961 sampai 1963.
Selama setahun berikutnya setelah dia kembali ke Amerika, al-Faruqi
menjadi guru besar tamu dalam bidang sejarah agama di Universitas
Chicago. Pada tahun 1964, al-Faruqi memperoleh posisi permanen penuh
pertamanya sebagai guru besar luar biasa di Jurusan Agama pada
Universitas Syracuse. Dia akhirnya pindah ke Universitas Temple pada
tahun 1968 untuk menjadi guru besar studi Islam dan sejarah agama. Ini
adalah posisi yang didudukinya sampai dia wafat pada tahun 1986.[14] Selain mengajar, al-Faruqi juga mendirikan International Institute of Islamic Thought
(IIIT) pada 1980 di Amerika Serikat, sebagai bentuk nyata gagasan
Islamisasi Ilmu Pengetahuan. Kini lembaga tersebut memiliki banyak
cabang di berbagai Negara, termasuk di Indonesia dan Malaysia.
Sebelumnya pada tahun 1972, al-Faruqi telah mendirikan The Association of Muslim Social Scientist. Kedua lembaga yang didirikannya itu menerbitkan jurnal Amerika tentang Ilmu-ilmu sosial Islam.
Selama
hidupnya, al-Faruqi telah menulis banyak tulisan, baik di majalah
ilmiah maupun populer, dan juga buku. Lebih dari dua puluh buku dalam
berbagai bahasa telah ditulisnya, dan tidak kurang dari seratus artikel
telah dipublikasikan. Seluruh tulisannya pada dasarnya adalah gagasan-
gagasan cerah dan teorinya untuk memperjuangkan proyek integrasi ilmu,
yang dikemas dalam bingkai besar islamisasi ilmu pengetahuan. Beberapa
karyanya adalah sebagai berikut: Christian Ethics: A Systematic and
Historical Analysis of Its Dominant Ideas, The Great Asian Religions,
Historical Atlas of the Religions of the World, Sources of slamic
Thought: Three Epistles on Tawhid by Muhammad ibn ‘Abd al Wahhab, Islam and Culture, Islamic Thought and Culture, Islamization of Knowledge, Tawhid: Its Implications For Thought And Life dan lainnya. Beberapa
karya penting Ismail Raji al-Faruqi sudah diterjemahkan ke dalam bahasa
Indonesia. Pemikiran-pemikirannya dapat diamati dari karyakaryanya
tersebut. Pemikiran-pemikirannya tentang Islam dianggap mempunyai nilai
penting, karena selain perhatiannya atas dunia dan umat Islam juga yang
terpenting adalah pembelaan atas umat Islam sungguh luar biasa. Sehingga
sepintas tergolong tokoh-tokoh yang berhaluan keras dalam menanggapi
pemikiran-pemikiran berbeda mengenai Islam.[15]
Untuk
lebih jelas mengenai pemikiran kedua tokoh ini tentang islamisasi ilmu
pengetahuan, penulis di sini akan membagi konsep islamisasi dalam
pandangan Syed Naquib al-Attas dan Ismail R. al-Faruqi melalui tiga
garis besar yaitu: latar belakang munculnya gagasan islamisasi, mafhum
islamisasi dan langkah-langkah yang ditempuh dalam islamisasi.
A. Latar Belakang Gagasan Islamisasi
Gagasan
al-Attas tentang islamisasi ilmu pengetahuan muncul karena tidak adanya
landasan pengatahuan yang bersifat netral, sehingga ilmu pun tidak
dapat berdiri bebas nilai. Menurutnya, ilmu tidaklah bebas nilai (value-free) akan tetapi syarat nilai (value laden).[16]
Pengetahuan dan ilmu yang tersebar sampai ke tengah masyarakat dunia,
termasuk masyarakat Islam, telah diwarnai corak budaya dan peradaban
Barat. Apa yang dirumuskan dan disebarkan adalah pengetahuan yang
dituangi dengan watak dan kepribadian peradaban Barat. Pengetahuan yang
disajikan dan dibawakan itu berupa pengetahuan yang semu yang dilebur
secara halus dengan yang sejati (the real) sehingga manusia
yang mengambilnya dengan tidak sadar seakan-akan menerima pengetahuan
yang sejati. Karena itu, al-Attas memandang bahwa peradaban Barat tidak
layak untuk dikonsumsi sebelum diseleksi terlebih dahulu.[17]
Menurut al-Attas, pengetahuan Barat telah membawa kebingungan (confusion) dan skeptisisme (skepticism).
Barat telah mengangkat sesuatu hal yang masih dalam keraguan dan dugaan
ke derajat ilmiah dalam hal metodologi. Peradaban Barat juga memandang
keragu-raguan sebagai suatu sarana epistimologis yang cukup baik dan
istimewa untuk mengejar kebenaran. Tidak hanya itu, pengetahuan Barat
juga telah membawa kekacauan pada tiga kerajaan alam yaitu hewan, nabati
dan mineral.[18]
Padahal
sejatinya, Islam telah memberi kontribusi yang sangat berharga pada
peradaban Barat dalam bidang pengetahuan dan menanamkan semangat
rasional serta ilmiah, meski diakui bahwa sumber asalnya juga berasal
dari Barat sendiri, yakni dari para filosof Yunani. Namun berkat
kegigihan usaha para sarjana dan cendekiawan muslim di masa klasik,
warisan yunani tersebut dapat digali dan dikembangkan. Bahkan,
pengetahuan-pengetahuan telah diaplikasikan untuk kesejahteraan umat
manusia, setelah dilakukan usaha-usaha secara ilmiah melalui penelitian
dan percobaan. Barat mengambil alih pengetahuan dan ilmu tersebut dari
dunia Islam. Pengetahuan dan semangat rasional serta semangat ilmiah
tersebut dibentuk dan dikemas kembali untuk disesuaikan dengan
kebudayaan Barat sehingga lebur dan terpadu dalam suatu dualisme menurut
pandangan hidup (worldview) dan nilai-nilai kebudayaan serta
peradaban Barat. Menurut al-Attas, dualisme tidak mungkin diselaraskan
karena terbentuk dari ide-ide, nilai-nilai, kebudayaan, keyakinan,
filsafat, agama, doktrin, dan teologi yang bertentangan.[19]
Kebenaran
dan realitas dalam pandangan Barat tidak diformulasikan atas dasar
pengetahuan wahyu dan keyakinan, melainkan atas tradisi budaya didukung
dengan premis-premis filosofis yang didasarkan pada spekulasi atau
perenungan-perenungan, terutama yang berkaitan dengan kehidupan duniawi
yang berpusat pada manusia (antropomorfisme), sebagai makhluk
fisik dan sekaligus sebagai makhluk rasional. Perenungan filsafat tidak
akan menghasilkan suatu keyakinan sebagaimana yang diperoleh dari
pengetahuan wahyu yang dipahami dan dipraktikkan dalam Islam. Karena
itu, pengetahuan dan nilai-nilai yang mendasari pandangan hidup (worldview) dan mengarahkan kepada kehidupan Barat menjadi tergantung pada peninjauan (review) dan perubahan (change) yang tetap.[20]
Sedangkan pandangan hidup dalam Islam, menurut al-Attas, adalah visi mengenai realitas dan kebenaran (the vision of reality and turth).
