Perdebatan mengenai kapan masuknya Islam
ke Nusantara ialah perdebatan yang selalu menarik. Bermacam teori telah
disampaikan oleh para peneliti. Bantah membantah diiringi uraian fakta
dan telaah datang silih berganti. Tentu satu teori dengan teori lain ada
yang saling menguatkan dan ada pula yang saling bertentangan.
Namun halnya demikian, penelusuran yang
serius mengenai persoalan ini amatlah penting. Bukan hanya untuk
memastikan tahun atau tokoh pemula pembawa ajaran Nabi Muhammad ke
negeri ini, tetapi sebagai bangsa yang sadar akan sejarah, penting bagi
kita untuk menelaah hal ini. Sejarah adalah hal mendasar bagi kedirian
bangsa, maka menelusuri sejarah tentu baik bagi batin kita.
Haji
Abdul Malik Karim Amrullah, atau yang kita kenal dengan nama singkat
Hamka, telah pula memberikan sumbangan pemikirannya mengenai hal ini.
Buya telah memberikan jangka yang jauh bagi kehadiran Islam di negeri
kita. Bukan abad ke-11 atau ke-12 seperti mana umum diketahui, Buya
bahkan menyatakan kehadiran Islam di Nusantara pada abad-abad yang
sangat dekat dengan masa hidup Nabi: Buya mencanangkan abad ketujuh
sebagai permulaan datangnya orang-orang Islam ke Nusantara, khususnya
Jawa. Tentu saja ini pendapat yang berani. Dalam buku Dari Perbendaharaan Lama, beliau menuliskan gagasannya itu dengan tajuk “Pengembara Arab yang Pertama”.
Apa yang telah dinyatakan oleh Buya,
selain penting bagi penelitian sejarah, juga penting untuk membangun
kebatinan bangsa kita. Sebagai sebuah penelaahan sejarah, fakta, data,
dan cara-gaya yang ditampilkan Buya tentu masih bisa diperdebatkan.
Hanya saja, sebagai sebuah upaya membangun kesadaran sejarah umat Islam,
atas ikhtiar Buya Hamka ini kita patut mengucapkan syukur. Syukur yang
baik ialah dengan mempelajarinya dan kemudian mempertajam apa yang telah
dilakukan Buya Hamka dalam penelitian sejarah ini.
Sebab, mempelajari sejarah bukan hanya
bergaul-gumul dengan data-data dan uraian fakta serta macam-macam telaah
dengan berbagai cara gaya. Menelusuri sejarah juga membangun kesadaran
keumatan, wawasan kebangsaan, dan pada akhirnya pengenalan akan diri.
Mengenal sejarah tentu adalah jalan menuju pengenalan diri. Siapa kita,
dari mana kita ber-Islam, dan bagaimana kita hari ini merupakan hal yang
penting ditelaah.
Penelusuran sejarah penting bagi
pembangunan pribadi-pribadi Muslim sehingga kesadaran akan diri kita
menjadi terang dan jelas—bahwa Umat Islam telah lama menyejarah di bumi
pertiwi ini. Islam di Nusantara telah bergaul rupa dalam waktu yang
panjang. Cahaya Islam telah menerangi berbagai laku peristiwa
orang-orang kita dan, pada akhirnya, Islam telah menjadi darah daging
kehidupan bangsa kita. Sehingga bangsa kita ialah bangsa Islam, bukan
bangsa Hindu, Buddha, atau lainnya. Kita adalah Islam.
Berikut tulisan lengkap Hamka:
Pengembara Arab yang Pertama
Di dalam catatan sejarah Tiongkok
disebutkan bahwa pada pertengahan abad ketujuh, terdapat sebuah kerajaan
bernama Holing, dan sebuah negeri bernama Chô-p’o. Ketika itu yang
menjadi rajanya ialah seorang perempuan bernama Si-mo.
