Header Ads Widget

Responsive Advertisement

Ticker

6/recent/ticker-posts

Soekarno: Dari Teosofi hingga Marxisme



Soekarno: Dari Teosofi hingga Marxisme
Dilahirkan dari seorang ayah penganut Theosofi, lalu tenggelam dan mempropagandakan Marxisme. Soekarno, bisa disebut sosok sinkretik dalam ideologi.
Soekarno lahir di Surabaya pada tanggal 6 Juni 1901. Ayahnya, Raden Soekemi Sosrodihardjo, adalah keturunan Jawa tulen yang memegang kuat ajaran Theosofi.[1] Sedangkan ibunya yang bernama Ray berasal dari keturunan bangsawan Bali. Ibunda Soekarno seorang penganut agama Hindu-Budha, sedangkan ayahnya seorang muslim abangan yang menjalankan ajaran Theosofi Jawa.[2]
  Terkait soal ini dalam sambutan pada buku “Makin Lama Makin Cinta: Muhammadiyah Setengah Abad 1912-1962”, Soekarno mengatakan “Saudara-saudara, ibu meskipun beragama Islam, namun berasal daripada agama lain, orang Bali. Bapak, meskipun beragama Islam, beliau adalah beragama –dikalau boleh dinamakan agama- Theosofi. Djadi kedua orangtua saja ini, jang saja tjintai dengan segenap djiwa saja, sebenarnja tidak dapat memberikan kepada saja tentang agama Islam. Ibu bekas agama Bali, bapak penganut agama Theosofi…” (Hlm.17)

blavatsky3
H.P Blavatsky salah seorang Pendiri Theosofi

Kusno, nama kecil Soekarno, menghabiskan sebagian masa kanak-kanaknya di Tulungagung, Jawa Timur. Sejak kecil Kusno sudah gemar menonton pertunjukan wayang kulit di kampungnya hingga larut malam.[3] Untuk menggambarkan kecintaan kepada pewayangan, Soekarno pernah menulis, “Ayahku menginginkan aku menjadi seorang ksatria, yang akan mengabdi pada Tanah Air. Keinginannya begitu kuat, sehingga ia mengubah namaku, yang mula-mula Kusno, menjadi Soekarno. Soekarno berasal dari Karna, ialah seorang pahlawan terbesar dalam cerita Mahabharata. Karna adalah pejuang bagi negaranya dan patriot yang saleh.”[4]

Dari Tulungagung, Soekarno pindah ke Mojokerto mengikuti ayahnya yang bertugas di sana. Di kota inilah Soekarno melanjutkan pendidikannya sebagai siswa sekolah dasar Eropa atau Europese Lagere School (ELS). Di sekolah ini kecerdasan Soekarno makin nampak. Selain sekolah di ELS, Soekarno juga mengikuti kursus bahasa Perancis.

Setamat sekolah dasar Soekarno melanjutkan pendidikannya di Hogere Burgere School (HBS) di kota Surabaya. Selama lima tahun, Soekarno menimba ilmu di sekolah yang kebanyakan muridnya berasal dari ras putih (Eropa). Di kota inilah Soekarno mulai bersentuhan dengan pergerakan dan pemikiran filsafat Marxisme. Selain itu Soekarno juga banyak belajar dari HOS Tjokroaminoto, tokoh pergerakan Syarikat Islam yang sangat berpengaruh di Jawa. Soekarno yang saat itu tinggal di rumah Tjokroaminoto dan sempat menikahi putrinya yang bernama Oentari, sering mengikuti kegiatan yang dilakukan Tjokroaminoto di pergerakan Syarikat Islam. Sejak usia 15 tahun, menurut pengakuan Soekarno, saat ini masih tinggal di rumah Tjokroaminoto, ia seringkali ikut dalam pengajian KH Ahmad Dahlan di Peneleh, Surabaya.