Realitas dan kebenaran dalam Islam bukanlah semata-mata fikiran tentang
alam fisik dan keterlibatan manusia dalam sejarah, sosial, politik dan
budaya sebagaimana yang ada di dalam konsep Barat sekuler mengenai
dunia, yang dibatasi kepada dunia yang dapat dilihat. Akan tetapi
realitas dan kebenaran dalam Islam dimaknai berdasarkan kajian metafisis
terhadap dunia yang nampak dan tidak nampak. Pandangan hidup Islam
tidak berdasarkan kepada metode dikotomis seperti obyektif dan
subyektif, historis dan normatif. Namun, realitas dan kebenaran dipahami
dengan metode yang menyatukan (tauhid). Pandangan hidup Islam
bersumber kepada wahyu yang didukung oleh akal dan intuisi. Substansi
agama seperti keimanan dan pengalamannya, ibadahnya, doktrinnya serta
sistem teologinya telah ada dalam wahyu dan dijelaskan oleh Nabi.[21]
Dengan demikian, sangat jauh berbeda antara pandangan hidup (worldview) yang dibawa oleh Barat dari nilai-nilai keislaman (al-qiyam al-islamiyah). Karena Barat mendasarkan segala sesuatunya dengan kecenderungan pada dikotomisme[22]
sedangkan Islam pada konsep tauhid. Dari situlah kemudian al-Attas
mencoba untuk menggagas sebuah konsep islamisasi yang diharapkan dari
konsep ini akan meng-counter peradaban Barat yang sekuler.[23]
Sedangkan
alasan yang melatarbelakangi perlunya islamisasi dalam pandangan
al-Faruqi adalah bahwa umat Islam saat ini berada dalam keadaan yang
lemah. Kemerosotan muslim dewasa ini telah menjadikan Islam berada pada
zaman kemunduran. Kondisi yang demikian menyebabkan meluasnya kebodohan.
Di kalangan kaum muslimin berkembang buta huruf, kebodohan, dan
tahayul. Akibatnya, umat Islam lari kepada keyakinan yang buta,
bersandar kepada literalisme dan legalisme, atau menyerahkan diri kepada
pemimpin-pemimpin atau tokoh-tokoh mereka. Dan meninggalkan dinamika
ijtihad sebagai suatu sumber kreativitas yang semestinya dipertahankan.[24]
Zaman kemunduran umat Islam dalam berbagai bidang kehidupan telah
menempatkan umat Islam berada di anak tangga bangsa-bangsa terbawah.[25]
Dalam kondisi seperti ini masyarakat muslim melihat kemajuan Barat
sebagai sesuatu yang mengagumkan. Hal ini menyebabkan sebagian kaum
muslimin tergoda oleh kemajuan Barat dan berupaya melakukan reformasi
dengan jalan westernisasi. Ternyata jalan yang ditempuh melalui jalan
westernisasi telah menghancurkan umat Islam sendiri dari ajaran
al-Qur’an dan hadis. Sebab berbagai pandangan dari Barat, diterima umat
Islam tanpa dibarengi dengan adanya filter.[26]
Persoalan
westernisasi akhirnya telah merembes ke persoalan bidang akademik.
Banyak generasi muda muslim yang berpendidikan Barat bahkan telah
memperkuat westernisasi dan sekulerisasi di lingkungan perguruan tinggi.
Meskipun kaum muslimin sudah memakai sistem pendidikan sekuler Barat.
Baik kaum muslimin di lingkungan universitas maupun cendekiawan, tidak
mampu menghasilkan sesuatu yang sebanding dengan kreativitas dan
kehebatan Barat. Hal ini disebabkan karena dunia Islam tidak memiliki
ruh wawasan vertikal yaitu wawasan Islam.[27] Gejala tersebut dirasakan al-Faruqi sebagai apa yang disebut dengan “the lack of vision”. Kehilangan yang jelas tentang sesuatu yang harus diperjuangkan sampai berhasil.[28]
Walaupun
dalam aspek-aspek tertentu kemajuan Barat ikut memberi andil positif
bagi umat, namun al-Faruqi melihat bahwa kemajuan yang dicapai umat
Islam bukan sebagai kemajuan yang dikehendaki oleh ajaran agamanya.
Kemajuan yang mereka capai, hanya merupakan kemajuan semu. Di satu pihak
umat Islam telah berkenalan dengan peradaban Barat, tetapi di pihak
lain mereka kehilangan pijakan yang kokoh, yaitu pedoman hidup yang
bersumber moral agama. Dari fenomena ini, al-Faruqi melihat kenyataan
bahwa umat Islam seakan berada di persimpangan jalan. Sulit untuk
menentukan pilihan arah yang tepat. Karenanya, umat Islam akhirnya
terkesan mengambil sikap mendua, antara tradisi keislaman dan
nilai-nilai peradaban Barat. Pandangan dualisme yang demikian ini
menjadi penyebab dari kemunduran yang dialami umat Islam. Bahkan sudah
mencapai tingkat serius dan mengkhawatirkan yang disebutnya sebagai “malaisme”.
Menurut al-Faruqi, sebagai efek dari “malaisme” yang di hadapi umat
Islam sebagai bangsa-bangsa di anak tangga terbawah, mengakibatkan
timbulnya dualisme dalam sistem pendidikan Islam dan kehidupan umat.
