“Kami inginkan persatuan dan persaudaraan di kalangan umat Islam dan kerja sama yang mesra dengan seluruh rakyat Indonesia.” - Kasman Singodimedjo, Mantan Jaksa Agung RI, Tokoh Partai Masyumi, Mantan ketua Jong Islamieten Bond (JIB)-
Mengapa saat ini terdapat jurang yang begitu dalam di antara kaum intelektual dan rakyat?
Kalau dulu ada Soekarno yang tak hanya bisa merekayasa jembatan
-hasil pendidikannya di teknik sipil ITB-, tapi juga bisa berkorban
merekayasa jembatan kemerdekaan, namun sekarang tampaknya kaum
intelektual lebih sering berlindung di balik menara gading perguruan
tinggi, atau mencari kejayaan sendiri tanpa peduli nasib rakyat yang
telah memberinya subsidi. Lalu sekarang bagaimana caranya membangun
jembatan di atas jurang yang dalam itu?
Keterasingan kaum intelektual dari rakyat ini rupanya dulu juga
dirasakan oleh Kasman Singodimedjo, Tokoh Perkumpulan Intelektual Islam
JIB. Melalui majalah bulanan JIB “Het Lich” No.7 Agustus 1925, ia
menggambarkan banyak mulut kaum intelektual kala itu bisu dengan
bahasanya. Banyak yang tidak paham dan pandai berbicara dengan bahasa
sendiri. Mereka tidak sungguh-sungguh mempelajari bahasanya. Betapa
banyak dari mereka yang berasal dari suku sunda, tapi tidak pandai
bahasa sunda yang sopan. Begitu pula yang berasal dari suku Melayu dan
Jawa. Bahasa yang digunakan perkumpulan Jong Java bukanlah bahasa Jawa,
Sunda, atau Melayu karena tidak semua anggotanya bisa. Itu pula yang
membuat JIB terpaksa menjadikan Bahasa Belanda sebagai bahasa persatuan
dalam organisasinya.
Lebih dari soal bahasa, ia mengungkap kehidupan mereka seperti orang Eropa.“Kita
tidak mengenal kehidupan kerja keras dan berat seperti yang dialami
oleh para petani di sawah dan ladang. Kita tidak mengenal membanting
tulang, mengangkat, dan memikul. Malahan kita terbius memandang rendah
pekerjaan mereka yang serba kekurangan itu. Dan betapa jauh berbedanya
kehidupan kita daripada mereka itu, dalam hal pakaian, perumahan, dan
kesenangan.”
Pesta-pesta kelahiran, pernikahan, dan lain-lain, lanjutnya,
benar-benar telah menjauhkan mereka dari rakyat. Mereka telah
membiasakan tingkah laku orang Eropa. Apa saja di-Eropa-kan: pakaian
pengantin, kamar pengantin, dan lain-lain. Dan yang lebih parah lagi,
ungkapnya, pada pesta-pesta itu mereka layani orang Eropa secara
istimewa. Mereka adakan kebiasaan malam-malam khusus untuk melayani
kenalan dan teman-teman Eropa. Dari situ, mereka merasa terhormat atas
perhatian yang orang Eropa berikan dan menganggap remeh tamu sebangsa.
“Hampir-hampir kita tinggalkan sama sekali adat pusaka lama kita,
yang mengandung pengertian bahwa pesta-pesta rumah yang diadakan oleh
orang-orang yang berada, adalah bertujuan untuk menyenangkan dan
menyuguhi jiran sekampung. Selamatan-selamatan yang diadakan dengan
Kiayi-Kiayi dan santri-santri sebagai tamu terhormat telah tidak lagi
menjadi kebiasaan bagi orang-orang kita yang berada.”
Seperti halnya pesta-pesta tadi, lanjutnya, pergaulan kaum
intelektual pun seperti orang Eropa. Mereka hanya ingin berteman dengan
orang Eropa atau orang Indonesia yang sudah kebarat-baratan, khususnya
yang bisa berbahasa Belanda.
Ia merasakan kenyataan yang pahit dan menyedihkan ketika kaum
intelektual buta sama sekali terhadap hati nurani rakyat. Mereka tidak
mengenal perasaan yang dimiliki rakyat. Pergaulan, pendidikan, dan
hubungan mereka dengan orang Barat, khususnya dengan orang-orang
Belanda, membuat mereka kurang bisa mengerti curahan perasaan rakyat
yang jarang sekali atau bahkan mungkin tidak pernah mereka pedulikan.
Mereka menganggap segala sesuatunya yang bukan contoh dari orang
Eropa adalah rendah, terbelakang, dan tidak sesuai dengan tuntutan
perkembangan zaman. Sampai-sampai apa yang paling baik dipunyai bangsa
kita. “Pokoknya semua yang tidak sesuai dengan apa yang dibawakan
oleh dunia Barat yang telah menguasai negara kita ini, sudah kita anggap
rendah pula dan kita rasakan sebagai sesuatu yang salah karena tidak
sesuai dengan contoh yang kita tiru dari manusia-manusia Barat yang
rakus tak pernah kenyang itu.”
Menurutnya, kesalahan mereka karena terlalu meningkatkan diri pada
pengetahuan sekolah dan meninggalkan rakyat jauh di belakangnya.
Kejiwaan itu menyebabkan mereka selaku murid orang Barat tak sedikit pun
dapat mengakui atau menghargai sesuatu yang berasal dari kepribadian
bangsa sendiri. Sehingga seolah-olah rakyat itu harus belajar dari
mereka, bahkan mereka sampai menyangka- nyangka seolah-olah rakyat tidak
mempunyai keinginan untuk merdeka ataupun tidak berhasrat sendiri untuk
berkembang. Akibatnya, mereka berpendapat bahwa mereka harus mengadakan
perubahan pada rakat.
