Header Ads Widget

Responsive Advertisement

Ticker

6/recent/ticker-posts

Kebijakan ORDE BARU, MASYUMI Dan Islam (3)


Orang-orang eks Masyumi dan para pengikutnya sangat khawatir dengan sekularisasi Pancasila dan menguatnya Aliran Kepercayaan ini. Di mata mereka, dibalik semua ini ada grand-design untuk mengelaminir Islam dengan berkolaborasi dengan kekuatan-kekuatan luar, dan kepentingan agama tertentu yang memanfaatkan Soeharto dan Orde Baru. Kelompok ini bukan saja memegang posisi-posisi strategis militer, tetapi juga menguasai pos-pos penting di bidang perekonomian dalam berbagai kabinet Orde Baru. Di kalangan eks Masyumi ada anggapan bahwa militer telah dijauhkan dari Islam. Maraden Panggabean, Soedomo dan Benny Moerdani yang semuanya non Muslim, memainkan peranan penting dan menentukan. Di masa itu ada kesan, bahwa perwira militer yang taat menjalankan agama Islam, sulit untuk mendapatkan promosi. Susilo Bambang Yudhoyono ketika masih perwira menengah juga mengalami nasib yang sama. Dia dianggap sebagai perwira yang taat menjalankan agama Islam, sehingga beberapa kali promosinya dihambat Benny Moredani. Demikian pula Radius Prawiro, Sumarlin, Adrianus Mooy, dan Sudrajat Djiwandono  yang semuanya non-Muslim, cukup lama menduduki posisi kunci pos-pos ekonomi kabinet  Orde Baru. Arsitek utama ekonomi Orde Baru, Widjojo Nitisastro dan Ali Wardhana, meskipun Muslim, dikenal sangat jauh dari Islam.

Orang-orang eks Masyumi berpikir bahwa jika Aliran Kepercayaan diformalkan, dan seluruh orang Jawa Abangan dikelompokkan sebagai penganut Aliran Kepercayaan dan bukan Muslim, maka Islam di Indonesia bukan saja akan menjadi minoritas dalam politik dan ekonomi, tetapi juga minoritas dalam jumlah. Indonesia tak dapat lagi menyatakan dirinya sebagai negara mayoritas Muslim terbesar di dunia. Kekhwatiran ini terasa di mana-mana. Kegiatan dakwah makin gencar dilaksanakan, terutama di kampus-kampus dan kantor-kantor pemerintah untuk mengimbangi kecenderungan anti Islam dalam kebijakan Orde Baru. Istilah Ekstrim Kanan (Islam iedologis) dan Ekstrim Kiri (Komunis) menjadi istilah umum yang selalu dikatakan sebagai bahaya laten yang akan memecah-belah persatuan dan kesatuan bangsa.

Dakwah yang luar biasa gencarnya itu akhirnya mendorong pula suatu perubahan. Secara politik Islam dikalahkan, namun kesadaran keislaman terasa makin menguat di mana-mana. Kesempatan pendidikan yang luas yang diberikan oleh Orde Baru telah membuka peluang anak-anak Muslim, dan lebih khusus lagi, anak-anak orang Masyumi untuk menempuh pendidikan. Tanpa disadari jumlah mereka sangat besar. Mereka mulai mengisi jajaran birokrasi, militer dan kekuatan politik yang secara resminya sebenarnya was-was dengan Islam Ideologis dan gerakan politik Islam. Anak-anak orang Masyumi seperti Feisal Tanjung dan Syarwan Hamid mulai menanjak karier militernya. Akbar Tanjung dan Abdul Gafur menjadi tokoh muda Golkar dan Ridwan Saidi menjadi muda tokoh PPP. Di kampus-kampus muncul kaum intelektual yang berasal dari anak-anak orang Masyumi. Keadaan ini mulai menggeser peranan intelektual yang dulunya selalu diklaim dan didominasi oleh orang-orang PSI.

