Kamis (15 November 2007), di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, digelar sebuah acara peluncuran panitia Refleksi Seabad Moh. Natsir: Pemikiran dan Perjuangannya. Sejumlah tokoh Islam dan pejabat tinggi negara tampak hadir, diantaranya Ketua Umum Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia Syuhada Bahri, Ketua MUI KH Khalil Ridwan, Ketua Mahkamah Konstitusi Prof. Dr. Jimly As-Shiddiqy, Menteri Sosial Bakhtiar Chamsah, Wakil Ketua MPR AM Fatwa, dan sebagainya. Tampil sebagai pembicara dalam seminar Prof. Dr. Ichlasul Amal, Ketua Dewan Pers yang juga mantan rektor UGM Yogya.
Moh. Natsir lahir di Alahan Panjang, Sumatera Barat, 17 Juli 1908. Karena itu, puncak peringatan seabad Moh. Natsir akan dijadwalkan pada 17 Juli 2008. Tetapi, berbagai persiapan telah dilakukan oleh panitia. Duduk sebagai ketua kehormatan dalam panitia ini adalah Wakil Presiden Jusuf Kalla.
Bagi umat Islam Indonesia, nama Natsir tentu sudah sangat tidak asing. Ia adalah seorang pemikir, dai, politisi, dan sekaligus pendidik Islam terkemuka. Ia dikenal sebagai tokoh, bukan saja di Indonesia, tetapi juga di dunia Islam. Dalam sambutannya, Ketua Umum Dewan Da’wah, Syuhada Bahri menggambarkan Natsir sebagai pribadi yang sangat unik. Menurut Syuhada, bidang apa pun yang digeluti Moh. Natsir, visinya sebagai dai dan pendidik senantiasa menonjol. Secara panjang lebar Syuhada menceritakan pengalaman pribadinya selama lima tahun bekerja satu ruang dengan Natsir.
Jika kita membuka lembaran hidup Natsir, kita memang menemukan sebuah perjalanan hidup yang menarik. Sebagai politisi, Natsir pernah menduduki posisi Perdana Menteri RI pertama tahun 1950-1951, setelah Indonesia kembali menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Jasa Natsir dalam soal terbentuknya NKRI ini sangat besar. Pada 3 April 1950, sebagai anggota parlemen, Natsir mengajukan mosi dalam Sidang Parlemen RIS (Republik Indonesia Serikat). Mosi itulah yang dikenal sebagai ”Mosi Integral Natsir”), yang memungkinkan bersatunya kembali 17 Negara Bagian ke dalam NKRI. Ketua Mahkamah Konstitusi, dalam sambutannya, juga menekankan jasa besar Natsir dalam soal NKRI ini, sehingga bangsa Indonesia sangat layak memberi penghargaan kepada Natsir. Selain itu, Natsir juga berulang kali duduk sebagai menteri dalam sejumlah kabinet.
Dalam kesempatan itu, Mensos Bachtiar Chamsah mengakui, bahwa dirinya, sebagai Menteri, sudah mengajukan Natsir agar diberi gelar sebagai Pahlawan Nasional. Usulan itu didasarkan atas usulan dari Pemda Sumatera Barat. Tetapi, tahun ini, usulan itu masih terganjal. Bachtiar tidak menjelaskan mengapa usulan itu Natsir ditolak oleh pihak Istana Kepresidenan. Yang jelas, katanya, tahun depan, dia akan mengajukan usulan yang sama. Banyak yang menduga, keterlibatan Natsir dalam PRRI merupakan faktor utama terganjalnya usulan tersebut.