Soekarno mulai belajar tentang teori Marxisme[5] dari seorang guru bahasa Jerman di HBS yang bernama C. Hartogh. Hartogh adalah seorang sosialis demokrat dan anggota dari Indische Social Democratische Vereeniging (ISDV), sebuah perkumpulan politik yang didirikan pada tahun 1914 oleh Hendricus Josephus Fransiscus Marie Sneevliet, seorang tokoh  Yahudi anggota Illuminati yang berasal dari Rotterdam.[6]

Di Surabaya, Soekarno banyak menghabiskan waktunya dengan membaca buku-buku literatur Barat di perpustakaan milik perkumpulan Theosofi. “Kami mempunyai sebuah perpustakaan yang besar di kota ini (Surabaya) yang diselenggarakan oleh perkumpulan Theosofi. Bapakku seorang Theosof, karena itu aku boleh memasuki perta harta ini, di mana tidak ada batasnya buat seorang yang miskin. Aku menyelam lama sekali dalam dunia kebatinan ini. Dan di sana aku bertemu dengan orang-orang besar. Buah pikiran mereka menjadi buah pikiranku. Cita-cita mereka adalah pendirian dasarku.” kenang Soekarno.[7]

Intensitas Soekarno dalam mempelajari ide-ide para pemikir Barat di perpustakaan milik perkumpulan Theosofi inilah yang kemungkinan besar sangat memengaruhi Soekarno dalam sikap politiknya, terutama soal nasionalisme.[8] Karena itu, tak heran jika perkumpulan Theosofi banyak mempengaruhi nasionalisme Indonesia, karena banyak para anggotanya yang di kemudian hari memainkan peran dalam mengusung paham nasionalisme atau kebangsaan.
karno
Pada kurun waktu yang sama, Soekarno muda mulai bersentuhan dengan para tokoh yang banyak mengusung paham sosialis, seperti Adolf Baars, seorang aktivis ISDV yang juga penganut Marxisme, yang di kemudian hari berhasil menyusupkan orang-orang seperti Semaun dan Darsono ke dalam pergerakan Sarekatt Islam dan memecah belah pergerakan tersebut. Adolf Baars adalah sosok yang mempropagandakan untuk melepaskan diri dari nasionalisme dan mengikat diri kepada humanisme internasional yang sosialis.[9]

Persentuhan Soekarno dengan pengusung sosialis-marxis ini diakuinya sendiri dalam pidato di depan anggota sidang BPUPKI pada tanggal 1 Juni 1945,
“Saya mengaku, pada waktu saya berumur 16 tahun, duduk di bangku sekolah HBS di Surabaya, saya dipengaruhi oleh seorang sosialis yang bernama A. Baars yang memberi pelajaran kepada saya. Katanya, jangan berpaham kebangsaan, tetapi berpahamlah rasa kemanusiaan sedunia, jangan mempunyai rasa kebangsaan sedikitpun. Itu terjadi pada tahun 1917. Tetapi pada tahun 1918, alhamdulillah, sang lain yang memperingatkan saya ialah Dr. Sun Yat Sen. Di dalam tulisannya San Min Chu I atau The Three People’s Principles, saya mendapat pelajaran yang membongkar kosmopolitisme yang diajarkan Baars itu. Dalam hati saya sejak itu tertanamlah rasa kebangsaan oleh pengaruh The Three People’s Principles itu. Maka oleh karena itu, jikalau seluruh bangsa Tionghoa menganggap Dr Sun Yat Sen sebagai penganjurnya, maka yakinlah bahwa Bung Karno juga seorang Indonesia yang dengan perasaan hormat-sehormatnya merasa berterima kasih kepada Dr. Sun Yat Sen, sampai masuk ke lubang kubur.”[10]
Siapa Dr. Sun Yat Sen, sehingga Soekarno begitu mengagumi pemikirannya? Sun Yat Sen adalah tokoh revolusi Tiongkok dan pendiri partai Kuomintang berhaluan marxis, yang pada tahun 1912 mendirikan Tiongkok merdeka. Tokoh ini juga dikenal sebagai penggerak kaum kiri di Tiongkok dalam masa-masa revolusi.