Meskipun telah lahir kekuatan baru Islam yang berwajah non politik, namun tekanan terhadfap Islam terus berlangsung, terutama ketika Dr. Daoed Joesoef — salah seorang tokoh CSIS — diangkat menjadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Dia sangat tersohor dengan konsep NKK/BKK dan mengeliminir unsur Islam dalam pendidikan nasional kita. Saya masih ingat suatu ketika, Professor Slamet Imam Santoso dan Professor Selo Sumardjan mengatakan kepada saya kekecewaannya dengan terhadap sikap Pemerintah Orde Baru yang mereka nilai menekan Islam. “Lha, walau saya ini cuma Islam abangan, yang nggak pernah solat, tetapi kalau Islam itu dimacem-macemin, saya juga tidak rela”, kata Professor Selo suatu ketika. Sebagai orang Islam, kata Prof. Selo, “saya merasa tersinggung dengan kebijakan ini”. Saya sangat heran dengan ucapan Prof. Selo, karena selama kami menjadi mahasiswa kami tak pernah merasa beliau dekat dan mempunyai perhatian terhadap Islam.
Prof. Slamet Imam Santoso juga begitu jengkel dengan kebijakan anti Islam Menteri Pendidikan Daoed Joesoef. Beliau bersama-sama Prof. Rasjidi dan Prof. Osman Raliby mengambil inistaif menatar dosen-dosen Agama Islam di UI agar mampu mengajarkan Islam dalam bahasa yang dimengerti oleh mahasiswa dari berbagai fakultas. Gejala serupa nampaknya terjadi di mana-mana. Saya sendiri, yang berlatar belakang pendidikan hukum dan filsafat ikut direkrut untuk mengajarkan Agama Islam dengan pendekatan yang lebih intelektual. Prof. Slamet bersedia memberikan ceramah Agama Islam menjelang solat tarawih di Mesjid Arief Rachman Hakiem UI, walau beliau sendiri tidak ikut tarawih. Sambil bercanda Prof Slamet mengatakan kepada saya “Jelek-jelek Slamet ini dulunya pendukung Masyumi”. Beliau bercerita, suatu ketika diajak oleh Dr. Sudarsono – ayah Juwono Sudarsono – untuk mendukung PSI dengan alasan partai itu didukung kaum intelektual. Pak Slamet bilang, saya menolak, saya lebih senang mendukung Masyumi. Masyumi juga intelektual, tapi merakyat.

Puncak dari sikap anti Islam ideologis dan poltis dari Orde Baru adalah tatkala terjadinya Peristiwa Tanjung Priok yang menyebabkan sejumlah aktivis Islam dibawah pimpinan Amir Biki dibunuh tentara. Pasca peristiwa itu, sejumlah aktivis Islam termasuk AM Fatwa dan Abdul Kadir Jaelani ditangkapi. Abdullah Hehamahuwa dan saya sempat dikejar-kejar tanpa kami tahu apa sebabnya. Sebelum itu berbagai operasi intelejens dibawah komando Benny Moerdani telah merekayasa berbagai gerakan ekstrim seperti Komando Jihad dan pembajakan pesawat terbang Woyla. Suasana sangat mencekam. Saya sendiri ketika itu bekerja di lembaga riset LIPPM yang dipimpin Anwar Harjono. Mohammad Nastsir setiap hari datang berkantor ke lembaga ini. Sjafruddin Prawiranegara, Mohamad Roem dan Boerhanoeddin Harahap juga sering datang. Pergaulan saya dengan mereka sangat dekat, sehingga sayapun sering dituduh sebagai ekstrim kanan. Setelah mereka ikut menandatangani Petisi 50, banyak pula tokoh-tokoh lain seperti Ali Sadikin dan Hoegeng sering datang. Sejak tahun 1978, kami tegas menentang asas tunggal Pancasila dan P4. Mohammad Natsir memerintahkan saya menyusun argumentasi menolak asas tunggal dan P4. Tulisan saya itu dijadikan bahan berbagai organiasi Islam, termasuk Kongres HMI di Medan yang akhirnya menolak asas tunggal. Sampai P4 dihentikan di masa Presiden Habibie, saya tak pernah mau ikut penataran P4. Ini sama sekali tidak berarti kami menolak Pancasila sebagai falsafah negara. Kami menolak tafsiran sepihak Orde Baru terhadap Pancasila.

Tak ada yang menyangsikan bahwa sikap anti Islam ideologis dan politis di bawah Orde Baru ini tanpa arahan, atau paling tidak di bawah pengetahuan Presiden Soeharto. Soeharto sendiri berasal dari kalangan Jawa Abangan, walau di masa kecil pernah belajar di sekolah Muhammadiyah dan aktif belajar mengaji serta tidur di mesjid di kampungnya. Namun pemahaman Soeharto terhadap agama tergolong minim, begitu juga ketaatannya dalam menjalankan ibadah agama. Sampai akhir dekade tahun 1980-an, rakyat tak pernah tahu apakah beliau mengerjakan solat Jum’at apa tidak. Tak pernah beliau nampak pergi menunaian solat Jum’at di Masjid Baiturrahim di Istana Negara atau mesjid lainnya. Walau begitu, Soeharto selalu mengucapkan salam baik di awal maupun di akhir pidatonya, meskipun di dalam teks pidatonya, ucapan salam itu tidak ada. Soeharto dan Ibu Tien hanya nampak menghadiri acara Nuzul Qur’an di Istana negara, dan peringatan Isra Mi’raj dan Nuzul Qur’an di Mesjid Istiqlal. Dalam ucapan lisannya sehari-hari Soeharto lebih banyak mengutip mutiara-mutiara falsafah Jawa – terutama Ronggowarsito – daripada merujuk kepada khazanah ajaran Islam.
Sumber: http://yusril.ihzamahendra.com/2008/01/31/kebijakan-orde-baru-terhadap-masyumi-dan-islam/3/

Posting Komentar

0 Komentar