Header Ads Widget

Responsive Advertisement

Ticker

6/recent/ticker-posts

Akhir Dinasti Soekarno


KabarIndonesia - Berbagai kegagalan yang dialami Megawati dalam kancah politik nasional memberi gambaran baru bahwasanya bangsa ini semakin cerdas dalam memilih figur seorang pemimpin. Pada dasarnya Megawati tidak memiliki kemampuan sebagai seorang politikus apalagi sebagai seorang negarawan. Keberadaannya dipanggung politik sampai saat ini harus diakui sebagai rahmat karena dia terlahir sebagai puteri Soekarno. Tanpa adanya jalinan keturunan ini, maka Megawati bukan siapa-siapa. Dia tak lebih dari seorang wanita biasa yang segala tindak-tanduknya dikendalikan oleh sosok suami. Satu hal yang menjadi pertanyaan besar adalah: ”Faktor apa saja yang menyebabkan figur Megawati semakin menurun atau bahkan dapat dikatakan tidak disukai oleh sebagian elemen bangsa ini?”

Menjawab pertanyaan ini kita akan dihadapkan pada beberapa jawaban, diantaranya:
1. Kharisma atau nama besar Soekarno sudah mulai pudar.
2. Kecerobohan Megawati dalam menyoroti jalannya Pemerintahan. 3. Figur suami yang mendominasi setiap kebijakan Megawati.

Kharisma Bung Karno yang sudah pudar. Kata Soekarno Puteri di belakang nama Megawati laksana sebuah ajimat bagi perjalanan Megawati di pentas politik Nasional. Tanpa buntut Soekarno Puteri nama Megawati tidak memiliki arti apapun di pentas perpolitikan Indonesia. Hal ini juga sangat disadari oleh Megawati maupun PDI-P sebagai Partai yang dipimpinnya. Hal ini sangat tampak di mana setiap gambar Megawati selalu disandingkan dengan sang Proklamator. Hal ini juga terjadi pada sebagian Caleg yang hidup di bawah payung PDI-P. Secara singkat dapat dikatakan bahwa Megawati dan PDI-P hidup dan berkembang di bawah ketiak sang orator ulung, yakni Bung Karno.

Merosotnya hasil perolehan suara sementara PDI-P pada hasil Pemilu Legislatif 9 April 2009 seolah memberikan gambaran bagi kita semua bahwa kharisma Bung Karno di sebagian elemen bangsa ini mulai memudar, sehingga tak mampu lagi menyanggah Megawati dan PDI-P nya dalam Pemilu Legislatif, bahkan tidak menutup kemungkinan hal ini juga akan terjadi pada Pilpres 2009 mendatang.


Kecorobohan Megawati dalam Menyoroti Jalannya Pemerintahan

Figur suami yang mendominasi setiap kebijakan Megawati. Taufik Kiemas selaku suami Megawati yang merangkap Ketua Pembina PDI-P tak jarang ikut bagian dalam memberikan komentar yang justru menambah keterpurukan nama Megawati dan PDI-P di mata masyarakat. Peristiwa penyebutan Susilo Bambang Yudhoyono sebagai Jenderal yang kekanak-kanakan pada tahun 2004 membuat tersinggung beberapa Jenderal. Pernyataan tersebut dianggap sebagai pelecehan “Bintang Empat” yang merupakan kehormatan di kalangan TNI. Beberapa pernyataan Megawati dalam menyoroti jalannya Pemerintahan dengan berbagai ungkapan yang kekanak-kanakan mulai dari istilah yoyo, gasing, poco-poco dan lain sebagainya, yang semula berharap akan mendapat respon positif dari masyarakat, justru membuat muak beberapa kalangan.

Megawati seolah akan tampil sebagai sosok yang mampu mengatasi berbagai masalah yang ada di masyarakat apabila mendapat kepercayaan untuk menjadi Presiden RI. Dia lupa bahwasanya jabatan tersebut pernah dipegangnya dan masih segar dalam ingatan masyarakat betapa amburadulnya kondisi Indonesia di bawah kepemimpinannya.

Langkah pamungkas yang cukup signifikan dalam kehancurannya di panggung politik adalah “Penolakan” atas kebijakan dana BLT bagi kaum miskin, walau pada akhirnya laksana orang yang menjilat ludah yang terjatuh, Megawati dan PDI-P nya berbalik mendukung BLT. Tapi semua sudah terlambat. Hati rakyat kecil sudah terluka. Maka tak heran bila di mata rakyat kecil Megawati dan PDI-P dicap sebagai juru fitnah serta orang atau Partai Politik yang tidak konsisten. Lengkap sudah langkah Megawati menuju kehancurannya.

Satu hal yang sangat mengejutkan adalah adanya beberapa saksi mata yang menyebutkan bahwasanya Taufik Kiemas merupakan sosok di balik layar yang mengendalikan serta memutuskan berbagai hal, baik Megawati sebagai pimpinan Partai Politik bahkan keputusan Megawati sebagai Presiden RI pun banyak dikendalikan oleh sang suami.

Melihat kenyataan atas berbagai kegagalan Megawati di kancah perpolitikan Nasional memberikan gambaran yang jelas akan semakin obyektifnya daya pikir serta nalar bangsa ini. Seorang tokoh poilitik tidak lagi dipandang dari sudut dinasti tetapi lebih terfokus pada sosok pribadi sang calon pemimpin itu sendiri. Nama Bung Karno tak lagi dapat dijadikan komoditi politik. Pijar lampu Soekarno sudah mulai meredup. Apakah ini juga dapat diartikan bahwa Dinasti Soekarno akan segera runtuh di pentas politik Indonesia? Pilpres 2009 akan menjadi sebuah jawabannya.(Tony Mardianto)

Posting Komentar

0 Komentar