Tetapi, baik keluarga maupun para pelanjut perjuangan Moh. Natsir tidak terlalu mempersoalkan hal itu. Natsir bukan hanya pahlawan bagi Indonesia. Tetapi, dunia Islam sudah mengakuinya sebagai pahlawan yang melintasi batas bangsa dan negara. Tahun 1957, Natsir menerima bintang ’Nichan Istikhar’ (Grand Gordon) dari Presiden Tunisia, Lamine Bey, atas jasa-jasanya dalam membantu perjuangan kemerdekaan rakyat Afrika Utara. Tahun 1980, Natsir juga menerima penghargaan internasional (Jaa-izatul Malik Faisal al-Alamiyah) atas jasa-jasanya di bidang pengkhidmatan kepada Islam untuk tahun 1400 Hijriah. Penghargaan serupa pernah diberikan kepada ulama besar India, Syekh Abul Hasan Ali an-Nadwi dan juga kepada ulama dan pemikir terkenal Abul A’la al-Maududi. Karena itulah, hingga akhir hayatnya, tahun 1993, Natsir masih menjabat sebagai Wakil Presiden Muktamar Alam Islami dan anggota Majlis Ta’sisi Rabithah Alam Islami.
Adalah menarik jika menilik riwayat pendidikan Natsir. Tahun 1916-1923 Natsir memasuki HIS (Hollands Inlandsche School) di Solok. Sore harinya, ia menimba ilmu di Madrasah Diniyah. Tahun 1923-1927, Natsir memasuki jenjang sekolah MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs) di Padang. Lalu, pada 1927-1930, ia memasuki jenjang sekolah lanjutan atas di AMS (Algemene Middelbare School) di Bandung. Lulus dengan nilai tinggi, ia sebenarnya berhak melanjutkan kuliah di Fakultas Hukum di Batavia, sesuai dengan keinginan orang tuanya, agar ia menjadi Meester in de Rechten, atau kuliah ekonomi di Rotterdam. Terbuka juga peluang Natsir untuk menjadi pegawai negeri dengan gaji tinggi.
Tetapi, semua peluang itu tidak diambil oleh Natsir, yang ketika itu sudah mulai tertarik kepada masalah-masalah Islam dan gerakan Islam. Natsir mengambil sebuah pilihan yang berani, dengan memasuki studi Islam di ‘Persatuan Islam’ di bawah asuhan Ustad A. Hasan. Tahun 1931-1932, Natsir mengambil kursus guru diploma LO (Lager Onderwijs). Maka, tahun 1932-1942 Natsir dipercaya sebagai Direktur Pendidikan Islam (Pendis) Bandung.
Natsir memang seorang yang haus ilmu dan tidak pernah berhenti belajar. Syuhada Bahri menceritakan pengalamannya selama bertahun-tahun bersama Natsir. Hingga menjelang akhir hayatnya, Natsir selalu mengkaji Tafsir Al-Quran. Tiga Kitab Tafsir yang dibacanya, yaitu Tafsir Fii Dzilalil Quran, Tafsir Ibn Katsir, dan Tafsir al-Furqan karya A. Hasan.
Kecintaan Natsir di bidang pendidikan dibuktikannya dengan upayanya untuk mendirikan sejumlah universitas Islam. Setidaknya ada sembilan kampus yang Natsir berperan besar dalam pendiriannya, seperti Universitas Islam Indonesia, Universitas Islam Bandung, Universitas Islam Sumatera Utara, Universitas Riau, Universitas Ibn Khaldun Bogor, dan sebagainya. Tahun 1984, Natsir juga tercatat sebagai Ketua Badan Penasehat Yayasan Pembina Pondok Pesantren Indonesia. Di bidang pemikiran, tahun 1991, Natsir menerima gelar Doktor Honoris Causa dari Universiti Kebangsaan Malaysia.
Natsir memang bukan sekedar ilmuwan dan penulis biasa. Tulisan-tulisannya mengandung visi dan misi yang jelas dalam pembelaan terhadap Islam. Ia menulis puluhan buku dan ratusan artikel tentang berbagai masalah dalam Islam. Menurut Mensos Bachtiar Chamsah, tulisan-tulisan Natsir menyentuh hati orang yang membacanya.
Dalam kesempatan ini, kita cuplik sebuah artikel yang ditulis Natsir pada tahun 1938, yang berjudul ”Suara Azan dan Lonceng Gereja”. (Ejaan telah disesuaikan dengan EYD).
Natsir membuka tulisannya dengan untaian kalimat berikut:
”Sebaik-baik menentang musuh ialah dengan senjatanya sendiri! Qaedah ini dipegang benar oleh zending dalam pekerjaannya menasranikan orang Islam. Tidak ada satu agama yang amat menyusahkan zending dan missi dalam pekerjaan mereka daripada agama Islam.”
