Oleh: Andi Ryansyah, Pegiat Jejak Islam untuk Bangsa (JIB)
Sebelum menjadi Walikota
Jakarta Raya –jabatan setingkat Gubernur Jakarta -, dia adalah seorang
yang ikut berjuang bersama pemuda-pemuda Bandung melawan penjajah
Jepang. Ketika itu, dia diamanahi sebagai ketua KNIP Bandung yang
bertugas mengambil alih kekuasaan dari tangan Jepang. Meskipun saat itu
dia harus menghadapi para pemuda yang radikal dan pemerintah yang
diplomatis, akan tetapi dia berhasil menggerakkan rakyat untuk
menggertak Jepang, sampai akhirnya Jepang ketakutan dan menyerah tanpa
ada pertumpahan darah.
Keberhasilan ini menarik hati pemerintah
dan meyakinkan rakyat akan kepemimpinannya. Hingga pada bulan September
1945, dia dipilih oleh rakyat dan diangkat oleh pemerintah sebagai
Walikota Bandung yang pertama, sejak berdirinya Republik Indonesia.[1]
Ketika dia menjadi Walikota Bandung, amanah
yang dipikulnya menjadi tambah berat. Sebab tentara sekutu yang
diboncengi tentara Belanda berhasil menduduki wilayah Bandung Utara.
Akibatnya berkobarlah perlawanan pemuda terhadap markas-markas sekutu.
Tindakan pemuda ini membuat sekutu marah dan membom Bandung Selatan.
Korban jiwa pun berjatuhan dan mayat-mayat bergelimpangan. Kota Bandung
diliputi bau busuk kala itu.
Bangkitlah kemarahan dia atas kebiadaban
sekutu ini. Melalui corong Radio Republik Indonesia Bandung, dia
sampaikan protes kepada pihak sekutu. Namun pihak sekutu malah menjawab
protes tersebut dengan mengeluarkan ultimatum akan membom kota Bandung
Selatan bila para pemuda tidak mengosongkan kota tersebut. [2]
Berkenaan dengan ultimatum itu, dia bersama
Komandan TRI, Divisi III, dan Kolonel A.H. Nasution mengadakan
pertemuan. Hasilnya sepakat untuk mengadakan pengungsian rakyat ke luar
kota dan Bandung akan dibumihanguskan. Tepat pukul 20.01 WIB, tanggal 24
Maret 1946, terdengarlah ledakan pertama yang disusul ledakan-ledakan
selanjutnya di segala penjuru kota. Langit Bandung pun memerah dan
menjadi lautan api kala itu.
Tak hanya mengemban amanah di Bandung, dia
juga pernah menjadi Walikota Surakarta pada awal tahun 1947. Suasana
Surakarta ketika itu penuh gejolak akibat konfrontasi dengan PKI. Pernah
pula Ia dijebloskan ke dalam penjara oleh Belanda . Enam bulan lamanya
dia meringkuk dalam penjara Belanda. Baru setelah terjadi perjanjian
Roem-Royen dan berkat bantuan delegasi Republik Indonesia di Jakarta,
dia bisa menghirup udara segar dan dipindahkan ke Jakarta.[3]
Kiprahnya terus berlanjut di Jakarta. Dia
dipilih oleh Dewan Perwakilan Kota Sementara menjadi calon Walikota
Jakarta Raya bersama calon lainnya seperti Mr. Mohamad Roem, Jahja
Malik, dan Dr.Buntaran. Dalam pemilihan di Dewan Perwakilan Kota
Sementara, Mr. Mohamad Roem memperoleh suara terbanyak. Namun Pemerintah
Pusat menetapkan dia sebagai Walikota Jakarta Raya karena dipercaya
akan sanggup menghadapi tantangan dalam mengemudikan Pemerintahan Daerah
Ibukota Negara, berdasarkan pengalamannya di Bandung dan Surakarta. Dan
pada 27 Juni 1951, dia resmi menjadi Walikota Jakarta Raya ke-2
berdasarkan surat keputusan Menteri Dalam Negeri pada tanggal 27 Juni
1951.[4]
Dia adalah Sjamsuridjal. Pria kelahiran
Karanganyar 11 Oktober 1903 ini memiliki segudang pengalaman. Semasa
mudanya, dia adalah Ketua Jong Islamieten Bond (JIB), sebuah
organisasi pemuda Islam, yang kebanyakan anggotanya didikan Barat, namun
hidup sebagai pejuang Islam. Kecintaan Sjamsuridjal pada Islam-lah yang
membuatnya tergerak untuk mengadakan pelajaran Islam di Jong Java
ketika itu. Namun saying upayanya kandas. Ditengah kekecewaan,
Sjamsuridjal bertemu dengan H. Agus Salim. Sebagaimana yang dikisahkan
oleh Haji Agus Salim:
“Pimpinan kelompok pemuda
beragama Islam ini, Sjamsuridjal, sangat sedih dan ketika pulang malam
dari kongres itu aku mencoba menghiburnya dan berkata ; jangan sedih,
mari kita segera bentuk persatuan pemuda Islam dan kita akan menerbitkan
surat kabar Islam berjudul Het Licht (Sinar). Orang-orang itu
telah mencoba mematikan sinar Ilahi tetapi tuhan tak akan membiarkannya!
