Header Ads Widget

Responsive Advertisement

Ticker

6/recent/ticker-posts

Mimpi al ma'mun dengan Aristotle


Dalam kitabnya Fihrist Ibn Nadim menceritakan, pada suatu hari al-Ma’mun, khalifah Abbasiyah ke VII, bermimpi. Disamping tempat tidurnya duduk persis seperti berhadap-hadapan dengan sopan seorang berkulit putih berwajah kemerah-merahan, beralis tebal, berkepala setengah gundul. Dengan rasa terkejut al-Ma’mun bertanya:”Siapa kamu?”

“Saya Aristotle” Jawab orang itu.

Ia terkesima tapi senang. Ia kemudian bertanya lagi:

“Bolehkah saya bertanya sesuatu?”

“Bertanyalah !”Jawab Aristotle.

“Apa itu kebaikan?”

“Kebaikan adalah apa yang ada dalam pikiran” jelas Aristotle.

Tidak cukup dengan jawaban itu ia bertanya lagi:”Lalu apa lagi”?

“Kebaikan itu apa yang baik dalam hukum” jawabnya

“lalu apa lagi” katanya

“Kebaikan adalah apa yang baik untuk publik?”

“Lalu apa lagi?” tanyanya

“Lagi?” Tanya Aristotle balik “Itu saja, tidak ada lagi”.

Dialog dalam mimpi al-Ma’mun belum berakhir disitu. Dalam riwayat lain masih ada fragmen dialog yang jarang disebut. al-Ma’mun berkata: ”Beritahu saya lagi sesuatu?”

Aristotle lalu menjawab “Siapapun yang memberi nasehat anda tentang emas, ambillah ia sebagai emas, tapi bagi anda yang penting adalah keesaan (Tuhan)”.

Mimpi boleh jadi hanya merupakan kegelisahan jiwa (waswasat al-nafs). Dapat pula merupakan isyarat dari langit. Sebab, sabda Nabi, ia adalah salah satu dari 46 pertanda kenabian,. Al-Ghazzali bahkan menganggap mimpi bisa menjadi penghubung antara a lam al-mulk dengan a lam al-malakut. Jika mimpi al-Ma’mun termasuk kategori ini maka ta’bir kata-kata Aristotle itu bisa dijelaskan.Bahkan menurut Ibn Sirin, al-Nablisi dan penafsir mimpi lainnya mimpi dapat di ta’wil kan secara ilmiyah.

Ta’wil-nya mungkin begini: Aristotle menganggap akal atau pikiran dan masyarakat sebagai sumber kebenaran. Aristotle tidak mengenal wahyu dan Yunani bukan tempat nabi-nabi diturunkan. Menganggapnya sebagai nabi juga mustahil. Nabi pasti membawa misi tauhid, sedangkan Aristotle tidak. Konsep Tuhannya, Unmoved-Mover (Penggerak yang tak tergerakkan) adalah hasil spekulasi pemikiran. Jumlahnya banyak, meskipun kualitasnya satu. Itu mungkin sebabnya mengapa dalam mimpi al-Ma’mun ia mengatakan “bagi anda yang penting adalah keesaan Tuhan”. Dus, konsep Tuhan Aristotle dan al-Ma’mun berbeda. Yang pasti Tuhan Aristotle tidak untuk disembah dan bukan pencipta yang aktif.

Konsep Tuhan dalam Islam ditentukan oleh wahyu bukan akal. Meski Ibn Taymiyyah ataupun Ibn Tufayl menganggap fitrah manusia dapat menemukan Tuhan, tapi mereka percaya bahwa akal masih harus disempurnakan oleh wahyu (fitrah munazzalah)

Apakah mimpi al-Ma’mun termasuk ru’ya salihah (mimpi yang benar) wallahu a’lam. Yang jelas setelah mimpi itu al-Ma’mun memulai gerakan penterjemahan karya-karya Yunani, Persia, Sanksekerta kuno dan lain-lain kedalam bahasa Arab. Ini proyek riil bukan mimpi. Inilah diantara gerakan yang menjadi pemicu berkembangnya peradaban Islam.