Proses westernisasi pasca penjajahan Barat, terjadi di hampir seluruh
negara muslim. Dan bisa dikatakan hal itu telah menghancurkan umat Islam
dari ajaran al Qur’an dan Hadits. Dengan adanya westernisasi, berbagai
pandangan hidup Barat diterima umat Islam tanpa filter. Akibatnya umat
Islam dewasa ini menjadi terbingungkan (confused). Keadaan tersebut menyebabkan keadaan kultur integritas Islam terpecah, baik dalam aspek pemikiran maupun perbuatan.[29]
Dari
situlah kemudian al-Faruqi berkeyakinan bahwa sebagai prasyarat untuk
menghilangkan dualisme tersebut dan sekaligus mencari jalan keluar dari “malaisme”
yang dihadapi umat, maka pengetahuan harus diislamisasikan atau
diadakan asimilasi pengetahuan agar serasi dengan ajaran tauhid dan
ajaran Islam.[30]
Jika
melihat kedua alasan atau latar belakang perlunya islamisasi menurut
kedua tokoh ini, maka akan terlihat adanya kesamaan pemikiran yaitu
bahwa peradaban yang dibawa oleh Barat adalah peradaban yang menjunjung
tinggi nilai dikotomisme. Dan nilai ini tentunya bertentangan dengan
nilai yang ada dalam islam yaitu tauhid. Hanya saja perbedaan kedua
tokoh tersebut terlihat dalam segi “analisa”. Jika al-Attas
melihat dan menganalisa permasalahan yang muncul di dunia Islam sekarang
ini adalah pengaruh eksternal (luar Islam) yang datang dari Barat
sedangkan al-Faruqi melihatnya dari masalah internal (tubuh umat Islam)
itu sendiri.
B. Mafhum Islamisasi
Secara umum, istilah Islamisasi adalah membawa sesuatu ke dalam Islam[31]
atau membuatnya dan menjadikannya Islam. Definisi ini bukan berarti
Islam tidak bersifat universal, tapi lebih berarti bahwa di luar Islam
ada berbagai macam hal yang jauh dari nilai-nilai Islam. Dari sini
justru istilah Islamisasi merupakan gambaran universal sebagai langkah
atau suatu usaha untuk memahamkan sesuatu dengan kerangka Islam (Islamic framework)
dengan memasukkan suatu pemahaman Islam. Untuk itu, pemahaman atau
sesuatu yang jauh dari nilai Islam tersebut ketika masuk dalam wilayah
Islam dibutuhkan adanya upaya yang disebut sebagai Islamisasi.
Bagi al-Attas, pendefinisian
Islamisasi ilmu lahir dari idenya terhadap Islamisasi sacara mum. Yaitu
Islamisasi, menurut al-Attas secara umum adalah pembebasan manusia dari
tradisi magis (magical), mitologis (mythology), animisme (animism), nasional-kultural (national cultural tradition), dan paham sekuler (secularism). [32]
Al-Attas
juga memaknai Islamisasi sebagai suatu proses. Meskipun manusia
mempunyai komponen jasmani dan rohani sekaligus, namun pembebasan itu
lebih menunjuk pada rohaninya,
sebab manusia yang demikianlah manusia yang sejati yang semua
tindakannya dilakukan dengan sadar penuh makna. Al-Attas men-sifatkan
Islamisasi sebagai proses pembebasan atau memerdekakan sebab ia
melibatkan pembebasan roh manusia yang mempunyai pengaruh atas
jasmaniyahnya dan proses ini menimbulkan keharmonian dan kedamaian dalam
dirinya sesuai dengan fitrahnya (original nature).[33]
Dari
uraian di atas, maka, islamisasi ilmu berarti pembebasan ilmu dari
penafsiran-penafsiran yang didasarkan pada ideologi sekuler, dan dari
makna-makna serta ungkapan manusia-manusia sekuler.[34] Dan dalam pandangan al-Attas, setidaknya
terdapat dua makna Islamisasi yaitu Islamisasi pikiran dari pengaruh
ekternal dan kedua Islamisasi pikiran dari dorongan internal. Yang
pertama pembebasan pikiran dari pengaruh magis (magical), mitologis (mythology), animisme (animism), nasional-kultural (national cultural tradition), dan paham sekuler (secularism). Sedangkan yang kedua adalah pembebasan jiwa manusia dari sikap tunduk kepada keperluan jasmaninya yang condong mendzalimi
dirinya sendiri, sebab sifat jasmaniahnya lebih condong untuk lalai
terhadap fitrahnya sehingga mengganggu keharmonian dan kedamaian dalam
dirinya yang pada gilirannya menjadi jahil tentang tujuan asalnya. Jadi
Islamisasi bukanlah satu proses evolusi (a process of evolution) tetapi satu proses pengembalian kepada fitrah (original nature).[35]
Sedangkan menurut Ismail R. al-Faruqi, dalam pendefinisian atau pengertian tentang islamisasi ilmu pengetahuan, dia menjelaskan bahwa pengertian dari islamisasi ilmu yaitu sebagai usaha untuk memfokuskan kembali ilmu yaitu, untuk mendefinisikan kembali, menyusun ulang data, memikir kembali argumen dan rasionalisasi yang berhubungan dengan data itu, menilai kembali kesimpulan dan tafsiran, membentuk kembali tujuan dan disiplin itu ditujukan memperkaya visi dan perjuangan Islam.[36]
Islamisasi ilmu
pengetahuan itu sendiri berarti melakukan aktifitas keilmuan seperti
mengungkap, menghubungkan, dan menyebarluaskannya manurut sudut pandang
ilmu terhadap alam kehidupan manusia. Menurut
aI-Faruqi, islamisasi ilmu pengetahuan berarti mengislamkan ilmu
pengetahuan modern dengan cara menyusun dan membangun ulang sains
sastra, dan sains-sains ilmu pasti
dengan memberikan dasar dan tujuan-tujuan yang konsisten dengan Islam.