Maka disudut jalan itu, pada malam tahun baru jam 24.00, 1 Januari 1925
dibentuklah Jong Islamieten Bond (JIB).”[5]
JIB kemudian memang menjadi organisasi yang
berpengaruh luas. Selain menerbitkan majalah Het Licht JIB berperan
sebagai poros dari pergerakan siswa muslim didikan Belanda yang memiliki
ghirah (semangat) yang luar biasa terhadap Islam. Mulai dari
membentuk forum-forum diskusi, membangun sekolah di berbagai wilayah
Indonesia, hingga turut serta dalam penolakan zionisme.
Tak hanya JIB, Sjamsuridjal juga pernah
menjadi anggota pengurus besar Partai Sarikat Islam Indonesia (PSII)
pada tahun 1929. Dan menjadi anggota dewan pimpinan Masyumi pada tahun
1950.
Berbagai pengalaman Sjamsuridjal kala
ditempa di JIB, PSII, dan Masyumi inilah yang nantinya menjadi modal
dalam memikul amanah sebagai pemimpin Jakarta rentang 27 Juni 1951 – 1
November 1953.
Indonesia di awal tahun 1950-an adalah
tahun-tahun ketika Indonesia baru melangkah kembali sebagai sebuah
negara kesatuan. Memulai untuk berdiri kembali sebagai sebuah negara.
Optimisme hadir sebagai sebuah bangsa. Kembalinya Soekarno ke Jakarta
sebagai pusat pemerintahan, membuat Jakarta menjadi pusat dari segala
dinamika yang terjadi di Indonesia. [6]
Pada masa 1950-1965, Soekarno berperan
besar membangun Jakarta. Dia memiliki visi menjadiakan ibukota negara
sebagai kota metropolis atau Great Jakarta (Jakarta Raya).[7]
Jakarta kala itu dipenuhi patung orang yang tampak berteriak,
melambaikan tangan, dan mengacungkan tinju. Begitu banyak monumen
kepahlawanan yang dibuat olehnya. Tak hanya itu, dia telah membangun
sebagian besar landmark terkenal masa kini. Beberapa diantaranya Monumen
Nasional, sebuah bangunan tinggi menjulang yang puncaknya dihiasi api
berlapis emas di pusat kota; Hotel Indonesia, hotel bertingkat modern
pertama di negeri ini; Sarinah, pusat perbelanjaan pertama; Jakarta Baypass dan Jembatan Semanggi, jalan raya modern pertama di Indonesia; dan masih banyak lagi. Semua ini adalah peninggalan Sukarno.[8]
Namun sayangnya, kemegahan fisik Jakarta
kurang dihiasi kreativitas masyarakatnya. Pada 1952, Bung Hatta menulis
bahwa kota-kota besar Indonesia sangat terpengaruh oleh orang Barat. “
Di tempat-tempat ini, sebagian besar orang kita hanya menjadi peniru.
Seperti biasa, hal yang paling mudah ditiru pasti yang dangkal, dan
hanya bagian luarnya saja ….” Dia menunjukkan fakta bahwa, “…sebagian
besar kota kita tidak muncul dari masyarakat kita sendiri namun
kepanjangan ekonomi asing. Kota-kota ini bukanlah pusat aktivitas
kreatif rakyat sendiri, tetapi hanyalah pusat distribusi barang-barang
asing.” Di Jakarta 1950-an, muncul cross boys, yaitu geng –geng muda yang mencontoh para berandal muda di film-film Barat.[9]
Ajip Rosidi, seorang budayawan yang pindah ke Jakarta pernah mengungkapkan:
“… Saya merasa tiba di suatu kurungan
yang memualkan, kehilangan akar dan tempat berpijak dalam galau kota
Internasional yang membuka diri terhadap segala arus tanpa ada penepian
lagi, kesibukan tak punya arah, duta, dan tipu.”[10]
Sementara sastrawan Pramoedya Ananta Toer memberikan gambaran bahwa Jakarta “hanyalah kumpulan besar desa-desa”.
