Kealiman seorang kiai masyhur biasanya membawa karomah tersendiri.
Hal-hal di luar nalar sering terjadi dan membuat decak kagum masyarakat
bahkan penjajah Belanda kala itu. Keahlian seperti menyembuhkan orang
sakit, kebal terhadap peluru, menembus Makkah hanya dalam sekejap, dan
lain sebagainya. Tentu saja, ini bukan sihir ataupun mantra, akan tetapi
kehendak Allah yang memang merestui untuk melakukan sesuatu di luar
kebiasaan manusia kebanyakan.
KH. Hasbullah Said adalah salah satu ulama kharismatik yang memiliki
karomah tersebut. Diceritakan dalam sebuah kesempatan di kurun waktu
1920-1925 Masehi. Sesudah melakukan tirakat panjangnya, Pengasuh Pondok
Pesantren Bahrul Ulum, Tambakberas, Jombang, Jawa Timur ini memberikan
sebuah pesan yang dituliskan di menara masjid pesantren (sekarang
dikenal dengan menara masjid pondok induk). Seusai menuliskan pesan
tersebut, Kiai Hasbullah menutupinya dengan kain satir dan berpesan
kepada para santri agar jangan ada yang membuka satir tulisan tersebut.
Beberapa tahun kemudian menjelang wafatnya, ayahanda dari Kiai Abdul
Wahab Hasbullah ini berpesan lagi kepada santri. “Lek misale aku mati
omongno nang Wahab kongkon buka tulisan nak menara tahun 1948 (kalau
misalnya aku sudah meninggal, katakan kepada Wahab untuk membuka tulisan
di menara tahun 1948)” ujar Kiai Habullah.
Setelah memberikan pesan tersebut, selang beberapa bulan kemudian
Kiai Hasbullah wafat, dan kursi pengasuh pesantren diemban oleh Kiai
Abdul Wahab Hasbullah.
Selama menjadi pengasuh pesantren, Kiai Abdul Wahab mengalami
masa-masa sulit. Karena selain harus menjadi pengajar yang baik kepada
santri, Kiai Abdul Wahab juga harus berjuang melawan penjajahan Belanda.
Jiwanya merasa terpanggil untuk turut berjuang memerangi penjajahan di
bumi Nusantara. Dalam usaha perlawanannya kepada penjajah tersebut,
beliau mendirikan beberapa aliansi perjuangan kemerdekaan termasuk di
antaranya Nahdlatul Wathan, Nahdlatul Tujjar, dan barisan Hizbullah.
Sekitar tahun 1944-1945, ketika kemerdekaan hampir saja diraih, Kiai
Abdul Wahab menyuruh para santrinya untuk i’tikaf di masjid selama
sehari penuh dengan membaca amalan Shalawat Burdah yang merupakan ijazah
dari Kiai Hasbullah. Kiai Abdul Wahab mengambil tempat berbeda untuk
melantunkan bacaan tersebut. Ia memilih menyendiri di dalam sebuah
kamar.
Saat malam tiba, Kiai Abdul Wahab keluar dari kamar dan dawuh
(berkata) kepada para santri yang masih berada di masjid, “Saya baru
bertemu Soekarno, berdiskusi banyak dengannya, dia mengatakan kepada
saya kekhawatirannya kalau Indonesia akan jatuh ke tangan penjajah yang
lebih kuat lagi setelah Jepang ini. Lalu saya menyarankan sebuah
keputusan hukum kepadanya, keputusan di mana suatu negara yang diambil
alih oleh orang asing dan memberikan kesengsaraan terhadap masyarakat,
wajib hukumnya diperangi,” terang Kiai Wahab. Para santri pun
tercengang, seolah tidak mengerti apa yang dimaksud oleh Kiai Abdul
Wahab, karena kamar yang ditempati terkunci rapat hingga keluar.
Setelah kejadian aneh tersebut, pasca kemerdekaan tepatnya pada Tanggal
22 Oktober 1945, Hadratus Syaikh KH Hasyim Asy’ari mengeluarkan fatwa
“Resolusi Jihad” yakni perintah perang kepada seluruh umat Islam di
Nusantara. Diyakini oleh beberapa sumber, bahwa resolusi jihad
tersebut ada keterkaitan erat dengan fatwa yang dikeluarkan oleh Kiai
Abdul Wahab.
Kemerdekaan memang sudah diproklamirkan, namun tetap saja penjajahan
belum sepenuhnya bisa dinikmati. Terlebih, setelah resolusi jihad
digulirkan muncul agresi militer Belanda I 21 Juli 1947. Karena agresi
tersebut, wilayah Indonesia semakin menyempit.
Pada tahun 1948, pesan Kiai Abdul Hasbullah untuk membuka satir di
menara masjid benar-benar disampaikan oleh santri kepada Kiai Abdul
Wahab. Dengan didampingi para santri yang terus mengumandangkan
Shalawat Burdah, beliau membuka satir yang diikat di menara masjid.
Setelah dibuka, ternyata di balik satir terdapat ukiran huruf hijaiyah
ha ra ta mim yang menempel.
Kiai Abdul Wahab tentu penasaran dengan arti tersebut. Namun setelah
dilihat dengan seksama, beliau mulai mengerti maksud dari pesan sang
ayah. Huruf hijaiyah itu bila disambungkan akan terbaca huruf taamun
yang artinya kemerdekaan yang sempurna.
Benar saja. Pada tahun itu, kemerdekaan Indonesia mulai diakui
dunia. Agresi militer Belanda juga telah berhasil dipukul mundur. Dan
tentu saja pada tahun itu pula Indonesia benar-benar merasakan
kemerdekaan. Yang sejatinya keadaan tersebut sudah diukir di tembok
menara oleh Kiai Hasbullah sejak 1920-an silam.
(David R Husein, disadur dari cerita KH Jamaludin Ahmad, Dewan Pengasuh PP Bahrul ‘Ulum Tambakberas Jombang).
0 Komentar