Header Ads Widget

Responsive Advertisement

Ticker

6/recent/ticker-posts

‘Transmigrasi Ilmu’: Dari Dunia Islam ke Eropa (2)

Kitab al-Qanun fi at-Thibb karya Ibn Sina
 
Oleh: Dr Syamsuddin Arif
SECARA kronologis tampak bahwa proses penerjemahan dari Arab ke Latin itu terjadi secara bertahap dalam kurun waktu 400 ratus tahun lamanya. Pada mulanya (yakni sekitar tahun 1150 Masehi), buku-buku yang diterjemahkan masih seputar filsafat, kosmologi dan psikologi karya al-Kindi, al-Farabi, Ikhwan as-Shafa’ dan terutama Ibn Sina. Pada babak berikutnya (sekitar 1250 Masehi) keinginan untuk memahami pemikiran Aristoteles telah mendorong penerjemahan karya-karya Ibnu Rusyd baik berupa ringkasan maupun komentar panjang dan menengahnya.  Cendekiawan Yahudi turut berperan dalam gerakan ini, dimana mereka berinisiatif menulis komentar tersendiri.

Maka pada tahap sesudahnya (sekitar 1450 Masehi), tatkala kaum intelektual Eropa sedang gandrung-gandrungnya kepada teks klasik, orang-orang Yahudi menjadi sumber rujukan dan banyak menolong mereka menerjemahkan ulang kitab-kitab Ibn Sina, al-Ghazali dan Ibn Rusyd. Kemudian pada awal abad keenam belas (sekitar 1520 Masehi), karya-karya lainnya pula diterjemahkan ke dalam bahasa Latin seperti ar-Risalah as-Syamsiyyah karya al-Qazwini dan kitab Ta‘lim al-Muta‘allim karya az-Zarnuji. Di abad-abad berikutnya hingga zaman sekarang pun penerjemahan masih terus dilakukan, bukan ke dalam bahasa Latin tentunya, melainkan ke dalam bahasa-bahasa Eropa yang lain sebagaimana kita semua maklum.

i. Periode Awal
Adalah Constantinus Aphricanus yang tercatat sebagai pelopor. Selain menguasai beberapa bahasa, Constantinus berjasa memboyong puluhan buku-buku ilmiah dari wilayah Islam ke Eropa untuk kemudian diterjemahkannya sendiri ke dalam bahasa Latin. Robert Guiscard, yang pada tahun 1075 menjadi penguasa di Salerno, mengangkat Constantinus sebagai juru tulisnya. Namun tak lama, karena kedengkian sebagian orang di sana Constantinus akhirnya memutuskan untuk pergi ke Monte Cassino dan mengasingkan diri sebagai biarawan Ordo Benedictine sampai wafatnya pada tahun 1085. Buku-buku yang ia alih-bahasakan termasuk: Liber regius (=Liber completus artis medicae qui dicitur regalis dispositio dalam versi Stephanus) karya ‘Ali ibn ‘Abbas (w. 994 M), yang aslinya berjudul Kamil as-Shina‘ah at-Thibbiyyah dan naskahnya masih tersimpan di Basel (edisi 1539); Himpunan kata-kata Hippocrates berikut penjelasan Galen yang diberi judul Hippocratis Aphorismorum liber cum Galeni commentario; dan kitab kedokteran Abu Bakr ar-Razi yang diterjemahkan menjadi Abubecri filii Zachariae Rhasis Divisionum liber (tersimpan di Oxford Coxe Pars II. Colleg. St. Joh. Bapt. No. 85).

Demikian pula Gerard dari Cremona, yang dijuluki ‘Tuan Guru’ (doctus magister) di Toledo, telah menerjemahkan dari bahasa Arab ke Latin tak kurang dari tujuh-puluh buku. Termasuk diantaranya buku Analytica Posteriora, Physica, Meteorologia dan De Generatione et Corruptione karya Aristoteles, empat risalah karya al-Kindi, satu risalah Ikhwan as-Shafa’ dan kitab Ihsha’ al-‘Ulum karya al-Farabi.

