Header Ads Widget

Responsive Advertisement

Ticker

6/recent/ticker-posts

Mengulang Sejarah, Ulama Indonesia Mengajar Agama di Mesir-2

Dalam geliat demikianlah signifikansi keilmuan Islam asal Nusantara masuk. Aunul mengungkapkan, mulai ada beberapa kitab kuning karya ulama-ulama Nusantara di beberapa halagah pengajian kitab kuning (talaqqy) di Universitas al-Azhar. Di antaranya adalah kitab Al-Maraqy al-Ubudiyah karya Imam Nawawy al-Bantany. 
“Kitab ini merupakan anotasi terhadap kitab Bidayah al-Hidayah karya Imam Ghazali. Kitab ini diajarkan langsung oleh Prof Dr Hassan Syafii, yang merupakan ketua Lembaga Bahasa Arab Internasional sekaligus selaku penasihat Grand Syekh  al-Azhar,” jelas dia.
Beberapa senior mahasiswa Indonesia di Mesir juga turut aktif mengajar di kalangan mahasiswa serumpun. Di antara perintisnya adalah Syekh  Nuruddin Marbo al-Banjari al-Makky. Figur ini aktif mengajar kitab-kitab fikih. Kemudian, Syekh  Rohimuddin Nawawi, yang banyak mengajarkan kitab-kitab tasawwuf. Selain itu, ada Al-Musnid Syekh  Husni Ginting al-Mandily al-Hushofy, sebagai periwayat kitab-kitab hadits.
Al-Faqier (saya, Dr Aunul Abid –Red) sendiri mendapatkan amanat sebagai khadimnya para santri Tarekat Naqsyabandiyah dari kawasan Asia Tenggara. Al-Faqier sekarang mengampu pengajian Ilmu Kalam, Tasawwuf dan Filsafat Islam di Madrasah Imam Muhammad Amien al-Kurdy for Religious Transmitted and Rational Sciences,” tutur dia.
Sejak 2007, Aunul dipercaya sebagai khuwaydim para salik Tarekat Naqsyabandiyah. Selain itu, ia mengajarkan beberapa materi keilmuan Islam di Masjid Imam al-Kurdy.
Dalam pengajian yang diampunya, Aunul menggunakan metodologi pemaknaan Jawi Klasik yang diwariskan dari para ulama Islam Nusantara, misalnya Syekh  Nawawy al-Bantani, Syekh  Mahfudz At-Tirmasi, atau Syekh  Kholil al-Bankalany.
Khazanah intelektual ulama-ulama Nusantara dari abad terdahulu memang kaya dan masih kontekstual untuk terus dikaji. Aunul melihat, salah satu ciri khas pemikiran ulama-ulama Nusantara adalah kemampuannya beradaptasi dengan lingkungan yang heterogen.
“Dengan bertujuan untuk mempersiapkan para mahasiswa Indonesia agar bisa lentur ke dalam masyarakat setempat, di saat kembali (ke Tanah Air) nanti. Sementara itu, pengajian yang diikuti para mahasiswa non-ASEAN, misalnya Mesir sendiri dan negara-negara asing lainnya, itu tetap menggunakan bahasa Arab secara murni,” kata Aunul.
Sebagaimana umumnya, Aunul mengagumi geliat intelektual Muslim asal Nusantara di abad-abad terdahulu, ketika Dunia Islam bersinggungan dengan aras kolonialisme. Karena itu, ia menegaskan, tradisi agung para ulama leluhur hendaknya menjadi pemacu semangat kalangan terpelajar kini.
Ulama-ulama Nusantara setidaknya sejak abad ke-17 tidak hanya berperan sebagai perantara transmisi intelektual dari metropolis ke periferi Dunia Islam, melainkan juga turut memperkaya khazanah keilmuan.
Salah satu sebabnya, lanjut Aunul, para ulama Nusantara klasik begitu menguasai bahasa Arab dan bahasa-bahasa lainnya yang digunakan luas di metropolis Dunia Islam. Misalnya, bahasa Persia, yang dikuasai secara amat baik oleh, antara lain, Syekh Abdur Rauf As-Singkili dan Syekh  Nuruddin Raniri. 
Demikian pula, ketokohan Syekh Yusuf al-Makassari, ulama sekaligus pejuang anti-kolonialisme. Tak ketinggalan pula, nama Syekh  Muhammad Yasin al-Fadani. Bagi Aunul, figur asal Padang, Sumatra Barat, itu merupakan sang Musnid Dunia yang menjadi rujukan sekaligus penyambung utama periwayatan hadits serta literatur klasik di abad ke-20.
“Para pelajar dan mahasiswa Indonesia di Al-Azhar masa kini juga banyak yang menguasai bahasa Barat dan “idiom-idiom kemodernan”— meminjam istilah dari Cak Nur. Mereka diharapkan memiliki kiprah yang mendunia di masa depan dengan mengusung Islam yang moderat, materi yang mendalam, dan metodologi keilmuan yang mampu membumikan ajaran-ajaran normatif dalam realitas yang hidup. Insya Allah.”
Diwawancarai terpisah, alumnus Universitas al-Azhar Kairo, Ikhwani mengungkapkan, dirinya pernah mengampu pengajian di Masjid al-Azhar. Sampai saat ini, hal itu telah dilakukannya dua kali pada 2015 lalu.
“Pengajiannya saat itu terbuka untuk umum. Tetapi setelah itu off. Untuk saat ini, sudah tidak ada lagi dari kita (orang Indonesia) yang mengajar di Masjid al-Azhar. Kalau di masjid yang lain, baru ada yang mau memulainya,” kata Ikhwani saat dihubungi Republika, Selasa (31/1).
Pada 2015 lalu, lanjut Ikhwani, ia mengajarkan kitab al-Arba'in an-Nawawiyah karya Imam Nawawi kepada sejumlah peserta asal Indonesia dan Malaysia. Alasannya dipilihnya teks tersebut, menurut Ikhwani, setidaknya pada dua hal.
Pertama, adanya permintaan dari pihak Masjid al-Azhar sendiri. Kedua, kitab al-Arba’in memang dikenal luas memuat pembahasan yang sangat penting, khususnya terkait hadis-hadis yang dirangkum di dalamnya.
Kitab ini mengurai ihwal baik akidah, permasalahan-permasalahan furu' maupun adab. “Dan lagi kitab tersebut diterima atau dinilai penting bagi semua kalangan,” jelas Ikhwani. (Habis)
Sumber: http://khazanah.republika.co.id/berita/dunia-islam/islam-digest/17/02/06/okvzbu320-mengulang-sejarah-ulama-indonesia-mengajar-agama-di-mesir-part1

Posting Komentar

0 Komentar