Header Ads Widget

Responsive Advertisement

Ticker

6/recent/ticker-posts

Para Salaf dan Ulama: Tidak Takut kepada Penguasa


Ulama terdahulu, tidak hanya menjalankan tugas mereka sebagai penyebar ilmu atau pembimbing umat. Lebih dari itu, mereka juga berfungsi sebagai alat kontrol terhadap kebijakan para penguasa.

Tugas ini mustahil bisa dilakukan jika mereka sendiri menjadi kroni atau bahkan menggantungkan kehidupan kapada penguasa. Oleh sebab itu, para ulama saat itu selalau menjaga agar mereka senantiasa bersikap obyektif, tidak membedakan panguasa atau rakyat jelata dan tidak pula menerima imbalan serta hadiah dari para penguasa.

Tak jarang, para ulama yang berani mengingatkn penguasa harus berhadapan dengan hukuman yang bisa mengancam nyawa mereka. Akan tetapi, mereka menghadapi ”ancaman” itu dengan penuh ketegaran dan kesabaran.

Kisah-kisah itulah yang kita ”suguhkan” kepada pembaca saat ini, mudah-mudahan ketegasan dan keberanian mereka bisa menjadi suri tauladan bagi kita semuanya. Selamat membaca.

Ulama: “Jangan Dekati Pintu Penguasa!”

Karena sangat berhati-hati, para ulama terdahulu enggan mendatangi penguasa, walau hanya untuk mengajar, dan menerima pemberian penguasa bagi mereka adalah sebuah aib

Imam Malik (179 H ) diminta oleh Khalifah Harun Ar Rasyid untuk berkunjung ke istana dan mengajar hadits kepadanya. Tidak hanya menolak datang, ulama yang bergelar Imam Dar Al Hijrah itu malah meminta agar khalifah yang datang sendiri ke rumah beliau untuk belajar,”Wahai Amiul Mukminin, ilmu itu didatangi, tidak mendatangi.”

Akhirnya, mau tidak mau, Harun Ar Rasyidlah yang datang kepada Imam Malik untuk belajar. Demikianlah sikap Imam Malik ketika berhadapan dengan penguasa yang adil sekalipun semisal Ar Rasyid. Ia diperlakukan sama dengan para pencari ilmu lainnya walau dari kalangan rakyat jelata. Selain itu, para ulama menilai, bahwa kedekatan dengan penguasa bisa menimbulkan banyak fitnah. Kisah ini termaktub dalam Adab As Syari’iyah (2/52).

Tidak hanya Imam Malik, yang memperlakukan Ar Rasyid demikian, para ulama lainnya pun memiliki sikap yang sama. Suatu saat Ar Rasyid pernah meminta kepada Abu Yusuf, qadhi negara waktu itu, untuk mengundang para ulama hadits agar mengajar hadits di istananya.

Tidak ada yang merespon undangan itu, kacuali dua ulama, yakni Abdullah bin Idris 92 H) dan Isa bin Yunus (86 H), mereka bersedia mengajarkan hadits, itupun harus dengan syarat, yakni belajar harus dilaksanakan di rumah mereka, tidak di istana. Akhirnya kedua putra Ar Rasyid, Al Amin dan Al Makmun mendatangi rumah Abdullah bin Idris. Di sana mereka berdua mendapatkan seratus hadits. Setelah itu, mereka berangkat menuju rumah Isa bin Yunus. Sebagai ”ucapan terima kasih”, Al Makmun memberikan 10 ribu dirham. Tapi Isa bin Yunus menolak, dan mengatakan,”Hadits Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, tidak untuk mendapatkan apa-apa, walau hanya segelas air untuk minum”

Sedangkan Abu Hazim (140 H), ulama di masa tabi’in, pernah menyatakan, bahwa di masa sebelum baliau, jika umara mengundang ulama, ulama tidak mendatanginya. Jika umara memberi, ulama tidak menerima. Jika mereka memohonnya, mereka tidak menuruti. Akhirnya, para penguasa yang mendatangi ulama di rumah-rumah mereka untuk bertanya. (Riwayat Abu Nu’aim).

Kedekatan ulama dengan penguasa merupakan seuatu hal yang dianggap sebagai aib oleh para ulama saat itu.Bahkan Abu Hazim mengatakan,”Sebaik-baik umara, adalah mereka yang mendatangi ulama dan seburuk-buruk ulama adalah mereka yang mencintai penguasa.”

