Oleh: Rijal Mumazziq Z
Di sela-sela waktu senggangnya muktamar ini, kaum muda NU mengadakan
rapat umum di Gedung Nasional Indonesia. Setelah rapat harus diakhiri
pukul 24.00 sesuai aturan pemerintah kolonial, kaum muda ini
melanjutkannya dengan obrolan ringan membahas soal politik, agama,
hingga perang Eropa. Tak lupa perihal ulah Van der Plas, pejabat
kolonial, yang berusaha “mengendalikan” laju NU.
Beberapa kaum muda NU saat itu di antaranya KH. A. Wahid Hasyim, KH.
Mahfudz Siddiq, Tohir Bakri, Fattah Yasin dan Zainul Arifin, dan tentu
saja Saifuddin Zuhri, aktif membicarakan berbagai topik yang berkembang
saat itu. Tokoh sentral dalam obrolan malam itu tentu saja Kiai Wahid
dan Kiai Mahfudz, dua orang kiai muda yang memiliki asupan pengetahuan
yang cukup, ditunjang pemikiran cemerlang, dan visi pergerakannya yang
di atas rata-rata. Kiai Saifuddin Zuhri yang saat itu berusia 21 tahun
mengajukan pertanyaan kepada KH. Mahfudz Siddiq, ketua umum.
“Apakah kehadiran Van der Plas dalam muktamar ini atas permintaan HBNO?”
“Wah, itu politik ya akhi,” jawab Kiai Mahfudz usai menenggak es temulawak yang ngetrend saat itu.
“Dia mengutus seorang ambtenaar (pejabat negeri, red.) mengunjungi
kantor kita dengan pesan supaya HBNO (PBNU) memohon kepada gubernur Jawa
Timur itu memberi pidato sambutan dalam resepsi muktamar kita.” Kiai
Mahfudz Siddiq menambahkan. “HBNO sebenarnya tidak ingin dia datang.
Tapi menolak keinginannya, musykil juga. Salah-salah bisa mendatangkan
fitnah.
Bagaimanapun, apa yang sudah terjadi bukan kemauan kita,
moga-moga ada hikmahnya. Biyadikal khair ya rabb, innaka ‘ala kulli
syai’in qadir,” Kiai Mahfudz menutup jawabannya dengan doa yang artinya:
segalanya terletak dalam kekuasaan-Mu, hanyalah untuk kebaikan semata,
ya Tuhan! Engkau Mahakuasa atas segala-galanya.
“Van der Plas itu benar-benar satu tipe dengan pemerintahan kolonial
dalam menghadapi umat Islam,” kata Kiai Wahid Hasyim memberi tanggapan.
“Suatu golongan seperti NU ini merupakan kelompok kekuatan yang
membahayakan kedudukan mereka, satu ketika bisa menjadi ancaman buat
Belanda. Untuk menghancurkan NU begitu saja tidak mungkin. Van der Plas
tahu benar filsafat orang Indonesia terutama orang Jawa, yang
dicerminkan oleh watak hurufnya, ho-no-co-ro-ko. Huruf Jawa itu selalu
hidup mandiri. Di-layar tetap hidup, di-wulu tetap hidup, di-cakra tetap
hidup, bahkan di-taling dan di-tarung tetap juga hidup. Tetapi…..kalau
di-pangku, mati…”
Lalu pembicaraan beralih tentang kehadiran Van der Plas ke Tebuireng.
Ketika hadratussyaikh sedang mengajar, datang Bupati Jombang menemui
beliau dan memberitahukan setengah jam lagi Van der Plas akan datang ke
Tebuireng. Dalam pembicaraan yang disaksikan oleh Kiai Wahid Hasyim dan
Kiai Mahfudz Siddiq itu, Van der Plas mengutarakan niat pemerintah
memberi bintang jasa untuk menghormati Kiai Hasyim karena jasa-jasanya
selaku guru agama Islam.
“al-harbu khid’ah…” sela Kiai Mahfudz, yang artinya, perang selamanya pertarungan tipu muslihat.