Abdullah Patani, seorang sarjana lulusan Madinah University asal Patani, Thailand, dalam risalah kecil bertajuk “Freemasonry di Asia Tenggara”, yang ditulis di Madinah Al-Munawwarah pada tahun 1400 H dan diterbitkan dalam bahasa Melayu di Malaysia oleh Ali bin Haji Sulong, menyatakan bahwa ideologi yang diambil Soekarno dari Sun Yat Sen berasal dari doktrin Zionisme melalui gerakan Freemasonry Asia, dimana Sun Yat Sen termasuk anggota dan simpatisannya.[11]

Pada tahun 1926, Soekarno mengeluarkan gagasan yang cukup berani tentang penyatuan Nasionalisme, Islam, dan Marxisme. Bagi Soekarno, ketiganya merupakan kekuatan besar yang dapat mempersatukan bangsa Indonesia dalam masa-masa perjuangan revolusi. Ketiganya bisa bahu-membahu untuk saling bekerjasama. Dalam arti, nasionalisme harus bisa memberikan tempat bagi Islam dan Marxisme, dan sebaliknya Islam juga harus bisa memberikan tempat bagi Nasionalisme dan Marxisme. Inilah yang menurut Onghokham dalam kata pengantar buku “Soekarno dan Perjuangan Kemerdekaan” yang ditulis Bernhard Dahm, sebagai upaya Soekarno dalam mengenyampingkan begitu saja pertentangan antara agama dan Marxisme.[12]

Apa yang dimaksudkan oleh Soekarno dengan gagasannya tersebut, menurut Onghokham, tak begitu jelas. Apakah Soekarno dengan gagasannya itu hanya menjelaskan tentang tiga kekuatan besar yang mempunyai eksistensi masing-masing dalam pentas politik nasional saat itu? Ataukah maksud Soekarno bahwa ketiga gerakan ini sama sifatnya dan harus terjadi satu kesatuan antara ketiga ideologi ini? Kalau ini yang dimaksud Soekarno, terang Onghokham, berarti orang harus berjiwa NASAKOM (Nasionalisme, Agama dan Komunisme) atau NASAMAR (Nasionalisme, Agama dan Marxisme). Dengan begitu, orang pergerakan harus menyatukan diri ke dalam Nasionalisme, Agama, dan Marxisme atau Komunisme.[13]

Onghokham melanjutkan, Bernhard Dahm, dalam bukunya tersebut mengganggap tulisan Soekarno tentang Nasionalisme, Agama, dan Marxisme, sebagai suatu distorsi dari sejarah dan akar masing-masing paham. Dahm, menurut Onghokham, terkejut bahwa ada orang yang yang dapat melihat persamaan ataupun kerjasama antar ketiga ideologi ini. Dahm berkesimpulan bahwa hanya orang Jawa yang berakar dalam tradisi kebudayaan Jawa yang dapat mengemukakan itu. Dan hal ini kata Dahm, disebabkan pendekatan kultur Jawa terhadap segala fenomena di dunia ini adalah “satu”. Inilah yang disebut dengan sinkretisme Jawa, seperti gagasan Soekarno menyatukan Nasionalisme, Islam, dan Marxisme. Soekarno melihat ketiga kekuatan tersebut mempunyai prinsip yang sama dalam menentang kolonialisme dan imprealisme Barat. Dalam hal ini ketiganya menemukan musuh bersama.[14]

Pemikiran sinkretisme Jawa, dalam analisis Dahm, juga nampak dalam gagasan Soekarno tentang Pancasila. Kelima sila yang diajukan, kata Soekarno dalam sidang BPUPKI, bisa diperas menjadi tiga sila, dan akhirnya menjadi satu sila saja, yaitu “gotong royong”. Karena itu, dalam pandangan Dahm, Pancasila yang disebut Soekarno dalam pidatonya tersebut merupakan “ikhtisar klasik dari gagasan-gagasan politik yang dikembangkanya sampai tahun 1945”.[15]