Penulis sejarah bangsa Tionghoa itu
menceritakan bagaimana aman dan makmurnya negeri Chô-p’o di bawah
perintah Ratu Perempuan itu. Tanahnya subur dan padinya menjadi.
Upacara-upacara kerajaan berjalan dengan lancar. Ratu dikawal atau
diiringkan oleh para dayang yang mengipasinya dengan kipas dari bulu
merak. Singgasana tempat baginda duduk semacam berbalutkan emas. Keris
dan pedang kerajaan pun bersalutkan emas dan bertakhtakan ratna mutu
manikam.
Agama yang dipeluk ialah agama Buddha.
Kerja sama antara I Tsing, seorang pengembara Tionghoa, dengan
Jnabadhra, yang dalam bahasa Tionghoa ditulis Joh-na-poh-t’o-lo,
disalinlah buku-buku agama Buddha ke dalam bahasa anak negeri.
Holing adalah negeri yang aman dan
makmur. Kabar tentang hal tersebut, kata pencatat sejarah, sampai juga
ke Ta-Cheh, sehingga tertariklah hati pengembara-pengembara bangsa
Ta-Cheh itu untuk mengunjungi Holing. Selain itu, para pengembara itu
juga hendak berhubungan dengan Ratu Simo, supaya perniagaan di antara
kedua negeri menjadi ramai. Pada kurun waktu antara tahun 674—675,
sampailah satu utusan bangsa Ta-Cheh ke Holing.
Utusan Ta-Cheh sangat kagum melihat
bagaimana amannya negeri Holing di bawah perintah Ratu Simo, sehingga
suatu ketika Raja Ta-Cheh mencoba mencecerkan emas di tengah jalan. Akan
tetapi, tidak ada satu orang pun yang sudi mengambilnya. Pundi-pundi
emas itu tercecer begitu saja di tengah jalan sampai tiga tahun. Suatu
ketika, lewatlah Putra Mahkota Kerajaan Holing di tempat itu. Saat ia
melihat pundi-pundi emas itu tercecer di tengah jalan, ia pun
menyepaknya, sehingga pecahlah pundi-pundi itu dan tersembullah emas
dari dalamnya.
Perbuatan putra mahkota itu rupanya
dipandang sebagai suatu kesalahan besar oleh Ratu Simo, ibunya. Ratu
amatlah murka setelah mengetahui kesalahan anaknya. Ratu menganggap
putra mahkota telah mempermalukan Kerajaan Holing di hadapan kerajaan
bangsa asing, yang datang karena hendak menyaksikan keamanan dan
kemakmuran negeri. Putra mahkota dipandang telah melanggar keluhuran
budi. Oleh sebab itu, ia pun dihukum; kaki yang menyepak pundi-pundi
wajib dipotong. Bagaimana pun, para menteri membujuk agar baginda ratu
mengurungkan niatnya melakukan hukuman, namun ratu tidak mau mundur.
Kaki putera mahkota pun dipotong.
Demikianlah cerita yang terekam dalam
catatan sejarah Tiongkok, yang menjadi bahan penyelidikan dari masa ke
masa oleh peminat sejarah, hingga sekarang. Hasil penyelidikan tersebut
ialah bahwa Chô-p’o itu adalah tanah “Djowo”, Pulau Jawa kita ini.
Kerajaan Holing ialah Kerajaan Kalinga
yang berdiri pada pertengahan abad ketujuh, yang menurut sebagian
peneliti terletak di Jawa Tengah, atau di Jawa timur, kata sebagian
peneliti lain. Selain itu, diketahui pula bahwa ada seorang ratu bernama
Sima atau Simo yang memimpin Kerajaan tersebut.
Raja Tacheh yang menjatuhkan pundi-pundi
emas di tengah jalan itu ialah seorang Raja Arab. Sebab, Tacheh itu
ialah nama yang diberikan orang Tiongkok pada bangsa Arab pada
zaman-zaman itu.