Pada saat yang sama kitab as-Syifa’ karya Ibn Sina juga diterjemahkan oleh tim pakar terdiri dari Abraham ibn Dawud alias Avendauth, Dominicus Gundissalinus (1161-1181) dan Johanes Hispanus.  Mereka juga melatinkan kitab Maqasid al-Falasifah dan kitab Tahafut al-Falasifah karya Imam al-Ghazali; kitab al-Kalam fi Mahdh al-Khayr yang merupakan petikan 20 proposisi teologi Proclus dalam versi Arab, dilatinkan menjadi Liber de causis. Sebagian dari karya-karya ini lalu dijadikan bahan perkuliahan di universitas Oxford pada abad ke-12, yang salah seorang pentolannya Alfred dari Shareshill kemudian menerjemahkan karya Nicholas dari Damascus mengenai tanaman (De plantis) serta bagian mineralogi dan geologi dari kitab as-Syifa’ karya Ibn Sina.

ii. Periode kedua
Penerjemahan kitab as-Syifa’ yang terdiri dari ribuan halaman karya Ibn Sina itu berlanjut di abad ke-13. Kitab al-Hayawan (zoologi) karya Aristoteles dilatinkan oleh Michael Scot (w. sekitar tahun 1236), sementara kitab ilmu-ilmu alamnya (yang belum semuanya digarap oleh penerjemah sebelumnya)  yang dialih-bahasakan ke Latin adalah kitab fi as-Sama’ (De caelo), al-Kawn wal Fasad (De generatione et corruptione), al-Af‘al wal Infi‘alat (De actionibus et passionibus), dan al-Ajram wal Atsar al-‘Ulwiyyah (Meteorologia) oleh Juan Gonsalvez atas permintaan Gonsalvez García de Gudiel, Uskup Burgos (1275-1280) berdasarkan manuskrip tunggal yang tersimpan di gereja Toledo.

Namun, hasil terjemahan itu jarang dibaca. Barangkali karena karya-karya tersebut sukar dipahami apa adanya. Itu sebabnya mengapa orang Eropa itu lantas menerjemahkan buku-buku Ibn Rusyd yang dalam pelbagai ukuran memberikan penjelasan, ulasan ataupun ringkasan terhadap semua karya Aristoteles.

Michael Scot, yang pergi meninggalkan Toledo ke Sicily, Itali untuk mengabdi kepada raja Frederick II, melatinkan sejumlah komentar panjang-lebar Ibn Rusyd atas karya Aristoteles mengenai kosmologi, psikologi, fisika, dan metafisika. Sementara itu pakar lainnya yang juga bekerja di istana itu, yakni Theodore dari Antioch, menerjemahkan bagian pendahuluan (Proemium) yang ditulis Ibn Rusyd untuk buku fisika Aristoteles, manakala William Luna mengalih-bahasakan komentar menengah Ibn Rusyd atas buku Categoria dan Peri Hermeneias karya Aristoteles serta buku Isagoge karya Porphyrius. Komentar Ibn Rusyd lainnya atas buku Rhetorika, Poetica dan Ethica Aristoteles digarap terjemahannya oleh Hermannus Alemannus sekitar tahun 1256. Karya-karya Ibn Rusyd ini tersebar luas di kalangan akademisi dan intelektual di pusat-pusat pembelajaran tingkat tinggi di Eropa. Begitu kuat dirasakan pengaruhnya sehingga rektor universitas Paris waktu itu, Étienne Tempier, yang juga merangkap ketua gereja lantas menerbitkan ‘fatwa sesat’ (condemnation) pada tahun 1277.

iii. Periode Ketiga
Pada masa ini yang banyak berperan sebagai penerjemah adalah para cendekiawan Yahudi. Mungkin karena kaum terpelajar Kristen ketika itu untuk sementara waktu ‘tiarap’ akibat ‘fatwa sesat’ yang dilontarkan oleh Etienne Tempier. Namun begitu, aktivitas penerjemahan berjalan terus. Hal ini diperlihatkan misalnya oleh Calonymus ben Calonymus ben Meir, intelektual Yahudi yang menerjemahkan kitab Tahafut at-Tahafut karya Ibn Rusyd untuk memenuhi permintaan Robert Anjou, raja Napoli. Tetapi yang lebih menarik lagi, mulai akhir abad ke-13 dan setelahnya, kebanyakan terjemahan ke bahasa Latin dibuat melalui bahasa Ibrani dulu, dan bukan langsung dari versi Arabnya. Sekurang-kurangnya terdapat 38 karya Ibn Rusyd yang tersimpan –yakni diterjemahkan ke dalam bahasa Ibrani ataupun disalin menggunakan aksara Ibrani (bukan Arab atau Romawi). Tersebutlah Jacob Anatoli dan, pada kurun selanjutnya, Moses ibn Tibbon, Levi ben Gerson (alias Gersonides), Shem Tov ibn Falaquera dan Moses Narbonsis yang masing-masing punya andil menyediakan versi Latin dari karya-karya Ibn Rusyd.