Karno2
Dengan demikian, gagasan Soekarno tentang NASAMAR era tahun 1920-1945 sangat mempengaruhi sikap politiknya ke depan dalam menentukan dasar negara. Kemudian apakah dengan demikian, Soekarno yang merupakan anak seorang penganut Theosofi Jawa dan pernah secara intens ‘menyelam’ dalam perpustakaan yang disebutnya sebagai “harta karun” milik perkumpulan Thesofi, juga dipengaruhi oleh gerakan tersebut yang mengajarkan persamaan dalam segala hal, baik agama, golongan atau ras, dan ideologi, dalam bungkus humanisme universal? Ataukah dalam istilah yang sedang menjadi sorotan saat ini, Soekarno juga pengusung paham “pluralisme” agama dan ideologi?
“Dalam pengertian ini, Soekarno sendiri “bersikap netral dalam soal agama”. Perasaan dasarnya yang tidak terikat kepada sesuatu dogma, memungkinkannya memasuki semua kultus, termasuk Marxisme, sesuai dengan kepercayaan orang-orang Jawa bahwa, ”semua hal adalah satu.” Soekarno bukan seorang muslim, ia adalah seorang Jawa,” tulis Dahm.[16]
Dalam sebuah artikel di media massa pada 14 Juni 1941, Soekarno menggambarkan sosok pribadinya,
“Ada orang mengatakan Soekarno itu nasionalis, ada orang mengatakan Soekarno bukan lagi nasionalis, tetapi Islam, ada lagi yang mengatakan dia bukan nasionalis, bukan Islam, tapi Marxis, dan ada lagi yang mengatakan dia bukan nasionalis, bukan Islam, bukan Marxis, tetapi seorang yang berfaham sendiri. Golongan tersebut belakangan ini berkata: Mau disebut dia nasionalis, dia tidak setuju dengan apa yang biasanya disebut nasionalisme; mau disebut dia Islam, dia mengeluarkan faham-faham yang tidak sesuai dengan fahamnya banyak orang Islam; mau disebut Marxis, dia sembahyang; mau disebut bukan Marxis, dia “gila” kepada Marxisme itu. Apakah Soekarno itu? Nasionaliskah? Islamkah? Marxiskah? Pembaca-pembaca, Soekarno adalah campuran dari semua isme-isme itu!”[17]
Tulisan di atas menggambarkan secara gamblang sosok Soekarno, yang dalam istilah Dahm, sesuai dengan kepercayaan orang Jawa yang selalu mengedepankan sinkretisme atau mencampuradukkan segala macam aliran dan menjadikan “segala sesuatu adalah satu”. Campuran isme-isme itulah, seperti juga pengakuan Soekarno dalam pidato di sidang BPUPKI, turut memengaruhi konsep dasar negara yang ia gagas. Karena itu dalam sebuah seminar peluncuran buku di Bawah Bendera Revolusi cetakan terbaru di Perpustakaan Nasional Jakarta, tanggal 14 Agustus 2006, sejarawan Anhar Gonggong menyebut Pancaslila sebagai kristalisasi dari pemikiran Soekarno yang ia lontarkan ke publik sejak tahun 1926.

Dalam sebuah pernyataanya, Soekarno pernah mengatakan, ”Konsepku tidak disandarkan kepada Tuhannya orang Islam. Ketika konsep keagamaanmu meluas, ideologi dari pak Tjokro (Tjokroaminoto, pen) dalam pandanganku semakin sempit. Pandangannya tentang kemerdekaan untuk tanah air kami semata-mata ditinjau melalui lensa mikroskop dari agama Islam. Aku tidak lagi menoleh kepadanya untuk belajar,” ujar Soekarno mengomentari sosok yang pernah menjadi idolanya dalam pergerakan.[18]

