Oleh: Kholili Hasib
Usaha kaum liberal melegalkan nikah beda agama dengan menggugat
Undang-Undang Nikah berlatar belakang ideologis. Karena faham pluralisme
agama yang dianut kamu liberal menyamakan semua agama. Mereka membawa
misi bahwa nikah bukan urusan agama. Dengan kata lain mensekulerkan
institusi nikah.
Dalam al-Qur’an dijelaskan, seorang musyrik haram dinikahi. Laki-laki Muslim haram menikahi perempuan musyrik, begitu juga Muslimah haram menikah dengan laki-laki musyrik. Sebagaimana dijelaskan dalam Al-Qur’an Surat Al-Baqarah:221 yang artinya, “Dan janganlah kamu mnikahi wanita musyrik, sebelum mereka beriman.
Sesungguhnya wanita budak yang Mu’min itu lebih baik dari wanita
musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan
orang-orangmusyrik (dengan wanita Mu’min) sebelum mereka beriman.
Sesungguhnya budak yang mu’min itu lebih baik dari orng muyrik walaupun
dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka sedang Allah
mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allahmenerangkan
ayat-ayatNya (perintah-perintahNya) kepada manusia supaya mereka
mengambil pelajaran”.
Jadi jelas sekali bahwa Islam melarang perkawinan antar seorang
Muslim dengan orang musyrik. Tidak sah perkawinan antara Muslim dengan
non-Muslim yang musyrik.
Mengenai perkawinan beda agama ini, para Ulama’ sepakat telah
mengeluarkan fatwanya bahwa seorang muslimah haram menikah dengan
laki-laki non-Muslim. Baik non-Muslim itu berasal dari kalangan
orang-orang yang tidak beragama, golongan Majusi, Ahlul Kitab (Yahudi
dan Nasrani) serta orang-orang yang keluar dari agama Islam(murtad).
Mereka semua haram untuk menikah dengan wanita Muslim (Ali Al-Shabuni I,Tafsir Ayat al-Ahkam,:226). Pada persoalan ini, para ulama tidak berbeda pendapat.
Namun terjadi khilafiyah (perbedaan pendapat) ketika
laki-laki Muslim menikah dengan wanita Ahlul Kitab. Satu pihak
membolehkan dan ulama lainnya mengharamkan. Sebagaimana haramnya
Muslimah nikah dengan kelompok non-Muslim manapun. Ulama’ yang
membolehkan berpendapat, diperbolehkannya nikah dengah wanita Ahlul
Kitab, karena ada dalil yang membolehkan hal tersebut, seperti Firman
Allah Swt surat Al-Maidah :5 :”Pada hari ini dihalalkan bagi kamu yang
baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Kitab (Ahlul
Kitab) itu halal bagi kamu, dan makanan kamu halal pula bagi mereka.
(Dan dihalalkan mengawini) wanita-wanita yang mnjaga khormatan di antara
orang-orang yang beriman dan wanita-wanita yang mnjaga khormatan di
antara orang-orang yang Ahlul Kitab sebelum kamu”.Rasulullah SAW
bersabda:”Dari Jabir bin Abdillah dari Rasulullah Saw, bahwasannya
beliau bersabda:’Kita diperboelhkan menikahi wanita Ahlul Kitab dan
tidak diperbolehkan mereka (Ahlul Kitab) menikahi wanita-wanita
kita(Muslimah)”.(Syaikh Nawawi al-Bantani, Tafsir Maroh Labid I:59).
Imam Syafi’i berkata, bahwa yang dimaksud Ahlul Kitab adalah pemeluk
Yahudi dan Nasrani dari golongan bani Israel, dan semua nenek moyangnya
juga Yahudi-Nasrani bani Israel. Adapun umat Yahudi-Nasrani yang
non-bani Israel tidak masuk kategori ini. Dalam hal ini, pendapat Imam
Syafi’i cukup ketat dalam mengkategorikan Ahlul Kitab. Al-Baghowi
mengatakan, Ahlul Kitab yang dimaksud pada surat Al-Maidah:5 (boleh
dinikahi) adalah, bani Israel yang sudah memeluk agama Yahudi dan
Nasrani sebelum diutsnya Nabi Muhammad Saw, adapun bani Israel yang
memeluk agama Yahudi dan Nasrani setelah diutusnya Nabi Saw, haram
sembelihannya dan haram menikahi wanita-wanitanya (A.Muta’al
Jabri:2004:41).