Selain Abu Hazim, Wahab bin Munabih (110 H), ulama dari kalangan tabi’in juga pernah menyatakan agar para ulama menghindari pintu-pintu para penguasa, karena di pintu-pintu mereka itu ada fitnah, ”Kau tidak akan memperoleh dunia mereka, kecuali setelah mereka membuat mushibah pada agamamu.” (Riwayat Abu Nu’aim).

Para ulama bersikap demikian, karena keakraban dengan penguasa bisa menyebabkan sang ulama kehilangan keikhlasan, karena ketika mereka mendapatkan imbalan dari apa yang mereka berikan kepada penguasa, maka hal itu bisa menimbulkan perasaan ujub, atau kehilangan wibawa di hadapan penguasa. Ujung-ujungnya, mereka tak mampu lagi melakukan amar ma’ruf nahi mungkar, jika para penguasa melakukan kesalahan.

Inilah yang sejak awal sudah diperingatkan oleh Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam (SAW), beliau telah bersabda, ”Barang siapa tinggal di padang pasir, dia kekeringan. Barang siapa mengikuti buruan ia lalai. Dan barang siapa yang mendatangi pintu-pintu penguasa, maka ia terkena fitnah. (Riwayat Ahmad).

Beramai-Ramai Menolak Pemberian Penguasa
Suatu saat Muhammad bin Rafi’ An Naisaburi (245 H), ulama hadits semasa Imam Bukhari menerima seorang utusan dari Amir Thahir bin Abdullah Al Khuza’i, seoarang penguasa pada waktu itu. Utusan itu menemui Muhammad bin Rafi’ yang sedang makan roti dengan menyodorkan uang lima ribu dirham. Sekantong uang itu diletakkan di samping Muhammad.

Utusan itu menjelaskan bahwa Amir Thahir mengirimkan uang ini untuk belanja kaluarga Muhammad. ”Ambil, ambillah harta itu untukmu. Saya tidak membutuhkan. Saya telah berumur 80 tahun, sampai kapan saya akan terus hidup?” Jawab Muhammad.

Akhirnya, utusan itu pergi dengan sekantong uang dirham. Namun, setelah utusan itu pergi, putra Muhammad muncul dari dalam rumah, ”Wahai Ayah, malam ini kita tidak memiliki roti!” serunya, sebagaimana dikisahkan Ad Dzahabi dalam Thabaqat Al Huffadz (2/510).
Ada pula sebuah kisah menarik lainnya, tentang Imam Al Auza’i (157 H). Setelah memberi nasehat kepada Khalifah Al Manshur, beliau meminta izin kepada khalifah, untuk pergi meninggalkannya demi menjenguk anaknya di negeri lain. Al Manshur merasa bahwa Al Auza’i telah berjasa kepadanya, karena nasehat-nasehat yang telah disampaikan kepadanya. Akhirnya, ia ingin memberi ”bekal perjalanan” untuk ulama ini. Namun apa yang terjadi? Sebagaimana disebutkan dalam Al Mashabih Al Mudzi` (2/133,134), Imam Al Auzai menolak. ”Saya tidak membutuhkan itu semua, saya tidak sedang menjual nasehat, walau untuk seluruh dunia dan seisinya.” Ucap beliau dengan tegas.
Ada beberapa ulama lain, yang juga tegas menolak pemberian para penguasa. Adalah Kamal Al Anbari (513 H), dalam Thabaqat As Syafi’iyah Al Kubra (7/155), disebutkan bahwa beliau adalah ulama nahwu yang memiliki harta pas-pasan. Hidupnya hanya mengandalkan sewa kedai, yang dalam sebulan cuma menghasilkan setengah dinar.
Namun keadaan itu tidak mempengaruhi sikap beliau. Suatu saat khalifah Al Mustadhi’ mengirimkan utusan kepadanya, dengan membawa uang 500 dinar, untuk diberikan kepadanya. Akan tetapi Al Anbari menolak. Sehingga utusan tersebut mengatakan, ”Kalau engkau tidak mau, berikanlah harta ini kepada anakmu”.
Al Anbari menjawab,”Jika aku yang menciptakannya, maka akulah yang memberinya rezeki”
Perkataan Al Anbari menunjukkan bahwa Allah telah mengatur rizki anaknya, hingga ia tidak perlu menerima dan memberikan hadiah itu kepada anaknya.
Abu Hasan Al Karkhi (410 H) termasuk bagian dari deretan para ulama yang menolak pemberian penguasa. Saat beliau menderita sakit keras, 4 sahabatnya menjenguk, merasa iba dengan keadaan Al Karkhi. Akhirnya mereka berunding mengenai biaya pengobatan, karena tidak ingin memberatkan umat Islam, mereka bersepakat untuk meminta penguasa waktu itu, Saif Ad Daulah agar memberikan bantuan.
Setelah dilaksanakan, mereka mengabarkan hal itu kepada Al Karkhi. Bukan malah senang, Al Karkhi malah menangis, dan berdoa, ”Ya Allah, jangan Engkau jadikan rezeki untukku, kacuali apa yang biasa Engkau berikan”

