Oleh: Rijal Mumazziq Z
Menjelang usia dewasa, NU menyelanggarakan muktamar di kota
kelahirannya, Surabaya. Inilah muktamar terakhir di era kekuasaan Hindia
Belanda. Banyak keputusan yang bersifat nasional dicapai pada acara
ini.
Jika muktamar pertama (1926), kedua (1927) dan ketiga (1928)
dilaksanakan di Surabaya, maka dalam tahap berikutnya, NU
menyelenggarakan muktamarnya lebih banyak ke wilayah barat, plus luar
Jawa, sebagai bagian dari pengembangan organisasi.
Pada muktamar kelimabelas, NU kembali menggerakkan bandul
pergerakannya di wilayah timur, kembali ke tempat kelahirannya. Muktamar
ini menandai sebuah fase kedewasaan yang ditandai dengan pilihan tema
yang mengacu pada Surat Yusuf ayat 22: “…..dan setelah Yusuf
menginjak usia dewasa, kami berikan hikmah kebijaksanaan dan ilmu
pengetahuan. Demikianlah kami memberi ganjaran (dari buah perjuangannya)
kepada orang-orang yang berbuat baik.”
Mengapa tema ini yang dipakai? Menurut KH. Saifuddin Zuhri, tema
muktamar tak lahir tiba-tiba, melainkan disertai permenungan matang agar
bisa menggambarkan visi, misi, dan pencapaian yang telah dihasilkan
oleh NU dalam usia yang masih muda tersebut. “Dengan demikian, tamsil
tersebut bisa diartikan, jika NU memulai gerakannya dari arena
‘pinggiran’ kala berusia 15 tahun, NU mulai memasuki gelanggang ‘tengah’
perjuangan. Dengan kedewasaannya itu NU terpanggil untuk menjadikan
dirinya sebagai UMMATAN WASATHAN yang arti bahasanya ‘golongan tengah’,
tetapi menurut istilah al-Qur’an adalah golongan yang adil. Amin!” tulis
KH. Saifuddin Zuhri mengenang Muktamar Surabaya ini dalam memoarnya,
“Berangkat dari Pesantren”.
Acara muktamar ini dipusatkan di kebun raya (stadsuin) di pusat kota
Surabaya hanya beberapa puluh meter dari kantor gubernur Jawa Timur—kini
terletak di dekat Tugu Pahlawan. Kebun Raya sebagai pusat kegiatan
Muktamar NU ke-15 terletak di tengah-tengah antara kantor gubernur
dengan pusat roda pemerintahan kolonial dan gedung nasional di Jalan
Bubutan Raya sebagai pusat kegiatan nasional.
Pada resepsi muktamar yang diselenggarakan di gedung utama Kebun Raya
pada tanggal 9 Desember 1940 itu, Hadratussyaikh KH. M. Hasyim Asy’ari
membuka muktamar ke-15 dengan menggunakan khotbah iftitah berbahasa
Arab. Di antara isinya adalah keprihatinan terhadap perang Eropa yang
memiliki pengaruh besar terhadap beberapa negara jajahan dan kaum
muslimin secara umum. Di Makkah, misalnya, banyak orang Indonesia yang
tertahan tidak bisa pulang ke tanah air gara-gara dampak perang Eropa
ini. Mereka meminta kepada HBNO / PBNU dan MIAI untuk dicarikan
solusinya. Kiai Hasyim secara khusus meminta kepada para muktamirin agar
menyumbangkan dananya menolong saudara-saudara seiman dan se-Tanah Air
ini agar bisa pulang ke Indonesia. “Maka terkumpullah sejumlah uang dari
kita sekalian meskipun kita adalah golongan yang lemah ekonominya.
Bantuan itu sungguhpun tidak besar jumlahnya, tetapi amat penting
nilainya, bahwa solidaritas kita sesama umat Islam masih menyala,” kata
ulama ahli hadis ini di hadapan para muktamirin.
Selain itu, hadratussyaikh juga menyampaikan keprihatinannya terhadap
banyaknya serangan verbal terhadap umat Islam. Propaganda dan
penghinaan terhadap Nabi Muhammad yang dilakukan oleh beberapa media dan
melalui mimbar orasi membuat Kiai Hasyim dan NU mendesak penguasa
kolonial membuat sebuah pasal peraturan yang bisa menangani segala
bentuk penistaan agama. Meskipun tidak digubris oleh penguasa, namun
Kiai Hasyim mengajak muktamirin agar memohon kepada Allah SWT agar Dia
menguatkan semangat kaum muslimin dalam perjuangannya.
Mengakhiri khotbah Iftitah-nya, hadratussyaikh mengingatkan kepada seluruh pemimpin NU dari segenap lapisan untuk
1. Mempererat tali persatuan, persaudaraan, dan memperkokoh rasa senasib sepenanggungan.
2. Mempertebal rasa tanggungjawab sebagai pemimpin umat. Setip orang
akan dituntut tanggungjawabnya sesuai dengan kadar wewenang dan tugas
kewajibannya. Tiap ulama, pemimpin, akan dituntut tanggungjawabnya atas
perbuatan dirinya sebagai pribadi maupun sebagai pemimpin umat.
Sumber: http://www.muktamarnu.com/khotbah-iftitah-hadratussyaikh-pada-muktamar-di-surabaya.html


0 Komentar