Dunia pergerakan menjadi pilihannya kala bangsa ini tengah dijajah.
Usai kemerdekaan diraih, dia juga mengisinya dengan berbagai kegiatan
sehingga mengantarkannya menjadi menteri dan jabatan penting lainnya.
Namanya tidak setenar sang ayah, KH Abdul Wahab Chasbullah. Rentang
pengabdiannya juga tak sepanjang dan seharum prestasinya. Karenanya
sangat wajar bila cukup sedikit orang yang mengenal sosoknya. Namun
demikian, sederet kepercayaan dan prestasi telah ditorehkan.
Meskipun terbilang santri salaf lantaran pendidikan kepesantrenannya
diselesaikan di banyak pondok, namun Wahib Wahab yang terlahir di
Tambakberas Jombang tahun 1918 ini masih mencicipi pendidikan di kampus.
Ya, setelah menjelajah ke beberapa pesantren seperti Pondok Seblak
(Jombang), Mojosari (Mojokerto), Nganjuk, Kasingan (Rembang), Lasem, dan
Buntet (Cirebon) dan tentunya Bahrul Ulum Tambakberas sendiri, Wahib
muda melanjutkan pengembaraan ke Merchanthile Institute of Singapore
dari tahun 1936-1938. Seakan meneruskan jejak sang ayah, pada tahun 1939
dia melanjutkan belajar ke Makkah meskipun hanya setahun lamanya. Usai
itu pengabdiannya banyak dicurahkan di tanah air.
Sarat Khidmat
Saat menjelang kemerdekaan, jabatan lumayan penting dia sandang. Tahun
1940 sebagai Ketua Departemen Penerangan Ansor di Surabaya. Selang dua
tahun kemudian, Wahib dipercaya menjadi Ketua Umum GPII Jombang. Saat
Kongres Ansor di Solo (1959), Wahib menjabat Ketua I GP Ansor yang
sekaligus merangkap Ketua Departemen Siasat. Selanjutnya Wahib juga
dipercaya sebagai Ketua I PB Pertanu (Persatuan Tani NU). Dalam berbagai
kegiatan Ansor yang mengharuskan keikut sertaan ke luar negeri seperti
di Singapura, Malaysia, Kamboja dan Saigon (Vietnam), namanya sering
dilibatkan sebagai kontingen.
Ketika bangsa ini tengah membutuhkan orang terpilih dalam pemikiran
dan kerja keras dalam pengabdian, namanya juga dilibatkan. Jabatan
strategis juga pernah disandangnya yakni antara lain sebagai anggota
DPR, Menteri Perhubungan Sipil-Militer serta Menteri Agama.
Namun demikian, ada yang manarik dari sosoknya yakni tidak terlampau
pusing dan merindukan jabatan. Terbukti ketika Prof Saifuddin Zuhri
dipercaya untuk menggantikan posisinya dari meneri agama, dia tak
berkeberatan hati. Malah dengan santai dia menjawab: “Saya capek menjadi
menteri agama dan mau istirahat,” katanya kepada Saifuddin Zuhri yang
menemuinya demi meminta pertimbangan jabatan menteri agama yang akan
dipercayakan oleh Presiden Soekarno. “Saya mau istirahat dan memperbaiki
ekonomi saya,” terangnya. Kepada Saifuddin dengan terang-terangan dia
katakan: “Saya sangat setuju kalau sampean yang menggantikan saya
sebagai menteri agama.”
Dalam sejarahnya, Saifuddin Zuhri menggantikan KH Wahib Wahab sebagai
menteri agama. Dan sebagai seorang santri, Saifuddin pun terlebih
dahulu meminta pertimbangan serta ijin kepada seniornya itu, apakah dia
layak dan pantas menjadi menteri menggantikannya serta apakah ada unsur
keberatan dari KH Wahib Wahab atas kepercayaan presiden tersebut.
Bisa dibayangkan, seandainya KH Wahib Wahab kala itu memberikan
pertimbangan dan solusi agar Saifuddin Zuhri menolak jabatan tersebut,
maka kemungkinannya akan berkata lain. Bisa jadi Saifuddin akan menolak
dan tidak bersedia menjabat sebagai menteri agama. Namun lantaran
pilihan presiden kala itu dianggap pas dan Saifuddin dipandang layak
mengemban kementerian agama, maka dengan legawa KH Wahib Wahab
memberikan ijin dan mempersilahkan Saifuddin Zuhri untuk menerima
kepercayaan presiden ketika itu.
Usai pansiun dari jabatan menteri yang sedikit mengganggu privasi dan
bisnis yang digelutinya, Wahib Wahab akhirnya menetap di Bandung dengan
membuka pabrik ubin.
Putra sulung Mbah Wahab ini meninggal di Jakarta, 12 Juli 1986 lalu.
Jasadnya tetap disemayamkan di tempat kelahirannya di Jombang berdekatan
dengan sang ayahanda. (s@if)
Sumber: http://www.muktamarnu.com/kh-wahib-wahab-santri-aktifis-yang-gemar-berwirausaha.html
0 Komentar