Dalam pandangannya, Jakarta tidak mempunyai kebudayaan urban sendiri,
semua yang ada dibawa dari luar, dari provinsi lain, atau dari luar
negeri.[11]
Selain budaya, korupsi juga menjadi masalah
Jakarta. Menurut Mochtar Lubis, korupsi adalah penyakit utama Jakarta.
Dalam novelnya, dia membandingkan gambaran kehidupan menyedihkan
penduduk Jakarta kebanyakan –para tukang becak dan pemulung- dengan
godaan suap yang dihadapi para pegawai negeri yang mengurusi krisis
perumahan dan inflasi, perdebatan hambar tanpa akhir di kalangan
intelektual Jakarta tentang kebudayaan nasional, serta kesepakatan
korupsi antara para politikus, pengusaha, dan editor surat kabar.[12]
Itulah gambaran singkat Jakarta pada masa
Soekarno. Soekarno tidak sendirian membangun Jakarta. Dia mengamanatkan
Sjamsuridjal sebagai Walikota Jakarta agar dalam pelaksanaan pembangunan
Jakarta harus berkonsepsi yang berani dan tidak melakukan hal-hal yang
sepele. Menjadi walikota pada masa pergolakan revolusi berbeda dengan
masa pasca kemerdekaan. Tugasnya kini adalah mengisi kemerdekaan dan
mengemban amanat penderitaan rakyat.
Demikianlah maka di dalam menghadapi
pembangunan Kota Jakarta, Sjamsuridjal telah merumuskan konsepsinya,
yang kemudian diumumkan kepada para wartawan ibukota pada tanggal 15
September 1951. Pada pertemuannya itu, pertama-tama dia menekankan tiga
masalah pokok yang sangat mendesak yang senantiasa menjadi masalah
pemerintah Kotapraja Jakarta Raya yaitu masalah pembagian aliran
listrik, penambahan air minum dan urusan tanah.
Menyinggung masalah kekurangan aliran
listrik, dia mengatakan kepada wartawan bahwa dewasa ini kota Jakarta
mengalami pemadaman listrik tiga hari sekali. Ini karena Jakarta hanya
diberi jatah sebanyak 240 kw dari pusat, sementara yang diperlukan
sebesar 272 kw. Untuk mengatasi itu, akan dibangun pusat tenaga listrik
di Ancol dan diharapkan pemadaman listrik dapat dikurangi.
Selanjutnya soal kekurangan air minum dikatakan oleh Sjamsuridjal, bahwa Kotapraja mengusahakan Waterzuivering di
daerah Karet yang diperkirakan dapat menambah 5.000 liter air per
detik. Juga dalam rangka memenuhi kebutuhan air minum ini, Kotapraja
akan menambah pipa leding dan penambahan air dari sumbernya di Ciomas
Bogor, meskipun hanya 60 liter air per detiknya. Bagi penduduk yang
bertempat tinggal di daerah-daerah kering, dibuatkan 230 hydrant. Dan penjualan-penjualannya kepada umum dengan perantaraan agen-agen yang telah ditetapkan.
Mengenai masalah tanah, Sjamsuridjal
menjelaskan bahwa masalah tanah di Kotapraja Jakarta terbagi atas empat
macam, yaitu tanah Kotapraja, tanah negara, tanah individual, dan tanah
swasta. Tanah yang menjadi pemikiran Kotapraja adalah masalah tanah
swasta. Di Jakarta masih terdapat 3.566 ha tanah swasta milik 16
perusahaan yang sangat terlantar pengurusannya.
Kampung-kampung yang berada di atas tanah
swasta ini sangat kotor, jalan-jalannya tidak diaspal sehingga berdebu
ketika musim kemarau. Bila musim hujan, jalan menjadi sukar dilalui
karena becek dan berlumpur. Di sana sini terdapat comberan yang baunya
menusuk hidung. Keadaan perumahan penduduk sangat berjubel-jubel di atas
sebidang tanah yang sempit sehingga sumur dan tempat buang air
bergandengan dengan tidak memenuhi syarat hygiene sama sekali.[13]
Dalam hal ini Pemerintah Kotapraja Jakarta Raya akan membeli
tanah-tanah tersebut dan kemudian akan memperbaki kampung sebagaimana
layaknya tempat manusia merdeka.[14]
Walikota Sjamsuridjal dalam
melaksanakan pembangunan di kota Jakarta bermaksud melaksanakannya
secara bertahap dan berangsur-angsur. Masa jabatannya hanya berlangsung
pendek, sehingga segala rencana kerjanya belum dapat dilaksanakan secara
keseluruhan. Meskipun begitu, sudah banyak usaha-usaha pembangunan
telah dilaksanakan pada masanya.