Dalam sebuah acara amanat kepada  Front Marhaenis pada tanggal 4 Juli 1963, Soekarno menceritakan soal gagasannya tentang Marhaenisme.[19] Gagasan itu, kata Soekarno, ia gulirkan pada tahun 1927, tahun yang sama dengan berdirinya Partai Nasional Indonesia (PNI). Marhaenisme, kata Soekarno adalah ajaran yang mengandung ilmu perjuangan revolusioner untuk menggalang persatuan kaum Marhaen dan dirumuskan sebagai “sosio-nasionalisme” dan “sosio-demokrasi”.[20]
Soal Marhaenisme ini, pada acara itu juga Seokarno menegaskan bahwa ia sangat dipengaruhi oleh ajaran-ajaran Marxisme. Soekarno menyebut ajaran Marx tentang historis-matrealisme sebagai konsep yang sangat ia gemari dan setujui sepenuhnya.“Ajarannya tentang Karl Marx tentang histories-matrealisme saya gemari dan saya setujui sepenuhnya, dan saya gunakan, ya saya toepassen, saya terapkan pada situasi masyarakat Indonesia. Sebagai hasil dari penggunaan, atau toepassing atau penerapan historis-matrealisme Karl Marx di masyarakat Indonesia dengan ia punya kondisi sendiri, dengan ia punya situasi sendiri, dengan ia punya sejarah sendiri, dengan ia punya kebudayaan sendiri, dan sebagainya lagi, maka saya datang kepada ajaran Marhaenisme,” ucap Bung Karno.[21]
Karena itu, kata dia, “Saya selalu menganjur-anjurkan kepada seluruh Front Marhaenis, bahwa untuk dapat memahami Marhaenisme ajaran saya itu, kita minimal, paling sedikit, harus mengetahui dua pengetahuan. Pertama, pengetahuan tentang situasi dan kondisi Indonesia. Kedua, pengetahuan tentang Marxisme,” terang Bung Karno.[22]

Untuk semakin memantapkan gagasannya tentang Marhaenisme itu, dalam sebuah acara yang dihadiri kader pelopor Marhaenisme di gedung Basket Ball, Senayan, tanggal 25 Maret 1965, Soekarno mengatakan,
”Aku amat bergembira bahwa kami menerima Marxisme. Historich matrealisme, dus Marhaenisme, seperti kukatakan kemarin, bukan sekadar satu political theory, bukan sekadar teori politik, tetapi terutama sekali sebagai suatu teori perjuangan. Saya kemarin berkata, Evangelie van dus daad, gita-gita, artinya nyanyian amal, nyanyian perbuatan, nyanyian fiil, nyanyian perjuangan,” ujar Soekarno sambil menyebut Marhaenisme sebagai guide to action, guide for action dan guide of action.[23]
Artinya, kata Soekarno, para kader Marhaen harus menjadikan ajaran Marhaenisme sebagai penuntun, petunjuk aksi, untuk sebuah perjuangan mati-matian, perjuangan tanpa kompromi. “Kalau engkau memang Marhaenis sejati, engkau pejuang, berjuangan terutama sekali, saudara-saudara dengan keyakinan penuh, bahwa engkau menuju kepada tujuan yang benar, dan bahwa engkau pasti, pasti, pasti, pasti, tidak boleh tidak pasti, jikalau engkau memakai guide of action ini, akan mencapai kemenangan, tidak boleh tidak,” ujar Soekarno, lantang.[24]

Dalam sebuah pidato pada Kongres Partindo di gedung Olah Raga, Jakarta, pada tanggal 26 Desember 1961, Soekarno menegaskan kembali kecintaanya kepada Marxisme. Mengutip seorang tokoh bernama Asmara Hadi, Soekarno mengatakan Marhaenisme adalah Marxisme yang dijalankan di Indonesia. “Saya bertanya: He’ Soekarno, apakah engkau menjalankan Marxisme? Ya, kataku,” ujar Soekarno dengan gaya oratornya.[25]

Menurut Soekarno, jika ada orang yang mengaku menjalankan Marhaenis, tetapi tidak menjalankan Marxisme di Indonesia, maka dia adalah Marhaenisme gadungan alias palsu. Selanjutnya, kata Soekarno, seorang yang mengaku sebagai Marxis adalah orang yang radikal revolusioner, orang yang juga tidak mengidap penyakit komunistophobi (anti-komunis).