Peristiwa tersebut terjadi pada tahun
tahun 674 M atau tahun 51 H, yaitu 42 tahun setelah Nabi Muhammad SAW
wafat (w. 632 M/ 51 H). Ketika itu, khalifah yang memerintah ialah Yazid
bin Muawiyah, khalifah Bani Umayah yang kedua.
Penyelidik-penyelidik sejarah yang
mengorek sejarah tersebut dan mencari kecocokan di sana sini menyatakan
“tidak tahu” siapakah yang disebut raja Arab yang mencecerkan
pundi-pundi di tengah jalan dalam negeri Holing itu. Akan tetapi, bagi
kita yang menyelami sejarah dan ketentuan-ketentuan istiadat bangsa Arab
atau kaum Islam, tidaklah akan mengatakan tidak tahu siapa raja itu.
Nabi Muhammad SAW telah memberikan
peraturan bahwa apabila seseorang melakukan perjalanan jauh, hendaklah
mereka memilih seseorang di antara mereka, yang lebih tua usianya,
banyak pengalamannya, atau yang gagah berani walaupun usianya lebih
muda, yang lidahnya fasih berkata-kata, dan terutama dapat dijadikan
imam ketika salat. Itulah dia kepala rombongan yang disebut dalam bahasa
Arab sebagai “’amir” dalam perjalanan, merangkap juga menjadi “imam”
dalam salat. Amir dapat juga diartikan sebagai ”raja”.
Seorang pencatat sejarah Tiongkok yang
lain, yang mengembara pada tahun 674 M di pesisir barat Pulau Sumatra,
telah mendapati pula satu kelompok bangsa Arab yang membuat kampung di
tepi pantai.
Catatan inilah yang mengubah pandangan
orang tentang sejarah masuknya agama Islam ke tanah air kita. Kebanyakan
catatan tentang masuknya Islam ke tanah air kita menyebutkan bahwa
masuknya agama Islam dimulai pada abad-abad 11 M. Akan tetapi, sekarang
telah dinaikkan empat abad lagi, yaitu abad ke-7 M.
Umumnya, tidaklah dicatat di dalam
sejarah-sejarah Islam yang besar mengenai permulaan masuknya Islam ke
Nusantara. Sebab, pengembara Muslim yang datang ke Indonesia itu
bukanlah ekspedisi resmi dari khalifah di Damaskus atau di Baghdad.
Pengembaranya pun bukanlah orang yang membawa senjata, melainkan orang
yang berniaga dan berdagang. Mereka datang ke tanah air kita dengan
sukarela.
Saat itu, kerajaan Hindu atau Buddha
masih kuat dan teguh. Kerajaan Sriwijaya di Sumatra, Kerajaan Kalinga di
tanah Jawa, dan kerajaan Hindu masih dalam keadaan yang sangat kuat
kuasanya. Oleh karena itu, para pengembara yang pertama itu belumlah
dapat dengan leluasa menyampaikan dakwahnya kepada penduduk.
Pelajaran “ke bawah angin” ini masih
sukar dilakukan. Akan tetapi, orang Arab, atau orang Islam itu masih
tetap meramaikan pelajaran dan perniagaan melalui Selat Malaka sehingga
sampai ke Tiongkok. Di Kanton pernah berdiri sebuah markas perdagangan
orang Arab. Oleh sebab itu, tersebutlah nama pulau-pulau di negeri kita
ini di dalam catatan al-Idrisi dan al-Mas’udi, dan kemudian lebih jelas
lagi pada tulisan Ibnu Bathutah. Bahkan menjadi cerita khayal yang indah
dalam cerita “Sinbad Orang Laut” yang berlayar sampai ke Pulau Waq-Waq
(Fak-Fak), di daerah Irian Barat.
Tambahan lagi, saat itu kedudukan
pengembara-pengembara itu belum begitu populer di kalangan anak negeri.
