Oleh : Dr. Dinar Dewi Kania
Peneliti The Center for Gender Studies (CGS)
Beberapa tahun yang lalu, salah satu radio di Indonesia pernah
menyiarkan hasil sebuah penelitian di Amerika. Penelitian tersebut
bertujuan untuk menemukan profil perempuan yang paling bahagia. Sampel
penelitian adalah Perempuan Amerika dari berbagai profesi dan umur, baik
yang bekerja maupun yang berprofesi sebagai ibu rumah tangga, yang
sudah menikah atau yang belum menikah. Hasil dari penelitian didapatkan
bahwa Perempuan yang paling bahagia adalah perempuan yang memiliki
karir dan pekerjaan, berusia antara 30 sampai dengan 40 tahun, dan belum
menikah. Sayang penulis tidak berhasil mendapatkan bukti tertulis dari
penelitian tersebut di internet. Namun, pesan dari penelitian itu sangat
mudah untuk dipahami publik, “Jadilah perempuan mandiri yang bebas,
maka anda akan bahagia.”
Benarkah perempuan bebas adalah perempuan yang paling bahagia?
Pertanyaan klasik ini memang selalu menarik untuk dikaji. Kebebasan dan
kebahagiaan merupakan masalah filosofis yang menjadi perdebatan sejak
zaman Yunani sampai sekarang. Pada dasarnya, pergulatan pemikiran
perempuan Barat tentang kebebasan, didasari oleh rasa marah terhadap
realitas sosialdan tuntutan untuk memperoleh keadilan. Selama
berabad-abad lamanya, perempuan di Barat menjadi kaum tertindasyang
termarjinalisasi. Mereka baru mendapatkan hak politiknya pada tahun
1920. Bahkan Perempuan Barat tidak memiliki akses ke pendidikan tinggi
(universitas) sebelum abad 20. Pandangan negatif terhadap perempuan
sebagai makhluk inferior bersumber dari problem teologis dan filosofis
yang dapat dilacak pada pemikiran filsuf dan agamawan di Barat.[i]
Pada masa awal perjuangannya, aktivis perempuan (baca: kaum feminis)
hanya menuntut kesetaraan dalam masalah ekonomi dan politik serta
akses kepada pendidikan. Namun, gerakan Perempuan Barat akhirnya menjadi
semakin radikal dengan munculnya feminisme gelombang kedua yang
menuntut kebebasan perempuan, terutama dalam hal seksualitas. Simone de
Beauvoir, tokoh feminis gelombang kedua, menekankan pentingnya
perempuan untuk menerima identitasnya sebagai perempuan. Jangan sampai
kaum perempuan justru terjebak pada konsep abstrak yang mengatakan bahwa
perempuan adalah manusia oleh karena itu mereka bukan perempuan (women are human beings and therefore are not women).[ii]
Pemikiran Simone de Beauvoir tentang kebebasan perempuan memang
berbeda dengan pendahulunya, Mary Wollstonecraft. Wollstonecraft
berpandangan bahwa kemandirian secara ekonomi adalah penting untuk
menjamin kebebasan perempuan. Menurutnya, perempuan harus mendapat
pendidikan yang setara dengan kaum pria agar menjadi manusia dewasa yang
rasional, bertanggungjawab dan mandiri. Namun bagi de Beauvoir, hak
untuk memilih dalam pemilu, hak bekerja maupun hak mendapatkan
emansipasi secara utuh, bukanlah kebebasan sejati bagi kaum perempuan.
Dunia ini adalah dunia lelaki. Baginya, struktur sosial tidak pernah
benar-benar dimodifikasi atau diubah dengan adanya pengakuan terhadap
hak-hak perempuan tersebut.[iii]
Menurut de Beauvoir, pria berada dalam kebenaran ketika menjadi pria,
sementara itu, menjadi perempuan otomatis menempatkannya dalam keadaan
bersalah. Ia mengutip kata-kata Aristoteles yang mengatakan bahwa
perempuan memiliki kekurangan tertentu dari segi kualitas. Begitu juga
pandangan Thomas Aquinas yang menyatakan bahwa perempuan adalah manusia
yang tidak sempurna (imperfect man). Kitab suci menurut de
Beauvoir telah melekatkan eksistensi perempuan kepada pria karena
perempuan diciptakan dari tulang rusuk pria. Oleh karena itu,
kemanusiaan (humanity) selalu merujuk kepada pria dan pria mendefinisikan perempuan bukan pada diri perempuan sendiri namun dalam hubungannya (relative) dengan pria. Perempuan tidak pernah dihargai sebagai eksistensi yang bersifat mandiri (autonomous).
