Oleh: Yusril
Ihza Mahendra
Kebanyakan
orang-orang Masyumi itu berpikir strukturalis dan bahkan cenderung formalis.
Tak lama sesudah tokoh-tokoh Masyumi dikeluarkan dari tahanan, mereka mulai
bergerak untuk merehabilitasi partai itu. Partai adalah alat untuk mencapai
tujuan. Karena itu, keberadaan Masyumi adalah keharusan. Dukungan untuk
merehabilitasi Masyumi juga datang dari Persahi. Para ahli hukum mengeluarkan
statemen yang ditandatangani Dr. Wirjono Prodjokiduro, agar Masyumi
direhabilitasi, karena partai itu adalah korban kesewenang-wenangan Orde Lama.
Padahal Wirjono pula, yang ketika menjadi Ketua Mahkamah Agung, memberikan
fatwa kepada Soekarno tentang keabsahan alasan hukum untuk membubarkan Masyumi
berdasarkan Penetapan Presiden (Penpres) Nomor 7 Tahun 1959 tentang
Penyederhanaan dan Pembubaran Partai Politik. Penpres itu sendiri sangat
kontroversial, karena tidak ada dasar hukum keberadaannya. Prawoto
Mangkusasmito mengatakan bahwa Penpres itu adalah langkah sepihak Presiden
Soekarno untuk menyeleksi mana partai yang mendukung Revolusi pro Nasakom dan
mana yang menentangnya.
Namun
keinginan tokoh-tokoh Masyumi untuk merehabilitasi partainya segera menghadapi
tembok penghalang yang kukuh. Soeharto dan para jendral pemegang kendali Orde Baru,
ternyata cenderung bersikap anti ideologi. Mereka bukan saja anti Komunis,
tetapi juga anti Islam yang ditransformasikan sebagai ideologi dan kekuatan
politik. Slogan terkenal Orde Baru sejak kelahirannya ialah “melaksanakan
Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen”. Mereka mempunyai tafsir
sendiri terhadap Pancasila dan UUD 1945, yang kemudian dijadikan doktrin dan
pijakan ideologis Orde Baru. Dalam komunikasi politik yang dibangunnya, Orde
Baru mengatakan bahwa mereka tidak berorientasi ideologi. Mereka ingin
membangun. Mereka cenderung “anti politik” dan mengedepankan langkah pragmatis
untuk menyelesaikan persoalan sosial ekonomi yang amat berat. Kekuatan politik
baru muncul dibalik Orde Baru, yakni militer dan teknokrat pragmatis, sebagiannya
berorientasi ideologis kepada PSI dan kalangan politisi dan teknokrat non
Muslim. Sebagai mesin politik, mereka mereorganisasi Sekber Golkar menjadi
Golongan Karya (Golkar), yang mereka katakan bukan partai politik seperti
halnya partai-partai yang lain.
Meskipun
menolak rehabilitasi Masyumi, namun Orde Baru dibawah kepemimpinan Jendral
Soeharto sedia berkompromi untuk mewadahi kelompok eks Masyumi, dengan memberi
peluang kepada mereka mendirikan Partai Muslimin Indonesia (Parmusi).Namun
penguasa Orde Baru menolak eks tokoh-tokoh Masyumi memimpin partai itu.
Jangankan Natsir dan Prawoto, Mohamad Roem yang dikenal sangat moderat,
diplomatis dan kompromis juga ditolak. Djarnawi Hadikusuma, tokoh muda
Muhammadiyah yang dikukuhkan menjadi Ketua Parmusi juga terganjal, sampai
akhirnya dengan dukungan penguasa, partai itu dikomandani oleh Jailani Naro
yang tak begitu jelas akar keterlibatannya dalam gerakan politik Islam di masa
lalu.
Itulah awal
keterlibatan kekuasaan dalam mengintervensi suatu kekuatan politik. Sejak itu,
hampir tidak ada partai yang sepenuhnya independen dan berdaulat. Setiap calon
pimpinan sebuah partai, memerlukan “restu” atau persetujuan penguasa.
Intervensi kekuasaan, baik terang-terangan maupun secara terselubung melalui
operasi intelejens, selalu membayangi setiap partai dan gerakan politik manapun
juga. Bahkan lebih jauh dari itu, setiap organisasi – termasuk organisasi sosial,
kepemudaan dan profesi — gerakan kampus bahkan sampai ke mesjid-mesjid tidak
sunyi dari pantauan intelejens. Orde Baru melakukan rekayasa sosial dan politik
yang efektif melaluiDwi Fungsi ABRI. TNI dan POLRI bukan saja kekuatan
pertahanan dan keamanan, tetapi juga kekuatan sosial dan politik. TNI dan POLRI
mendapat jatah kursi di DPR, MPR dan DPRD. TNI melalui Kodam, Kodim dan
Koramil, aktif memantau semua gerakan politik, bahkan melakukan intervensi
terhadap semua kegiatan itu, demi menjaga “stabilitas nasional” untuk
kelangsungan pembangunan.
