Header Ads Widget

Responsive Advertisement

Ticker

6/recent/ticker-posts

Jejak PKI Mendompleng Kemerdekaan Indonesia (1)

Seperti bunglon, PKI bisa berubah warna di tempat mana berpijak. Lentur menyesuaikan diri dalam beragam situasi dan lingkungan
Oleh: MD Aminudin
Hidayatullah.com | RUU HIP seperti menguak luka lama bangsa Indonesia terhadap makar Partai Komunisme Indonesia (PKI) menyembelih Pancasila. PKI memang berbahaya bukan semata anut ideologi anti tuhan-anti agama, tetapi ideologi bunglonisme (munafik, oportunis, hipokrit).

Seperti bunglon, ia bisa berubah warna di tempat mana berpijak. Lentur menyesuaikan diri dalam beragam situasi dan lingkungan. Ia bisa bermanis-manis dengan kelompok nasionalis, sosialis, bahkan agama. Ia bisa bertahan puluhan tahun di bawah tanah untuk kemudian menemukan momen yang tepat buat come back, dengan cara paling halus, samar, nyaris tak terbaca mata awam. Inilah premis yang mendasari penulisan novel Tembang Ilalang.

Sejarah PKI tidak bisa dipisahkan dari Indische Sociaal Democratische Vereeniging (ISDV), didirikan pada 1914 oleh Henk Sneevliet, orang Belanda penganut komunis. Henk Sneevliet adalah orang Belanda yang waktu itu menjajah Indonesia. Sebagai penjajah, Belanda punya kepentingan untuk memecah konsentrasi gerakan nasional yang menggeliat sejak awal abad 19 (Budi Utomo, Muhammadiyah, Syarekat Islam etc.) Yang dianggap paling membahayakan buat Belanda terutama gerakan-gerakan Islam.

Snevlet tahu ISDV tak akan berkembang cepat kalau tidak menalu (menumpang) ke organ lain. Maka Sarekat Islam (S(I) jadi sasaran untuk diinfiltrasi. Snevlet menggunakan istilah “blok dalam” untuk taktik ini. Pertanyaannya mengapa SI, mengapa bukan Budi Oetomo, bukan Trikoro Darmo?

Pertama, SI punya massa besar mengakar hingga rakyat bawah, anggotanya menyebar di antero negeri. Kedua, SI lumayan terbuka-demokratis dibanding, misal Muhammadiyah waktu itu. Kalau SI bisa diobok-obok maka lebih mudah untuk pecah belah pergerakan Indonesia.

Banyak anggota SI yang kemudian kepincut ide-ide revolusioner gadungan ala Snevlet, antara lain: Semaoen, Alimin, Darsono. Di bawah bimbingan Snevlet, ketiganya terus memasukan ide-ide komunisme di kalangan anggota SI Semarang. Usaha itu berhasil, SI pecah jadi 2 blok: Sarekat Islam Putih (SI Putih) pimpinan Hos Cokroaminoto & Abdoel Moeis (kelak juga dikenal sebagai sastrawan) berpusat di Yogya, dan SI Merah pimpinan Semaoen berpusat di Semarang.

Namun dengan licik mereka tidak proklamirkan diri sebagai organisasi komunis, tapi tetap pakai nama SI. Sabab jika terburu-buru memproklamirkan komunisme pasti ditolak oleh rakyat. Hasilnya, SI Semarang yang pada 1916 beranggota 1.700, pada 1917 meningkat pesat jadi 20 ribu.

Dalam perkembaganya, pimpinan dan anggota SI ideologis menolak ide-ide komunisme yang diusung Semaoen dkk. Mereka tahu Semaoen hanyalah kepanjangan tangan Snevlet. Keputusan Kongres SI di Madiun pada 17-20 Februari 1923 resmi mendepak Semaoen dkk sebagai bagian dari usaha SI untuk memutus pengaruh komunis di dalam tubuh organisasi.

Semaoen melawan

Selang sebulan kemudian, kelompok Semaoen menggelar kongres tandingan pada Maret 1923 di Bandung.

Keputusannya; semua cabang SI di Indonesia yang mendukung Semaoen berganti nama menjadi Sarekat Rakyat. Inilah cikal bakal Partai Komunis Indonesia (PKI) yang didirikan kelak pada th 1924 dengan Semaoen sebagai ketua pertamanya.

Setelah menimbang bahwa akar-akarnya sudah lumayan kuat, pada 1926, PKI memutuskan untuk memberontak. Pemberontakan itu justru banyak disokong oleh orang-orang Islam yang tertipu oleh janji-janji manis PKI.

