Menurut Rustam Kastor
dalam bukunya, Konspirasi Politik RMS dan Kristen Menghancurkan Umat Islam di
Ambon-Maluku (Wihdah Press: 2000 M), sejatinya sejarah konflik antara kaum
salibis dengan umat Islam adalah sebuah sejarah perlawanan yang cukup panjang.
Sejarah ini sudah berjalan ratusan tahun dengan melibatkan banyak energi dan
pengkajian. Jauh sebelum Bangsa Eropa tiba di Maluku, para saudagar Nusantara
telah berdagang penuh kedamaian dengan masyarakat atau kerajaan-kerajaan Islam
di Maluku.
Penyebaran agama
Islam pun dilakukan dengan penuh perdamaian, sehingga relatif segenap
masyarakat Maluku telah memeluk agama Islam. Namun, pada tahun 1512 mulailah
bangsa Portugis menemukan Maluku (Banda) dengan maksud mendapatkan
rempah-rempah langsung di bumi penghasilnya, hingga kemudian datanglah penjajah
Belanda pada tahun 1605.
Perlawanan
Fisik Bersenjata
Perdagangan yang
semula damai, berkembang menjadi bentrokan fisik karena sikap monopoli yang
disertai penyebaran agama Kristen oleh pihak Belanda dengan menggunakan
kekuatan bersenjata. Dari situ mulailah terjadi sejumlah peperangaan yang bukan
saja semata-mata demi mempertahankan kedaulatan kerajaan-kerajaan Islam di
Maluku, tetapi juga berjuang mempertahankan aqidah agama Islam.
Perlawanan dari
Kerajaan-kerajaan Islam seperti Perang Hitu (1502-1605), Perang Banda(1609-1621),
Perang Hoamual (1625-1656), Perang Wawane (1633-1643), Perang Kapaha
(1636-1646), Perang Alaka (1625-1637), Perang Iha (1632-1651), dan sejumlah
perang yang dilancarkan oleh beberapa kesultanan di Maluku Utara, dan terakhir
Perang Tidore (1780-1805) yang dipimpin oleh Nuku yang sempat menunjukkan
kekuatan dan kebesarannya.
Sejumlah pahlawan
perang Ummat Islam seperti Pattiwane, Kakiali, Gimelaka Laliato, Gimelaka Lulu,
Tulukabessy, Kiayi Lessy, Rijali, Khairubia, Kapitan Ulupaha, Sudardi Monia
Latuwirinnyai, Sultan Babullah, Sultan Khairun dan terakhir Sultan Nuku adalah
para pemimpin perang yang gagah berani mampu mengalahkan penjajah di banyak
medan pertempuran.
Namun pada
gilirannya, Kerajaan-kerajaan Islam, secara bertahap dapat dikalahkan oleh VOC
yang kemudian menjadi Kompeni menggantikan kedudukan Portugis, dengan memiliki
armada dan kekuatan perang yang tangguh. Kala itu pula, kegiatan perdagangan
diwarnai dengan missi penginjilan secara paksa yang dimulai dengan perkumpulan
dagang VOC. Maka saat itu jua, perlawanan masyarakat dan kerajaan Islam di
Maluku berkembang menjadi sebuah medan jihad mempertahankan aqidah.
VOC
dan Kompeni Penjajah
VOC sebagai
organisasi dagang, selanjutnya digantikan oleh Kompeni dengan kekuatan
bersenjata yang cukup besar. Hal ini kemudian menjadikan ekskalasi penindasan
terhadap Ummat Islam di Maluku mengalami peningkatan. Kekejaman yang mereka
lakukan pun memiliki kekejaman tiada tara. Sampai-sampai umat muslim tidak
kuasa lagi untuk menerimanya. Namum meski hidup dalam penindadsan, perlawanan
umat muslim terus berlanjut, ya walau mereka tidak mampu lagi untuk mengangkat
senjata.
Perlawanan
Non Fisik/Tak Bersenjata
Kerajaan-kerajaan
Islam di Maluku telah berhasil dihancurkan satu demi satu, tetapi tidak
demikian dengan jiwa jihad umat muslim. Semangat kebencian mereka terhadap
penjajah yang telah merenggut kemerdekaan sekaligus memaksakan keyakinan yang
bertentangan dengan paham ke-Tauhidan Islam terus berjalan seiring waktu.
Selanjutknya,
bersamaan dengan kekalahan kerajaan-kerajaan Islam di Maluku, maka terjadilah
peperangan oleh kerajaan-kerajaan di Jawa, Sumatera, Sulawesi dan Kalimantan
melawan kolonial Belanda. Kerajaan-kerajaan inipun mengalami nasib yang sama:
mereka berhasil dikalahkan dan akhirnya dapat ditaklukkan oleh pihak kafir
Belanda.
Para pejuang yang
tertangkap pun akhinya dibuang ke berbagai daerah di luar Jawa diantaranya
Maluku. Sebagai pejuang, mereka tidak pernah mau berhenti memerangi kaum kafir
Belanda. Dengan modal semangat perlawanan (pejuang) dan keahlian ilmu agama
Islam (Kiyai), mereka masuk ke dalam Ummat Islam di Maluku dengan alasan
kegiatan keagamaan, tetapi sesungguhnya mereka memimpin dan menggerakkan perlawanan
terhadap Belanda secara non fisik/tanpa bersenjata.