Mereka semua inilah yang memuluskan jalan bagi para cendekiawan Renaissance yang haus ilmu semacam Pico della Mirandola, Kardinal Domenico Grimani dan Paus Leo X. Tokoh-tokoh ini mensponsori penerjemahan karya-karya Ibn Rusyd oleh: (1) Elias del Medigo (komentar menengah atas Meteorologi I-II, masalah-masalah berkenaan Analytica Priora, pengantar buku Lambda dari Metafisika, komentar menengah atas Metafisika I-VII and komentar menengah atas Republica Plato); (2) Paulus Israelita (komentar menengah atas de Caelo); (3) Abram de Balmes (ringkasan dari Organon, komentar menengah atas Topica, Sophistica, Rhetorica dan Poetica, komentar panjang atas Analytica Posteriora, dan satu risalah Ibn Bajjah; (4) Johannes Burana (ringkasan dan komentar menengah atas Analytica Priora dan Analytica Posteriora; (5) Vitalis Nissus (ringkasan De generatione et corruptione); dan (6) terutama Jacob Mantinus (w. 1549).

Jacobus Mantinus yang berasal dari Tortosa ini diberi tugas oleh Girolamo Bagolino, Romolo Fabi dan Marco degli Oddi, tiga orang penggarap proyek ambisius penyuntingan seluruh karya Aristoteles lengkap dengan komentar Ibn Rusyd (dan akhirnya berhasil juga diterbitkan oleh Tommaso Giunta di Venizia pada tahun 1550-1552), untuk merevisi semua terjemahan karya Ibn Rusyd. Namun sayangnya, tatkala ia selesai melatinkan ulang sepuluh karya besar Ibn Rusyd, termasuk komentar atas ‘Republica’ Plato, Jacobus meninggal dalam perjalanan ke Damaskus pada 1549. Itulah sebabnya dalam edisi tersebut dicetak kedua versi lama dan baru sebagaimana bisa kita lihat sampai sekarang.

iv. Periode Keempat
Memasuki abad ke-16 orang-orang Eropa tak surut minatnya untuk mempelajari khazanah keilmuan Islam. Sebuah buku tata-bahasa Arab beserta kamusnya karya Pedro Alcalà terbit pada tahun 1505 di Spanyol. Seorang ilmuwan Muslim yang diculik dan diberi nama baru ‘Leo Africanus’ oleh Paus Leo X, (disuruh) menghimpun data bibliografi karya ilmiah yang ditulis orang Islam semenjak tahun1518. Pemburuan dan pengumpulan manuskrip semakin gencar dilakukan. Naskah Arab dari Ennead IV-VI yang bertajuk Uthulujiya Aristhathalis dari  Damaskus berikut versi Latinnya oleh Moses Arovas dan Pier Nicolas Castellani diterbitkan di Roma pada tahun 1519. Masih di Damaskus, Andrea Alpago merevisi terjemahan kitab al-Qanun fi at-Thibb karya Ibn Sina dan menerbitkan dua risalah psikologi Ibn Sina yang lain. Kemudian pada tahun 1584 di Roma, Giovan Battista Raimondi berkat dukungan para Medici telah mendirikan percetakan Arab. Kajian Islam semakin marak dengan diangkatnya Guillaume Postel sebagai guru besar bahasa Arab di Paris pada 1535, Thomas Erpenius di Leiden pada tahun 1613. Adapun di Oxford, Edward Pococke menerbitkan karyanya yang berjudul Specimen historiae Arabum dan menerjemahkan novel filsafat Ibn Tufayl (w. 1185), Hayy ibn Yaqzan, yang konon menjadi sumber inspirasi bagi penulis Robinson Crusoe.

Penutup
Tak bisa kita pungkiri fakta terjadinya pertukaran, peminjaman dan saling mempengaruhi ketika dua bangsa, masyarakat atau peradaban berhubungan satu sama lain. Tidak ada peradaban yang berdiri sendiri ataupun menjiplak seratus persen peradaban lain. Sejatinya setiap peradaban memiliki ciri-ciri khas, elemen-elemen unik yang mungkin tidak terdapat ataupun tidak berkembang dalam peradaban lain. Tetapi bisa dipastikan juga terdapat unsur-unsur yang dipetik, diambil atau ditiru dari peradaban lain yang telah ada sebelumnya dan diseki-tarnya. Inilah yang dinamakan dengan teori ‘interdependence’ (bukan ‘total dependence’ dan bukan pula ‘absolute independence’. Sebagaimana orang-orang Yunani kuno berhutang- budi kepada orang Mesir dan Babylonia, begitu juga orang-orang Barat (Eropa) berhutang budi kepada orang Islam. *
Penulis adalah Associate Professor  CASIS-UTM Malaysia

Posting Komentar

0 Komentar