Header Ads Widget

Responsive Advertisement

Ticker

6/recent/ticker-posts

Kebijakan ORDE BARU, MASYUMI Dan Islam (4)


Kesadaran Soeharto terhadap Islam mulai tumbuh ketika usianya kian senja. Dalam Muktamar Muhammadiyah di Solo pada tahun 1985, tanpa diduga Soeharto mengatakan bahwa dia bersyukur pernah mengenyam pendidikan Muhammadiyah. Padahal kata-kata itu tidak ada dalam teks pidato resminya yang disiapkan Mensesneg Moerdiono. Warga Muhammadiyah seolah mendapat angin segar. Saya mendengar sejak itu ada pengajian agama Islam yang dilakukan diam-diam di rumah Soeharto. Pelan-pelan Soeharto mulai menampakkan sosok keislamannya. Dia mendukung upaya Munawir Sadjzali untuk menciptakan UU Peradilan Agama pada tahun 1989, dan kemudian mengeluarkan Instruksi Presiden tentang Kompilasi Hukum Islam. Dua hal semacam ini hampir mustahil terjadi di awal maupun di pertengahan usia Orde Baru. Di masa itu, setiap pembicaraan mengenai hukum Islam dan lembaga-lembaganya, dengan mudah akan dituduh untuk menghidupkan kembali Piagam Jakarta.

Dalam usia yang menjelang tua, Soeharto mulai menyadari bahwa Islam di Indonesia adalah kekuatan yang tak mungkin diabaikan, apalagi harus ditekan dan dipinggirkan. Orang Jawa, betapun abangan, adalah Muslim. Secara gradual, orang Abangan akan berangsur-angsur menjadi “santri” dengan kesadarannya sendiri. Hasil pembangunan sosial, pendidikan dan ekonomi telah menyebabkan mobilitas vertikal anak-anak Islam dalam jumlah yang besar. Masyumi boleh dihadang, namun anak-anak keluarga Masyumi – seperti telah saya katakan –muncul di kampus-kampus sebagai akademisi yang handal dan berpengaruh. Di kalangan militer, anak-anak orang Masyumi telah menjadi perwira tinggi, demikian pula di jajaran birokrasi. Generasi tua Masyumi memang mulai surut ke belakang, namun anak-anak mereka, termasuk anak-anak ideologisnya mulai muncul ke permukaan. Mereka membawa kesadaran baru tentang Islam. Tidak selalu berwajah politik, kadangkala lebih bersifat kultural dan intelektual. Namun dampak dari semua ini ke dalam politik akan terasa juga.

Menghadapi fenomena baru yang terjadi di akhir dekade 80-an dan awal 90, Soeharto mulai mendekat dan mengakomodasi Islam, walau tetap hati-hati pada kemunculan kekuatan ideologis dan politisnya. Dia merestui kelahiran ICMI dan memberi kesempatan kepada BJ Habibie untuk memimpin organisasi itu. Dia pergi haji, suatu hal yang tak terbayangkan akan dilakukannya. Soeharto juga mendirikan Yayasan Amal Bhakti Muslim Pancasila untuk mendukung pembangunan masjid di seluruh pelosok tanah air. Dia juga mendukung berdirinya Bank Muamalat, sebagai simbol bahwa Islam mulai merambah ke bidang ekonomi. Perubahan arah politik Orde Baru di saat menjelang akhir keruntuhannya, tentu menimbulkan ketidaksenangan kelompok-kelompok sekular-pragmatis dan kelompok-kelompok non Muslim, yang selama ini telah memanfaatkan Orde Baru untuk keuntungan mereka sendiri. Keadaan ini, sebenarnya adalah suatu evolusi sosial yang tak terhindari. Semakin tua, Soeharto semakin menyadari kenyataan bahwa dirinya adalah seorang Muslim. Soeharto mulai sembahyang Jum’at di Mesjid Baiturrahim, suatu hal yang tak pernah terjadi sebelumnya. Di luar dirinya, dia menyaksikan tumbuhnya kekuatan baru Islam yang lebih segar, tidak berwajah terlalu politis seperti yang dikhawatirkannya, namun potensinya untuk memberikan warna keislaman pada wajah keindonesiaan cukup besar dan potensial.

