Oleh: Jauhar Ridloni Marzuk
KEMAJUAN sebuah
peradaban biasanya berbanding lurus dengan penguasaan ilmu pengetahuan.
Mesir Kuno pada abad ke-5 sebelum Masehi, mampu memimpin dunia dengan
penguasaan ilmu pengetahuan yang tidak dimiliki oleh bangsa lainnya. Di
masa ketika manusia masih masih primitif, Mesir telah mampu membangun
irigasi secara teratur, menguasai ilmu seni pahat dengan lukisan dan
patung-patung dewa yang mempesona, ilmu astronomi hingga arsitektur.
Bahkan menurut sebagian sejarawan, huruf hyeroglif yang dipakai saat itu
adalah sususan huruf pertama yang digunakan oleh manusia.
Faktor seperti ini juga yang menjadi sebab gemilangnya
peradaban–peradaban setelahnya, seperti Yunani; Persia, Romawi hingga
Islam.
Peradaban Islam mencapai puncak kejayaanya pada masa Dinasti
Abbasiyah. Di masa ini, Islam menjadi kiblat peradaban dunia. Ketika
Barat dan belahan dunia lainnya masih dirundung konflik dan penderitaan
yang tidak kunjung berakhir, Baghdad telah menjelma menjadi kota paling
metropiltan di dunia. Taman-taman indah menghiasi setiap sudut kota,
lampu penerang bertebaran, bangunan-bangunan cantik dengan arsitektur
mengagumkan berdiri di sekeliling kota.
Penyebabnya bukan karena
luas wilayah kerajaan yang mencapai 2/3 dunia, tapi karena penguasaan
ilmu pengetahuan yang tidak ada tandingannya.
Pada masa ini seniman, teknokrat, ilmuwan, pujangga, filsuf, dan
saudagar berkontribusi terhadap perkembangan di bidangnya masing-masing.
Ilmu agama, kesenian, industri, hukum, literatur, navigasi, filsafat,
sains, sosiologi, dan teknik mengalami perkembangan yang sangat pesat.
Pada masa ini juga lahir sebuah institusi keilmuan modern pertama di
dunia yang menjadi cikal bakal perkembangan ilmu pengetahuan ini; Baitul
Hikmah.
Nama Baitul Hikmah diambil dari kata ha-ka-ma- yang artinya
bijaksana. Dari kata ini juga keluar isitlah Hakim (orang yang
bijaksana). Hal ini bukan tanpa alasan, menurut Prof. Dr. Nazeer Ahmed,
ini dikarenakan dalam Islam, seorang ilmuan bukan hanya orang yang
melihat alam dari luar, tetapi dia adalah orang bijak (man of wisdom) yang melihat alam dari dalam dan menyatukan antara ilmu pengetahuan yang dia dapat ke dalam pokok-pokok dasar segala sesuatu.
Jadi inti dari seorang ilmuan bukanlah terpaku pada pengetahuan untuk
mencari ilmu pengetahuan, tetapi realisasi dari dasar-dasar pokok itu
untuk menyerap ciptaan Tuhan dan keteraturan alam yang menunjukkan
kebijaksanaan Tuhan.
Baitul Hikmah didirikan oleh Khalifah Harun Ar Rashid pada tahun 813 M
dan terletak di jantung kota Bahgdad. Walaupun pada awalnya hanya
sebuah perpustakaan, tetapi Baitul Hikmah bukanlah perpustakaan seperti
yang kita kenal saat ini. Baitul Hikmah bahkan lebih menyerupai
universitas. Di sini adalah tempat pertemuan para intelektual, pusat
kajian dan diskusi, sanggar terjemah, laboratorium penelitian, dan
tempat penerbitan buku.
Baitul Hikmah menjadi pusat pertemuan ilmu-ilmu pengetahuan dari
Barat (Yunani) dan dari Timur (India, Persia dan China) yang selanjutnya
dikembangkan oleh para cendekiawan Islam menjadi berbagai ilmu
pengetahuan, seperti matematika, filsafat, astronomi, kedokteran, fisika
bahkan juga metafisika.
Di tempat ini, buku-buku dari Barat dan Timur dikaji, didiskusikan, dikritisi, diterjemakan dan dan kemudian ditulis ulang.
Dari India misalnya, berhasil diterjemahkan buku-buku Kalilah dan
Dimnah maupun berbagai cerita Fabel yang bersifat anonim. Berbagai dalil
dan dasar matematika juga diperoleh dari terjemahan yang berasal dari
India. Selain itu juga diterjemahkan buku-buku filsafat dari Yunani,
terutama filsafat etika dan logika. Sedangkan karya-karya satra diambil
dari Persia.
Kemajuan ilmu pengetahuan bukan hanya pada bidang ilmu eksakta saja,
ilmu-ilmu Naqli seperti Tafsir, Teologi, Hadits, Fiqih, Ushul Fiqh dan
lain-lain juga mengalami perkembangan signifikan. Perkembangan ini
memunculkan tokoh-tokoh besar dalam sejarah ilmu pengetahuan, seperti;
Al-Kindi, Al-Khwarizmi, Muhammad Jakfar bin Musa, Ahmad bin Musa, Abu
Tammam, Al-Jahiz, Ibnu Malik At-Thai, Abul Faraj, Al-Farabi, Ibnu Sina,
Al-Biruni, Ibnu Misykawaih, hingga sejarawan besar Ibnu Khaldun sebagian
ulama yang belajar di Baitul Hikmah. Mereka lah yang berpengaruh besar
terhadap perkembagan ilmu pengetahuan selanjutnya, bukan hanya untuk
Islam tapi juga Barat dan Eropa.
Setelah meninggalnya Harus Ar-Rashid, pemeliharan Baitul Hikmah kemudian dilanjutkan oleh penerusnya, Al-Ma’mun.
Tidak kalah dengan pendahulunya, di masa Al-Makmun, Baitul Hikmah
terus mengalami kemajuan. Al-Makmun mengundang para ilmuwan di seluruh
dunia Islam untuk berbagi ide, informasi, dan pengetahuan di
perpustakaan ini. Ketertarikannya terhadap filsafat juga mendorongnya
melakukan terjemah besar-besaran terhadap karya-karya dari Yunani.
Baitul Hikmah terus mengalami perkembangan di masa setelah Makmun,
Al-Mu’tashim dan Al-Watsiq, namun mengalami kemerosotan di masa
Al-Mutawakkil, dan kemudian musnah pada masa Al-Musta’shim akibat
serangan tentara Mongol yang dipimpin oleh Hulagu Khan, cucu Genghis
Khan, pada tahun 1258.
Namun Baitul Hikmah hancur diratakan dengan tanah, dan buku-bukunya
dibuang sungai. Konon, warna air Sungai Tigris yang melalui Bagdad,
berubah menjadi merah dan hitam selama seminggu. Merah dari darah para
ilmuwan dan filsuf yang terbunuh, sedangkan hitam dari tinta buku-buku
berharga koleksi Baitul Hikmah yang luntur setelah dibuang ke sungai
itu.*
Penulis sedang kuliah di Al Azhar, Mesir. Aktif di Pusat Kajian Pemikiran dan Peradaban Islam, Nun Centre


0 Komentar