Memajukan Pendidikan
Usaha-usaha untuk meningkatkan mutu
pendidikan sudah mulai dirintis. Pada tahun 1953, Sjamsuridjal membangun
53 ruang belajar pada dua tempat dengan uang bantuan pemerintah pusat.
Sementara kepada pihak swasta, dia menganjurkan untuk mendirikan sekolah
sebanyak-banyaknya.
Selain membangun sekolah rakyat, Kotapraja
Jakarta Raya juga menyelenggarakan Kursus Pegawai Administrasi (KPA)
dengan tujuan untuk memberi pengetahuan dan kecakapan tentang urusan
administrasi kantor. Sekolah ini bertempat di Jalan Pintu Air No.II.
Jumlah pelajarnya hampir 500 orang dan diajar oleh 18 orang guru.
Ada juga sekolah-sekolah umum dan khusus
yaitu 13 Sekolah Lanjutan Pertama (SMP) dan 6 Sekolah Lanjutan Atas
(SMA) negeri, 20 SMP dan 22 SMA swasta, 1 Sekolah Guru A (SGA) dan 1
Sekolah Guru B (SGB), SGA Kristen dan SGA Katholik, 1 Sekolah Teknik
Pertama (STP) dan 1 Sekolah Teknik Menengah (STM) , 1 Sekolah Menengah
Ekonomi Pertama (SMEP) dan 1 Sekolah Menengah Ekonomi Atas (SMEA).
Bagi anak-anak perempuan didirikan Sekolah
Kepandaian Puteri (SKP) dan Sekolah Guru Kepandaian Puteri (SGKP) yang
masing-masing 1 buah. Di Jakarta, banyak taman kanak-kanak , namun
semuanya diselenggarakan oleh swasta. Pendidikan guru taman kanak-kanak
pun diusahakan oleh swasta lewat Sekolah Guru Taman Kanak-kanak.
Sementara untuk meningkatkan pengetahuan dan guru-guru dan mutu
pengajaran sekolah rakyat, diselenggarakan kursus-kursus bersama. Di
Jakarta terdapat 3 tempat kursus semacam itu.
Di samping sekolah-sekolah di atas, ada
juga pemberantasan buta huruf di kalangan orang-orang dewasa dan Jawatan
(Dinas) Pendidikan Masyarakat. Kursus-kursus buta huruf ini ada 334
buah dengan jumlah murid 1.200 orang.
Kemudian diselenggarakan kursus-kursus
untuk menambah pengetahuan umum yang boleh diikuti oleh semua warga
negara. Jumlah kursus ini ada 2 buah dengan 475 murid.
Ada juga pendidikan Islam yang khusus
diselenggarakan oleh madrasah, pesantren, dan langgar-langgar atau
guru-guru agama sendiri. Terdapat 153 madrasah dan 2 pesantren.
Mengenai dunia universitas, sebelum tahun
1950 hanya ada fakultas kedokteran dan fakultas hukum. Ketika
Sjamsuridjal memimpin, muncul fakultas sastra dan filsafat, fakultas
ekonomi, semua fakultas itu diselenggarakan oleh Universitas Indonesia.
Muncul juga akademi-akademi seperti Akademi
Kepolisian, Akademi Luar Negeri, dan Akademi Teknik Nasional. Ada
pula akademi yang didirikan oleh swasta seperti Akademi Islam dan
Akademi Wartawan. Selain itu, ada Akademi Nasional yang diselenggarakan
oleh Perkumpulan Memajukan IlmuKebudayaan (PMIK), yaitu perkumpulan kaum
republik ketika zaman pemerintahan pre-federal.[15]
Proyek pendidikan yang telah dibangun
berupa komplek pelajar yang bernama “Komplek Taman Setia Budi” yang
terdiri atas komlek SD, SMP, dan SMA yang dilengkapi perkampungan
pelajar dan ruang olah raga.[16]
Mengatasi Masalah Kesehatan
Pelayanan kesehatan bagi penduduk Jakarta
yang jumlahnya lebih dari dua juta kala itu, dirasakan sangat kurang.