Setiap disiplin harus dituangkan kembali sehingga mewujudkan
prinsip-prinsip Islam dalam metodologinya, dalam strateginya, dalam
data-datanya dan problem-problemnya. Seluruh disiplin harus dituangkan
kembali sehingga mengungkapkan relevensi Islam yang bersumberkan pada tauhid.[37]
Dari
mafhum islamisasi ilmu pengetahuan menurut al-Attas dan al-Faruqi di
atas, maka terlihat bahwa jika al-Attas mendefinisikan ilmu lebih ke
arah subjeknya yaitu pada pembenahan umat Islam sendiri yakni pembebasan
manusia dari tradisi magis (magical), mitologis (mythology), animisme (animism), nasional-kultural (national cultural tradition), dan paham sekuler (secularism). Sedangkan al-Faruqi mendefinisikan islamisasi ilmu pengetahuan lebih kepada objek ilmu itu sendiri. Yaitu dengan cara mendefinisikan kembali, menyusun ulang data, memikir kembali argumen dan rasionalisasi yang berhubungan dengan data itu, menilai kembali kesimpulan dan tafsiran, membentuk kembali tujuan dan disiplin itu ditujukan dalam rangka memperkaya visi dan perjuangan Islam.
C. Langkah-Langkah Dalam Islamisasi
Dalam pandangan al-Attas, sebelum islamisasi ilmu dilaksanakan, terlebih dahulu yang harus dilakukan adalah islamisasi bahasa. Menurutnya, islamisasi bahasa
ini ditunjukkan oleh al-Qur’an sendiri ketika pertama kali diwahyukan
di antara bangsa Arab, bahasa, pikiran dan nalar saling berhubungan
erat. Maka, islamisasi bahasa menyebabkan islamisasi nalar atau pikiran.[38]
Islamisasi bahasa Arab yang termuati ilham ketuhanan dalam bentuk wahyu
telah mengubah kedudukan bahasa Arab, di antara bahasa-bahasa manusia,
menjadi satu-satunya
bahasa yang hidup yang diilhami Tuhan, dan dalam pengertian ini menjadi
baru dan tersempurnakan sampai tingkat perbandingan tertinggi terutama
kosa kata dasar Islam, tidak tergantung pada perubahan dan perkembangan
dan tidak dipengaruhi oleh perubahan sosial seperti halnya semua bahasa
lainnya yang berasal dari kebudayaan dan tradisi. Terangkatnya bahasa
Arab sebagai bahasa di mana Tuhan mewahyukan kitab suci al-Qur’an kepada
manusia menjadikan bahasa itu terpelihara tanpa perubahan, tetap hidup
dan tetap kekal sebagai bahasa Arab standar yang luhur. Oleh karena itu,
arti istilah-istilah yang bertalian dengan Islam,
tidak ada perubahan sosial, sehingga untuk segala zaman dan setiap
generasi pengetahuan lengkap tentang Islam menjadi mungkin, karena
pengetahuan tersebut termasuk norma-normanya merupakan suatu hal yang telah terbangun mapan, dan bukan termasuk sesuatu yang berkembang seperti halnya dengan manusia dan sejarah yang dikatakan berkembang.[39]
Lebih lanjut menurut al-Attas, istilah-istilah Islam merupakan pemersatu bangsa-bangsa muslim, bukan hanya karena kesamaan agama semata, melainkan karena istilah-istilah itu tidak dapat diterjemahkan ke dalam bahasa apapun secara memuaskan. Ketika diterjemahkan ke dalam bahasa lain, maka istilah-istilah itu menjadi kehilangan makna ruhaniyah-nya. Karena itu, istilah Islam tidak dapat diterjemahkan dan dipahami dengan pengertian lain, meski istilah tersebut di pakai dan ditunjukkan pada nabi-nabi sebelum Muhammad saw. Adapun makna Q.S. al-Maidah ayat 3 yang menyebutkan “hari penyempurnaan agama Islam”,
di pahami al-Attas sebagai pernyataan wahyu bahwa sejak saat itu Islam
telah merupakan sebuah tatanan agama yang total dan tertutup sehingga
tidak ada peluang untuk terjadinya perubahan.[40]
Sedangkan dalam prosesnya, islamisasi yang dicanangkan oleh al-Attas mempunyai beberapa langkah yaitu:
1. Mengisolisir unsur-unsur dan konsep-konsep kunci yang membentuk budaya dan peradaban Barat.[41] Unsur-unsur tersebut terdiri dari:
a. Akal diandalkan untuk membimbing kehidupan manusia.
b. Bersikap dualistik terhadap realitas dan kebenaran (The concept of dualism which involved of reality and truth).
c. Menegaskan aspek eksistensi yang memproyeksikan pandangan hidup sekuler (secular worldview).
d. Membela doktrin humanism (the doctrine of humanism).
e. Menjadikan drama dan tragedi sebagai unsur-unsur yang dominan dalam fitrah dan eksistensi kemanusiaan.[42]
Unsur-unsur
tersebut harus dihilangkan dari setiap bidang ilmu pengetahuan modern
saat ini, khususnya dalam ilmu pengetahuan humaniora. Bagaimanapun,
ilmu-ilmu alam, fisika, dan aplikasi harus diislamkan juga. Selain itu,
ilmu-ilmu modern harus diperiksa dengan teliti. Ini mencakup metode,
konsep, praduga, simbol, dari ilmu modern, beserta aspek-aspek empiris
dan rasional, dan yang berdampak kepada nilai dan etika, penafsiran
historitas ilmu tersebut, bangunan teori ilmunya, praduganya berkaitan
dengan dunia, rasionalitas proses-proses ilmiah, teori tersebut tentang
alam semesta, klasifikasinya, batasannya, keterkaitannya dengan
ilmu-ilmu lainnya serta hubungannya dengan sosial harus diperiksa dengan
teliti.
2. Memasukkan unsur-unsur Islam beserta konsep-konsep kunci dalam setiap bidang dari ilmu pengetahuan saat ini yang relevan.[43]
Al-Attas menyarankan, agar unsur dan konsep utama Islam mengambil alih
unsur-unsur dan konsep-konsep asing tersebut. Konsep utama Islam
tersebut yaitu:
a. Konsep Agama (ad-din)
b. Konsep Manusia (al-insan)
c. Konsep Pengetahuan (al-‘ilm dan al-ma’rifah)
d. Konsep kearifan (al-hikmah)
e. Konsep keadilan (al-‘adl)
f. Konsep perbuatan yang benar (al-‘amal)
g. Konsep universitas (kulliyyah jami’ah).[44]
Tujan Islamisasi ilmu sendiri adalah untuk melindungi umat
Islam dari ilmu yang sudah tercemar yang menyesatkan dan menimbulkan
kekeliruan. Islamisasi ilmu bertujuan untuk mengembangkan ilmu yang
hakiki yang boleh membangunkan pemikiran dan pribadi muslim yang akan
menambahkan lagi keimanannya kepada Allah. Islamisasi ilmu akan
melahirkan keamanan, kebaikan, keadilan, dan kekuatan iman.[45] Adapun
yang menjadi obyek Islamisasi bukan obyek yang berada diluar pikiran
tapi adalah yang terdapat dalam jiwa atau pikiran seseorang.