De Beauvoir kemudian mengutip pandangan Michelet yang mengatakan bahwa perempuan adalah wujud (being)
yang relatif. Pria dapat berpikir tentang diri mereka sendiri tanpa
perempuan, sedangkan perempuan tidak bisa memikirkan diri mereka sendiri
tanpa pria. Dan dia (perempuan) hanyalah sebatas apa yang ditetapkan
pria. Oleh karena itu perempuan dipanggil “the Sex” yang berarti dia hadir secara esensial kepada pria sebagai wujud seksual (sexual being).
Untuk pria, perempuan adalah semata-mata seks, seks absolut dan tidak
lebih. Perempuan adalah insidental, yaitu oposisi dari yang esensial.
pria adalah subjek dan absolut, sedangkan perempuan adalah “the Other”.[iv]
Konsep perempuan sebagai “the Other” inilah yang menjadi
landasan filosofis tuntutan kebebasan seksual yang digaungkan feminis
Barat. Untuk menjadi perempuan mandiri yang bebas, perempuan tidak boleh
menjadi “the Other”, tidak boleh menjadi obyek, namun
perempuan harus memiliki kesadaran dan menjadi subyek. Mengutip
pandangan Foucault tentang seks dan kekuasaan, kebenaran dapat
dipertaruhkan menggunakan sarana politik tubuh. Hal tersebut berarti,
salah satu sasaran dari kekuasaan adalah tubuh, karena dengan membidik
tubuh maka kepatuhan akan diperoleh. Salah satu yang dianggap oleh
Foucault telah menggunakan politik tubuh untuk kepatuhan adalah
institusi agama.
“….. Agama mengatur individu dan masyarakat melalui penyeragaman
perilaku, bahasa, pakaian, maupun ritus. Dengan teknik itu akan
dihasilkan identitas yang akan memudahkan agama mendapatkan kepatuhan
baik dari pemeluknya, maupun ketakutan dari mereka yang tidak termasuk
bagiannya. Obyek dan sasaran utama kekuasaan disipliner agama adalah
seksualitas. Cara berpakaian, wacana sampai ritus diarahkan untuk
mengontrol perilaku agar hanya pasangan suami-istri yang mempunyai
akses.[v]
Feminisme memang anti agama, baik secara terbuka ataupun samar-samar.
Menurut mereka, agama memperoleh kekuasaan dengan mengontrol tubuh dan
seksualitas. Usaha kaum feminis untuk memperoleh kebebasan seksual,
tercermin dari kampanye “My body is mine” atau “Tubuhku adalah milikku.” Dalam pandangan feminis radikal, perempuan akan selalu menjadi the second sex (the other),
kecuali apabila perempuan benar-benar bisa memiliki kontrol penuh atas
kekuatan reproduksi dan hasrat seksual. Artinya, kebebasan seksual
adalah kekuasan penuh atas tubuh dan aktivitas seksual mereka. Bahkan
atas nama kebebasan ini, kaum feminis radikal mendorong perempuan untuk
bereksperimen dengan semua macam consensual sex, termasuk aktivitas seks yang kontroversial yaitu sadomasochism
(mendapatkan kepuasan seksual dari tindakan sadis yang dilakukan
pasangannya). Mereka juga mendesak para perempuan untuk melahirkan anak
tanpa rasa sakit dengan menganjurkan penggunaan surrogate mother
atau apabila dimungkinkan, dengan menggunakan rahim buatan. Feminis
radikal juga mendorong kaum perempuan agar sebisa mungkin menjadi
androgini. Karena menurut mereka, semakin sedikit perempuan mencoba
untuk mewujudkan ciri-ciri "Perempuan" sesuai konstruksi masyarakat,
maka perempuan akan lebih bebas dan setara dengan pria.[vi]
Pemikiran dan kampanye feminis radikal ternyata secara tidak sadar
telah masuk ke negara-negara Islam melalui propaganda yang tekait
dengan kesetaraan gender, kesehatan reproduksi, pendidikan seksual dan LGBT (Lesbian,
Gay, Biseksual dan Transgender). Walaupun tuntutan kaum feminis di
dunia Islam adalah “kesetaraan” dan bukan “kebebasan”, namun konsep
kebebasan feminis radikal telah diadopsi tanpa kritik oleh sebagian umat
Islam. Padahal makna kebebasan dalam pandangan alam Islam (Worldview of Islam)
sangat berbeda dengan makna kebebasan kaum feminis yang bersifat
materialistik dan mengabaikan nilai-nilai spiritual. Konsep kebebasan
dalam Islam terkait erat dengan konsep keberhutangan manusia kepada
Tuhannya, yang telah memberikan eksistensi kepada manusia dari “tidak
ada” menjadi wujud.