Namun perlu dicatat bahwa peradaban Islam tidak berkembang hanya karena terjemahan karya-karya asing. Sebab ummat Kristen Syriac juga tahu karya-karya Yunani, tapi tidak mampu berkembang seperti ummat Islam saat itu. Islam berkembang utamanya karena keunikan pandangan hidupnya. Karena pandangan hidupnya maka peradaban Islam menyerap atau meminjam unsur-unsur peradaban lain. Proses penyerapan atau pinjam meminjam dalam peradaban, kata Prof.Alparslan, adalah alami. Tapi meminjam bukan hanya menterjemah. Ada mekanisme dan proses ilmiyah selanjutnya. M.Rekaya dalam The Encyclopedia of Islam menulis bahwa al-Ma’mun mengadopsi dan mengadapsi (adopted and adapted) khazanah pemikiran asing “according to the requirement of Islamic Civilization.” Inilah paparan singkat mekanisme dan proses meminjam konsep asing,

Tidak lebih dari seabad dari proses adopsi konsep asing itu ummat Islam telah mampu “menghasilkan karya asli.” Ini diakui William Mac Neil dalam karyanya The Rise of the West. Cara baru penggunaan angka-angka simbol matematik al-Khawarizmi, ensiklopedia kedokteran Abu Bakar al-Razi, sejarah dunia dari kosep penciptaan al-Tabari dan lain-lain membuktikan hal itu. Bagi Thomas Brown, (The Oxford History of Medieval Europe) keberhasilan dan kekuatan ummat Islam terletak pada kemampuan mereka mengembangkan “sinthesa yang orisinal dan kuat”.

Rekaya benar, penterjemahan barulah proses adopsi. Sesudah itu diikuti oleh proses adapsi konseptual. Disinilah pandangan hidup Islam memainkan peran sentralnya. Konsep Tuhan, konsep hidup, konsep manusia, konsep dunia dll, menjadi penapis konseptual. Penapisan konseptual terkadang memerlukan perubahan paradigma (paradigm shift). Jika demikian maka inilah yang dinamakan al-Attas sebagai proses Islamisasi. Al-Kindi, al-Farabi, Ibn Sina dan lain-lain mencoba mengislamkan berbagai konsep Yunani. Karena begitu kompleksnya konsep-konsep asing itu kekurangan terjadi disana sini. Itulah sebabnya mengapa al-Ghazzali merasa perlu menulis Tahafut al-Falasifah, dan Fakhr al-Din al-Razi perlu menulis Matalib al-aliyah. Demikian seterusnya.

Jika kini konsep-konsep yang dikembangkan al-Ash‘ari, al-Ghazzali, al-Razi, al-Suyuti, al-Baidawi dll, diganti dengan konsep-konsep Emmanuel Kant, Derrida, Emilio Betti, Paul Rycour dsb, maka kita justru akan set back ke periode adopsi konsep-konsep. Lebih-lebih jika konsep-konsep sentral dalam pandangan hidup Islam juga digusur oleh konsep-konsep asing. Yang terjadi bukan Islamisasi konseptual tapi justru invitasi konsep-konsep asing tanpa koreksi dan kritik. Apakah salahnya “mengundang” konsep asing “kerumah” kita? Apa salahnya menggunakan konsep asing? Memang tidak salah, asalkan tamu yang diundang tidak berubah menjadi tuan rumah. Dan asal konsep-konsep asing dengan kerancuan konseptualnya tidak dibiarkan tanpa koreksi. Pepatah kuno mengatakan Amici vitias si feras, facias tua, membiarkan kesalahan kawan – tanpa koreksi – berarti menjadikannya milik Anda. [www.hidayatullah.com]

Penulis Direktur Eksekutif Institute for the Study of Islamic Thought and Civilization (INSISTS)

Posting Komentar

0 Komentar