Niat pemberontakan itu sebelumnya ditolak oleh pimpinan PKI sendiri, Tan Malaka. Ia menolak dangan alasan; akar PKI belum kuat. Kalau sampai pemberontakan gagal, ini bisa berimbas kepada gerakan Indonesia lainnya.

Ini pula yang menjadi babak awal permusuhan Semaoen, Muso dkk vs Tan Malaka. Muso sangat benci setengah mati dengan Tan Malaka. Kelak Muso juga mengeluarkan maklumat untuk membunuh Tan Malaka karena dianggap trotskys atau penghianat, istilah untuk pengikut Leon Trotsky, salah satu tokoh revolusioner Rusia.


Analisis Tan Malaka tak meleset. Belanda berhasil menumpas pemberontakan yang seumur jagung itu. Pemberontakan di Banten pada 1926 dan Sumatera Barat pada 1927 gagal total. 1.300 anggota PKI Banten ditangkap, dibuang ke Digoel, Papua.

Para tokoh pendiri bangsa yang dibuang termasuk para ulama Banten, seperti Tubagus KH Achmad Chatib, Tubagus H Abdulhamid, KH Mohammad Gozali, Tubagus KH Abdul Hadi, Puradisastra, Alirachman (Aliarcham), dan Tubagus Hilman. Semaoen, Alimin, Musso sendiri malah lari ke luar negeri, mengemis suaka ke komunis internasional.

Pemberontakan itu juga berdampak luas pada pegerakan organisasi lainnya. Belanda melakukan pembatasan rapat-rapat, pertemuan-pertemuan, menangkapi tokoh-tokoh pergerakan. Sekali lagi kekhawatiran Tan Malaka terbukti.

PKI tiarap sementara, tapi tidak mati

Pada 1935 Musso kembali dari pengasingan di Moskwa, Uni Soviet, untuk menata kembali PKI dalam gerakannya di bawah tanah. Namun Musso hanya tinggal sebentar di Indonesia, lalu balik kucing lagi ke Soviet.

Hingga thn 1940, datang seorang belanda ke kamp Digoel di Papua. Namanya Charles Olke van der Plas. Waktu itu menjabat sebagai Gubernur Jatim hingga kelak kedatangan Jepang pada 1942.

Charles merayu para Digoelis untuk membentuk font anti fasis berbasis di Australia. Singkat cerita pimpinan PKI Digoel menerima tawaran itu. Hal ini seperti dicatat Harry Albert Poeze dalam bukunya 𝑃𝐾𝐼 𝑆𝑖𝑏𝑎𝑟: 𝑃𝑒𝑟𝑠𝑒𝑘𝑢𝑡𝑢𝑎𝑛 𝐴𝑛𝑒ℎ 𝐴𝑛𝑡𝑎𝑟𝑎 𝑃𝑒𝑚𝑒𝑟𝑖𝑛𝑡𝑎ℎ 𝐵𝑒𝑙𝑎𝑛𝑑𝑎 𝑑𝑎𝑛 𝑂𝑟𝑎𝑛𝑔 𝐾𝑜𝑚𝑢𝑛𝑖𝑠 𝑑𝑖 𝐴𝑢𝑠𝑡𝑟𝑎𝑙𝑖𝑎 1943-1945 (2014), van der Plas berhasil membawa 524 penghuni Digoel ke Australia. Pada 6 Agustus 1944 terbentuklah Serikat Indonesia Baroe (SIBAR).

Selain kelompok yang dibentuk Musso dan eks Digoelis, Van der Plas juga mendekati Amir Syarifuddin, seorang ambtenar (priyayi atau pegawa pemerintah) di Departemen Ekonomi Batavia, penganut komunisme.

Pada 1940, Amir ditangkap. Ia disuruh memilih dibuang ke Digoel atau bekerja sama dengan pemerintah Hindia Belanda. Namun Amir memilih pilihan kedua. Van der Plas kemudian memberinya 25.000 gulden sebagai modal menyusun gerakan bawah tanah.

Sampai di sini bisa kita simpulkan PKI mau berkongsi dengan bangsa yang menjajah Indonesia?