“Betapa salahnya persangkaan kita itu. Betapa justru lebih dulu
dari lingkungan kaum intelektual, di kalangan rakyat telah tercetus
keinginan untuk merdeka dan hasrat kepada kemajuan, yang disusul dengan
tindakan dan perbuatan.Tampak adanya inisiatif yang murni dan daya cipta
yang enerjik yang menunjukkan keinginan akan kemajuan, dan perasaan
persaudaraan terutama sekali harus dicari pada rakyat kita yang beragama
Islam dan telah menyatukan diri dan berorganisasi dengan memakai Islam
sebagai dasar.”
Ia menyebutkan banyak sekolah-sekolah yang sudah didirikan oleh
Sarekat Islam, Muhammadiyah, Perserikatan Ulama dan lain-lain seperti
Sarikat Usaha dan Sumatera Tawalib. Sedangkan perkumpulan-perkumpulan
lain mencontoh pendidikan sekolah-sekolah pemerintah, yang umumnya
dipandang tidak tepat dari segi kebangsaan. Di saat sebagian orang-orang
Indonesia yang kompeten dan orang-orang Eropa sibuk mengadakan teori
dan percobaan-percobaan, organisasi-organisasi Islam sudah lebih dahulu
menyusun dan mempraktikkan pendidikan nasional untuk bangsa kita. Ia
menilai itu karena organisasi-organisasi Islam menggunakan dasar Islam
sehingga mengarahkan mereka pada usaha menuju kesatuan dalam pendidikan,
yaitu usaha yang membayangkan keberhasilan.
“Dalam usaha membangun pendidikan itu, mereka itu tidak mengambang
di awang-awang, oleh karena mereka dapat melanjutkan usaha atas
dasar-dasar yang telah ada dalam sejarah kebangsaan sebelum ini, dengan
memperhitungkan pula perkembangan ilmu pengetahuan dan tuntutan zaman
modern. Dalam hal ini, mereka tidak usah meraba-raba lagi. Oleh karena
negara -negara Islam yang telah mendahului kita dalam perkembangan
kemajuan, terutama misalnya Mesir, Persia, dan India, telah memberikan
contoh yang bermanfaat.”
Ia lalu mengungkap organisasi-organisasi Islam di negeri ini dalam
usaha membangun pendidikan, telah mendirikan beberapa Normall School dan
Kweek School -sekolah- sekolah pencetak guru- yang sangat dibutuhkan
bagi pembangunan di masa datang.
Kongres-kongres Islam yang berturut-turut diadakan, tuturnya,
menunjukkan adanya perkembangan yang jelas ke arah persatuan. Centraal
Comitee dari Kongres Al-Islam bahkan menganggap tiba waktunya untuk
menjadikan soal kesatuan sistem pendidikan sebagai program Kongres. Dan
Sarekat Islam telah pula mendirikan sekolah pendidikan guru-guru yang
langsung dipimpinnya.
Tidak hanya di bidang pendidikan, tambahnya, tapi juga berkembang
inisiatif dan semangat kerja pada organisasi-organisasi Islam di bidang
ekonomi dan sosial. Dengen pesat mereka mengembangkan
perusahaan-perusahaan dan koperasi. Ada klinik-klinik di Jogja dan
Surabaya yang didirikan oleh Muhammadiyah serta panti asuhan orang-orang
miskin di Yogyakarta yang dibangun oleh majelis PKO Muhammadiyah.
Ia mengungkapkan, “Kita kan tercengang melihat betapa luasnya
aktivitas yang sudah mereka lakukan di seluruh Indonesia, di Tapanuli,
di Bali, di Minahasa, dan lain-lain. Dengan tidak mengemukakan
daerah-daerah yang sepenuhnya Islam saja, dalam mencapai kemajuan
melalui dakwah Islam dan usaha-usaha mendorong umat Islam, maka nyatalah
umat Islam telah merebut tempat yang berdiri di atas kaki sendiri di
lapangan ekonomi. Ini semua seharusnya menjadi petunjuk bagi kita untuk
tidak tertipu oleh propaganda yang saat-saat sekarang kian ditingkatkan,
seolah-olah Islam sedikit sekali dapat tempat dalam hati nurani rakyat.
Bahkan fakta bahwa juga ada golongan-golongan rakyat yang bukan muslim,
tidak boleh mendorong kita untuk meremehkan golongan mayoritas mutlak
yang beragama Islam, yang justru memiliki energi dan potensi yang amat
besar untuk berdiri di atas kaki sendiri. Tanpa sedikit pun rasa
permusuhan terhadap golongan-golongan non-Islam, yang bagaimana pun juga
tentu harus terlepas dari pimpinan kita, maka kita sebagai golongan
Islam harus memusatkan pikiran kita terhadap rakyat kita yang beragama
Islam, yang jumlahnya tidak kurang dari 80% dari bangsa Indonesia kita
ini.”
Maka untuk membangun jembatan di antara kaum intelektual dan rakyat,
Kasman Singodimedjo berpesan kepada kaum intelektual Islam untuk, “tidak
lagi menjadi orang asing terhadap Islam, bahkan keterasingan itu harus
berganti jadi kesadaran bahwa kita justru bisa menjadi pemimpin dan
penganjur Islam bagi rakyat itu. Sehingga kita bisa mendapat tempat di
hati dan jiwa rakyat. Dengan demikian kita dapat membawa kesatuan jiwa
dan memanfaatkan kelebihan pendidikan yang kita miliki bagi rakyat untuk
membawa mereka pada persatuan nasional.”
Majalah Het Lich No.7, Agustus 1925
Oleh : Andi Ryansyah – Pegiat Jejak Islam untuk Bangsa
0 Komentar