Dan pendekatannya adalah pendekatan dalam Islam yang berkaitan erat
dengan struktur metafisika dasar Islam yang telah terformulasikan
sejalan dengan wahyu (revelation tradition), akal (reason), pengalaman (experience) dan intuisi (intuition).[46]
Karena Islam pada dasarnya mengkombinasikan antara metodologi
rasionalisme dan empirisisme, tapi dengan tambahan wahyu sebagai sumber
kebenaran tentang sesuatu yang tidak dapat dijangkau oleh metode
empris-rasional tersebut. Jadi meskipun dalam aspek rasionalitas dan
metodologi pencarian kebenaran dalam Islam memiliki beberapa kesamaan
dengan pandangan filsafat Yunani, namun secara mendasar dibedakan oleh
pandangan hidup Islam (Islamic worldview).
Jadi menurut al-Attas, dalam prosesnya, islamisasi ilmu melibatkan dua langkah utama yang saling berhubungan: pertama, proses mengeluarkan unsur-unsur dan konsep-konsep penting Barat dari suatu ilmu, dan kedua, memasukkan unsur-unsur dan konsep-konsep utama Islam ke dalamnya.[47]
Dan untuk memulai kedua proses diatas, al-Attas menegaskan bahwa
islamisasi diawali dengan islamisasi bahasa dan ini dibuktikan oleh
al-Qur’an.[48]
Sebab alasannya, “bahasa, pemikiran dan rasionalitas berkaitan erat dan
saling bergantung dalam memproyeksikan pandangan dunia (worldview)
atau visi hakikat kepada manusia. Pengaruh islamisasi bahasa
menghasilkan islamisasi pemikiran dan penalaran,” karena dalam bahasa
terdapat istilah dan dalam setiap istilah mengandung konsep yang harus
dipahami oleh akal pikiran. Di sinilah pentingnya pengaruh islamisasi
dalam bahasa, karena islamisasi bahasa akan menghasilkan islamisasi
pemikiran dan penalaran.[49]
Sedangkan dalam pandangan al-Faruqi berkenaan dengan langkah-langkah dalam islamisasi ilmu pengetahuan, dia mengemukakan ide islamisasi ilmunya berlandaskan pada esensi tauhid yang memiliki makna bahwa ilmu pengetahuan harus mempunyai kebenarannya.[50] Al-Faruqi menggariskan beberapa prinsip dalam pandangan Islam sebagai kerangka pemikiran metodologi dan cara hidup Islam. Prinsip-prinsip tersebut ialah:
a. Keesaan Allah.
b. Kesatuan alam semesta.
c. Kesatuan kebenaran dan kesatuan pengetahuan. [51]
Menurut
al-Faruqi, kebenaran wahyu dan kebenaran akal itu tidak bertentangan
tetapi saling berhubungan dan keduanya saling melengkapi. Karena
bagaimanapun, kepercayaan terhadap agama yang di topang oleh wahyu
merupakan pemberian dari Allah dan akal juga merupakan pemberian dari
Allah yang diciptakan untuk mencari kebenaran. Syarat-syarat kesatuan
kebenaran menurut al-Faruqi yaitu: pertama, kesatuan kebenaran
tidak boleh bertentangan dengan realitas sebab wahyu merupakan firman
dari Allah yang pasti cocok dengan realitas. Kedua, kesatuan kebenaran yang dirumuskan, antara wahyu dan kebenaran tidak boleh ada pertentangan, prinsip ini bersifat mutlak. Dan ketiga,
kesatuan kebenaran sifatnya tidak terbatas dan tidak ada akhir. Karena
pola dari Allah tidak terhingga, oleh karena itu diperlukan sifat yang
terbuka terhadap segala sesuatu yang baru.[52]
d. Kesatuan hidup[53]
e. Kesatuan umat manusia.
Islam
menganjurkan kebebasan dalam hubungannya dengan kemanusiaan tanpa
batas-batas yang senantiasa menghampiri mereka. Dalam konteks ilmu
pengetahuan, nampak bahwa keinginan al-Faruqi, ilmuwan beserta
penemuannya, hendaknya memberi kesejahteraan kepada umat manusia tanpa
memandang etnis. Ketaqwaan yang dipergunakan oleh Islam yang membebaskan
dari belenggu himpitan dunia hendaknya menjadi landasan bagi para
ilmuan.[54]
Al-Faruqi
juga menawarkan suatu rancangan kerja sistematis yang menyeluruh untuk
program islamisasi ilmu pengrtahuannya yang merupakan hasil dari
usahanya selama bertahun-tahun melaksanakan perdebatan-perdebatan dan
diskusi-diskusi melalui sejumlah seminar internasional yang
diselenggarakan.[55] Rencana kerja al-Faruqi untuk program islamisasi mempunyai lima sasaran yaitu: pertama, menguasai disiplin-disiplin modern. Kedua, menguasai khazanah Islam. Ketiga, menentukan relevansi Islam yang spesifik pada setiap bidang ilmu pengetahuan modern. Keempat. mencari cara-cara untuk melakukan sintesa kreatif antara khazanah Islam dengan ilmu pengetahuan modern. Dan kelima, mengarahkan pemikiran Islam ke lintasan-lintasan yang mengarah pada pemenuhan pola rancangan Allah.[56]
Menurut
al-Faruqi, sasaran di atas bisa dicapai melalui 12 langkah sistematis
yang pada akhirnya mengarah pada Islamisasi ilmu pengetahuan, yaitu: pertama, penguasaan terhadap disiplin-disiplin modern. Kedua, peninjauan disiplin ilmu modern. Ketiga, penguasaan ilmu warisan Islam yang berupa antologi.[57] Keempat, penguasaan ilmu warisan Islam yang berupa analisis. Kelima,
penentuan relevansi Islam yang spesifik untuk setiap disiplin ilmu.