Tidak pernah sebelum-sebelumnya ini terjadi. Bandingkan dengan perjuangan para pahlawan Islam sebelumnya. Bahkan sampai tua dan sakit-sakitan Cut Nya Dien tetap melawan Belanda. Demikian juga dengan Pangeran Diponegoro, Imam Bonjol dll. Ini yang saya sebut bukan ‘idiologi bunglon’, asal ada untungnya rangkulan musuhpun diterima dengan hangat.

Dengan uang modal dari Belanda itu, PKI Amir Syarifuddin mulai membangun kekuatan bawah tanah, ‘bersetubuh’ dengan organ perjuangan Indonesia, membentuk organisasi Gerakan anti-Fasis (Geraf). Saat Amir ditangkap Jepang pada 1943, estafet Geraf dilanjutkan oleh Widarta, sang sekretaris, merupakan generasi ketika yang memimpin PKI.

Pada masa inilah ia berkolaborasi dengan DN Aidit, pemuda yang baru berumur 20 tahun, seorang Marxis anggota Komunis Internasinal (Komintren). Mereka masuk ke kelompok-kelompok pemuda, merekrut kader untuk dibina menjadi komunis. Pada era inilah nama DN Aidit dan MH Lukman mulai moncer. Dua orang ini yang kelak pimpin PKI hingga jadi partai terbesar ke 4 pada Pemilu 1955.

Proklamasi hingga Madiun Affair

Ada fase yang mungkin terlewat dalam tulisan sebelumnya, yaitu tentang keberadaan Partai Gerakan Rakyat Indonesia (Gerindo). Didirikan pada 1937 oleh Sartono, Sanusi Pane dan M Yamin sebagai ekses pembatasan-pembatasan pergerakan yang dilakukan Belanda.


Gerindo adalah kelanjutan Partindo yang dibubarkan Belanda pada 18 November 1936. Organisasi politik Gerindo bercorak sosialis. Berbeda dari Partindo yang non-kooperatif, Gerindo menempuh jalan yang lebih luwes; mau bekerja sama dengan kolonlialis Belanda. Sikap ini sesuai dengan anjuran Georgi Dimitrov, Sekjen Komunis Internasional (Komintern) ketika itu, yang menganjurkan supaya seluruh gerakan komunis di negara manapun menggalang kerja sama dengan kaum imperialis untuk menghadapi bahaya fasisme Jepang dan Jerman.

Karena kesamaan ideologi, banyak kader komunis masuk menjadi anggota, antara lain: Mr. Amir Sjarifuddin pengurus Gerindo dan Wikana pimpinan Pemuda Gerindo. Aktivitis lain yang juga digodok dalam Gerindo adalah D.N. Aidit, Anwar Kadir, Nungtjik AR., Ir. Sakirman, Sidik Kertapati, Sudisman, Sudjoyono, Tjugito, dan Mr. Joesoeph.

Secara khusus perlu dijelaskan siapa Amir Syarifuddin, sosok yang kelak jadi aktor penting pra dan pasca-kemerdekaan hingga Pemberontakan PKI Madiun 1948?

Dari namanya kita sudah bisa menebak bahwa dia Muslim. Betul, Syarifuffin lahir dari keluarga Muslim sebelum kelak akhirnya memeluk Kristen.

Amir Syarifuddin lahir di Medan, Sumut 27 April 1907, berasal dari keluarga aristokrat yang memungkinkannya masuk ke sekolah-sekolah paling elit. Dia termasuk tokoh dalam Kongres Pemuda II 28 Oktober 1928 yang mencetuskan Sumpah Pemuda. Perkenalan Amir dengan Marxisme-Leninisme bermula ketika studi di negeri Belanda antara tahun 1921 sampai 1927. Amir menjadi anggota Perhimpunan Indonesia (PI). Di organisasi inilah Amir bertemu dan mendapatkan gemblengan dari Semaoen, salah seorang pimpinan PKI yang dibuang ke negeri Belanda pasca pemberontakan 1926.

Pada mulanya PI adalah organisasi moderat. Ada banyak tokoh seperti Mohammad Hatta, Sutan Sjahrir, Sutomo (Bung Tomo) Sakirman (kelak pimpinan Masyumi), jadi anggotanya. Hingga kemudian PI dikuasai oleh kelompok komunis dan mencetak banyak kader pentingnya dari sana.* (BERSAMBUNG)

Penulis MD Aminudin, alumni PII dan novelis Tembang Ilalang terbitan ProU Jogja

Sumber: https://www.hidayatullah.com/kajian/sejarah/read/2020/07/01/187288/jejak-pki-mendompleng-kemerdekaan-indonesia-1.html

Posting Komentar

0 Komentar