“Saya yang duduk bersama hadratussyaikh keluar keringat dingin juga
mendengar bujukan Van der Plas yang tak disangka-sangka. Tapi
Alhamdulillah, hadratussyaikh paham juga akan tujuan kedatangan Van der
Plas itu. Dengan kata-kata halus dan sikap ramah, ditolaknya pemberian
bintang jasa itu. Alasan beliau bahwa bintang jasa itu akan membuat
dirinya takabur dan ‘ujub. Beliau merasa malu sekali kepada Allah SWT.
karena menyadari kekecilan dan kedlaifannya. Tentang pekerjaan mengajar,
itu memang sudah menjadi kewajiban tiap orang alim dan ulama. Sebab itu
tidak layak dianggap berjasa…akhirnya Van der Plas berpamitan dan
pulang dengan tangan hampa.”
“Wallahul khairul maakirin (Allah Maha sebaik-baik Pematah segala tipu muslihat). Alhamdulillah,” seru Kiai Mahfudz.
“Kita harus lebih waspada. Pemerintah semakin terjepit, semakin
terancam kedudukannya sebagai penjajah. Dia akan semakin banyak lagi
bujukannya terhadap kita, atau sebaliknya semakin zalim. Bagaimanapun
juga, Hindia Belanda telah mendekati hari-hari senja yang gelap!
Penjajah saat ini berada di dalam pelukan sandekala, hari-harinya
mendekati akhir.” Kiai Mahfudz mengakhiri pertemuan di beranda Gedung
Nasional Indonesia yang lokasinya tak jauh dari kantor HBNO di Surabaya
tersebut.
Di kalangan rakyat sudah lama hidup sebuah pameo yang berbunyi,
“Londho, alon-alon mbondho.” alias, Belanda bermakna menelikung kita
secara perlahan-lahan. Oleh karena itu kelompok ulama sejak lama sangat
berhati-hati dengan segala rayuan Belanda. Apalagi semenjak peristiwa
penangkapan Pangeran Diponegoro. Secara perlahan-lahan dan “sabar”
penguasa kolonial mencekik rakyat dan menjadikan para penguasa lokal
sebagai anteknya. Tak heran jika dengan cara halus Van Der Plas berusaha
menjadikan KH. M. Hasyim Asy’ari sebagai bemper kepentingan politik
Hindia Belanda yang di negara asalnya sudah terjepit manuver Jerman.
Pihak penjajah berharap, manakala hadratussayaikh berhasil dibujuk, maka
ia akan dipergunakan sebagai corong kepentingan Belanda, khususnya
dalam propaganda rencana Hindia Belanda membentuk inheemse militie alias
milisi bumiputra; bahwa setiap pemuda berusia 18-25 tahun dikenakan
wajib menjadi serdadu sukarela baik sebagai stadwatcher (pengawal kota)
dan landswatcher (pengawal negeri), dan membujuk rakyat melakukan aksi
sukarela donor darah untuk kepentingan penjajah.
Penolakan yang dilakukan hadratussyaikh ini jelas sangat strategis
dan penuh pertimbangan matang, apalagi posisi beliau sebagai salah satu
tokoh terkemuka. Selain mempertimbangkan aspek syariat, penolakan
tersebut merupakan manuver demi kemaslahatan umat. Andaikata
hadratussyaikh menerima bintang jasa dari penguasa kolonial saat itu,
maka ketika Jepang masuk, besar kemungkinan beliau akan menjadi target
eksekusi mati pertama kali karena dianggap antek Belanda. Tapi, yang
telah terjadi, beliau malah menolak penghargaan tersebut. Dan, saat
Jepang menduduki Jawa, meskipun beliau dipenjara dan disiksa dengan
keji, namun akhirnya penjajah bermata sipit ini meminta maaf dan
memposisikan beliau sebagai salah satu tokoh muslim berpengaruh. Melalui
kisah di atas, kita bisa melihat kehati-hatian para ulama dalam
menghadapi bujuk rayu penjajah. Siasat harus dilawan dengan siasat.
Sumber: http://www.muktamarnu.com/ketika-hadratussyeikh-menolak-bintang-jasa-dari-van-der-plas.html


0 Komentar