Header Ads Widget

Responsive Advertisement

Ticker

6/recent/ticker-posts

Ki Hajar Dewantara, Pesantren dan Pendidikan Kita [1]

Oleh: Beggy Rizkiyansyah

POTRET pendidikan di Indonesia yang terjadi saat ini pantas mengusik nurani kita. Praktek pendidikan saat ini baik tingkat dasar, lanjutan atau tinggi dihantui oleh komersialisasi pendidikan dan seringkali hanya berorientasi pada materi. Mahalnya biaya pendidikan, ketimpangan antar sekolah, hingga berlomba-lomba mendapat gelar demi prestise (degree minded) menjadi dampak dari komersialisasi pendidikan. (Irawaty A. Kahar : 2007) Di tingkat lanjutan dan tinggi bahkan pendidikan berorientasi pada kebutuhan Industri semata. Sehingga sekolah-sekolah dan perguruan tinggi hanya menjadi pabrik bagi pelayan industri dan mendukung bangunan ekonomi semata.
Output dari pendidikan semacam ini pantas mengkhawatirkan kita. Generasi muda Indonesia mungkin sekali menjadi generasi yang berorientasi pada materi. Segala pertimbangan merujuk pada untung-rugi ekonomi. Di tengah gencarnya roda-roda kapitalisme dan liberalisasi ekonomi saat ini di Indonesia, maka pendidikan bagi generasi muda telah kehilangan maknanya. Tak heran jika kita mendengar professor dan akademisi terjerat korupsi atau asusila. Sebagain lain generasi muda, mengamini penggusuruan sewenang-wenang rakyat kecil atas nama pembangunan, atau mencemooh protes supir angkutan dan tak bisa menyesuaikan dengan kemajuan teknologi atas nama kompetisi. Mereka tak mampu lagi menangkap adanya ketidakadilan dan ketimpangan dalam masyarakat kita.
Tiidak hadirnya nilai-nilai, dalam pendidikan kita, mau tak mau membuat kita harus menoleh kembali figur-figur para pendiri bangsa dalam memandang pendidikan bagi generasi muda Indonesia. Salah satunya Ki Hajar Dewantara atau Suryadi Suryaningrat (1889-1959). Selain sebagai pejuang kemerdekaan yang bergelut di dunia politik, kiprah dan visinya dalam dunia pendidikan patut menjadi perhatian kita. Menarik untuk memahami pendapatnya tentang pendidikan.

Bagi Ki Hajar Dewantara, pendidikan memiliki makna yang luas, tak sekedar ilmu pengetahuan belaka. Pendidikan nasional bagi Ki hajar Dewantara bertujuan untuk mengangkat derajat negara dan rakyatnya. Ki Hajar di tahun 1928 sudah menegaskan bahwa pengaruh pengajaran untuk membentuk manusia merdeka, yaitu, “manusia jang hidupnja lahir atau batin tidak tergantung kepada orang lain, akan tetapi bersandar atas kekuatan sendiri.”(Ki Hajar Dewantara: 1962)

Ki Hajar Dewantara amat menekankan agar pendidikan, khususnya Taman Siswa yang didirikannya agar dekat dengan kehidupan rakyat. “Agar supaja mereka tidak hanja memiliki ‘pengetahuan’ sadja tentang hidup rakjatnja, akan tetapi djuga dapat ‘mengalaminja’ sendiri, dan kemudian tidak hidup berpisahan dengan rakjatnja.” (Ki Hajar Dewantara: 1962) Dengan bercermin pada kondisi rakyat kita dapat menyusun model pendidikan yang pantas bagi Indonesia.
Bagi Ki Hajar, sistem pendidikan Barat yang saklek (konvensional), tak tampak kepribadiannya. Sebaliknya, menurut Ki Hajar Dewantara, di Taman Siswa, guru perlu ikut tinggal di sekolah, melebur dengan murid. Tampak seperti suasana keluarga di rumah.  Menurutnya, “Sekolah itu harus pula mendjadi rumahnya guru. Itulah tempat tinggal jang pasti; rumah itu diperuntuki nama guru, atau lebih baik dikatakan orang menjebut pondoknja itu namanja. Dari dekat dan djauh datanglah murid kepadanja; bukan dia jang pergi ke murid. Kita berkata: ia bukan ‘sumur lumaku tinimba’ (sumber bedjalan, tempat umum mengambil air). Seluruh suasana paguron itu diliputi semangat pribadinja.” (Ki Hajar Dewantara: 1962)

Menurut beliau, sistem paguron atau asrama itu ada dalam sosok pondok pesantren, yang berabad-abad telah melalui masa yang bergejolak, namun tetap hidup sampai sekarang. Dalam sistem seperti ini, bukan saja menghendaki pembentukan intelektual, tapi juga dan terutama pendidikan dalam arti pemeliharaan dan latihan susila. Pendidikan yang bersuasana kekeluargaan. Bukan pendidikan yang dibeli dan dibayar.

Pondok pesantren memang telah membuktikan eksistensinya di tanah air selama berabad-abad. Pondok pesantren telah ada, setidaknya sejak abad ke 18. Meski pendapat lain menyatakan ia telah ada bahkan sejak islam berkembang di nusantara. Berakar dari sistem pendidikan dari Nizhamiyah di Baghdad, pondok pesantren menjadi salah satu ciri khas pendidikan di Nusantara.
Pondok pesantren tak bisa dilepaskan dari peran kiai ulama). Jaringan ulama di Nusantara memunculkan hadirnya pondok pesantren sebagai lembaga pendidikan di tanah air. Para ulama yang berguru ke Makkah dan Madinah kemudian  kembali ke tanah air untuk membuka pusat-pusat pendidikan (pesantren).

Sudah menjadi kelaziman, santri yang telah selesai menuntut ilmu kemudian berkelana ke wilayah yang baru untuk membuka pondok pesantren. Setiap pondok pesantren biasanya dikenali akan kekhasannya. Namun semuanya tetap menggunakan standar rujukan yang sama. (Van Bruissen : 2012). Meski telah menyebar ke segala penjuru, namun proses transmisi pengetahuan ini tetap terjaga kualitasnya berkat rantai intelektual yang terjalin antara kiyai dan santri. Hal ini terus berlanjut sehingga pondok pesantren telah menjadi pelopor pendidikan di segala penjuru nusantara bahkan hingga ke Patani (selatan Thailand), dan jejaring itu tetap dapat ditelusuri hingga ke nusantara.
Pondok pesantren memungkinkan para kiyai untuk membimbing para santri, tidak hanya saat proses belajar mengajar, tetapi juga diluar waktu tersebut. Dengan membimbing pribadi para santri, kiyai mampu mengetahui kelebihan dan kekurangan sang anak didik. Sistem pendidikan di pondok pesantren tak hanya mengalirkan ilmu, namun juga nilai-nilai yang diturunkan oleh kiainya. Ia menjadi suatu pembinaan pribadi terhadap para santrinya. Dengan sistem pemondokan ini, para santri meneladani kehidupan kiai bukan hanya di dalam lingkungannya, tetapi juga ketika melebur ke dalam masyarakat.*
Penggiat Jejak Islam untuk Bangsa (JIB)  
Sumber: http://www.hidayatullah.com/artikel/opini/read/2016/07/18/97868/ki-hajar-dewantara-pesantren-dan-pendidikan-kita-1.html

Posting Komentar

0 Komentar