Seperti bunglon, PKI bisa berubah warna di tempat mana
berpijak. Lentur menyesuaikan diri dalam beragam situasi dan lingkungan
Oleh: MD Aminudin
Hidayatullah.com | RUU HIP seperti menguak luka lama bangsa
Indonesia terhadap makar Partai Komunisme Indonesia (PKI) menyembelih
Pancasila. PKI memang berbahaya bukan semata anut ideologi anti tuhan-anti
agama, tetapi ideologi bunglonisme (munafik, oportunis, hipokrit).
Seperti bunglon, ia bisa berubah warna di tempat mana
berpijak. Lentur menyesuaikan diri dalam beragam situasi dan lingkungan. Ia
bisa bermanis-manis dengan kelompok nasionalis, sosialis, bahkan agama. Ia bisa
bertahan puluhan tahun di bawah tanah untuk kemudian menemukan momen yang tepat
buat come back, dengan cara paling halus, samar, nyaris tak terbaca mata awam.
Inilah premis yang mendasari penulisan novel Tembang Ilalang.
Sejarah PKI tidak bisa dipisahkan dari Indische Sociaal
Democratische Vereeniging (ISDV), didirikan pada 1914 oleh Henk Sneevliet,
orang Belanda penganut komunis. Henk Sneevliet adalah orang Belanda yang waktu
itu menjajah Indonesia. Sebagai penjajah, Belanda punya kepentingan untuk
memecah konsentrasi gerakan nasional yang menggeliat sejak awal abad 19 (Budi
Utomo, Muhammadiyah, Syarekat Islam etc.) Yang dianggap paling membahayakan
buat Belanda terutama gerakan-gerakan Islam.
Snevlet tahu ISDV tak akan berkembang cepat kalau tidak
menalu (menumpang) ke organ lain. Maka Sarekat Islam (S(I) jadi sasaran untuk
diinfiltrasi. Snevlet menggunakan istilah “blok dalam” untuk taktik ini.
Pertanyaannya mengapa SI, mengapa bukan Budi Oetomo, bukan Trikoro Darmo?
Pertama, SI punya massa besar mengakar hingga rakyat bawah,
anggotanya menyebar di antero negeri. Kedua, SI lumayan terbuka-demokratis
dibanding, misal Muhammadiyah waktu itu. Kalau SI bisa diobok-obok maka lebih
mudah untuk pecah belah pergerakan Indonesia.
Banyak anggota SI yang kemudian kepincut ide-ide
revolusioner gadungan ala Snevlet, antara lain: Semaoen, Alimin, Darsono. Di
bawah bimbingan Snevlet, ketiganya terus memasukan ide-ide komunisme di
kalangan anggota SI Semarang. Usaha itu berhasil, SI pecah jadi 2 blok: Sarekat
Islam Putih (SI Putih) pimpinan Hos Cokroaminoto & Abdoel Moeis (kelak juga
dikenal sebagai sastrawan) berpusat di Yogya, dan SI Merah pimpinan Semaoen
berpusat di Semarang.
Namun dengan licik mereka tidak proklamirkan diri sebagai
organisasi komunis, tapi tetap pakai nama SI. Sabab jika terburu-buru
memproklamirkan komunisme pasti ditolak oleh rakyat. Hasilnya, SI Semarang yang
pada 1916 beranggota 1.700, pada 1917 meningkat pesat jadi 20 ribu.
Dalam perkembaganya, pimpinan dan anggota SI ideologis
menolak ide-ide komunisme yang diusung Semaoen dkk. Mereka tahu Semaoen
hanyalah kepanjangan tangan Snevlet. Keputusan Kongres SI di Madiun pada 17-20
Februari 1923 resmi mendepak Semaoen dkk sebagai bagian dari usaha SI untuk
memutus pengaruh komunis di dalam tubuh organisasi.
Semaoen melawan
Selang sebulan kemudian, kelompok Semaoen menggelar kongres
tandingan pada Maret 1923 di Bandung.
Keputusannya; semua cabang SI di Indonesia yang mendukung
Semaoen berganti nama menjadi Sarekat Rakyat. Inilah cikal bakal Partai Komunis
Indonesia (PKI) yang didirikan kelak pada th 1924 dengan Semaoen sebagai ketua
pertamanya.
Setelah menimbang bahwa akar-akarnya sudah lumayan kuat,
pada 1926, PKI memutuskan untuk memberontak. Pemberontakan itu justru banyak
disokong oleh orang-orang Islam yang tertipu oleh janji-janji manis PKI.