Sebab hanya ada satu rumah sakit rakyat yang didirikan pada tahun 1947
di Bidara Cina. Untuk itu Pemerintah Kotapraja menambah dua rumah sakit
rakyat di Jalan Balikpapan dan Tanjung Priok pada tahun 1953. Selain
itu, pemerintah juga mendirikan 10 rumah sakit di tiap-tiap kewedanaan
(kabupaten) dan beberapa klinik bersalin di sebagian tempat di Jakarta.
Kemudian untuk melayani masyarakat yang
tinggal jauh dari pusat-pusat kesehatan –di pelosok kampung dan desa-,
pemerintah menyediakan mobil balai pengobatan keliling agar peningkatan
kesehatan masyarakat di seluruh wilayah Jakarta dapat benar-benar
dilaksanakan.
Usaha-usaha pemberantasan penyakit menular
pun dilakukan oleh tim kesehatan dari Dinas Kesehatan Kota. Dilakukan
penyuntikan secara massal kepada bayi-bayi cacar, kemudianpenyuntikkan
vaksin kepada pegawai-pegawai kantor. Dan dalam rangka pemberantasan
penyakit malaria, 9.652 rumah warga disemprot dengan 5 ton DDT.
Penyemprotan demikian juga dilakukan untuk memberantas penyakit patek.
Tim pemberantas penyakit patek ini terdiri
atas 24 dokter, 2 dokter gigi, 24 orang bidan, 1 orang kontrolir
kesehatan kepala, 2 orang kontrolir kesehatan, 62 juru rawat, 3 asisten
apoteker, dan sejumlah pegawai lainnya. Tim ini disebar ke tiap-tiap
kecamatan yang telah ditentukan.
Program pemberantasan penyakit menular ini
benar-benar terasa manfaatnya oleh masyarakat. Hal ini terlihat dari
angka penderita thypus yang menurun drastis. Pada tahun 1950 terdapat
1.080 penderita typhus, satu tahun kemudian menjadi 437 penderita typhus. Dan pada tahun 1952 menurun lagi menjadi 392 penderita typhus.
Walikota Sjamsuridjal juga memperhatikan
kesehatan anak-anak sekolah terutama siswa Sekolah Dasar. Untuk
kepentingan kesehatan anak-anak SD, dibentuklah Yayasan Putra Bahagia.
Yayasan tersebut bertugas merawat anak-anak yang kurang mampu. Di
yayasan ini, anak-anak yang dirawat diberikan juga pelajaran agar tidak ketinggalan sekolahnya.[17]
Mendorong Perekonomian
Ketika itu pada umumnya industri besi,
kayu, minyak kulit, sabun, es, makanan dan minuman, serta batik di
berbagai tempat di Jakarta, dikuasai oleh mayoritas asing terutama orang
Cina. Perdagangan di toko-toko dan warung-warung eceran sebagian besar
juga masih di tangan orang Cina. Tampak juga banyak orang Arab yang
berdagang alat-alat bangunan, perabot rumah tangga, dan barang tua.
Kalau orang pribumi banyak yang menjadi inisiator di perusahaan
percetakan. Nama-nama perusahaan percetakan diantaranya Percetakan
Pemandangan, Pustaka Rakyat, Seno N.V., Siliwangi, dan Dharma.
Yang memprihatinkan, rata-rata sepuluh
perusahaan yang tercatat di Balai Kota setiap harinya, hanya ada satu
perusahaan Indonesia asli. Sebabnya tidak lain karena keuangan bangsa
Indonesia terlalu lemah. Oleh karena itu pemerintah menganjurkan dan
menyokong usaha rakyat dalam mendirikan koperasi dan perusahaan. Pada
tahun 1952, terdapat 76 buah koperasi dengan rincian 13 koperasi pusat,
34 koperasi simpan pinjam, 15 koperasi produksi, 23 koperasi konsumsi,
dan 1 koperasi lainnya. Ini menunjukkan bahwa koperasi di Jakarta ada
kemajuan.
Hasil pertanian berupa padi dihasilkan dari
sawah-sawah yang berada di bagian barat Cengkareng, bagian timur
Kelender, dan bagian utara Tanjung Priok. Hasilnya diperlukan untuk
konsumsi rakyat Jakarta sendiri. Kemudian hasil buah-buahan seperti
jeruk, jambu, rambutan, duren, nanas, dan lain-lain yang dihasilkan dari
daerah Jakarta seperti Pasar Minggu, Pasar Rebo, Kebun Jeruk,
Kebayoran, dan Mampang Prapatan. Buah-buahan ini tidak hanya dijual di
Jakarta, tapi juga di luar Jakarta.
