Oleh: Dr. Adian Husaini
MitraFM.com– “Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur…”. Itu
isi Pembukaan UUD 1945. Rumusan itu sungguh indah; mengikut rumusan
aqidah ahlus sunnah; memadukan aspek rahmat Allah dan usaha manusia.
Bangsa Indonesia berjuang, Allah menganugerahi kemerdekaan.
Memang, sejarah mencatat, goresan tinta ulama memiliki andil
signifikan dalam meraih kemerdekaan. Bahkan, perjuangan mengusir
penjajah, sering kali memadukan goresan tinta ulama dan kucuran darah
syuhada. Penjajahan bukan soal politik dan ekonomi, tetapi juga masalah
iman. Sebab, penjajah membawa misi “gospel”, yakni menyebarkan agama
mereka dan merusak keagamaan penduduk muslim. Karena itu, sepanjang
sejarah perjuangan merebut dan mempertahankan kemerdekaan, peranan para
ulama Islam sangat menonjol.
Dalam buku Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII&XVIII,
(2005), Azyumardi Azra mengungkap sejumlah contoh perjuangan para ulama
dalam melawan penjajah. Sebutlah contoh Syekh Yusuf al-Maqassari
(1627-1629M). Ulama terkenal ini bukan hanya mengajar dan menulis
kitab-kitab keagamaan, tetapi juga memimpin pasukan melawan penjajah.
Tahun 1683, setelah tertangkapnya Sultan Ageng Tirtayasa, Syekh Yusuf
Maqassari memimpin sekitar 4.000 pasukan di hampir seluruh wilayah Jawa
Barat. Menurut satu versi, Syekh Yusuf berhasil ditangkap setelah
komandan pasukan Belanda, van Happel, berhasil menyusup ke markas Syekh
Yusuf, dengan menyamar sebagai Muslim dengan pakaian Arab. Syekh Yusuf
pun dibuang ke Srilanka dan Afrika Selatan untuk mengurangi pengaruhnya.
Tapi, justru di kedua tempat itu, Syekh Yusuf berhasil mengembangkan
Islam dengan mengajar dan menulis. Usaha Belanda untuk mengkristenkan
Syekh Yusuf juga gagal. Sarjana Evangelis Belanda, Samuel Zwemer,
mengkritik Petrus Kalden, pendeta dari Gereja Belanda Tua Cape Town,
yang gagal menjadikan Syekh Yusuf sebagai pemeluk Kristen.
Ulama lain, Syekh Abd al-Shamad al-Palimbani (1704-1789), dikenal
sebagai ulama paling terkemuka dari wilayah Palembang. Meskipun menetap
di Mekkah, Syekh Abd al-Shamad memiliki kepedulian kuat terhadap kondisi
Nusantara dan mendorong kaum Muslim untuk melaksanakan jihad melawan
penjajah. Sebuah kitab berbahasa Arab tentang keutamaan jihad
fi-sabilillah ditulisnya dengan judul, Nashihah al-Muslim wa-Tadzkirah al-mu’minin fi-Fadhail al-Jihad fi-Sabilillah wa-Karamah al-Mujahidin fi-Sabilillah.
Melalui kitabnya ini, Syekh al-Palimbani menjelaskan bahwa wajib
hukumnya bagi kaum Muslim untuk melakukan jihad melawan kaum kafir.
Dalam The Achehnese, seperti dikutip Azra, Snouck Hurgronje
menyebutkan bahwa karya Syekh al-Palimbani merupakan sumber rujukan
utama berbagai karya mengenai jihad dalam Perang Aceh yang sangat
panjang melawan Belanda, mulai 1873 sampai awal abad ke-20. Kitab ini
menjadi model imbauan agar kaum Muslim berjuang melawan kaum kafir.
Bahkan, setelah kemerdekaan diraih, para ulama tetap mengawal
kemerdekaan Indonesia. Itu ditunjukkan oleh kepahlawanan KH Hasyim
Asy’ari dengan fatwa jihadnya, pada 14 September1945. Isi Resolusi
Jihad yang diputuskan dalam rapat para konsul NU se-Jawa Madura itu
antara lain berbunyi: (1) Kemerdekaan Indonesia yang telah
diproklamirkan pada 17 Agustus 1945 wajib dipertahankan, (2) Umat Islam,
terutama warga NU, wajib mengangkat senjata melawan Belanda dan
kawan-kawannya yang hendak kembali menjajah Indonesia, (5) Kewajiban
tersebut adalah “jihad” yang menjadi kewajiban bagi tiap-tiap orang
Islam (fardhu ain) yang berada dalam jarak radius 94 km (yakni
jarak dimana umat Islam boleh melakukan shalat jama’ dan qasar). Adapun
bagi mereka yang berada di luar jarak tersebut, wajib membantu
saudara-saudaranya yang berada dalam jarak 94 km tersebut. Dalam teks
lain, ada tambahan: “Kaki tangan musuh adalah pemecah belah kebulatan
tekad dan kehendak rakyat dan harus dibinasakan; menurut hukum Islam
sabda hadits (Nabi) riwayat Muslim.”
Dampak dari Resolusi Jihad itu sungguh luar biasa. Puluhan ribu kyai
dan santri berperang melawan tentara Sekutu, yang baru saja memenangkan
Perang Dunia kedua. Lima belas ribu tentara Sekutu dengan persenjataan
serba canggih tak mampu menghadapi pasukan perlawanan pasukan kyai dan
santri. Bahkan, Brigadir Jenderal A.W.S. Mallaby tewas di tangan laskar
santri. (Lihat, el-Guyanie, Resolusi Jihad Paling Syar’i, (2010).
Kini, setelah merdeka, di mana ulama ditempatkan? Saat diperlukan –
kadang ulama didatangi; diminta doa, restu, atau dukungan politik, agar
jabatan politik diraih; agar hujan turun; agar krisis berlalu. Tapi,
dimana posisi ulama dalam menyusun konsep dan program pembangunan?
Ulama pewaris Nabi; wajib jaga diri. Cinta ilahi dan perjuangkan
misi Nabi. Kata Imam al-Ghazali, jika ulama rusak, cinta harta dan
kehormatan, rusaklah penguasa. Akhirnya, rakyat binasa.
0 Komentar