Relevansi ini, kata al-Faruqi, dapat ditetapkan dengan mengajukan tiga
persoalan yaitu: a). Apa yang telah disumbangkan oleh Islam, mulai dari
al-Qur’an hingga pemikiran-pemikiran kaum modernis, dalam keseluruhan
masalah yang telah dicakup oleh disiplin-disiplin modern; b). Seberapa
besar sumbangan itu jika dibandingkan dengan hasil-hasil yang telah
diperoleh oleh disiplin-disiplin tersebut; c) Apabila ada bidang-bidang
masalah yang sedikit diperhatikan atau bahkan sama sekali tidak
diabaikan oleh ilmu warisan Islam, kearah mana kaum muslim harus
mengusahakan untuk mengisi kekurangan itu, juga memformulasikan
masalah-masalah, dan memperluas visi disiplin tersebut. Kemudian yang keenam, penilaian kritis terhadap disiplin modern. Ketujuh, penilaian krisis terhadap khazanah Islam. Kedelapan, survei mengenai problem-problem terbesar umat Islam. Kesembilan, survei mengenai problem-problem umat manusia. Kesepuluh, analisa dan sintesis kreatif. Kesebelas, merumuskan kembali disiplin-disiplin ilmu dalam kerangka kerja (framework) Islam. Dan kedua belas,
penyebarluasan ilmu pengetahuan yang sudah diislamkan. Selain langkah
tersebut, alat-alat bantu lain untuk mempercepat islamisasi pengetahuan
adalah dengan mengadakan konferensi-konferensi dan seminar untuk
melibatkan berbagai ahli di bidang-bidang illmu yang sesuai dalam
merancang pemecahan masalah-masalah yang menguasai antar disiplin. Para
ahli yang terlibat harus diberi kesempatan bertemu dengan para staf
pengajar. Selanjutnya pertemuan pertemuan tersebut harus menjajaki
persoalan metode yang diperlukan.[58]
Demikian
langkah sistematis yang ditawarkan oleh al-Attas dan al-Faruqi dalam
rangka islamisasi ilmu pengetahuan. Walaupun keduanya memiliki sedikit
perbedaan di dalamnya, namun pada intinya, keduanya memiliki visi yang
sama. Dari kesemua langkah yang diajukan oleh kedua tokoh ini, tentunya dalam aplikasinya, membutuhkan energi ekstra dan kerja sama berbagai belah pihak.
Karena, islamisasi merupakan proyek besar jangka panjang yang
membutuhkan analisa tajam dan akurat, maka dibutuhkan usaha besar pula
dalam mengintegrasikan setiap disiplin keilmuan yang digeluti oleh
seluruh cendekiawan muslim.
Kesimpulan
Berdasarkan pada uraian yang telah dipaparkan di atas, maka dapat disimpulkan
bahwa terdapat perbedaan antara Syed Naquib al- Attas dan Ismail Raji
al-Faruqi dalam kaitannya dengan gagasan islamisasi ilmu pengetahuan.
Yaitu, pertama, jika al-Attas lebih mengutamakan subyek islamisasi ilmu maka al- Faruqi lebih mengutamakan obyeknya. Kedua,
jika al-Attas hanya membatasi pada ilmu kontemporer untuk program
islamisasi ilmu-nya maka al-Faruqi meyakini bahwa semua ilmu harus
diislamisasikan. Dan ketiga, jika al-Attas mengawali dengan
melihat dan menganalisa permasalahan yang muncul di dunia Islam sekarang
ini adalah pengaruh eksternal (luar Islam) yang datang dari Barat
sedangkan al-Faruqi mengawalinya dari masalah internal (tubuh umat
Islam) itu sendiri.
Terlepas
dari perbedaan di atas, sejatinya ada beberapa kesamaan antara
pemikiran al-Attas dan al-Faruqi mengenai ide islamisasi ini. Di antara
persamaan pemikiran kedua tokoh tersebut yaitu kesamaan pemikiran
tentang ilmu. Menurut mereka ilmu itu tidak bebas nilai (value-free) akan tetapi syarat nilai (value laden).
Keduanya juga meyakini bahwa peradaban yang dibawa oleh Barat adalah
peradaban yang menjunjung tinggi nilai dikotomisme. Dan nilai ini
tentunya bertentangan dengan nilai yang ada dalam ajaran Islam yaitu
tauhid. Konsep ilmu menurut mereka
harus berlandaskan pada metode ketauhidan yang diajarkan oleh
al-Qur’an. Mereka juga meyakini bahwa sumber dari semua masalah umat
adalah sistem pendidikan terutama dalam problematika ilmu yang berkembang saat ini. Dan mereka yakin bahwa islamisasi ilmu pengetahuan merupakan satu solusi untuk mengatasi problematika umat tersebut.
