Secara resmi oleh pemerintah Hari Kebangkitan Nasional
dihitung sejak 20 Mei 1908 , tanggal berdirinya perkumpulan Budi Utomo
yang dibentuk oleh sekumpulan mahasiswa Sekolah Dokter Jawa STOVIA di
Jakarta. Persisnya di Gedung STOVIA yang sekarang menjadi Museum
Kebangkitan Nasional Jln. Abdul Rahman Saleh No. 26 Jakarta. Tahun 2015
ini bangsa Indonesia memperingati Hari Kebangkitan Nasional Ke-107.
Kebangkitan Nasional sesungguhnya bukanlah peristiwa yang berdiri
sendiri, melainkan satu mata-rantai sejarah. Semenjak penjajahan bangsa
asing menguasai wilayah Nusantara, perlawanan dan pemberontakan terjadi
di berbagai daerah meski bersifat lokal dan kedaerahan.
Salah satu etape penting sejarah Kebangkitan Nasional
ialah lahirnya Sarekat Dagang Islam (SDI) pada tanggal 16 Oktober 1905
dibawah pimpinan Hadji Samanhoedi, saudagar batik di Solo. Sarekat
Dagang Islam merupakan titik awal kesadaran bangsa Indonesia dalam
memperjuangkan nasib sendiri. Sarekat Dagang Islam patut dicatat sebagai
“perintis kebangkitan nasional”.
Adapun tujuan didirikannya Sarekat Dagang Islam ialah untuk
memperkuat kedudukan ekonomi kaum pribumi. Kondisi ekonomi Indonesia
pada waktu itu sedang merosot tajam. Industri batik mengalami kesulitan
keuangan yang luar biasa. Di lapangan pertanian, hasil panen sawah
ketika itu tidak menentu dan petani miskin makin terlilit utang pada
lintah darat atau rumah-rumah gadai milik bangsa Tionghoa. Keadaan itu
memaksa Indonesia mengimpor beras dari Rangoon dan Saigon. Belum lagi
sistem sewa tanah yang mencekik petani tebu.
Semula Sarekat Dagang Islam sekedar koperasi pedagang batik, tetapi
gaung kehadirannya melintasi wilayah ekonomi. Organisasi ini menjadi
simbol perlawanan bangsa Indonesia terhadap sistem ekonomi kolonial yang
menghasilkan kemiskinan dan kemelaratan rakyat. Dalam waktu relatif
singkat Sarekat Dagang Islam telah memiliki cabang di berbagai pelosok
Indonesia. Pada 1912 Sarekat Dagang Islam bertransformasi menjadi
organisasi politik yang pertama di Indonesia, dengan nama Sarekat Islam.
Menurut kesaksian Mohammad Hatta, walaupun perkumpulan politik masih
dilarang oleh undang-undang pemerintah kolonial, namun Sarekat Islam
terus mengembangkan sayapnya ke seluruh Indonesia. Beratus-ratus ribu
rakyat dari segala golongan dapat berlindung di bawah panji-panji
Sarekat Islam, seolah-olah perserikatan ini suatu pondok umum, tempat
segala orang mengadukan keluh kesahnya dan membongkar isi perutnya.
Sarekat Dagang Islam yang kemudian berubah menjadi Sarekat Islam
mendasarkan perjuangannya di atas asas Islam dan mempunyai watak
anti-imperialisme, anti-kapitalisme dan anti-feodalisme. Perserikatan
yang menghimpun kekuatan kaum Muslimin tanpa memandang suku maupun
golongan itu menggerakkan rakyat untuk melawan imperialisme, kapitalisme
dan feodalisme.
Margono Djojohadikusumo dalam Kenang-Kenangan Dari 3 Zaman (1969) mencatat Sarekat Islam waktu itu sungguh-sungguh satu organisasi massa, yang berbeda dengan Budi Utomo atau Indische Partij. Dua tokoh penting yaitu Hadji Agus Salim dan H.O.S. Tjokroaminoto merupakan kekuatan yang menggerakkan Sarekat Islam.
Menurut catatan Mr. A.K. Pringgodigdo dalam Sedjarah Pergerakan Rakjat Indonesia (1960),
lain daripada Budi Utomo, Sarekat Islam sejak berdirinya diarahkan ke
rakyat jelata. Anggaran dasar menyebutkan sebagai tujuan Sarekat Islam,
mencapai kemajuan rakyat yang nyata dengan jalan persaudaraan, persatuan
dan tolong menolong di antara kaum muslimin semuanya. Wartawan senior
Rosihan Anwar dalam buku Jatuh Bangun Pergerakan Islam di Indonesia (2011) menegaskan, “Pelopor gerakan nasionalisme yang menentang kolonialisme dan imperialisme Belanda ialah Islam.” Di mata Dr. Ernest Douwes Dekker yang dikenal dengan nama Dr. Setiabudi, “Jika tidak ada agama Islam di Indonesia ini, niscaya akan lenyaplah kebangsaan Indonesia dari kepulauan ini.”
Sarekat Dagang Islam mengembangkan rentang organisasi hingga ke luar
kota Solo dan menjangkau wilayah luar Pulau Jawa. Setelah menjadi
Sarekat Islam tahun 1912, organisasi ini mampu menghimpun ratusan ribu
orang pada tahun 1915. Organisasi ini memperjuangkan taraf hidup kaum
pribumi dan menjadi pelopor pergerakan nasional.
Hadji Agus Salim sebagaimana dikutip Rosihan Anwar menegaskan bahwa
sebelum sosialisme digagas oleh Marx dalam Manifesto Komunis, ajaran
Islam telah menjelaskan tentang perjuangan anti-kapitalisme, perjuangan
membela kaum miskin, kaum dhuafa dan terhina.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan watak Kebangkitan Nasional
Indonesia tidak dapat dipisahkan dari gerakan untuk perbaikan ekonomi,
memberantas kemiskinan dan ketidak-adilan sebagaimana dipraktikkan oleh
Sarekat Dagang Islam dan Sarekat Islam di masa lalu. Bahkan gerakan
membela kaum dhuafa menjadi titik awal Kebangkitan Nasional.
Dalam upaya memelihara spirit Kebangkitan Nasional mari kita
renungkan pesan Proklamator Kemerdekaan Bangsa Indonesia dan Wakil
Presiden RI Pertama, almarhum Bung Hatta, dari buku Bung Hatta’S Words of Wisdom – Kata-Kata Bijak Bung Hatta (2002) : “Yang
berdaulat di dalam negara nasional ini bukanlah orang asing, negara
asing atau pemimpin asing. Perkuatlah semangat persatuan untuk menjaga
supaya Indonesia tanah pusaka adalah tetap negara nasional, negara
kepunyaan sendiri.”
Oleh M. Fuad Nasar – Wakil Sekretaris Baznas
0 Komentar