Oleh: Beggy Rizkiyansyah
Pesantren adalah lembaga pendidikan yang tidak berjarak dengan
masyarakat sekitarnya, bahkan menjadi bagian dari masyarakat sekitar.
Dakwah pesantren dirasakan oleh masyarakat sekitar. Ia juga menjadi
akses bagi segala lapis masyarakat untuk mendapatkan pendidikan. Banyak
pesantren bahkan mampu menghidupi dirinya sendiri, dan membuat santri
hidup mandiri. Kebebasan (kemandirian) dari keterikatan karena persoalan
finansial ini juga ditekankan oleh Ki Hajar Dewantara ketika mengelola
Taman Siswa.
Pondok pesantren bahkan bukan saja menjadi penuntun dan pelindung
bagi masyarakat disekitarnya. Pondok pesantren bahkan menjadi benteng
rakyat Indonesia, dengan menggelorakan perlawanan terhadap kolonialisme.
Pondok pesantren bukan saja menjadi pelindung fisik masyarakat, tetapi
juga benteng akidah umat. Sistem pendidikan di pondok pesantren
menanamkan nilai-nilai akidah yang kuat sehingga penjajahan mental dapat
dihindari.
Menurut M. Natsir, “Pesantren merupakan satu ‘kubu pertahanan
mental’, terhadap kolonial Belanda, ‘kubu pertahanan mental’ bukan
semata2 terhadap sendajatnja jang fisik, akan tetapi terhadap sendjata
jang bersifat mental pula, dari politik2 imperialisme/kolonialisme
Belanda jang sangat litjin itu. Satu politik Imperialis/Kolonialis jang
dipelopori oleh Prof. Snouck Hurgronje, jang garis besarnja ialah,
meassimilasikan bangsa Indonesia dengan bangsa Belanda, measosiasikan
kedua bangsa itu didalam melakukan satu approach jang bersifat
kebudajaan. Dengan men-deislamisasikan pemuda2 Islam di Indonesia, bukan mengkristenkan;
mereka itu lambat – laun mentjabut dari djiwa pemuda2 jang beragama
Islam bangsa Indonesia itu keimanan kepada agamanja, ketjintaaanja
kepada adat istiadat keagamaan jang ada didesa, dikampung, dan dirumah
tangganja sendiri. Menjabut mereka itu dari urat2 kebudajaannja sendiri,
membawa mereka kepada alam berfikir Barat, jang dengan demikian
ditjiptakanlah satu golongan, jang akan dapat mendjamin kolonialisme
Belanda di Indonesia ini.” (M. Natsir: 1969)
Keunggulan-keunggulan pondok pesantren di atas dapat berdiri di atas
akar yang kokoh. Alih-alih sekedar mengejar permintaan industri, atau
bentuk-bentuk pencapaian materi lainnya, pondok pesantren memiliki visi
yang lebih mendalam. Ulama besar Indonesia, yang kiprahnya tak bias
dilepaskan dari kehadiran pondok pesantren di tanah air, KH Hasyim
Asy’ari menyoroti peran kiyai (ulama) sebagai figur yang sentral. Dalam
karyanya, Adabul Alim Wa Al-Muta’alim sebuah kitab yang berisi adab antara pengajar (ulama) dan yang diajar, para ulama adalah, “…yang
senantiasa mengamalkan ilmunya dengan landasan ketaqwaan kepada Allah,
mengharap ridho-Nya, serta demi mendekatkan diri (taqarrub) kepada-Nya.”
Ia mengingatkan para alim (ulama) untuk senantiasa takut kepada murka atau siksa Allah dalam setiap gerak, diam, perkataan dan perbuatan. Menurutnya,“Hal
ini sangat penting diperhatikan mengingat seorang alim pada hakekatnya
adalah orang yang dipercaya dan diberi amanat oleh Allah berupa ilmu
pengetahuan dan hikmah. Maka meninggalkannya berarti suatu pengkhianatan
atas amanat yang telah dipercayakan kepadanya itu.” (KH Hasyim Asy’ari: 2007)
KH Wahid Hasyim, putra KH Hasyim Asy’ari juga menegaskan pandangannya
terhadap pendidikan. Pentingnya ketakwaan menjadi poros utama dalam
pendidikan. Pendidikan yang memisahkan antara ilmu pengetahuan dan agama
adalah mustahil. Menurut beliau, “Ilmu pengetahuan dan takwa dalam
pandangan Islam tiada mungkin dijauhkan, dan harus sama-sama cukup
lengkap. Bahkan Islam memandang lebih condong pada takwa daripada
kepada ilmu. Ilmu sebagai buah otak, haruslah diimbangi dengan takwa
sebagai isi hati. “ (KH Wahid Hasyim: 1985)
Eksistensi pendidikan di pondok pesantren selama berabad-abad telah
mengajarkan kita untuk kembali merenungkan esensi pendidikan. Pendidikan
kita saat ini, tidak lagi berkaitan dengan upaya-upaya pengembangan
intelektualitas, kebijaksanaan dan moralitas, akan tetapi lebih dengan
upaya mempersiapkan manusia menjadi komoditi, yang siap memanifestasikan
diri melalui image cermin sistem ekonomi, yang siap masuk ke
dalam sistem kekuasaan kapital serta sistem perubahan abadi gaya dan
gaya hidup. (Yasraf Amir Piliang: 1998) Kebendaan telah begitu menyedot
perhatian kita sehinggal kita keliru dalam menata pendidikan kita. Demi
melayani kepentingan kapital dan industri, kita terlampau menaruh
perhatian pada materi semata. Pendidikan kita telah kita ceraikan dari
nilai-nilai agama dan kepeduliannya kepada lingkungan sekitar.
Pendidikan kita telah menjadi pendidikan yang sekedar- mengutip istilah
Ki Hajar Dewantara- ‘dibayar dan dibeli’.*
Penggiat Jejak Islam untuk Bangsa (JIB)
sumber: http://www.hidayatullah.com/artikel/opini/read/2016/07/20/97971/ki-hajar-dewantara-pesantren-dan-pendidikan-kita-2.html
0 Komentar