Oleh: Jusman Dalle
SALAH satu pemberitaan yang mengusik publik Indonesia akhir-akhir ini adalah debt collector atau lebih mudah kita kenal dengan sebutan penagih utang. Sorotan publik terhadap layanan jasa debt collector ini bermula dari tewasnya Sekretaris Jenderal Partai Pemersatu Bangsa (PPB), Irzen Octa.
Seperti diberitakan, Irzen tewas tidak lama setelah terlibat negosiasi dengan tiga orang debt collector yang dipekerjakan oleh salah satu bank asing yang beroperasi di Indonesia. Di duga, saat terjadi negosiasi terhadap tunggakan pembayaran tagihan Irzen sebsar Rp. 100 juta, para debt collector tersebut melakukan kekerasan.
Sebelum kejadian tersebut, posisi debt collector sudah sering dipolemikkan. Media sering memberitakan tentang keluhan nasbah bila tak mampu menyelesaikan utangnya, biasanya debt collector melakukan teror hingga kekerasan. Kita tentu tidak hendak menyudutkan pekerjaan debt collector, bahwa perlu navigasi perspektif, kenapa hal semacam ini –kekerasan- bisa terjadi.
Dalam perspektif perubahan social-budaya, menarik mengkaji labih jauh balada kartu kredit tersebut. Fritjop Chapra di dalam bukunya The Turning Point (1997) dalam menganalisa perilaku masyarakat suatu peradaban. Evolusi suatu masyarakat, menurut Chapra, termasuk evolusi sistem dan perilaku ekonominya, terkait erat dengan perubahan-perubahan di dalam sistem nilai yang menjadi manifestasinya.
Nilai-nilai yang dijadikan pedoman oleh masyarakat akan menentukan pandangan dunia, lembaga keagamaan, perusahaan dan tekologi ilmiah dan pengaturan-pengaturan politik dan ekonomi masyarakat tersebut.
Pergeseran Budaya
Chapra melanjutkan, bahwa perangkat nilai dan tujuan kolektif yang telah terungkapkan dan dikondifikasi, akan membentuk persepsi, wawasan, dan pilihan-pilihan untuk adaptasi sosial yang pada gilirannya menyebabkan perubahan budaya. Melahirkan budaya baru.
Pada rentang waktu abad ke enam belas dan tujuh belas, terdapat perubahan dramatis terhadap cara manusia menggambarkan dunia dalam keseluruhan cara berfikir. Mentalitas dan persepsi tersebut, menjadi dasar paradigma yang mendominasi kebudayaan selama tiga ratus tahun, hingga memasuki abad 21 kini.
Eko Laksono, secara deskriptif menggambarkan transformasi budaya pada masa tersebut di dalam bukunya "Imperium III, Zaman Kebangkitan Besar" (2006). Bahwa zaman yang disebutkan sebagai “Kebangkitan Kedua, Kebangkitan Barat” atau renaissance, ditandai dengan perubahan gaya hidup masyarakat barat, khususnya Eropa, termasuk dalam pola perilaku ekonomi.
Perubahan drastis terjadi pasca evolusi industri di Inggris. Kantong-kantong kapitalis mulai terbentuk. Konglomerat Inggris umunya berasal (imigran) dari Italia dan Prancis. Masyarakat dan gaya hidup Inggris pasca revolusi bertahan hingga kini, menggurita melalui jalan imperialisme sepanjang abad 19 hingga abad 20.
Hingga abad 21, wajah representatifnya bisa kita tandai dengan ikon peradaban material, bergeser dari tempat semai di Eropa. Simbol kemapanan itu ada di Amerika Serikat, kemudian tersebar melalu kampanye yang masif dengan dukungan korporasi.
Berangkat dari uraian di awal tulisan ini, melihat realitas kekinian, ada perubahan pada pola budaya dan perilaku masyarakat. Ada semacam kontraksi budaya, menuju masyarakat konsumtif.
Kartu kredit sering dijadikan sebagai simbol gaya hidup masyarakat urban (perkotaan). Baik oleh kalangan pejabat, selebritis maupun publik figur lainnya.
Gegap gempita perubahan gaya hidup ini seiring dengan perkembangan dunia imformasi yang ditandai dengan membanjirnya iklan beragam produk, dari produk lokal hinga impor.
Dewasa ini, logika kapitalisme telah merasuki jantung budaya masyarakat. Simbol-simbol kemapanan ekonomi seperti mall dan berbagai arena belanja lainya tumbuh subur, secara kausalistik turut mendesakkan perilaku konsumtif.
Elaborasi informasi dalam iklan-iklan artifisial, didukung oleh akses produk yang reltif mudah bahkan bisa dibeli secara online (via internet), menghilangkan rasionalitas masyarakat terhadap kebutuhan yang dalam teori ekonomi kapitalis secara absolut dijelaskan tanpa limitasi.