Keberhutangan ini menurut Syed M. Naquib al-Attas, menempatkan manusia sebagai hamba Tuhan. Kebebasan (hurriyyah) dalam Islam adalah ketika manusia bertindak atau berperilaku sesuai dengan fitrahnya.[vii]
Islam adalah agama fitrah, sehingga tunduk dan taat kepada perintah
agama—dalam hal ini syariat Islam—tidak akan merampas kebebasan
manusia. Salah satu fungsi syariat adalah menjaga manusia agar tetap
sesuai dengan fitrahnya karena hanya Allah swt yang paling mengerti
keadaan makhluk ciptaan-Nya.
Kedudukan perempuan dalam Islam bukan sebagai pelengkap pria,
apalagi sebagai obyek seks yang patut ditindas. Sebagaimana kaum
pria, diri perempuan adalah milik Allah swt yang harus dijaga oleh
syariat, baik dari kezaliman yang dilakukan diri sendiri ataupun
kezaliman yang dilakukan orang lain. Menurut Raghib al- Isfahani, kunci
kepada kebahagiaan adalah mengontrol hasrat (shahwah), baik hasrat terhadap makanan, seks maupun kemarahan sehingga keinginan tersebut selalu berada dipertengahan.[viii] Mengumbar
hasrat seksual atas nama kebebasan, merupakan kezaliman terhadap diri
sendiri. Apabila kebebasanala feminis ini diadopsi dalam kebijakan
publik sebagai undang-undang dan produk turunannya, maka negara telah
melakukan kezaliman yang sangat besar terhadap kaum perempuan karena
konsepsi yang salah tentang kepemilikan tubuh hanya akan menjerumuskan
perempuan ke dalam kehancuran dan kesengsaraan.
[i] Untuk mengetahui sejarah feminisme di Barat silahkan lihat artikel “Sejarah Feminisme Barat” oleh Dinar Dewi Kania di www.thisisgender.com
[ii]Stanford Encyclopedia of philosophy, http://stanfordfreedomproject.com/simone-de-beauvoir-freedom-for-women/diunduh pada 1 Desember 2015
[iii] Simone de Beauvoir, The Second Sex, London : Lowe and Brydone (Printers) Ltd, 1956, hlm. 641
[iv] Simone de Beauvoir, The Second Sex, hlm. 15, 16
[v] Foucault dalam Yusi Avianto P (ed), Subyek yang Dikekang, Jakarta; Komunitas Salihara-Hivos, 2013, hlm. 39 , 40
[vi]Stanford Encyclopedia of philosophy (http://plato.stanford.edu/entries/feminism-ethics/#LibRadMarxMulGloEcoApp) diakses pada 1 Desember 2015
[vii] Al-Attas, Syed M. Naquib, Islam :The Concept of Religion and The Foundation of Ethics and Morality, Kuala Lumpur : IBFIM, 2013, hlm 8-11
[viii] Yasien Mohamed, The Path to Virtue : The Ethical Philosophy of al-Raghib al-Isfahani, Kuala Lumpur :IIUM, 2006, hlm. 232
Sumber: http://thisisgender.com/perempuan-dan-kebebasan-seksual/
0 Komentar