Saya sendiri hampir tidak percaya ketika di akhir tahun 1994, saya direkrut oleh Sekretariat Negara, lembaga yang di masa itu terasa menakutkan, dan terkesan sangat jauh dari Islam. Sebagai anak Masyumi yang selalu dicurigai sebagai ekstrim kanan yang kritis terhadap Orde Baru dan mantan aktivis mahasiswa yang diskors oleh Menteri Daoed Joesof, tentu merasa heran dengan tawaran ini. Saya merasa perlu berkonsultasi dengan Anwar Harjono sebelum menerima tawaran itu, dan beliau mengatakan terima saja dengan mengucapkan Bismillah. Moerdiono, Mensesneg ketika itu mengatakan kepada saya bahwa Presiden Soeharto suatu ketika mengatakan kepadanya bahwa“Yusril itu, orangnya Natsir”. Moerdiono mengiyakan, tetapi dia juga mengatakan kepada Presiden Soeharto bahwa saya masih muda danbekerja secara profesional. Saya menyaksikan perubahan kebijakan Orde Baru terhadap Islam. Pada dasarnya saya tak memusuhi seseorang dan kelompok, tetapi bisa saja menentang kebijakannya yang tidak saya setujui. Karena itu jika kebijakan berubah dan prilaku juga berubah, saya merasa tak cukup alasan lagi untuk terus menentang.

Sedikit banyak, saya ikut memberikan warna Islam pada ucapan dan kebijakan yang dijalankan Pemerintah saat itu. Pancasila yang semula ditafsirkan sangat dekat dengan Kebatinan Jawa, secara perlahan mulai bergeser ke arah penafsiran yang sejalan dengan asas-asas Islam. Bersamaan dengan itu, proses demokratisasi juga harus didorong. Walau saya menyadari bahwa jika demokratisasi berjalan, maka sendi-sendi Orde Baru yang justru dibangun dan ditopang dengan pemerintahan semi-otoriter, pelan-pelan akan menjadi kekuatan yang akan meruntuhkan dirinya dari dalam. Hal ini lumrah jika terjadi, karena kekuatan yang didukung dengan cara-cara tidak demokratis, mustahil akan bertahan jika cara-cara yang demokratis mulai dilaksanakan.

Namun perubahan kebijakan Orde Baru terhadap Islam terjadi pada saat-saat akhir menjelang keruntuhannya. Krisis moneter yang terjadi pada tahun 1997, meluluh-lantakkan sendi-sendi perekonomian nasional. Keruntuhan ekonomi, dengan sendirinya akan berimbas pada keruntuhan kekuatan politik yang memerintah. Dalam situasi itu, menjelang Pemilu 1997, Presiden Soeharto telah menyinggung kemungkinan dirinya “lengser keprabon, madeg pandito”, yakni mengundurkan diri dan hidup menjadi orang bijak. Namun para pendukung setianya tetap menginginkan dia bertahan. Presiden Soeharto yang sudah terlalu lama berkuasa, mulai meragukan kemampuan pemimpin penerus, apakah mampu melanjutkan segala kebijakan yang telah dilakukannya. Sementara para pendukung setia, juga menggantungkan nasib dan posisinya pada kepemimpinannya. Ketika dipilih kembali tahun 1997, Soeharto mulai salah melangkah. Dia mengangkat Siti Hardiyanti Indra Rukmana putrinya sendiri dan Bob Hasan sebagai menteri. Langkah ini menuai kritik dan menunjukkan tindakan yang mulai kurang bijaksana. Dari seorang jendral yang cerdas dan ahli strategi, di masa tua Soeharto mulai kurang hati-hati. Bagaimanapun juga, usia akan menggerogoti manusia.

Dalam suasana krisis ekonomi dan politik yang mulai mengancam stabilitas pemerintahannya, para aktivis Reformasi mulai mengecam segala kesalahan kebijakannya, terutama terkait dengan maraknya KKN di masa pemerintahannya. Dalam situasi krisis yang makin dalam, kerusuhan terjadi di berbagai tempat, satu demi satu Presiden Soeharto mulai ditinggalkan para pendukungnya yang setia. Akhirnya dia seperti sendirian, ketika Saadillah Mursyid dan saya menemuinya padamalam tanggal 20 Mei 1998, dan Presiden Soeharto mengatakan akan berhenti keesokan harinya, setelah berbagai upaya untuk membentuk pemerintahan transisi – termasuk pembentukan Komite Reformasi dan mempercepat Pemilu – gagal mendapat sambutan. Sejumlah menteri menyatakan mundur dan tidak bersedia duduk dalam kabinet baru.Posisi Soeharto terdesak. Inilah titik akhir perjalanan Orde Baru dan titik akhir karier Soeharto. Namun bukan titik akhir perjalanan Islam sebagai kekuatan sosial dan politik di tanah air. Islam telah, sedang dan tetap akan memainkan peranannya dalam perjalanan sejarah bangsa dan negara kita, kini dan mendatang, baik dalam bentuk formal ideologis dan politis maupun dalam bentuknya yang lain.

Wallahu’alam bissawwab.

Posting Komentar

0 Komentar