Meskipun
telah menghirup udara bebas, tokoh-tokoh inti Masyumi secara perlahan mulai
tersingkir dari panggung politik, sejalan dengan menguatnya Orde Baru. Mohammad
Natsir dan rekan-rekannya mendirikan Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia, dan
mulai memusatkan perhatian mereka ke bidang dakwah, sambil tetap bersikap
kritis kepada Pemerintah Orde Baru. Dulu kita berpolitik, sekarang kita
berdakwah. Nanti hasilnya akan sama saja, kata Natsir kepada saya suatu
ketika.Natsir mungkin benar. Dakwah Islam akan makin meluas dan tak terbendung,
justru ketika kiprah politik mereka menghadapi hambatan. Natsir dan
kawan-kawannya mulai menyadari bahwa mereka mulai tua. Mereka mulai berpikir
untuk membangun kesadaran keagamaan kepada masyarakat menuju masa depan. Mereka
perlu menyiapkan generasi penerus bangsa yang dilandasi semangat dan komitmen
Keislaman. Untuk itu dakwah dalam arti seluas-luasnya, terutama di
kampus-kampus, harus dilaksanakan dengan sungguh-sungguh.
Orde Baru
merancang format politik dan pembangunan Indonesia ke depan secara sistematik
dan terencana. CSIS (Center for Strategic and International Studies) menjadi
salah satu lembaga kajian yang tersohor dalam merumuskan dan memback-up
konsep-konsep pembangunan Orde Baru dengan berbagai rekayasanya. Buku Ali
Moertopo yang berjudul “Akselerasi Modernisasi 25 Tahun” yang diterbitkan CSIS
adalah salah satu “buku sakti” yang memuat perencanaan itu. Dari buku itu saja
suda tergambar bahwa Presiden Soeharto telah dirancang untuk menjadi Presiden minimal
5 periode, atau lima kali Pelita (Pembangunan Lima Tahun) sampai saatnya
Indonesia tinggal landas dalam pembangunan ekonomi. Dalam rekayasa politik,
partai-partai dikelompokkan berdasarkan program, bukan lagi berdasarkan
ideologi. Akhirnya partai-partai Islam berfusi dengan tekanan penguasa ke dalam
Partai Persatuan Pembangunan, dan partai-partai nasionalis, Kristen dan Katolik
ke dalam Partai Demokrasi Indonesia. Sejak itu selalu dikatakan bahwa di negara
kita ini ada dua partai politik dan satu Golongan Karya. Golongan Karya
(Golkar) meskipun memenuhi segala syarat dan rukun – kalau menggunakan istilah
fikih – untuk disebut sebagai partai politik, menolak menyebut dirinya sebagai
partai.
Pancasila
menjadi satu-satunya ideologi bagi semua kekuatan politik dan UUD 1945 menjadi
landasan operasionalnya dengan tafsiran khas Orde Baru. Ketuhanan Yang Maha Esa
sebagai sila pertama Pancasila, kata Ali Moertopo, bukanlah tuhan sebagaimana
dipahami agama, melainkan tuhan dalam makna politik. Proses sekularisasi
Pancasila mulai dicanangkan. Konsepsi ideologis keagamaan mulai dipinggirkan.
Namun pada saat bersamaan, secara bertahap konsepsi mistis-Kejawaan mulai
menguat, dan berujung dengan munculnya Eka Prasetya Pancakarsa sebagai pedoman
pelaksanaan Pancasila melalui Ketetapan MPR tahun 1978, meskipun ditentang
keras oleh PPP. Sekularisme dan Javanisme seakan menemukan titik temu dan
saling mendukung. Kebatinan Jawa mendapat baju baru yang dinamai Aliran
Kepercayaan, sehingga terkesan mendapat legitimasi konstitusional di dalam
Pasal 29 UUD 1945. Status Aliran Kepercayaan hampir-hampir mendapat perlakuan
setara dengan agama. Soeharto, Ali Moertopo dan Sudjono Humardani berada di
balik semua ini. Zahid Hussein, salah seorang pejabat di Sekretariat Negara,
menjadi operator penyebar-luasannya.
Sumber: http://yusril.ihzamahendra.com/2008/01/31/kebijakan-orde-baru-terhadap-masyumi-dan-islam/2/


0 Komentar