Penangkapan ikan dilakukan nelayan dengan
perahu layar dan motor. Untuk kepentingan nelayan telah didirikan
koperasi perikanan pulau seribu. Koperasi ini memberikan pinjaman
alat-alat penangkapan ikan kepada mereka yang membutuhkan.
Pemerintah Kotapraja telah menentukan tiga
tempat pelelangan ikan yaitu di pasar ikan, tanjung priok, dan kamal.
Para nelayan harus menjual ikannya di tempat tersebut. Mungkin ini usaha
pemerintah agar nelayan tidak menjual kepada rentenir. Pemasukan ikan
yang tecatat pada tahun 1951 di ketiga tempat itu secara berturut-turut:
35.615.73 kg, 21.199.18 kg, dan 147.126 kg.[18]
Menanggulangi Masalah Sosial dengan Manusiawi
Dalam usahanya menjadikan Jakarta sebaga
kota yang indah, Sjamsuridjal melakukan pembersihan kota dari kaum
gelandangan. Tindakan ini juga untuk menyelamatkan golongan masyarakat
sengsara agar mereka dapat kembali hidup layak. Sebab kondisi mereka
sangat memprihatinkan. Mereka tinggal di emper-emper toko, di bawah
jembatan, di dalam gubuk-gubuk kecil sepanjang jalan kereta sehingga
menjadi tontonan orang-orang asing dan menjatuhkan martabat bangsa. Oleh
karena itu, mereka perlu diselamatkan dengan jalan dikembalikan ke
tempat asalnya atau ditransmigrasikan ke luar pulau Jawa.[19]
Untuk menanggulangi masalah gelandangan,
Sjamsuridjal mengadakan konferensi antara Residendaerah perbatasan
dengan Jakarta pada tanggal 29 Desember 1952. Residen yang dimaksud
yaitu Bogor, Banten, Pekalongan, dan Jawa Barat. Konferensi ini
membentuk panitia yang bertugas membangun tempat penampungan dan
mentransmigrasikan mereka.
“Mereka (gelandangan -red) datang dari
daerah perbatasan Jakarta karena itu persoalan perlu dirundingkan dan
dipecahkan bersama-sama oleh daerah yang berdekatan pula,” jelas Sjamsuridjal dalam konferensi.
Gelandangan yang datang ke Jakarta ini
terbagi atas beberapa golongan yaitu orang-orang yang miskin dari
daerahnya sehingga menjadi terlantar, inilah golongan yang paling banyak
jumlahnya. Golongan selanjutnya adalah orang-orang yang bermodal
sedikit sehingga menjadi pedagang kecil. Kemudian golongan kuli pasar
yang dibawa mandor-mandornya, dan terakhir orang-orang bermodal yang
membangun rumah-rumah liar.
Jalan yang ditempuh dalam mengatasi kaum
gelandangan ini adalah mengembalikan mereka ke tanah asalnya di
daerah-daerah yang sudah dibuka di Keresidenan.
Di samping orang tua terdapat juga
anak-anak terlantar yang sudah yatim atau putus hubungan dengan orang
tuanya. Anak-anak ini ditampung di Pulau Damar Jakarta. Di pulau ini,
mereka dididik dan dirawat. Pendidikan yang diberikan kepada mereka
adalah pendidikan praktis yang dapat selesai dalam waktu singkat.
Program ini telah berhasil menolong 500 anak terlantar.
Meskipun demikian, masih ada kurang lebih
5.000 anak yang masih terlantar di Jakarta. Untuk menampung mereka ini,
pemerintah membangun asrama di Pulau Edam bernama Putra Utama I dan di
Jatinegara bernama Putra Utama II.
Sejarawan Susan Blackburn menilai tindakan
Sjamsuridjal dalam mengatasi masalah gelandangan ini lebih manusiawi
dari tindakan lainnya.[20]
Sementara untuk kaum fakir dan miskin,
pemerintah daerah berikan perawatan, pakaian, dan bahan makan. Tempat
perawatan mereka bernama Taman Harapan di Cawang. Di tempat ini, mereka
diberi pekerjaan bercocok tanam dan pendidikan kerajinan tangan seperti
anyam-anyaman. Jumlah mereka ada 1.025 orang.
Penampungan fakir dan miskin ini juga
terdapat di Karanganyar yang memuat 472 orang. Mereka diberi latihan
membuat kesed dan karpet dari sabut kelapa. Pemerintah daerah juga
memberikan subsidi kepada yayasan anak yatim seperti RP Muslimin, RP
Rukun Istri, dan RJP Muhammadiyah.