Bagi Soekarno, proklamasi kemerdekaan Indonesia dipertahankan oleh seluruh rakyat zonder phobi-phobian. Zonder ada perpecahan antara kita dan kita. Karena itu Soekarno juga menyebut orang-orang yang mengeritik kehadiran dan pidatonya pada acara ulang tahun ke-45  Partai Komunis Indonesia sebagai orang yang phobi terhadap komunisme dan anti Nasakom.

Ironisnya sebagai seorang pemikir bangsa, seharusnya Soekarno tak boleh sekali-kali melupakan sejarah. Siapapun tahu dengan kasat mata, komunisme di Indonesia pernah menorehkan sejarah yang berdarah-darah pada peristiwa pemberontakan Madiun tahun 1948, membunuh, membantai, menghina ajaran agama, dan melecehkan Tuhan.

Memang, jargon-jargon ideologi Marxis soal nasib kesejahteraan rakyat, perlawanan terhadap kelompok borjuis dan pemegang modal, pernah membius sebagian umat Islam yang merasa hidup tertindas oleh sistem. Di Sumatera Barat sekalipun, daerah yang terkenal dengan tokoh-tokoh Islamnya, sempat terjadi pemberontakan yang digalang oleh PKI. Pemberontakan yang terjadi pada tahun 1927 oleh PKI Sumatera Barat di Minangkabau, seperti kata Arnold C Brackman, lebih berciri Islam ketimbang komunistis.[26] Saat itu petani-petani Minangkabau yang terkenal taat beragama, dihasut oleh PKI untuk memberontak karena beratnya beban pajak (belasting) yang menghimpit mereka. Dengan kekuatan propaganda, PKI berhasil menghasut rakyat Minangkabau.[27] Tokoh PKI yang sangat berpengaruh di Sumatera Barat saat itu adalah Haji Datuk Batuah yang tinggal di Padang Panjang.

Predikat haji yang di miliki Datuk Batuah membuat gerakan komunisme di Sumatera Barat menjadi unik, bahkan terkesan absurd. Selain Batuah, di Jawa Tengah juga muncul sosok komunis yang bertitel haji. Ia adalah haji Misbach, tokoh yang cukup berpengaruh di Solo. Bahkan Misbach mengatakan bahwa seorang muslim tidak bisa disebut muslim sejati jika ia tidak meyakini komunisme.

Muhammad Ibnu Sayuti atau lebih dikenal dengan nama Sayuti Melik, pengetik naskah proklamasi Indonesia yang sempat berkecimpung dalam Marxisme, atau dalam bahasa Taufik Ismail tokoh ini disebut sebagai “Marxis-nasionalis yang merah menyala”, mengatakan, “kalau anak muda baca Manifesto Komunis, belajar Marxisme-Leninisme, lantas tak tertarik, maka dia anak muda bebal. Tapi kalau sudah mendalami Marxisme-Leninisme, sampai tua masih tetap komunis, maka dia sangat bebal.”[28]

Seperti halnya Soekarno, mantan wakil presiden Mohammad Hatta pun sempat mempelajari Marxisme. Berbeda dengan Soekarno, Hatta tidak pernah menyatakan dirinya Marxis. Bahkan Hatta melontarkan kata-kata sindiran yang sangat terkenal saat itu bahwa, ”kalau ada orang komunis yang mengatakan ia percaya pada Tuhan, atau seorang Islam mengaku dirinya Marxis, maka ada yang tidak beres padanya.”[29] (Artawijaya)
*Tulisan ini diambil dari salah satu sub bab  buku Artawijaya, Dilema Mayoritas, Medina Publishing 2008
Sumber: https://artaazzamwordpresscom.wordpress.com/