Doa Al Karkhi terkabul, beliau telah wafat terlebih dahulu, sebelum bantuan itu sampai. Barulah setelah itu, surat dari Saif Ad Daulah berserta sepuluh ribu dirham tiba, dan disebut dalam surat, bahwa penguasa berjanji, siap memberikan uang sebesar itu pula suatu saat nanti.

Menjauhi Mereka yang Dekat dengan Penguasa
Tidak hanya menjauhi penguasa atau menolak hadiah dari mereka. Orang atau bahkan ulama yang dekat dengan penguasa akan dijauhi oleh ulama lain. Ini tercermin dari sikap Al Karkhi. Beliau menjauhi sahabatnya dekatnya, setelah ia mendadak kaya, karena dekat dengan penguasa.

Sahabatnya itu bernama Abu Al Qasim At Tanukhi. Diketahui, setelah ia menjabat hakim negara, tiba-tiba kehidupannya berubah. ”Sekarang tiap hari yang dimakan berdinar-dinar, dan saya belum mengetahui kalau ia mendapat warisan atau sukses dalam berdagang. Tidak tahu dari mana asalnya harta itu”. Ucap Al Karkhi. Mulai saat itu, beliau tidak pernah satu majelis dengan At Tanukhi, sebagaimana dicatat Al Kautsari dalam Al Maqalat (386)

Enggan Makan dari Makanan Penguasa
Adalah Syaikh Jamaluddin Al Hashiri (636 H), ulama madzhab Hanafi di Mesir.Di saat bulan Ramadhan tiba, baliau mengunjungi Istana untuk menemui Sultan Malik Adil. Datang ke istana bukan karena undangan, akan tetapi beliau ingin mengetahui alasan Malik Adil melarang Syaikhul Islam Izzuddin bin Abdissalam untuk berfatwa, padahal beliau adalah orang yang pantas untuk berfatwa, menurut pandangan para ulama.

Disebutkan dalam Thabaqat As Syafi’iyah (8/237) bahwa saat adzan Maghrib berkumandang, pelayan istana membawa minuman, Sultan meminumnya dan menawarkan juga kepada Al Hashiri. “Saya datang ke sini bukan untuk menikmati makan dan minum dari Anda.” Jawabnya. Al Hashiri tidak menyentuh cawan itu.

Diperingatkan Allah Setelah Bangga ”Dihormati” Penguasa
Setelah Sultan Khawarizmi Syah usai melakukan pertempuran melawan kekuasaan kafir, dan berhasil membunuh rajanya, Imam Ar Rafi’i menemui Sang Sultan dan mencium tangannya.”Saya mendengar, bahwa anda telah membunuh pemimpin kafir dengan tangan anda sendiri, saya ingin mencium tangan itu.” Sebaliknya, sultan enggan, malah ia yang mencium tangan Imam Ar Rafi’i.

Setelah peristiwa itu terjadi, Imam Ar Rafi’i berlalu dengan kendaraannya. Namun, tidak lama kemudian, tunggangannya terpeleset dan jatuh, dan tangan beliau terluka. ”Subhanallah, sultan telah mencim tangan ini, dan seketika itu aku merasakan kebanggaan, maka Allah telah menghukumku saat ini juga dengan kecelakaan ini.” Ucap Ar Rafi’i, sabagaimana termaktub dalam Thabaqat As Syafi’iyah Al Kubra (8/284).

Posting Komentar

0 Komentar