Artinya, al-Baghowi berpendapat, syarat wanita Ahlul Kitab yang bisa
dinikahi adalah bani Israel yang ia telah menjadi Yahudi-Nasrani sebelum
nabi Muhammad Saw diutus sampai pada masa Nabi Saw. Adapun kaum yang
baru masuk Yahudi-Nasrani setelah Nabi Muhammad Saw diutus wajib
mengikuti agama Islam. Jika tetap dalam agamanya, mereka haram dinikahi.
Sementara Ulama’ yang mengharamkan seorang Muslim laki-laki menikah
dengan wanita Ahlul Kitab, berpendapat bahwa mereka (Ahlul Kitab)
termasuk golongan Musyrikun. Seperti pendapat Ibnu Umar ketika ditanya
tentang laki-laki Muslim menikah dengan wanita Yahudi, beliau berkata
bahwa Allah mengharamkan pernikahan tersebut dikarenakan mereka (wanita
Ahlul Kitab) telah melakukan A’dzomus Syirki yaitu kemusyrikan yang paling besar.(Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’anul Adzim I, 285).
UU perkawinan Indonesia juga melarang perkawinan beda agama.
Ketentuan pelarangan kawin beda agama ini terdapat dalam UU no 1 tahun
1971 pasal 2 ayat 1. Majelis Ulama’ Indonesia (MUI) juga telah
mengeluarkan fatwa soal keharaman kawin beda agama pada tanggal 1 Juni
1980.
Upaya untuk melegalkan UU pernikahan yang membolehkan pernikahan beda
agama yang akhir-akhir ini mencuat menggambarkan upaya sekularisasi
Undang-Undang Nikah. Kaum liberal merencanakan agar pemerintah tidak
mengurus agama, termasuk nikah. Bahkan nikah dianggap bukan dari ibadah.
Dalam pandangan faham Liberalisme, pernikahan dianggap bukan dari perkara agama. Dalam buku Kado Cinta Bagi Pasangan Nikah Beda Agama (M.
Monib: 2008, hal. 33) dikatakan: ”Pernikahan bukanlah ibadah dalam arti
kewajiban, melainkan hubungan sosial kemanusiaan semata”. Bahkan orang
liberal menilai rendah ibadah nikah, yakni dianggap sekedar penyaluran
syahwat belaka. ”Sesungguhnya pernikahan itu bagian dari (penyaluran)
syahwat dan bukan bagian dari upaya pendekatan diri kepada
Tuhan…pernikahan bukanlah ibadah” (Abd. Moqsit Ghazali, Argumen Pluralisme Agama Membangun Toleransi Berbasis Al-Qur’an, hlm. 328).
Selain merendahkan ibadah nikah, faham sekularisme ini melecehkan
status istri. Akibat faham yang menilai nikah sekedar penyaluran
syahwat, maka status istri dinilai sekedar pemuas syahwat. Lihat
pernyataan orang liberal ini: “Apa bedanya pelacur dengan perempuan yang
berstatus istri? Posisinya sama. Mereka adalah penikmat dan pelayan
seks laki-laki. Seks akan tetap bernama seks meski dilakukan dengan satu
atau banyak orang. Tidak, pernikahan adalah konsep aneh, dan menurutku
mengerikan untuk bisa kupercayakan” (Muhidin M Dahlan:Izinkan aku menjadi pelacur, hal. 205).
Faham-faham yang keliru tersebut dikarenakan pemisahan institusi
nikah dengan agama. Menilai nikah sekedar penyaluran syahwat belaka yang
minus ibadah. Jadi, sekularisasi institusi nikah menyebabkan dua
problema; menyamakan nikah dengan media penyalur syahwat belaka dan
merendahkan status istri. Gugatan faham liberal bukan untuk mengangkat
derajat wanita, namun fakta-fakta argumentasinya ternyata justru
merendahkan wanita.
0 Komentar