Pertolongan-pertolongan lain yang
diusahakan pemerintah yaitu kepada bekas Romusha dan Heiho. Mereka
dipulangkan ke kampung halamannya. Yang cacat diberikan perawatan dan
santunan.[21]
Membangun Perumahan Rakyat
Dalam upaya mencukupi kebutuhan
perumahan rakyat, direncanakan pendirian kampung baru di tiga tempat,
masing-masing di bendungan hir, karet, pasar baru, dan jembatan duren.
Perumahan akan dapat menampung 33.000 orang. [22]
Juga untuk memnuhi kebutuhan yang sama
akan dibangun perkampungan di Tanjung Grogol. Ayunan cangkul pertama
peresmian pembangunan perkampungan di Grogol, dilakukan oleh walikota
Sjamsuridjal pada tanggal 5 Oktober 1952. Di sana dibangun rumah
sejumlah 103 buah. Rumah-rumah ini bila selesai akan dijual kepada
rakyat yang membutuhkan.
Selanjutnya dalam rangka memenuhi
kebutuhan perumahan pegawai dan perkantoran, Sjamsuridjal telah
mendorong Pemerintah Kotapraja Jakarta Raya untuk membuka tanah-tanah
baru secara tepat dan teratur. Pembangunannya akan diselenggarakan oleh
tiga unsur, yaitu Pemerintah Pusat, Swasta, dan Kotapraja.
Sementara untuk menolong golongan kecil
seperti tukang beca, tukang jual makanan, dan lain sebagainya,
Pemerintah Daerah telah membangun beberapa perumahan darurat yang
disewakan dengan harga yang ringan. Lokasinya di Pisangbatu, Karanganyar
I, Karanganyar II, Tanjung Periuk, dan Tanah Tinggi. Semua lokasi
tersebut dapat memuat 2.000 orang.[23]
Menyelesaikan Persoalan Tanah Liar
Di era Sjamsuridjal, masalah Jakarta yang
paling mendesak dan menjadi satu tantangan kepemimpinan Jakarta selama
lebih dari 4 dekade berikutnya, adalah kontrol kepemilikan tanah dalam
menghadapi perpindahan masyarakat dari area pedesaan yang tertekan. [24]
Yang memakai tanah liar di Jakarta adalah para pendatang dari Jawa
Barat dan Jawa Tengah. Mereka membanjiri Jakarta karena kesulitan
ekonomi dan politik di daerah pedalamannya.[25]
Dalam menyelesaikan masalah pemakaian
tanah liar, dia mengadakan pertemuan pada 20 November 1952 yang dihadiri
oleh wakil-wakil Gubernur Jawa Barat, Gubernur Jawa Tengah, KMKBDR,
Kepala Kepolisian Jakarta, dan dinas-dinas Kotapraja yang bersangkutan.
Pertemuan ini menyimpulkan bahwa residen belum mempunyai kesanggupan
untuk memulihkan kembali para pengungsi itu ke kampungnya masing-masing.
Kemudian Walikota bersama peserta rapat
mengadakan acara peninjauan ke tempat-tempat atau komplek rumah liar di
Petojo, Jalan Tanggerang, dan Tanah Tinggi.
Usaha pemberantasan pemakaian tanah
liar dan pendirian rumah tanpa izin berikutnya adalah dengan mengumumkan
putusan Kepala Pengadilan Negeri Tentara Jakarta No.4 tahun 1952 yang
berbunyi sebagai berikut:
Kepala Kejaksaan Pengadilan Tinggi Negeri merangkap kepala jawatan tentara pengadilan negeri tentara di jakarta c.a. : ”Bersama
ini diberitahukan kepada khalayak ramai , barang siapa yang mendirikan
bangunan dengan tidak ada izin yang sah dan karena itu melanggar
undang-undang yang sekarang masih berlaku diwajibkan dalam tempo satu
bulan dari tanggal pengumuman ini membongkar bangunan-bangunan tersebut.
Terhadap mereka yaang tidak memenuhi kewajiban tersebut di atas akan
diambil tindakan.”
Mengenai objek-objek pembangunan,
Sjamsuridjal melakukan peninjauan dalam rangka melihat perkembangannya.
Berturut-turut, walikota dan rombongan meninjau proyek penjernihan air
minum Pejompongan. Proyek ini paling menonjol sebagai hasil karyanya.
Proyek lainnya yang dikunjungi adalah pembangunan Jalan Thamrin dan
Masjid Agung Kebayoran Baru serta pembangunan kota[26].
Usaha-usaha Sjamsuridjal dalam membangun
Jakarta memang terbentur singkatnya periode jabatan yang ia emban.