Daftar Pustaka
Acikgenc, Alparslan, Islamic Science an Introduction (Kuala Lumpur: ISTAC, 1996)
al-Attas, Syed M. Naquib, A Commentary on the Hujat al-Siddiq of Nur al-Din al-Raniri, (Kuala Lumpur: Ministry of Education and Culture, 1986)
_____________________, Syed Muhammad Naquib, Aims and Objectives of Islamic Education (London: Hodder & Stouhton, 1979)
_____________________, Islam and Secularism (Kuala Lumpur: ISTAC, 1993)
_____________________, Islam dan Sekularisme, terj. Karsidjo Djojosuwarno (Bandung: Pustaka, 1981)
______________________,
Prolegomena to the Metaphysics of Islam: An Exposition of the
Fundamental Elements of the Worldview of Islam (Kuala Lumpur: ISTAC, 1995)
_____________________, The Concept of Education in Islam a Framework for an Islamic Philosophy of Education (Kuala Lumpur: Muslim Youth Movement of Malaysia, 1980)
______________________, Konsep Pendidikan Dalam Islam (Bandung: Mizan, 1996, cet. ke-7)
al-Faruqi, Ismail Raji, Islamization of Knowledge (Virginia: International Institute of Islamic Thought, 1989)
__________________, Islamisasi Ilmu Pengetahuan, terj. Anas Mahyuddin (Bandung: Penerbit Pustaka, 1984)
__________________, Tuhid; Its Implication For Thought and Life (Temple University: The International Institute Of Islamci Thought, 1982)
Ambary Hasan Mu’arif, et.al, Suplemen Ensiklopedi Islam ( Jakarta: P.T. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1995)
Armas, Adnin, Krisis Epistemologi dan Islamisasi Ilmu (ISID Gontor: Center for Islamic & Occidental Studis, 2007)
____________, Westernisasi dan Islamisasi Ilmu, Islamia, THN II NO.6 (Juli-September, 2005)
Badarudin, Kemas, Filsafat Pendidikan Islam: Analisis Pemikiran Prof. M. Naquib al-Attas (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009, cet. ke-2)
Daud, Wan Mohd Nor Wan, The Educational Philosophy and Practice of Syed M. Naquib Al-Attas (Malaysia: ISTAC, 1998)
Esposito, John L., John O Voll, Tokoh-tokoh Kunci Gerakan Islam Kontemporer, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002)
Hasim, Rosnani, Gagasan Islamisasi Ilmu Pengetahuan Kontemporer: Sejarah, Perkembangan, dan Arah Tujuan”, Islamia, THN II NO.6, Juli-September, 2005
Mohammad, Herry, Tokoh-tokoh Islam yang Berpengaruh Abad 20, (Jakarta: Gema Insani,2006)
Muhaimin, Arah Baru Pengembangan Pendidikan Islam, Pemberdayaan, Pengembangan kurikulum, hingga Redifinisi Islamisasi Pengetahuan, (Bandung : Nuansa, 2003)
Muslih, Muhammad Filsafat Ilmu; Kajian atas Asumsi Dasar Paradigma dan Kerangka Teori Ilmu Pengetahuan, (Yogyakarta: Belukar, 2008, cet ke-5)
Na’im, Abdullah Ahmad, dkk., Pemikiran Islam Kontemporer (Yogyakarta: Jendela, 2003)
Neufeld, Victoria (Ed.), Websters New World Dictionary (Cleveland & New York: Websters New World, 1988)
Ramayulis dan Syamsul Nizar, Ensiklopedi Tokoh Pendidikan Islam, Mengenal Tokoh Pendidikan Islam di Dunia Islam dan di Indonesia, (Ciputat: Quantum Teaching, 2005)
Saefuddin, A.M., et al, Desekularisasi Pemikiran: Landasan Islamisasi (Bandung: Mizan, 1991, cet. ke-3)
Sani, Abdul, Lintasan Sejarah Pemikiran Perkembangan Modern dalam Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada. 1998)
Sardar, Ziaudin, Jihad Intelektual, (Surabaya: Risalah Gusti, 1998)
SM, Ismail, Paradigma pendidikan Islam Prof. Dr. Syed Muhammad Naquib al-Attas (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999)
Suhartono, Suparlan, Filsafat Ilmu Pengetahuan (Jogjakarta: Ar-Ruz, 2005)
Zarkasyi, Hamid Fahmy, Worldview Sebagai Asas Epistemologi Islam dalam majalah pemikiran dan peradaban Islam Islamia Thn II No 5, April-Juni 2005
[1]
Mahasiswa Semester Akhir Fakultas Ushuluddin prodi Aqidah Filsafat ISID
Gontor & Anggota Center for Islamic and Occidental Studies (CIOS)
[2] Definisi lengkap tentang pandangan hidup Islam (Islamic worldview) dapat dilihat dalam tulisan Hamid Fahmy Zarkasyi, Worldview Sebagai Asas Epistemologi Islam dalam Islamia, majalah pemikiran dan peradaban Islam Thn II No 5, April-Juni 2005, p. 11-12
[3] Wan Mohd Nor Wan Daud, The Educational Philosophy and Practice of Syed M. Naquib Al-Attas (Malaysia: ISTAC, 1998), p. 298
[4] Muhaimin, Arah Baru Pengembangan Pendidikan Islam, Pemberdayaan, Pengembangan kurikulum, hingga Redifinisi Islamisasi Pengetahuan, (Bandung : Nuansa, 2003), p. 330
[5] Seyyed Hossein Nasr menolak sains Barat modern dan mengusulkan scientia sacra sebagai alternatif dalam karyanya Knowledge and the Sacred (Pakistan: Suhail Academy Lahore, 1988). Sedangkan Ziauddin Sardar dan teman-temannya membentuk Gagasan Idjamali (Idjmali Idea). Lihat dalam bukunya Adnin Armas, Krisis Epistemologi dan Islamisasi Ilmu (ISID Gontor: Center for Islamic & Occidental Studis, 2007), p. 10
[9] Hasan Mu’arif Ambary et.al, Suplemen Ensiklopedi Islam ( Jakarta: P.T. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1995), p. 78
[10] Ismail SM, Paradigma pendidikan Islam Prof. Dr. Syed Muhammad Naquib al-Attas (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999), p. 271-272
[11] Tentang biografi al-Attas juga dapat dilihat dalam bukunya Kemas Badarudin, Filsafat Pendidikan Islam: Analisis Pemikiran Prof. M. Naquib al-Attas (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009, cet. ke-2). Sedangkan untuk karya al-Attas lihat dalam Wan Daud, The Educational Philosophy…, p. 10-13.
[12] Ramayulis dan Syamsul Nizar, Ensiklopedi Tokoh Pendidikan Islam, Mengenal Tokoh Pendidikan Islam di Dunia Islam dan di Indonesia, (Ciputat: Quantum Teaching, 2005), p. 107
[13] Herry Mohammad, Tokoh-tokoh Islam yang Berpengaruh Abad 20, (Jakarta: Gema Insani,2006), p. 209
[14] John L.Esposito-John O Voll, Tokoh-tokoh Kunci Gerakan Islam Kontemporer,
(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), p. 2. Al-Faruqi meninggal
secara tragis bersama keluarganya karena di bunuh. Saat itu, meletus
serangan teroris di Eropa Barat, yang lalu merembet pada kerusuhan di AS
pada 1986. Al-Faruqi beserta keluarganya tewas diserang oleh kelompok
orang tak dikenal, lihat dalam bukunya Ramayulis dan Samsul Nizar, Ensiklopedi Tokoh Pendidikan Islam…, p. 107-108
[15] Dikutip dari Abdul Sani, Lintasan Sejarah Pemikiran Perkembangan Modern dalam Islam, (Jakarta : Raja Grafindo Persada. 1998), p. 264-265
[16] Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam and Secularism (Kuala Lumpur: ISTAC, 1993), p. 134. Lihat juga Syed Muhammad Naquib al-Attas, Aims and Objectives of Islamic Education (London: Hodder & Stouhton, 1979) 19-20. Terkait dengan ilmu adalah syarat nilai (value laden) dapat dilihat dalam bukunya Suparlan Suhartono, Filsafat Ilmu Pengetahuan (Jogjakarta: Ar-Ruz, 2005), p. 7, 178-179. Dan menurut Thomas Samuel Kuhn, karena ilmu itu merupakan human and social construction maka ilmu itu tidak bebas nilai, lihat dalam Muhammad Muslih, Filsafat Ilmu; Kajian atas Asumsi Dasar Paradigma dan Kerangka Teori Ilmu Pengetahuan, (Yogyakarta: Belukar, 2008, cet ke-5), p. 129
[18] Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam dan Sekularisme,
Terj. Karsidjo Djojosuwarno (Bandung: Pustaka, 1981), p. 195-196.
