Tahukah Anda, berapa jumlah penganut Islam di Eropa Barat? Hasil survey National Demographic Studies menyebutkan, saat ini ada sekitar 20 juta Muslim di sana. Jumlah itu belum termasuk jutaan lainnya di Balkan, Kaukasus, Rusia dan Asia Tengah. Di Amerika Serikat saja, ada sekitar 6 juta pemeluk Islam.Di Eropa, seperti ditulis Koran Tempo (26/11/06) sikap permusuhan dan ungkapan kebencian, khususnya terhadap penganut Islam, melonjak sangat drastis,” ujar Ahmed Akar, pengamat media dari Finlandia, dalam seminar internasional bertajuk Chalenging Stereotypes in Europe and the Islamic World: Working Together for Constructive Policies and Partnership yang digelar Kedutaan Finlandia bekerjasama dengan The International Center for Islam and Pluralism, di Jakarta, Rabu (22/11/06).
“Seperti api dalam sekam. Begitu ada pemicu langsung meledak,” ungkap Michael Privot dari European Network Against Racism, lembaga hak asasi yang bekedudukan di Brussel Belgia. Hal itu dibenarkan Prof Martin van Bruinessen, ahli Islam dari International Institute for the Study of Islam in the Modern World, sebuah lembaga studi Islam yang berpusat di Belanda.
Menurut Martin, “bara” sikap anti-Islam yang kini meluas di Belanda disekap lama di bawah selimut “politik kebenaran”. Betapa ironisnya, sikap Islamfobia di negeri itu memuncak pasca tewasnya sutradara Theo van Gogh. Cicit seniman kenamaan dunia Van Gogh itu tewas ditikam di Amsterdam oleh orang Belanda keturunan Maroko, “Van Gogh dijadikan martir bagi kalangan pribumi yang anti-Islam,” tutur van Bruinessen.
Pada Jumat (17/11/06) lalu, kabinet Belanda menyodorkan rancangan undang-undang yang melarang pemakaian jilbab di muka umum ke parlemen. Target utamanya adalah Muslimah yang memakai burqa, niqab atau cadar. "Di negara ini, kami ingin bisa melihat satu sama lain," kata Menteri Imigrasi Rita Verdonk.
Vatikan menyatakan bahwa penggunaan jilbab menunjukkan rasa tidak menghargai budaya setempat. Para pejabat Jerman di sebelah Utara sungai Rhine Wesphalia mengatakan bahwa mereka akan mendisiplinkan guru-guru Muslim yang menggunakan penutup kepala menyusul pelarangan jilbab di daerah itu pada Mei depan.
Di Inggris, lontaran pernyataan mantan Menteri Luar Negeri Jack Straw ibarat “menyiram bensin ke api”. Ia menyebut jilbab sebagai pakaian tradisonal yang digunakan oleh sebagian kecil dari Muslim. Mereka—di mata Straw—hanyalah orang-orang terpinggirkan dan menghambat proses penyatuan Eropa. Menurut kolega dekat Blair ini, “Komunikasi memerlukan kedua belah pihak saling melihat wajah satu sama lain.”
Straw juga mengingatkan perlunya saling memahami sensitivitas antarbudaya. “Anda tidak saja mendengar, tapi perlu juga melihat lawan bicara.”
Boleh jadi, Straw tidak bermaksud menyakiti. Tapi ketidaknyamanan keburu terjadi. Pemimpin partai Konservatif David Cameron terlanjur melontarkan ucapan nyinyir. Dia menyebut kaum Muslimin sebagai “penghuni perkampungan kumuh”. Tabloid-tabloid di Inggris ramai menceritakan tentang seorang supir taksi Muslim yang menolak seorang wanita buta yang membawa anjing. Liur anjing sesuai dengan keyakinan Muslim memang najis. Perdana Menteri Inggris Tony Blair, saat ini bahkan tidak dapat menahan sikapnya dengan menyebut jilbab sebagai simbol “pemisahan”.
Menurut Fareena Alam, aktivis Muslimah Inggris yang lahir di Singapura, debat jilbab di Inggris–seperti juga yang sedang berlangsung di Perancis—merupakan masalah krisis identitas yang terjadi di Eropa. Persoalannya bukan membahayakan integrasi atau tidak. “Setelah komunis, sekular dan demokrasi seharusnya menjadi lebih berpengaruh di Eropa, tapi Islam datang mengacaukan pesta itu,” katanya.
Hadirnya komunitas Muslim yang enerjik perlahan mengubah kehidupan materialis Eropa. Penduduk Eropa memang dirisaukan dengan membludaknya imigran Muslim. Jumlah Muslim selalu bertambah, enggan berkurang. Di Austria misalnya. Pada 2050, diperkirakan jumlahnya melompat dari 4% menjadi 26%. Menurut Eric Kaufmann, kini semakin sulit menemukan masyarakat yang memiliki budaya tanpa melihat identitas agamanya.
Bagi Eropa, jilbab adalah tantangan bagi pembauran warganya. Jilbab sekaligus ancaman bagi “Klub Kristen”. Tapi sesungguhnya bagi mereka yang berpikir seperti itu, pada akhirnya akan menemukan kebohongan. Ketua Commission on Racial Equality, Trevor Philips, baru-baru ini memeringatkan nada sumbang terhadap jilbab justru dapat menyalakan protes besar seperti yang terjadi di Inggris utara pada 2001.
Setelah Inggris, Muslim Italia digoyang kampanye larangan memakai cadar. Mereka cemas, kampanye larangan bercadar yang dihembuskan oleh partai sayap kiri Lega Nord akan meluas sehingga jilbab pun akan ikut-ikutan dilarang.
Tokoh Islam di negeri yang terkenal dengan pizzanya itu mengecam Lega Nord yang mereka anggap mengurusi hal remeh. Toh, Muslimah bercadar di Italia jumlahnya sangat sedikit. "Ada kelompok politik sedang berusaha menimbulkan persoalan yang berkaitan dengan Islam, mereka bermaksud menarik perhatian kalangan yang netral di Italia," kata Imam masjid dan Kepala Islamic Center di Milan Ali Abu Shwaima.
“Kami tak punya maksud membantu mereka melakukan hal itu dengan menanggapi isu-isu yang mereka angkat," sambungnya seperti dikutip Islamonline.
Menurut Fuad Nahdi, yang juga editor Majalah Q-News Inggris, perselisihan ini bukan hal baru, tapi sudah berlangsung selama 15 tahun. Orang pun bertanya, “Selain jenggot, jilbab dan makanan halal, apalagi identitas Muslim di abad 21 ini?”
Eman Mulyatman
Newsweek, Islamonline, AFP
0 Komentar