Dalam acara Kolokium Nasional Pamikiran Islam di Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), yang dimulai hari Senin (11/2) kemarin ratusan kader dan beberapa tokoh Muhamadiyah duduk bersama dalam rangka mendiskusikan tentang Muhammadiyah ke depan.
Di sesi pertama yang bertajuk “Menghidupkan Kembali Tradisi Intelektual Muhammadiyah”, Dr. Haedar Nashir dalam makalahnya menyatakan langkah-langkah yang harus ditempuh jika umat Islam menginginkan kejayaan mereka kembali, yaitu dengan menghidupkan kembali etos dan tradisi kejayaan pemikiran dan disertai dengan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang unggul dan itu harus ditopang oleh iman dan moral yang kokoh yang bersumber kepada tauhid.
Ia juga menyatakan bahwa Muhammadiyah awal mulanya amat memperhatikan tradisi intelektualitas, di mana pendirinya KH.Ahmad Dahlan yang membawa gerakan tajdid. Ini terlihat dari sikap beliau yang tidak setuju dengan taqlid. Beliau menyeru agar warga Muhammadiyah san ini juga menjunjung tradisi intelektual.
Dalam sesi yang bertajuk “Menggagas Dakwah Komunitas dan Otokritik Dakwah Muhammadiyah” beberapa tokoh Muhammadiyah tampil sebagai pembicara, seperti Prof. Dr. Syafiq Mughni (Ketua PW Muhammadiyah Jatim), Prof Dr. Dadang Kahmad (Ketua PW Muhamadiyah Jabar), serta Drs. Sukriyanto.
Dalam sesi yang berdurasi 2,5 jam ini banyak dibahas tentang probelamatika yang melanda Muhammadiyah, antara lain, terjadinya migrasi jamah Muhammadiyah. Hinga PP Muhammadiyah Pusat mengeluarkan surat keputusan yang berisi tentang seruan konsulidasi, yang dikeluarkan pada 1 Desember 2006.
Peristiwa itu dilatar belakangi oleh fenomena migrasi sejumlah anggota jamaah ke salah satu partai. Selain itu juga masuknya anggota Muhamadiyah ke jamah lain. Peristiwa itu itu tidak hanya terjadi di kalangan grass root, bahkan juga terjadi di para petinggi Muhammadiyah dari tingkat pusat. Mereka menyebut peristiwa ini sebagai “perselinguhan” dengan organisasi lain.
Dadang Kahmad menyatakan, Muhammadiyah masih belum bisa diterima oleh masyarakat Sunda, karena organisasi ini masih bernuansa Jawa. Ini terjadi karena Muhammadiyah berdiri di Jawa. Ia mengusulkan agar para pengurus Muhammadiyah memformulasikan gerakan jamaah yang bisa beradaptasi dengan kehidupan di Jawa Barat.
Ia juga menyatakan bahwa Muhammadiyah kurang bisa merespon timbulnya perubahan, di mana ada sebagian dari jamaah yang memiliki pola pemikiran keagamaan liberal dengan mengedepankan isu-isu demokrasi, liberalisme dan prularisme. Akan tetapi Muhammadiyah tidak memiliki formula dalam membantu masyarakat awam memahami perubahan itu. Menurutnya, hal itu disebabkan karena sebagian besar elit organisasi terperangkap dalam cara berfikir konservatif dan status quo. Ia juga terkejut, ketika anggota Muktamar di Malang menolak isu gender dan HAM. Masih menurut Dadang, pemicu timbulnya fatwa sesat yang ditujukan kepada mereka yang memiliki pendangan liberal disebabkan karena generasi tua memegang pikiran lamanya.
Dalam acara yang berakhir hingga 13 Februari itu, Syafiq Mughni juga menyatakan, bahwa Muhammadiyah berhadapan dengan gerakan-gerakan dakwah yang mengusung tema- tema politik dan gerakan yang mencitrakan sebagai salafisme, hal ini menuntut agar para dai Muhammadiyah juga memahami tentang pemikiran politik islam dan sejarah pemikiran teologi. Sayangnya, Syafiq tak menjelaskan apa yang dimaksud dengan kreteria salafisme itu.
Ia juga menyatakan perlunya menyusun sraategi baru, karena dakwah Muhammadiyah yang bertemakan anti TBC (bid'ah, khurafat dan takhayul) telah menimbulkan resistensi yang tinggi oleh mayoritas awam. Menurutnya, para dai Muhammadiyah sering kali mengecam praktek keyakinan itu dengan keras, walau pesan substansialnya sudah sangat relevan dengan kebutuhan masyarakat.
Dalam sesi ini, beberapa kader angkat bicara. Salah satu kader wanita menyayangkan adanya pandangan tabu dari sebagian jamaah dikarenakan mereka berdiskusi di malam hari, ia juga menginginkan agar jamaah tidak menggunakan bahasa halal-haram saja, menurutnya, itu karena anak-anak muda saat ini tidak memiliki waktu di siang hari, karena harus kuliyah dan bekerja.
Peserta lain juga menyayangkan bahwa banyak kader Muhammadiyah yang lebih suka membaca media-media lain daripada media yang dimiliki Muhammadiyah.
Salah seorang perserta juga mempertanyakan kriteria seorang dai, kepada pihak Tabligh Muhammadiyah, dikarenakan ada beberapa dai Muhammadiyah yang dikucilkan, karena dinilai membuat bingung masyarakat.
0 Komentar