Footnote:
——
[1] Perkumpulan Theosofi didirikan  pertama kali di kota New York, Amerika Serikat, pada tahun 1875 oleh seorang wanita bangsawan keturunan Rusia, Helena Petrovna Blavatsky atau biasa di sebut Madame Blavatsky. Selanjutnya perkumpulan ini membentuk Theosophical Society (TS) di seluruh dunia. Dalam perjalanannya, TS merupakan gerakan Hindu Baru (Neo-Hindu Movement) yang diinspirasikan dari Mistisme Esotoris Yahudi bernama Kabbala dan Gnosticism, suatu ilmu rahasia keselematan, serta bentuk-bentuk okultisme Barat. Karena kecenderungannya pada Mistis Timur, maka markas TS dipindah ke  desa Adyar, provinsi Madras, India. Tokoh lain yang menjadi penggerak TS adalah Annie Besant. Perkumpulan Theosofi di Hindia (Indonesia) bisa dilacak dengan berdirinya Loji (Lodge), tempat berkumpul dan beribadat kelompok Theosofi di Pekalongan pada tahun 1883. TS di Pekalongan dipimpin oleh bangsawan Eropa, Baron Van Tengnagel. Diantara tokoh yang paling menonjol dalam perkumpulan Theosofi adalah dr. Radjiman Wedyodiningrat, pemimpin sidang BPUPKI. (Lihat Iskandar P Nugraha, Gerakan Theosofi dan Nasionalisme Indonesia, Jakarta: Penerbit Komunitas Bambu, 2001).  Sejarawan terkemuka M.C Ricklefs dalam buku A History of Modern Indonesia menyimpulkan bahwa gerakan intelektual anti-Islam mempunyai kaitan dengan perkumpulan Theosofi atau disebut dengan Theosofische Vereeniging. Perkumpulan Theosofi kemudian banyak menuai kecaman umat Islam, karena dianggap menghina ajaran Islam. (Lihat Ridwan Saidi dan Rizky Ridyasmara Fakta dan Data Yahudi di Indonesia, Jakarta: Penerbit Khalifa, 2006).
[2] Lihat Abdullah Shodiq, Sekularisme Soekarno dan Mustafa Kemal, Pasuruan: PT. Garoeda Buana Indah, 1994, Cet. Kedua.
[3] Bernhard Dahm, Soekarno dan Perjuangan Kemerdekaan, Jakarta: LP3ES, 1987, hal 27-28.
[4] Seperti dikutip dari Bernhard Dahm, ibid, hal.32.
[5] Marxisme sebuah ideologi yang diambil dari nama penggagasnya, Karl Marx (1818-1883). Marx adalah pria kelahiran Jerman, keturunan Yahudi yang kemudian masuk Kristen dan menjadi Atheis. Marx menyelesaikan S-3 filsafat dalam usia yang sangat muda, 24 tahun. Marxisme, dengan teori pertentangan kelas yang menghasilkan survival of the fittest, dalam perjalanan sejarahnya sangat berdarah-darah. Marx bahkan pernah mengatakan, “agama adalah madat” dan “Tuhan adalah konsep yang menjijikan”. Ironisnya, Soekarno pernah mengatakan,”Saya adalah murid dari Historische School van Marx”
[6] Sneevliet dilahirkan di Rotterdam, 13 Mei 1883. Karir politiknya sebagai seorang Marxis dimulai saat ia bergabung dengan Sociaal Democratische Arbeid Partij atau Partai Buruh Sosial Demokrat di Nederland pada tahun 1909. Ia juga pernah menjadi pimpinan Partai Revolusioner Sosialis. Sneevleit datang ke Indonesia pada tahun 1913. Ia datang ke Surabaya dan bekerja sebagai staf redaksi warta perdagangan Soerabajasche Handelsblad milik sindikat perusahaan-perusahaan gula di Jawa Timur. Pada tahun 1914 