Oleh: Susiyanto
SEJAK awal Belanda menghendaki penguasaan terhadap
narasi sejarah bangsa jajahannya. Di Jawa, pengumpulan tradisi-tradisi
lokal dan manuskrip kuno telah menjadi salah satu agendanya. Sejumlah
akademisi Belanda diturunkan untuk menggali pelbagai data terkait.
Kesarjanaan yang memiliki penguasaan terhadap tradisi, adat istiadat,
dan sistem nilai suatu masyarakat akan berguna dalam membangun
pendekatan, termasuk dalam merancang format hegemoni dan pelanggengan
kekuasaan.
Penyusunan narasi “sejarah” yang berpihak pada kepentingan
kolonialisme ini sempat disinggung Prof. A. Hasymy dalam “Seminar
Sejarah Masuknya Islam ke Indonesia” di Medan pada 17-20 Maret 1963.
Menurut A. Hasymy, tujuan kaum kolonialis dan kaki tangannya menyusun
sebuah versi “Sejarah” adalah untuk meracuni jiwa dan semangat para
pemuda Islam di tanah jajahan. Langkah ini ditindaklanjuti dengan
penciptaan dongeng-dongeng sebagai ganti ajaran Islam. Melalui metode
inilah Belanda menciptakan “agama baru” dalam bentuk aliran-aliran
kebatinan atau kepercayaan.[ Prof. A. Hasymy (peny.), Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia. 1989)
Pasca Perang Jawa (1825-1830) kebutuhan Belanda untuk memahami
kawasan Jawa semakin terasa. Apalagi pemerintah menggulirkan kebijakan
tanam paksa (cultuur stelsel) untuk mengisi kas negara yang terkuras
untuk pembiayaan operasional menumpas berbagai aksi perlawanan. Dalam
praktik di lapangan, kebijakan baru yang bersifat eksploitatif itu
menuntut lebih banyak interaksi dengan kalangan bumiputera. Karenanya,
pendidikan bagi para pegawai dan pejabat Belanda hendaknya diarahkan
untuk memahami bahasa dan budaya rakyat setempat.
Guna menjinakkan Islam, Belanda berinisiatif menciptakan terwujudnya
segregasi antara Islam dan budaya Jawa. Islam diposisikan sebagai bahaya
potensial dan laten bagi stabilitas pemerintahan kolonial. Upaya ini
mendapat dukungan penuh dari kalangan misionaris Protestan maupun
Katolik.
Karel Steenbrink, seorang akademisi, menggambarkan bahwa pada masa
itu Islam dianggap sebagai kekuatan yang harus direduksi. Langkah yang
diambil selalu menunjukkan ciri serupa yaitu pencitraan Islam sebagai
musuh menakutkan yang tidak harus diserang secara langsung, tetapi
dihadapi dengan mempromosikan kebiasaan kuno, adat, dan agama rakyat.
Juga melalui perawatan kesehatan dan pendidikan Barat. Van Randwijk,
mantan konsul zending, mencirikan strategi ini dengan kalimat: “Strategi
memangkas Islam”.[Lihat: Karel Steenbrink, Kawan dalam Pertikaian: Kaum Kolonial Belanda dan Islam di Indonesia (1596-1942), Mizan, 1995]
Simbiosis Mutualisme
Misi Kristen bergeliat ketika mulai diizinkan beroperasi di Jawa pada
abad ke-19. Diantara tokoh awalnya antara lain W. Hoezoo yang tinggal
di Semarang dari 1849 sampai kematiannya pada tahun 1896, Samuel Eliza
Harthoorn, dan D.J. ten Zeldam Ganswijk yang tiba di Jawa pada 1854 dan
keduanya akhirnya mengundurkan diri karena mereka tidak bisa lagi
mendukung pendekatan dari Zendelinggenootschap Nederlandsche
(NZG, Masyarakat Misionaris Belanda), dan Carel Poensen yang datang pada
tahun 1860 dan menghabiskan lebih dari tiga puluh tahun di Jawa.
Umumnya para misionaris ini hanya menguasai sedikit latar belakang
pengetahuan tentang masyarakat Jawa.
Mereka harus banyak belajar dan tidak diragukan lagi sering salah
mengerti tentang apa yang mereka lihat. Tujuan mereka adalah untuk
mengkonversi Jawa ke Kristen dan karena itu mereka sering melihat Islam
sebagai lawan. Misionaris sering tiba di Jawa dengan memikul
ketidaktahuan dan prasangka. Buku Harthoorn tahun 1865 tentang
pendidikan di Indonesia, misalnya, mencerminkan permusuhannya kepada
segala hal yang bersifat Arab, Islam, atau takhayul. Harthoorn juga
memandang orang Jawa sebagai masyarakat yang memiliki tingkat peradaban
rendah sehingga mudah dibentuk oleh pengaruh luar.
