Pengurus
Besar Pelajar Islam Indonesia (PB PII) mengaku merasa senang dengan
adanya pemikiran dari pihak Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan untuk
berusaha meningkatkan keadaan pendidikan dan kebudayaan di Indonesia
melalui rumusan kurikulum 2013.
Hanya saja, PB PII mengaku, kurikulum 2013 dinilai tidak menjawab
persoalan pendidikan dan kebudayaan bangsa Indonesia yang telah
diwariskan oleh Pemerintah Kolonial Hindia Belanda sejak lebih dari 60
tahun yang lalu.
“Kami tetap berharap semoga rumusan pemikiran tersebut benar-benar
mampu memberikan jalan keluar bagi bangsa Indonesia sehingga akan
memberikan derajat dan martabat kepada bangsa Indonesia di hadapan Allah
Subhanahu Wata’ala dan bangsa-bangsa lainnya di dunia,” demikian ujar
Ketua Umum PB PII, Randi Mucharisman dalam rilis yang dikirim ke kantor redaksi hidayatullah.com, Rabu (26/12/2012).
Karenanya, Randi mengaku, PB PII bermaksud memberikan masukan kepada
kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Negara Republik Indonesia yang
memiliki otoritas kekuasaan dalam lapangan pendidikan dan kebudayan di
Indonesia.
“Kami berharap, dengan masukan ini akan membuat kesempurnaan
pendidikan dan kebudayaan yang sesuai Islam di Indonesia semakin
terwujud,” tulisnya.
Di antara salah satu masukan PB PII agar pemerintah Indonesia
mengganti penggunaan kata “siswa” menjadi “murid”. Karena arti murid
lebih cocok untuk menunjukan peran lebih aktif, berkehendak, dan
mempunyai tujuan serta semangat dalam mencari ilmu.
“Sejak dari awal murid telah dikondisikan dalam keadaan yang aktif dan tidak pasif,” tulis Randi mewakili PII.
PII juga memberi enam masukan lain kepada pemerintah. Di antaranya;
meminta peningkatan kualitas guru dan tenaga pendukung pendidikan,
otoritas untuk meluluskan diserahkan kepada guru, pendidikan dan
kebudayaan harus menjadi hal yang utama dalam kehidupan bangsa, dan
nilai transenden harus menjadi acuan utama dalam proses pendidikan.
“Nilai transenden harus ada di dalam seluruh muatan kurikulum. Dan
inilah yang menjadi titik pengikat medan makna bagi seluruh kompetensi
yang akan diwujudkan dalam proses pendidikan.”
Selain itu PII juga mengusulkan pemberikan ruang aktifitas mandiri
bagi murid dari mulai jenjang pendidikan menengah agar mampu melahirkan
jiwa mandiri, keberanian, serta kepemimpinan seorang murid.
“Oleh karena itu, keberadaan OSIS dan organisasi intra sejenis
lainnya sebagai ruang aktifitas mandiri bagi murid sesungguhnya tidak
mencukupi kebutuhan ini.”
Terakhir, PII menegaskan bahwa konsep ilmu fardu ‘ain (wajib) dan ilmu fardu kifayah (sunnah) sebagai basis bagi pengembangan pendidikan dan kebudayaan di Indonesia.
Menurut PII, kandungan pendidikan seperti inilah yang seharusnya
dikembangkan, mengikuti tradisi keilmuan sebuah peradaban yang
sesungguhnya.
Rasulullah mampu membawa bangsa Arab keluar dari jahiliah kepada
peradaban. Hanya dalam waktu sekitar 30 tahun saja setelah pendidikan
oleh Rasulullah diberikan. Sementara bangsa Indonesia telah merdeka
lebih dari 60 tahun, namun belum mampu menumbangkan keserakahan dan
kesombongan bangsa yang lain, demikian harapan PII.*
0 Komentar