Sebagaimana dikutip Koran Jerussalem Post hari Sabtu, (8/12), lima rombongan Indonesia itu akan menghabiskan waktu selama seminggu di bawah sponsor Simon Wiesenthal Center dan LibForAll Foundation.
Lima romongan asal Indonesia itu, kata Jerussalem Post , mewakili dua organisasi Islam; Nahdlatul Ulama (NU), dan Muhammadiyah.
Syafiq Mugni, salah sorang wakil Muhammadiyah yang disebut-sebut ikut hadir. Ia mendapat hadiah dari Peres sebuah kippa yang dirajut dengan kata "shalom" dalam bahasa Ibrani yang artinya ‘Kedamaian’. Kippa, yang dikenal sebagai symbol baju keagamaan dalam agama Yahudi itu langsung disematkan Peres kepada para tamu-tamu asal Indonesia itu distiap kepala mereka.
Selanjutnya, mereka melanjutkan pembicaraan seputar berbagai topik termasuk ekonomi, politik, agama dan perayaan hari jadi Israel ke 60.
Di sela-sela pembicaraan itu, Peres meramalkan, karena Indonesia adalah satu republik kepulauan yang banyak dikelilingi air, maka, Indonesia kelak akan menjadi Negara paling makmur di dunia. Ini karena, tidak banyak Negara didunia yang menjadi pengekspor air. Peres juga menambahkan, Indonesia adalah salah satu Negeri yang kaya akan sinar matahari. Dengan ini, Indonesia bisa menjadi bangsa yang memanfaatkan energi matahari.
Peres menambahkan, Israel akan berbahagia untuk masuk dan berhubungan dengan Indonesia serta mengundang para pemimpin Indonesia. Kemungkinan besar, beserta para pemimpin dunia, ia akan mengundang kembali ke Israel untuk melakukan ‘doa untuk kedamaian’ di saat Negeri Zionis ini akan memperingati hari jadinya ke 60 nanti.
Peres sendiri diharapkan mengeluarkan suatu panggilan kepada kaum Yahudi di seluruh dunia untuk menghadiri peraaan Shabbat di sinagog terdekat pada Hari Kemerdekean Israel nanti.
"Kami akan mempersilahkan semua anak Abraham untuk datang dan bersembahyang untuk perdamaian," katanya. "Akan menjadi demonstrasi diam untuk persatuan," tambahnya.
Dalam kesempatan itu, Peres juga mengatakan, musuh Israel bukanlah Islam, tapi “terror”. Tak jelas, apa maksud dari basa-basi peres itu. Sebab di saat yang sama, ia juga menembaki warga Palestina.
Sementara itu, Syafiq Mugni yang juga Ketua Pengurus Wilayah Muhammadiyah ini ikut menjelaskan tentang Indonesia menyangkut perkembangan ekonominya, demokrasi dan sistem kependidikannya.
"Kami berharap jalan setapak ini akan berjalan lebih cepat," katanya. "Kami mempunyai masalah ekonomi, tetapi kami juga mempunyai masalah mentalitas." Menurut Syafiq, dirinya berharap Muslim Indonesia semakin toleran meski sebagaian juga masih ada yang menentang demokrasi.
Semantara wakil NU, Abdul A'la, yang sependapat dengan Syafiq. Ia mengatakan, masih ada kelompok kecil “ekstrimis-ekstrimis”, tetapi ia menekankan, dengan nilai-nilai Islam, harus ada rasa damai. “Kita tidak bisa hidup tanpa damai," tambahnya.
Rombongan ini juga berbagi pengalaman bersama mereka dalam berbicara masalah Palestina dan menyetujui manfaat timbal balik hubungan keduanya. Menurut mereka, Palestina-Israel akan lebih baik jika tidak ada konflik atau kekerasan. "Kita berdoa bagi ini," kata Syafiq.
Ditemani Kepala Wiesenthal Center Associate, Rabbi Abraham CooPeres dan CEO, LibForAll Foundation, C.C. Holland Taylor, delegasi cendekiawan Muslim ikut serta dalam suatu upacara cahaya lilin Hanukka yang diikuti dengan tarian di hesder yeshiva di Kiryat Shmona, mengunjungi Masjid al-Aqsa di Yerusalem menyusul pertemuannya dengan Peres. Selain itu, mereka juga mengunjungi sekolah anak-anak di Sderot yang berhadapan langsung dengan Jalur Gaza.
Hingga berita ini ditulis belum jelas benar, siapa-siapa saja data lengkapnya yang ikut hadir dalam kunjungan itu. Hanya saja, yang sering disebut-sebut oleh beberapa media asing adalah; Dr. Syafiq Mughni, Ketua Pimpinan Wilayah (PWM) Muhammadiyah Jawa Timur, salah satu pengurus PB NU, Abdul A’la, CEO, juga LibForAll Foundation, C.C. Holland Taylor. LibForAll, LibForAll Foundation pernah disebut-sebut media sebagai lembaga Zionis yang berkedok memperjuangkan “Liberalisme dan Pluralisme” di Indonesia. Sedang dua nama lainnya belum teridentifikasi.
Kunjungan seperti ini jarang dilakukan dan seringkali menimbulan masalah. Sebab selain Indonesia tidak memiliki hubungan diplomatik dengan Israel, kasus-kasus seperti ini acap menimbulkan luka bagi banyak kamu Muslim Indonesia.
Kunjungan ke Israel seperti ini sering menimbulkan gejolak dalam negeri. Tahun 1994 lalu, di dalam negeri sempat diguncang demo setelah hadirnya empat tokoh masyarakat -- Abdurrahman Wahid (NU), Habib Chirzin (Muhammadiyah), Djohan Effendi (Depag) Bondan Gunawan (Forum Demokrasi) akibat kehadiran mereka dalam sebuah seminar yang diselenggarakan oleh Institut Harry S Truman.
Selain melahirkan demo besar-besaran, kehadiran mereka juga mengikarkan kemarahan pemerintah. Menlu Ali Alatas dan tokoh Nahdlatul Ulama (NU) kala itu, menyesalkan kunjungan ke Israel itu.
Pihak Departemen Luar Negeri, menurut Alatas, serasa “kecolongan” atas kepergian mereka dan tak pernah minta izin.
"Ini apa-apaan, Deplu RI tak tahu menahu soal itu. Gus Dur pergi ke Israel sama sekali tanpa sepengetahuan Deplu," kata Menlu Alatas," Kalaupun dia meminta izin Deplu untuk ke Israel, pasti akan saya tolak. Masa nggak ngerti," begitu pernyataan Alatas kepada wartawan seusai menghadiri acara penganugerahan Bintang Mahaputra Adipradana untuk almarhumah Ibu Fatmawati di Istana. Bagi Alatas kala itu, keberatan pemerintah, karena kebijakan Indonesia dengan Israel masih belum berubah. Termasuk hari ini. [cha, berbagai sumber/www.hidayatullah.com]
0 Komentar