Mohammad Roem adalah
aktivis Islam sejak muda. Dia tercatat sebagai salah satu pemimpin
bangsa terkemuka. Jasanya cukup banyak bagi negeri ini, terutama lewat
jalur diplomasi. Sampai meninggal dalam usia 75 tahun –bisa dibilang-
dia tak pernah berhenti berjuang untuk Islam.
Tak Lelah
Mohammad
Roem lahir di Parakan, Temanggung, Jawa Tengah pada 16/05/1908.
Pendidikannya dimulai di Parakan, lalu ke Temanggung, dan menamatkan HIS
(Holland Inlandsche School) di Pekalongan pada 1924.
Spirit kepejuangannya tumbuh sejak di HIS. Pernah di kala itu, seorang gurunya yang berkebangsaan Belanda menghardik Roem, “Zeg, Inlander!”
Dasar pribumi, begitu kira-kira artinya. Roem sangat tersinggung.
Dia-pun langsung ingat sejumlah papan larangan di banyak gedung seperti
di rumah makan, di bioskop, di lain-lain tempat yang melarang pribumi
masuk.
Masih di HIS itu, di saat jam istirahat, ada murid berkebangsaan Belanda yang mendorong-dorong Roem sambil mengolok-olok, “Inlander! Inlander!”
Akibat dorongan itu Roem terjerembab. Roem segera berdiri dan mengejar
anak Belanda itu. Lalu, ditinjunya perut si anak itu hingga
muntah-muntah.
Dua
fragmen itu membuat Roem bertekad akan turut memerdekakan bangsanya.
Sambil bersekolah Roem bergabung dengan Jong Java (Pemuda Jawa).
Belakangan, dia merasa tidak nyaman di Jong Java, karena aspirasi Islam
tidak tertampung. Maka, bersama Syamsurijal dan beberapa tokoh lainnya
dia memilih keluar. Dan, pada 1925 mereka mendirikan Jong Islamieten
Bond (JIB) atau Himpunan Pemuda Islam dengan Syamsurijal sebagai
ketuanya.
Pada
1930 Roem tamat dari Algemene Middlebare School (AMS) atau Sekolah
Menengah Atas. Dia melanjutkan ke Rechts Hoge School (RHS) atau Sekolah
Tinggi Hukum. Pada 1939 dia-pun meraih gelar Mester in de Rechten (Mr)
atau Sarjana Hukum. Roem lalu membuka kantor pengacara di Jakarta.
Pada
masa pendudukan Jepang, Roem dipercaya sebagai Ketua Muda “Barisan
Hizbullah” di Jakarta. Barisan Hizbullah adalah organisasi semi-militer
di bawah naungan Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi).
Dalam
Muktamar Masyumi, 1947, diputuskan bahwa umat Islam harus ikut berjuang
mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Alasannya, Negara Islam Indonesia
tidak akan tegak kalau Indonesia belum merdeka. Oleh karena itulah para
pimpinan dan anggota Masyumi berjuang mati-matian mempertahankan
kemerdekaan Indonesia. Apalagi setelah ada fatwa wajib jihad kepada
seluruh umat Islam dari KH Hasyim Asy’ari, pendiri Nahdhatul Ulama yang
juga salah seorang pendiri Masyumi.
Roem-pun
berjihad mempertahankan kemerdekaan Indonesia, terutama lewat
diplomasi. Sikapnya untuk selalu menghargai pendapat orang lain meski
berbeda dengan pendapatnya, menunjang keberhasilan dia sebagai diplomat.
Situs Wikipedia mencatat bahwa Roem adalah seorang diplomat ulung dan salah satu pemimpin bangsa Indonesia pada masa Perang Revolusi. Di awal kemerdekaan dia anggota delegasi Indonesia dalam Perundingan Linggarjati pada 1946 dan Perundingan Renville pada 1948. Dia juga dikenal sebagai pemimpin delegasi Indonesia dalam perundingan Roem-Roijen pada 1949, yang membahas mengenai luas wilayah Republik Indonesia. Dalam perundingan itu, Belanda diwakili Dr. Jan Herman van Roijen. Perundingan menghasilkan persetujuan Roem-Roijen yang ditandatangani pada 07/05/1949.
Perundingan Roem-Roijen pada 1949 itu (yang Roem bertindak sebagai ketua juru runding dari Republik Indonesia) dinilai berhasil karena telah mendorong segera terselenggaranya Konferensi Meja Bundar (KMB). Lewat KMB inilah -juga di tahun 1949- kemudian terbit pengakuan Belanda atas kedaulatan Republik Indonesia.
Atas kapasitas yang dipunyainya, berbagai jabatan pernah dimanatkan kepada Roem, seperti: Menteri Dalam Negeri Kabinet Sjahrir III (1946-1947). Menteri Dalam Negeri Kabinet Amir Sjarifuddin II (1947-1948). Menteri Negara Kabinet R I S (1949-1950). Menteri Luar Negeri Kabinet Natsir (1950-1951). Menteri Dalam Negeri Kabinet Wilopo (1952-1953). Wakil Perdana Menteri I Kabinet Ali Sastroamidjojo II (1956).
Sejak Partai Masyumi membubarkan diri pada 1960 -karena dipaksa Soekarno- Roem tidak lagi memegang jabatan di pemerintahan. Dia kemudian memusatkan perhatian pada penulisan buku dan penelitian sejarah perpolitikan di Indonesia serta aktivitas ilmiah lainnya.
Pada 16/01/1962, Roem bersama beberapa tokoh Masyumi ditahan pemerintah tanpa pengadilan. Roem dan kawan-kawan bisa keluar dari tahanan pada 1966 setelah rezim Soekarno goyah selepas pemberontakan PKI di tahun 1965. Keluar dari tahanan, kegiatan Roem dalam menulis buku dan penelitian diteruskan kembali.
Pada
1969 Roem hampir kembali ke kancah politik setelah sempat terpilih
sebagai ketua Partai Muslimin Indonesia (Parmusi), sebuah partai
‘jelmaan’ Masyumi karena didirikan para kader Masyumi. Tapi, tekanan
rezim Soeharto menyebabkan posisi ketua harus diserahkan kepada orang
lain.
Sejak
itu Roem betul-betul mundur dari dunia politik praktis. Lalu,
bersama-sama M Natsir dan kader Masyumi lainnya mendirikan Dewan Dakwah
Islamiyah Indonesia (DDII) di tahun 1967. Di lembaga inilah Roem intens
berkhidmat. Terkait itu, Roem aktif dalam berbagai forum Islam
internasional. Dia tercatat sebagai anggota Dewan Eksekutif Muktamar
Alam Islami (1975), Member of Board Asian Conference of Religion for
Peace di Singapura (1977), serta menjadi Anggota Konferensi
Menteri-Menteri Luar Negeri Islam di Tripoli (1977).
Roem meninggal di Jakarta pada 24/09/1983.
Jika melihat sejarah hidupnya, tampak Roem tak pernah berhenti terlibat
dalam dinamika dakwah memperjuangkan tegaknya syariat Islam. Roem
adalah nama harum di negeri ini. Siapapun yang belajar sejarah
perjuangan kemerdekaan Indonesia pasti pernah menyebut namanya.
Jejak Bagus
Renungkanlah! “Hai
orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan hendaklah setiap
diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat)”
(QS Al-Hasyr [59]:18). Maka, bagi umat Islam, teladan yang telah
diberikan Mohammad Roem kiranya bisa membakar semangat untuk
meneladaninya. Untuk meneruskan perjuangannya.
0 Komentar