Para misionaris sering tinggal untuk waktu lama di Jawa dan mau tidak
mau mereka dituntut memahami bahasa setempat dengan baik. Mereka
berkomunikasi satu sama lain baik melalui korespondensi dan dengan
publikasi di jurnal missi bernama Mededeelingen van het Nederlandsche Wege Zendelinggenootschap
(MNZG) dan melalui media lain. Mereka memiliki kontak dengan bangsa
Eropa lain dan Indo-Eropa dengan keahlian ilmiah tentang Jawa. Misalnya,
ketika Hoezoo melakukan perjalanan ke Surakarta pada tahun 1851 ia
bertemu J.F.C. Gericke (1799-1857), C.F. Winter Sr (1799-1859), J.A.
Wilkens (1813-1880), dan Cohen Stuart (meninggal 1876) di sana, semuanya
tokoh penting dalam penelitian awal Jawa. Para misionaris memiliki
minat dalam mengamati masyarakat Jawa seakurat mungkin, hanya
berdasarkan pengamatan seperti itu strategi misi akan berhasil disusun.[
Lihat: M.C. Ricklefs, The Birth of the Abangan, dalam BKI No. 162 (1) Th. 2006, hlm. 39]
Sejak awal misi Kristen memang dituntut bermain cantik. Penyebaran
bible harapannya dilakukan dengan cara tidak menonjol dan hati-hati.
Bahkan penyediaan taman bacaan sekalipun pada masa ini nyaris dianggap
sebagai tindakan agresif. Oleh karena itu misi sendiri berupaya menjaga
hubungannya dengan pemerintah kolonial. Penginjil lebih banyak mendapat
keuntungan melalui penerapan kerja sama dengan Pemerintah Kolonial
dibandingkan bekerja sendiri secara terpisah.
Dengan digulirkannya sistem tanam paksa (cultuur stelsel),
Pemerintah Kolonial Belanda semakin merasakan pentingnya penguasaan
terhadap adat istiadat, budaya, dan bahasa rakyat pribumi.
Netherlands Zending Genootschap
(NZG), lembaga misionaris Belanda, menangkap peluang ini dengan baik.
NZG menawarkan konsep pendirian sebuah lembaga Bahasa Jawa yang
memungkinkan pegawai dan pejabat Belanda dididik untuk memahami adat
istiadat dan Bahasa Jawa.
Gayung pun bersambut. Tidak benar jika sejumlah akademisi Kristen
menolak teori adanya keterkaitan antara Gereja dan pemerintahan
kolonialis. Dalam kasus Lembaga Bahasa Jawa inisiatif awal kerja sama
justru bermula dari badan penginjilan. Tindakan kompromistis antara
pemerintah penjajah dan institusi misi ini membidani lahirnya Instituut voor de Javaansche Taal
(Lembaga Bahasa Jawa) pada 27 Februari 1832 di Surakarta. Lembaga ini
di dirikan atas prakarsa Johann Friedrich Carl Gericke, utusan zending
dari Netherlands Zending Genootschap (NZG).
Di Instituut voor de Javaansche Taal, Gericke menjabat
sebagai pimpinan lembaga. Ia bisa dianggap sebagai peletak utama
kesarjanaan Belanda dalam studi literatur Jawa. Awalnya ia tiba di
Surakarta pada 1827 untuk menterjemahkan Bible ke dalam Bahasa Jawa.
Pada tahun 1829 ketika salah seorang pangeran dari Kasunanan hendak
belajar agama ke Pesantren Tegal Sari, Ponorogo Gericke megikuti dengan
tujuan lain, yaitu belajar tentang literatur Jawa selama 9 bulan.
Perjalanan Gericke selalu ia laporkan kepada induk semangnya di
Nederlands Bijbelgenootschap di Amsterdam. [Lihat: A. Day, Islam and Literature in South – East Asia: Some Pre-modern, Mainly Javanesse Perspectives, dalam M.B. Hooker (ed.), Islam in South – East Asia (E.J. Brill, Leiden, 1988), hlm. 134]
Melalui Instituut voor de Javaansche Taal inilah sebuah cara
pandang baru dicangkokkan ke dalam pemikiran orang Jawa. Pembentukan
identitas baru masyarakat Jawa dimulai dengan langkah meniadakan spirit
Islam. Melalui lembaga ini, Para Javanolog Belanda yang terdiri dari
kalangan misionaris dan orientalis, mengembalikan dan menghidupkan
kembali tradisi Jawa kuno (Jawa pra Islam) dan menghubungkannya dengan
Surakarta. Javanolog Belanda-lah yang “menemukan”, “mengembalikan” dan
“memberikan makna” terhadap Jawa masa lalu. Jika orang Jawa ingin
kembali ke masa lalunya, mereka harus melalui screening pemikiran
Javanolog Belanda. [ dalam Takashi Shiraishi, Zaman Bergerak:
Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-1926, Cetakan II, diterjemah dari An Age in Motion: Popular Radicalism in Java, 1912-1926 oleh Hilmar Farid (Pustaka Grafiti, Jakarta, 2005), hlm. 7].*/Bersambung
Penulis adalah peneliti – Pusat Studi Peradaban Islam (PSPI)
Surakarta. Artikel aslinya berjudul “Misionaris dan Kolonialis dalam
“Pembaratan” Jawa (Studi Kasus Instituut Voor De Javaansche Taal Di
Surakarta) dalam laman pribadinya
0 Komentar