Sneevleit mendirikan ISDV. Di kemudian hari, ISDV menjadi cikal bakal lahirnya Partai Komunis Indonesia (PKI), setelah sebelumnya memecah belah Syarikat Islam menjadi dua, yaitu Syarikat Islam Islam putih di bawah pimpinan HOS Tjokroaminoto, Abdul Moeis, serta H. Agus Salim, dan Syarikat Islam Merah di bawah kendali Semaun, Alimin, dan Darsono. Pada tanggal 23 Mei 1920, Semaun mengambil alih ISDV, kemudian mengubahnya menjadi Partai Komunis Indonesia.  Diantara orang-orang yang terlibat dalam ISDV adalah P. Bersgma, J.A Brandstedder, H.W Dekker dan Adolf Baars. ( Bahaya Laten Komunisme di Indonesia, Jakarta: Markas Besar Angkatan Bersenjata Republik Indonesia Pusat Sejarah dan Tradisi Abri, 1991).
[7] Ensyclopedia van Nederlandsch-Indie, III, hal. 763. Seperti dikutip dari Bernhard Dahm, ibid, hal. 114.
[8] Ibid, hal.115.
[9] Ibid, hal. 40.
[10] Lahirnya Pancasila, Kumpulan Pidato BPUPKI, Yogyakarta: Penerbit Media Pressindo, 2006.
[11] Seperti dikutip dari  Drs. Muhammad Thalib dan Irfan S Awwas (ed), Doktrin Zionisme dan Idiologi Pancasila Menguak Tabir Pemikiran Politik Founding Fathers RI, Yogyakarta: Wihdah Press,1999, hal.xxxii dan hal xxxv.
[12] Bernhard Dahm, Op cit, hal.xv.
[13] Ibid.
[14] Ibid, hal. xvi.
[15] Ibid, hal. xvii.
[16] Ibid, hal.216
[17] Seperti dikutip Bernhard Dahm, ibid, hal.243.
[18] Adhyaksa Dault, Islam dan Nasionalisme Reposisi Wacana Universal Dalam Konteks Nasional, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2005, hal 57. Seperti dikutip dari Dwi Purwoko, Akar Sejarah Konflik dan Konsensus, dalam Dwi Purwoko et al., Nasionalis Islam vs Nasionalis Sekular, Depok: PAK, 2001, hal. 11-12. Dari Pipitseputra, Beberapa Aspek dari Sejarah Indonesia: Aliran Nasionalis, Islam, Katolik sampai Akhir Zaman Perbedaan Paham, Flores: Nusa Indah, 1973. hal. 263.
[19] Tak ada keterangan yang jelas soal asal kata “Marhaen”. Ada yang menyebut Marhaen berasal dari nama seorang petani miskin yang dijumpai Soekarno sedang menggarap sawahnya sendiri, dengan alatnya sendiri. Ketika ditanya namanya oleh Soekarno, petani itu menjawab “Marhaen”. Kata inilah yang mengilhami gagasan Soekarno tentang Marhaenisme. (Lihat Dahm, hal. 176). Irfan S Awwas dan Muhammad Thalib dalam buku “Doktrin Zionisme dan Idiologi Pancasila”, menyebut Marhaenisme sebagai kependekan dari Marxisme, Hegel dan Nasionalisme. Marx dan Hegel adalah keturunan Yahudi. Hegel sendiri adalah tokoh zionis yang sangat berpengaruh.
[20] Panitia Peringatan 100 Tahun Bung Karno, Bung Karno dan Partai Politik, Jakarta: Grasindo, 2001, hal. 84.
[21] Ibid.
[22] Ibid.
[23] Ibid, hal. 96.
[24] Ibid, hal. 96-97.
[25] Ibid, hal. 174.
[26] Arnold C Brackman, Indonesian Communism: History, praeger, 1963. Seperti dikutip dari Taufik Ismail, Katastropi Mendunia Marxisma Leninisma Stalinisma Maoisma Narkoba, Jakarta: Penerbit Yayasan Titik Infinitum, 2004,hal. xxvi.
[27] Ibid.
[28] Ibid, hal. xii.
[29] Ibid, hal. xiii

Posting Komentar

0 Komentar