Artikel Natsir ini mengomentari hasil Konferensi Zending Kristen di Amsterdam pada 25-26 Oktober 1938. Natsir sangat peduli dengan Konferensi tersebut, yang antara lain menyorot secara tajam kondisi umat Islam Indonesia. Dr. Bakker, seorang pembicara dalam Konferensi tersebut mengungkapkan kondisi umat Islam sebagaimana yang digambarkan dalam buku Prof. Dr. H. Kraemer, The Christian Message in a non-Christian World. Kata Dr. Bakker, ”Orang Islam yang berada di bawah pemerintahan asing lebih konservatif memegang agama mereka dari negeri-negeri yang sudah merdeka.”
Dr. Baker juga mengungkap tentang pengaruh pendidikan Barat terhadap umat Islam. Katanya, ”Masih juga banyak orang Islam memegang agama mereka yang turun-temurun dari dulu itu, akan tetapi banyak pula yang sudah terlepas dari agama mereka, terutama lantaran pelajaran Barat yang katanya netral itu telah merampas dasar lain yang akan gantinya.”
Natsir sangat peduli akan pengaruh pendidikan Barat terhadap generasi muda. Ia menulis, bahwa ketika itu, sudah lazim dijumpai anak-anak orang Islam yang telah sampai ke sekolah-sekolah menengah yang belum pernah membaca Al-Fatihah seumur hidupnya, atau susah payah belajar membaca syahadat menjelang dilangsungkannya akad nikah. Karena itulah, tulis Natsir, Prof. Snouck Hurgronje pernah menulis dalam bukunya, Nederland en de Islam, ”Opvoeding en onderwijs zijn in staat, de Moslims van het Islamstelsel te emancipeeren.” (Pendidikan dan pelajaran dapat melepaskan orang Muslimin dari genggaman Islam).
Selanjutnya, Dr. Bakker mengingatkan, bahwa kaum misionaris Kristen harus lebih serius dalam menjalankan aksinya di Indonesia, supaya di masa yang akan datang, Indonesia tidak lebih susah dimasuki oleh misi Kristen.
Menanggapi rencana Misi Kristen di Indonesia tersebut, Natsir mengimbau umat Islam:
”Waktu sekaranglah kita harus memperlihatkan kegiatan dan kecakapan menyusun barisan perjuangan yang lebih rapi. Jawablah Wereldcongres dari Zending itu dengan congres Al-Islam yang sepadan itu ruh dan semangatnya, untuk memperteguh benteng keislaman. Sebab tidak mustahil pula di negeri kita ini, suara azan bakal dikalahkan oleh lonceng gereja. Barang bathil yang tersusun rapi, akan mengalahkan barang haq yang centang-perenang.!” (Dimuat di Majalah PANDJI ISLAM, No. 33-34, 1938; dikutip dari buku M. Natsir, Islam dan Kristen di Indonesia (kumpulan karangan yang dihimpun dan disusun oleh Endang Saifuddin Anshari, (Bandung: CV Bulan Sabit, 1969).
Demikianlah salah satu pesan Natsir yang mengingatkan kaitan erat antara gerak Penjajahan, Misi Kristen, dan Orientalisme. Karena pentingnya peran pendidikan ala Barat dalam menjauhkan generasi muda Islam dari agamanya, bisa dimengerti jika Natsir sangat serius dalam upaya pendirian sejumlah universitas Islam di Indonesia. Kita berdoa, mudah-mudahan civitas academica di kampus-kampus Islam yang dipelopori pendiriannya oleh Natsir memahami misi besar ini, dan tidak terjebak ke dalam paham-paham sekularisme atau liberalisme Barat yang secara gigih diperangi oleh Natsir sepanjang hidupnya.
Betapa zalimnya, andaikan ada kampus Islam yang dulu didirikan dengan niat mulia untuk memperjuangkan Islam justru menjadi tempat perkaderan intelektual-intelektual yang merusak Islam. [Depok, 16 November 2007/www.hidayatullah.com]
0 Komentar