Inisiatif Sjamsuridjal yang agresif tetap tidak bisa mengimbangi
pesatnya pertumbuhan penduduk serta permasalahannya.
Christhoper Silver, professor dari University of Florida yang sempat meneliti pembangunan kota Jakarta, mengungkapkan “…None
of these initiatives kept pace with the growing housing demand and,
despite Sjamsuridal’s aggressive clearance programme, slum areas
expanded faster than the government could remove them.” [27]
Ledakan penduduk Jakarta yang hebat
setidaknya telah membuat permasalahan semakin berat. Pada tahun 1948
Jakarta diperkirakan dihuni sebanyak 1. 174. 252 jiwa. Namun pada tahun
1953, penduduk Jakarta sudah mencapai 1,8 juta jiwa.[28]
Membanjirnya penduduk daerah menuju Jakarta, terang tak bisa diatasi
oleh seorang Sjamsuridjal semata. Persoalan urbanisasi menjadi persoalan
nasional. Meskipun begitu, Christopher Silver mengakui, dalam periode
yang singkat Sjamsuridjal telah melakukan upaya yang agresif. Kesan
positif juga dikemukakan dari penulis Biografi Sjamsuridjal, Mr.
Supangkat yang mengenalnya sejak zaman pergerakan nasional menilai
Sjamsuridjal memiliki bakat memimpin dalam organisasi politik, sosial,
maupun agama, ramah tamah dalam pergaulan, dan rapi dalam berbusana.[29]
Demikian perjalanan seorang
Sjamsuridjal memimpin Jakarta. Seorang pemimpin Islam yang nyata telah
berjuang dan berkorban demi negaranya. Walau singkat menjabat, akan
tetapi torehan prestasinya berpihak dan bermanfaat untuk penduduk
Jakarta, terutama pada rakyat kecil.
Jakarta memang tidak membutuhkan pemimpin
yang sering umbar janji, tebar sensasi dan arogansi, serta menciderai
toleransi namun tak banyak aksi nyata, sehingga membuat masyarakat tak
merasakan perannya yang berarti. Sebaliknya, Jakarta, setidaknya
membutuhkan pemimpin yang mampu mengikuti jejak yang telah dicontohkan
oleh Sjamsuridjal.
Sumber: http://jejakislam.net/?p=463
[1] Supangkat, Karya Jaya Kenang-kenangan Lima Kepala Daerah Jakarta 1945-1966, PT Pangeran Djajakarta:Jakarta, 1977,hlm.53
[2] Supangkat, Ibid, hlm. 54
[3] Supangkat, Ibid, hlm. 57
[4] Supangkat, Ibid, hlm. 63
[5] Dikutip oleh Beggy Rizkiyansyah, http://jejakislam.net/?p=309 dari 100 Tahun Haji Agus Salim. Jakarta : Sinar Harapan, 1996
[6]
Nordholt, Henk Schulte, Indonesia in the 1950’s; Nation, Modernity, and
Post-Colonial State, Bijdragen tot de Taal, Land-en, Volkenkunde, Vol.
167, No. 4 (2011)
[7] Christopher Silver, Planning the Megacity: Jakarta in the Twentieth Century, Routledge: London&New York, 2008, hlm. 88
[8] Susan Blackburn, Jakarta Sejarah 400 Tahun, Masup Jakarta: Jakarta, 2011, hlm. 227-228
[9] Susan Blackburn, Ibid, hlm. 262-263
[10] Susan Blackburn, Ibid, hlm.264
[11] Susan Blackburn, Ibid, hlm.262
[12] Susan Blackburn, Ibid, hlm.265
[13] Supangkat, Ibid, hlm. 65
[14] Supangkat, Ibid, hlm. 67
[15] Supangkat, Ibid, hlm. 75-77
[16] Supangkat, Ibid, hlm.79
[17] Supangkat, Ibid, hlm. 69
[18] Supangkat, Ibid, hlm.77-79
[19] Supangkat, Ibid, hlm. 73
[20] Susan Blackburn, Ibid, hlm. 268
[21] Supangkat, Ibid, hlm.73-75
[22] Supangkat, Ibid, hlm. 69
[23] Supangkat, Ibid, hlm. 71
[24] Christopher Silver, Ibid, hlm. 93
[25] Supangkat, Ibid, hlm. 75
[26] Supangkat, Ibid, hlm.79
[27] Dikutip Christopher Silver, Ibid, hlm. 92-93 dari Nas and Malo (2000, 230–231) dan PDKIJ (1977, 69–70)
[28] Christopher Silver, hlm. 91
[29] Supangkat, Ibid, hlm. 51
0 Komentar