Mereka dihormati, tetapi belum diikuti. Mereka dihormati karena
kebersihannya, yaitu mencuci muka sekurang-kurangnya lima kali sehari
dan mandi sekurang-kurangnya dua kali sehari. Namun demikian, mereka
belum diikuti, sebab raja masih dipandang Tuhan.
Menilik kepada sejarah itu, dapatlah
kita menentukan letak sejarah bahwa Islam masuk ke Indonesia sejak
berabad-abad yang pertama. Pencatat sejarah dunia Islam dari Princeton
University di Amerika sudah memegang teguh ketentuan ini dan mencatatkan
bahwa masuknya Islam kemari ialah di abad ketujuh.
Akan tetapi, seorang ulama tua yang
berminat besar kepada sejarah Islam di tanah air kita, Indonesia dan
Semenanjung Tanah Melayu, yaitu Mufti Kerajaan Johor Said Alwi bin Taher
al-Hadad, menganut pendapat bahwa sebelum zaman Khalifah Yazid bin
Muawiyah, sudah pernah datang pengembara Islam, yaitu di zaman Khalifah
Utsman bin Affan. Beliau menunjukkan nomor-nomor sumber buku bacaannya
dalam Museum Jakarta, sehingga Za’Ba, sarjana dan ahli bahasa Melayu
yang terkenal itu, pada tahun 1956, dengan sengaja datang ke Jawa dan
mencari buku tersebut di museum. Namun sayang, tidak beliau jumpai.
Dalam buku-buku sejarah berbahasa Arab
sendiri belum juga ditemukan isyarat ke arah sana. Hanya tertulis
tentang masuknya ekspedisi Amru bin Ash ke Mesir, Ukbah bin Nafi’ ke
Afrika, Thariq bin Ziyad ke Andalusia (Spanyol), Mohammad bin Kasim ke
Sind (India), sebab mereka adalah utusan resmi khalifah. Catatan itu ada
pada pencatat orang Tionghoa.
Kalau demikian, mungkinlah telah ada sahabat-sahabat nabi, walaupun bukan dari golongan Kubbarish-shahabah (pernah bertemu Rasul) yang telah menginjak bumi tanah air kita, dan lebih mungkin ada tabi’in,
yaitu generasi umat Islam yang berjumpa dengan sahabat nabi. Akan
tetapi, rupanya tidak ada di antara mereka yang meninggal dunia di
negeri kita; mereka hanya singgah dan kembali lagi. Kalau saja ada, baik
di Barus atau Pariaman (Sumatra), di Kudus, Jepara, atau yang lain,
niscaya akan menjadi pusat ziarah yang ramai.
Tahun (abad XIII), perebutan pengaruh terakhir
Barulah di akhir abad ketiga belas,
terjadi perebutan pengaruh yang menentukan antara anutan yang lama
dengan yang baru. Tahun 1292 adalah tahun mangkatnya Kartanagara, Prabu
Majapahit yang pertama, baginda yang berusaha menggabungkan agama Shiwa
dengan agama Buddha menjadi agama kerajaan.
Prabu Wangi, Prabu Niskalawastu, Prabu
Dawaniskala memerintah bergantian pada Kerajaan Galuh (Jawa Barat) dalam
keaadaan tidak tenteram lagi.
Akan tetapi, pada 1292 itu pulalah
kepala kampung di negeri Samudra Pasai (Aceh), yang bernama Marah Silu,
memaklumkan dirinya menjadi sultan yang pertama dari kerajaan Islam yang
pertama di bumi kita.
Pada abad kelima belas, saat sejarah
kerajaan bercorak Hindu kian muram, dan Islam kian naik, berhaklah “abad
ketiga belas” dihitung sebagai permulaan bersyiarnya Islam, sebagai
suatu paham yang akan menentukan nasib Indonesia di belakang harinya.
Sumber: http://www.komunitasnuun.org/2014/05/menelusuri-masuknya-islam-di-indonesia-dari-jejak-pengembara/
0 Komentar