Header Ads Widget

Responsive Advertisement

Ticker

6/recent/ticker-posts

Ki Hajar Dewantara, Pesantren dan Pendidikan Kita [2]

Oleh: Beggy Rizkiyansyah  

Pesantren adalah lembaga pendidikan yang tidak berjarak dengan masyarakat sekitarnya, bahkan menjadi bagian dari masyarakat sekitar. Dakwah pesantren dirasakan oleh masyarakat sekitar. Ia juga menjadi akses bagi segala lapis masyarakat untuk mendapatkan pendidikan. Banyak pesantren bahkan mampu menghidupi dirinya sendiri, dan membuat santri hidup mandiri. Kebebasan (kemandirian) dari keterikatan karena persoalan finansial ini juga ditekankan oleh Ki Hajar Dewantara ketika mengelola Taman Siswa.

Pondok pesantren bahkan bukan saja menjadi penuntun dan pelindung bagi masyarakat disekitarnya. Pondok pesantren bahkan menjadi benteng rakyat Indonesia, dengan menggelorakan perlawanan terhadap kolonialisme. Pondok pesantren bukan saja menjadi pelindung fisik masyarakat, tetapi juga benteng akidah umat. Sistem pendidikan di pondok pesantren menanamkan nilai-nilai akidah yang kuat sehingga penjajahan mental dapat dihindari.

Menurut M. Natsir, “Pesantren merupakan satu ‘kubu pertahanan mental’, terhadap kolonial Belanda, ‘kubu pertahanan mental’ bukan semata2 terhadap sendajatnja jang fisik, akan tetapi terhadap sendjata jang bersifat mental pula, dari politik2 imperialisme/kolonialisme Belanda jang sangat litjin itu. Satu politik Imperialis/Kolonialis jang dipelopori oleh Prof. Snouck Hurgronje, jang garis besarnja ialah, meassimilasikan bangsa Indonesia dengan bangsa Belanda, measosiasikan kedua bangsa itu didalam melakukan satu approach jang bersifat kebudajaan. Dengan men-deislamisasikan pemuda2 Islam di Indonesia, bukan mengkristenkan; mereka itu lambat – laun mentjabut dari djiwa pemuda2 jang beragama Islam bangsa Indonesia itu keimanan kepada agamanja, ketjintaaanja kepada adat istiadat keagamaan jang ada didesa, dikampung, dan dirumah tangganja sendiri. Menjabut mereka itu dari urat2 kebudajaannja sendiri, membawa mereka kepada alam berfikir Barat, jang dengan demikian ditjiptakanlah satu golongan, jang akan dapat mendjamin kolonialisme Belanda di Indonesia ini.” (M. Natsir: 1969)

Keunggulan-keunggulan pondok pesantren di atas dapat berdiri di atas akar yang kokoh. Alih-alih sekedar mengejar permintaan industri, atau bentuk-bentuk pencapaian materi lainnya, pondok pesantren memiliki visi yang lebih mendalam.  Ulama besar Indonesia, yang kiprahnya tak bias dilepaskan dari kehadiran pondok pesantren di tanah air, KH Hasyim Asy’ari menyoroti peran kiyai (ulama) sebagai figur yang sentral. Dalam karyanya, Adabul Alim Wa Al-Muta’alim sebuah kitab yang berisi adab antara pengajar (ulama) dan yang diajar, para ulama adalah, “…yang senantiasa mengamalkan ilmunya dengan landasan ketaqwaan kepada Allah, mengharap ridho-Nya, serta demi mendekatkan diri (taqarrub) kepada-Nya.”

Ia mengingatkan para alim (ulama) untuk senantiasa takut kepada murka atau siksa Allah dalam setiap gerak, diam, perkataan dan perbuatan. Menurutnya,“Hal ini sangat penting diperhatikan mengingat seorang alim pada hakekatnya adalah orang yang dipercaya dan diberi amanat oleh Allah berupa ilmu pengetahuan dan hikmah. Maka meninggalkannya berarti suatu pengkhianatan atas amanat yang telah dipercayakan kepadanya itu.” (KH Hasyim Asy’ari: 2007)

KH Wahid Hasyim, putra KH Hasyim Asy’ari juga menegaskan pandangannya terhadap pendidikan. Pentingnya ketakwaan menjadi poros utama dalam pendidikan. Pendidikan yang memisahkan antara ilmu pengetahuan dan agama adalah mustahil. Menurut beliau, “Ilmu pengetahuan dan takwa dalam pandangan Islam tiada mungkin dijauhkan, dan harus sama-sama cukup lengkap. Bahkan Islam memandang lebih condong pada takwa daripada  kepada ilmu. Ilmu sebagai buah otak, haruslah diimbangi dengan takwa sebagai isi hati. “ (KH Wahid Hasyim: 1985)

Eksistensi pendidikan di pondok pesantren selama berabad-abad telah mengajarkan kita untuk kembali merenungkan esensi pendidikan. Pendidikan kita saat ini, tidak lagi berkaitan dengan upaya-upaya pengembangan intelektualitas, kebijaksanaan dan moralitas, akan tetapi lebih dengan upaya mempersiapkan manusia menjadi komoditi, yang siap memanifestasikan diri melalui image cermin sistem ekonomi, yang siap masuk ke dalam sistem kekuasaan kapital serta sistem perubahan abadi gaya dan gaya hidup. (Yasraf Amir Piliang: 1998) Kebendaan  telah begitu menyedot perhatian kita sehinggal kita keliru dalam menata pendidikan kita. Demi melayani kepentingan kapital dan industri, kita terlampau menaruh perhatian pada materi semata. Pendidikan kita telah kita ceraikan dari nilai-nilai agama dan kepeduliannya kepada lingkungan sekitar. Pendidikan kita telah menjadi pendidikan yang sekedar- mengutip istilah Ki Hajar Dewantara- ‘dibayar dan dibeli’.*
Penggiat Jejak Islam untuk Bangsa (JIB) 
sumber: http://www.hidayatullah.com/artikel/opini/read/2016/07/20/97971/ki-hajar-dewantara-pesantren-dan-pendidikan-kita-2.html

Posting Komentar

0 Komentar