Secara mekanistik, lahirnya kelas-kelas menangah seiring pertumbuhan ekonomi Indonesia juga turut memberi sumbangsih.
Budaya latah di dalam masyarakat tidak saja di daerah urban, namun hingga ke pelosok -sebagai ekses informasi- membentuk arus baru yang mereduksi batas-batas kemampuan ekonomi.
Preferensi yang telah mengkooptasi akal sehat masyarakat tersebut, bisa kita rasakan dari berbagai kemudahan untuk memiliki suatu produk. Dari kebutuhan lux seperti mobil, hingga tersier seperti handphone jamak dikreditkan dengan bunga bersaing. Kadang disertai dengan iming-iming doorprize dan berbagai fasilitas yang memanjakan syahwat konsumtif masyarakat yang sebelumnya telah diracuni oleh propaganda iklan.
Warning!
Kristalisasi dari budaya konsumtif ini dapat kita lihat dari data berikut. Data Bank Indonesia (BI) menunjukkan pertumbuhan kartu kredit setahun terakhir mengalami peningkatan. Dibanding pada Februari 2010, meningkat 7,3 persen pada bulan yang sama di tahun 2011 ini. Selain itu, dari Rp.6000 triliun nilai produk domestik bruto (PDB) Indonesia, sebagian besar, yaitu 60 persen bersumber dari sektor konsumsi. Ini merupakan peluang bagi bank untuk menyalurkan kartu kredit.
BI melansir bahwa hingga Januari 2011, jumlah kredit bermasalah (non performing loan / NPL) dari pengguna kartu kredit mencapai Rp. 1,56 triliun. Jumlah tersebut tentu terus bergerak naik seiring dengan inovasi fasilitas kartu kredit dan sejumlah bank menargetkan pertumbuhan dari bsnis ini mencapai 30 persen. Menyalurkan kartu kredit adalah bisnis yang cukup menggiurkan dengan bunga 3,5 persen per bulan.
Krisis ekonomi yang melanda AS pada tahun 2008 yang hingga kini belum pulih, pada awalnya juga berasal dari kemudahan akses kredit, khususnya kredit perumahan yang akhirnya mengakibatkan subprime morgage. Adalah Lehman Brothers, salah satu lembaga keuangan terbesar di dunia, tidak mampu menalangi kredit macet nasabahnya. Bukan hanya Lehman Brothers, perusahaan raksasa lainnya seperti Merrill Lynch dan American International Group.
Kasus yang terjadi pada Sekjen PPB tersebut, merupakan alarm betapa kapitalisme korporasi melalui agen-agennya berhasil membuat mainstream (arus utama) yang penulis istilahkan sebagai “citizen capitalism”. Yaitu model kapitalisme yang ber-fusi pada sektor budaya dan gaya hidup masyarakat, mengakar urat dan menjadi life style (gaya hidup).
Uang plastik (istilah lain kartu kredit), memungkinkan hampir semua lapisan masyarakat menjadi agen-agen kapitalis. Bahwa budaya konsumtif, adalah logika kapitalisme. Maka dengan semakin mudahnya masyarakat memiliki “uang plastik”, maka, kapitalisme menjadi faham “dompetan” (menjadi hiasan berjejer, mengisi dompet masyarakat konsumtif).
Lha anehnya, kapitalisme yang di Amerika Serikat yang telah sekarat ini justru dipungut oleh masyarakat kita. Nahas!
Etika dan landasan ekonomi Islam yang bersumber dari al-Qur’an mewanti-wanti umat manusia agar menjauhi kredit -berbunga-. Salah satunya, secara marathon, Allah SWT berfirman di dalam Surat Al Baqarah ayat 275 hingga ayat 280.
“Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Rabb-nya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang mengulangi (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya”. (QS. Al-Baqarah : 275).
Ancaman Allah pada pengguna riba ini sudah sangat jelas sekali. Bahkan, dalam suatu hadits, Rasulullah Sallallahu ‘alayhi wa sallam menyamakan dosa orang yang memakan riba dengan dosa menzinai ibu sendiri. Na’udzubillahi min dzaalik.
Nah, jangan-jangan, yang membuat negara kita semrawut tak ada habis-habusnya, dan tak mendapatkan barakah di sisi Allah ini karena masih menggunakan riba, termasuk dari jasa perbankan. Maka, saatnya kita mulai berusaha meninggalkan hal-hal yang berurusan dengan dunia perbankan, khususnya riba.*
Penulis aktif di Forum Silaturahim Studi Ekonomi Islam (FoSSEI) Regional Sulawesi Selatan
0 Komentar