Niat pemberontakan itu sebelumnya ditolak oleh pimpinan PKI
sendiri, Tan Malaka. Ia menolak dangan alasan; akar PKI belum kuat. Kalau
sampai pemberontakan gagal, ini bisa berimbas kepada gerakan Indonesia lainnya.
Ini pula yang menjadi babak awal permusuhan Semaoen, Muso
dkk vs Tan Malaka. Muso sangat benci setengah mati dengan Tan Malaka. Kelak
Muso juga mengeluarkan maklumat untuk membunuh Tan Malaka karena dianggap trotskys
atau penghianat, istilah untuk pengikut Leon Trotsky, salah satu tokoh
revolusioner Rusia.
Analisis Tan Malaka tak meleset. Belanda berhasil menumpas
pemberontakan yang seumur jagung itu. Pemberontakan di Banten pada 1926 dan
Sumatera Barat pada 1927 gagal total. 1.300 anggota PKI Banten ditangkap,
dibuang ke Digoel, Papua.
Para tokoh pendiri bangsa yang dibuang termasuk para ulama
Banten, seperti Tubagus KH Achmad Chatib, Tubagus H Abdulhamid, KH Mohammad
Gozali, Tubagus KH Abdul Hadi, Puradisastra, Alirachman (Aliarcham), dan
Tubagus Hilman. Semaoen, Alimin, Musso sendiri malah lari ke luar negeri,
mengemis suaka ke komunis internasional.
Pemberontakan itu juga berdampak luas pada pegerakan
organisasi lainnya. Belanda melakukan pembatasan rapat-rapat,
pertemuan-pertemuan, menangkapi tokoh-tokoh pergerakan. Sekali lagi
kekhawatiran Tan Malaka terbukti.
PKI tiarap sementara, tapi tidak mati
Pada 1935 Musso kembali dari pengasingan di Moskwa, Uni
Soviet, untuk menata kembali PKI dalam gerakannya di bawah tanah. Namun Musso
hanya tinggal sebentar di Indonesia, lalu balik kucing lagi ke Soviet.
Hingga thn 1940, datang seorang belanda ke kamp Digoel di
Papua. Namanya Charles Olke van der Plas. Waktu itu menjabat sebagai Gubernur
Jatim hingga kelak kedatangan Jepang pada 1942.
Charles merayu para Digoelis untuk membentuk font anti fasis
berbasis di Australia. Singkat cerita pimpinan PKI Digoel menerima tawaran itu.
Hal ini seperti dicatat Harry Albert Poeze dalam bukunya 𝑃𝐾𝐼
𝑆𝑖𝑏𝑎𝑟:
𝑃𝑒𝑟𝑠𝑒𝑘𝑢𝑡𝑢𝑎𝑛
𝐴𝑛𝑒ℎ
𝐴𝑛𝑡𝑎𝑟𝑎
𝑃𝑒𝑚𝑒𝑟𝑖𝑛𝑡𝑎ℎ
𝐵𝑒𝑙𝑎𝑛𝑑𝑎
𝑑𝑎𝑛
𝑂𝑟𝑎𝑛𝑔
𝐾𝑜𝑚𝑢𝑛𝑖𝑠
𝑑𝑖
𝐴𝑢𝑠𝑡𝑟𝑎𝑙𝑖𝑎
1943-1945 (2014), van der Plas berhasil membawa 524 penghuni Digoel ke
Australia. Pada 6 Agustus 1944 terbentuklah Serikat Indonesia Baroe (SIBAR).
Selain kelompok yang dibentuk Musso dan eks Digoelis, Van
der Plas juga mendekati Amir Syarifuddin, seorang ambtenar (priyayi atau pegawa
pemerintah) di Departemen Ekonomi Batavia, penganut komunisme.
Pada 1940, Amir ditangkap. Ia disuruh memilih dibuang ke
Digoel atau bekerja sama dengan pemerintah Hindia Belanda. Namun Amir memilih
pilihan kedua. Van der Plas kemudian memberinya 25.000 gulden sebagai modal
menyusun gerakan bawah tanah.
Sampai di sini bisa kita simpulkan PKI mau berkongsi dengan
bangsa yang menjajah Indonesia?
Tidak pernah sebelum-sebelumnya ini terjadi. Bandingkan
dengan perjuangan para pahlawan Islam sebelumnya. Bahkan sampai tua dan
sakit-sakitan Cut Nya Dien tetap melawan Belanda. Demikian juga dengan Pangeran
Diponegoro, Imam Bonjol dll. Ini yang saya sebut bukan ‘idiologi bunglon’, asal
ada untungnya rangkulan musuhpun diterima dengan hangat.