Tentang pengaruh Barat ini dapat dilihat juga dalam bukunya A.M.
Saefuddin et al, Desekularisasi Pemikiran: Landasan Islamisasi (Bandung: Mizan, 1991, cet. ke-3), p. 107
[21] Adnin Armas, Westernisasi dan Islamisasi Ilmu,
Islamia, THN II NO.6 (Juli-September, 2005), p.14. Tulisan ini telah
dibukukan dan diterbitkan oleh Center for Islamic & Occidental
Studis (CIOS) pada tahun 2007 dengan judul “Krisis Epistemologi dan Islamisasi Ilmu”.
[22]
Dikotomis dalam berbagai disiplin ilmu yang terjadi saat ini tidak lain
adalah pengaruh dari adanya sekularisme. Lihat dalam A.M. Saefuddin et
al, Desekularisasi Pemikiran: Landasan Islamisasi…, p. 78
[23]al-Attas
membedakan konsep sekularisasi dan sekularisme. Sekularisasi adalah
suatu proses yang berkelanjutan dan terbuka di mana pandangan dunia (worldview)
secara terus menerus di perbaharui sesuai dengan revolusi sejarah,
sedangkan sekularisme memproyeksikan suatu pandangan dunia (worldview) yang tertutup dan seperangkat nilai yang mutlak, sejalan dengan tujuan akhir sejarah yang bermakna final bagi manusia. al-Attas, Islam dan Sekularisme…, p. 21-22
[24] Ismail Raji al-Faruqi, Islamization of Knowledge (Virginia: International Institute of Islamic Thought, 1989), p. 40
[30] Ismail Raji al-Faruqi, Islamization of Knowledge…, p. 22. Untuk pembahasan tauhid sebagai sumber kebenaran (source of truth) dan keterkaitan dengan pengetahuan (knowledge), silahkan lihat dalam Ismail Raji Al-Faruqi, Tuhid; Its Implication For Thought and Life (Temple University: The International Institute Of Islamci Thought, 1982), p. 46-57
[31] Victoria Neufeld (Ed.), Websters New World Dictionary (Cleveland & New York: Websters New World, 1988), p. 715
[32]
“The Islamization is liberation of man first from magical,
mythological, animistic, national-cultural tradition (opposed to Islam),
and then from secular control over his reason and his language.” al-Attas, Islam and Secularism,.., p. 42-44, 182. Alparslan Acikgenc, Islamic Science an Introduction (Kuala Lumpur: ISTAC, 1996), p. 2, 7
[34] Syed Muhammad Naquib al-Attas, Konsep Pendidikan Dalam Islam (Bandung: Mizan, 1996, Cet. Ke-7), p. 90
[36] Rosnani Hasim, Gagasan Islamisasi Ilmu Pengetahuan Kontemporer: Sejarah, Perkembangan, dan Arah Tujuan”, Islamia, THN II NO.6 (Juli-September, 2005), p. 35-36
[37]Tauhid merupakan sumber kebenaran dalam islam (the source of Islam). lihat dalam Ismail Raji Al-Faruqi, Tuhid; Its Implication…, p. 53-54
[38]al-Attas, Islam and Secularism…, p. 45. Wan Mohd Nor Wan Daud, The Educational Philosophy and Practice of Syed M. Naquib Al-Attas…, p. 313. Abdullah Ahmad Na’im, et al., Pemikiran Islam Kontemporer…, p. 340
[42] Untuk lebih jelasnya silahkan lihat dalam al-Attas, Islam and Secularism (Kuala Lumpur: ABIM, 1978), p. 38 dan juga al-Attas, Prolegomena to the Metaphysics of Islam: An Exposition of the Fundamental Elements of the Worldview of Islam (Kuala Lumpur: ISTAC, 1995), p. 88
[46]Syed Muhammad Naquib al-Attas, A Commentary on the Hujat al-Siddiq of Nur al-Din al-Raniri, (Kuala Lumpur: Ministry of Education and Culture, 1986), p. 464-465
[47]Syed Muhammad Naquib al-Attas, The Concept of Education in Islam a Framework for an Islamic Philosophy of Education (Kuala Lumpur: Muslim Youth Movement of Malaysia, 1980), p. 43
[48]
Menurut al-Attas, sesungguhnya telah ada bahasa Islam, yaitu yang
terdiri dari kosakata dasar “kunci” yang tersusun atas istilah-istilah
dan konsep-konsep yang terIslamkan. Oleh karena itu, al-Attas gigih
memperkenalkan konsep “bahasa Islami”. al-Attas, Konsep Pendidikan dalam Islam…, p. 26-30
[49] Al-Attas, Islam and Secularism…, p. 42-43. Wan Mohd Nor Wan Daud, The Educational Philosophy…, p. 313. Kebingungan dalam bahasa (semantic)
disebabkan oleh kesalahan penerapan konsep konsep kunci dalam kosakata
Islam dan hal ini dapat mempengaruhi persepsi sekarang tentang pandangan
dunia Islam. al-Attas, The Concept of Education in Islam…, p. 12
[57]
Ilmu warisan Islam harus dikuasai dengan cara yang sama. Tetapi disini,
apa yang diperlukan adalah antologi-antologi mengenai warisan pemikir
muslim yang berkaitan dengan disiplin ilmu.
[58] Ismail Raji al-Faruqi, Islamization of Knowledge…,
p. 39-46. Tentang buku islamisasi ini juga dapat dilihat dalam edisi
bahasa Indonesia, khusus tentang Rencana Kerja Proses Islamisasi Ilmu
Pengetahuan dapat dilihat pada bab IV, Ismail Raji al-Faruqi, Islamisasi Ilmu Pengetahuan, terj. Anas Mahyuddin (Bandung: Penerbit Pustaka, 1984), p. 98-121


0 Komentar