Dengan uang modal dari Belanda itu, PKI Amir Syarifuddin
mulai membangun kekuatan bawah tanah, ‘bersetubuh’ dengan organ perjuangan
Indonesia, membentuk organisasi Gerakan anti-Fasis (Geraf). Saat Amir ditangkap
Jepang pada 1943, estafet Geraf dilanjutkan oleh Widarta, sang sekretaris,
merupakan generasi ketika yang memimpin PKI.
Pada masa inilah ia berkolaborasi dengan DN Aidit, pemuda
yang baru berumur 20 tahun, seorang Marxis anggota Komunis Internasinal
(Komintren). Mereka masuk ke kelompok-kelompok pemuda, merekrut kader untuk
dibina menjadi komunis. Pada era inilah nama DN Aidit dan MH Lukman mulai
moncer. Dua orang ini yang kelak pimpin PKI hingga jadi partai terbesar ke 4
pada Pemilu 1955.
Proklamasi hingga Madiun Affair
Ada fase yang mungkin terlewat dalam tulisan sebelumnya,
yaitu tentang keberadaan Partai Gerakan Rakyat Indonesia (Gerindo). Didirikan
pada 1937 oleh Sartono, Sanusi Pane dan M Yamin sebagai ekses
pembatasan-pembatasan pergerakan yang dilakukan Belanda.
Gerindo adalah kelanjutan Partindo yang dibubarkan Belanda
pada 18 November 1936. Organisasi politik Gerindo bercorak sosialis. Berbeda
dari Partindo yang non-kooperatif, Gerindo menempuh jalan yang lebih luwes; mau
bekerja sama dengan kolonlialis Belanda. Sikap ini sesuai dengan anjuran Georgi
Dimitrov, Sekjen Komunis Internasional (Komintern) ketika itu, yang
menganjurkan supaya seluruh gerakan komunis di negara manapun menggalang kerja
sama dengan kaum imperialis untuk menghadapi bahaya fasisme Jepang dan Jerman.
Karena kesamaan ideologi, banyak kader komunis masuk menjadi
anggota, antara lain: Mr. Amir Sjarifuddin pengurus Gerindo dan Wikana pimpinan
Pemuda Gerindo. Aktivitis lain yang juga digodok dalam Gerindo adalah D.N.
Aidit, Anwar Kadir, Nungtjik AR., Ir. Sakirman, Sidik Kertapati, Sudisman,
Sudjoyono, Tjugito, dan Mr. Joesoeph.
Secara khusus perlu dijelaskan siapa Amir Syarifuddin, sosok
yang kelak jadi aktor penting pra dan pasca-kemerdekaan hingga Pemberontakan
PKI Madiun 1948?
Dari namanya kita sudah bisa menebak bahwa dia Muslim.
Betul, Syarifuffin lahir dari keluarga Muslim sebelum kelak akhirnya memeluk
Kristen.
Amir Syarifuddin lahir di Medan, Sumut 27 April 1907,
berasal dari keluarga aristokrat yang memungkinkannya masuk ke sekolah-sekolah
paling elit. Dia termasuk tokoh dalam Kongres Pemuda II 28 Oktober 1928 yang
mencetuskan Sumpah Pemuda. Perkenalan Amir dengan Marxisme-Leninisme bermula
ketika studi di negeri Belanda antara tahun 1921 sampai 1927. Amir menjadi
anggota Perhimpunan Indonesia (PI). Di organisasi inilah Amir bertemu dan
mendapatkan gemblengan dari Semaoen, salah seorang pimpinan PKI yang dibuang ke
negeri Belanda pasca pemberontakan 1926.
Pada mulanya PI adalah organisasi moderat. Ada banyak tokoh
seperti Mohammad Hatta, Sutan Sjahrir, Sutomo (Bung Tomo) Sakirman (kelak
pimpinan Masyumi), jadi anggotanya. Hingga kemudian PI dikuasai oleh kelompok
komunis dan mencetak banyak kader pentingnya dari sana.* (BERSAMBUNG)
Penulis MD Aminudin, alumni PII dan novelis Tembang Ilalang
terbitan ProU Jogja
Sumber: https://www.hidayatullah.com/kajian/sejarah/read/2020/07/01/187288/jejak-pki-mendompleng-kemerdekaan-indonesia-1.html
Sumber: https://www.hidayatullah.com/kajian/sejarah/read/2020/07/01/187288/jejak-pki-mendompleng-kemerdekaan-indonesia-1.html
0 Komentar