Terakhir yang bisa
kita catat dari fakta ini adalah kedatangan Pangeran Diponegoro dengan
rombongan dalam status buangan Belanda. Bersama para pengikutnya, Pangeran
Diponegoro pun berdiam di kampung yang sekarang bernama Kampung Diponegoro.
Para pejuang ini pun
kemudian memimpin Ummat Islam di Maluku untuk melakukan aksi pembangkangan yang
memberikan pukulan berat bagi pihak penjajah. Perlawanan non
kooperatif/pembangkangan, adalah sebuah bentuk perlawanan yang dilakukan secara
diam-diam, yakni menolak bekerjasama dalam bentuk apa pun dengan penjajah serta
merongrong pada aspek-aspek tertentu dengan tujuan melemahkan dan menggerogoti
wibawa serta kekuatan pemerintah Belanda.
Perlawanan ini efektif
pada 20-30 tahun pertama, saat para pemimpinnya aktif memberikan petunjuk,
arahan dan dorongan semangat. Namum perlawanan yang memakan waktu seratus tahun
lebih tersebut menjadi kurang efektif, sebab kurang memiliki daya tahan.
Pasalnya sederhana, tidak ada sebuah pembentukan kader dan pemimpin lapangan
yang akan melanjutkan perlawanan tersebut. Kegagalan membentuk pemimpin
pelanjut inilah yang mengakibatkan perlawanan menjadi kurang terarah dan tidak
punya tujuan yang jelas. Yang terjadi adalah semangat mereka untuk tidak mau
bekerja sama dan membangkang saja, tanpa mekanisme perjuangan yang rapih.
Uniknya umat Islam
masih bertahan. Pada waktu itu tidak ada Ummat Islam yang bersedia menjadi
serdadu Belanda, maupun menjadi guru dan pekerjaan-pekerjaan yang senantiasa
berada di bawah kendali Belanda. Ummat Islam lebih memilih pekerjaan non formal
seperti nelayan, pedagang kecil (wiraswasta), tukang dan sejenisnya. Bahkan
bersekolahpun ditolak, Ummat Islam lebih memilih pengajian dan Madrasah.
Di luar Maluku, orang
lebih mengenal orang Ambon adalah Kristen, hal ini disebabkan oleh serdadu
Belanda asal Maluku yang bertugas di luar Maluku (Jawa, dsbnya) relatif tidak
ada yang beragama Islam, sehingga terjadi opini bahwa Ambon identik dengan
nashrani.
Dalam kisah
perlawanan tanpa senjata ini, barangkali perlu kita telusuri adanya beberapa
marga (Vam) di kota Ambon yang bukan marga asli dari Maluku seperti Betawi,
Bandung, Cirebon, Yogyakarta, Semarang, Surabaya, Padang, Diponegoro, Aceh dan
sebagainya. Yang jelas marga tersebut menunjukkan darimana mereka berasal,
sebab waktu itu semua orang harus mempunyai vam, mereka yang tidak mempunyai
vam memilih daerah asal mereka sebagai Vam.
Siapakah mereka ini,
sekurang-kurangnya sebagiannya adalah para pejuang yang dibuang oleh Belanda
dulu. Mereka adalah para pejuang yang memimpin Ummat Islam di Maluku untuk
melakukan aksi pembangkangan/non kooperatif. Mengenai fakta ini, Rustam Kastor
dalam bukunya Konspirasi Politik RMS dan Kristen Menghancurkan Umat Islam di Ambon-Maluku,
menulis.
"Tanyalah para
tetua kita, bagaimana orang Waihaong, Talake,Silale, Soabali, Batu Gajah
(Diponegoro) Batu Merah, Pardeis dsb belajar silat? Mereka belajar tertutup
dalam rumah atau di halaman belakang agar tidak diketahui kaum Nasrani. Bila
ada Nasrani yang datang, latihan segera dihentikan agar tidak diketahui
jurus-jurusnya. Jadi para tetua itu belajar untuk menghadapi Penjajah Belanda
(dibenaknya) dan kaum Nasrani. Persis seperti kisah dalam serial film Si Pitung
dari Marunda."
Perlawanan terhadap
penjajah Belanda yang berlangsung lebih 100 tahun itu, sebagian besar terjadi
tanpa koordinasi, bahkan tanpa pemimpin yang jelas sehingga semangat melawan
pemerintah kolonial tanpa disadari, berubah arah dan tujuannya.
Banyak kerugian yang
diderita Ummat Islam akibat proses perjuangan panjang tanpa koordinasi dan
pimpinan ini. Dan pada akhirnya hal ini menghasilkan kondisi yang amat tidak
menguntungkan seperti yang kita alami sekarang.
Ummat Islam di Maluku
tertinggal hampir di semua aspek kehidupan berbangsa dan bernegara secara
fisik, baik tampak maupun yang tidak tampak tetapi terasa sebagai suatu
kenyataan. Setelah Indonesia merdeka, Ummat Islam di Maluku mencapai banyak
kemajuan disemua sektor, tetapi kita harus mengakui bahwa dibandingkan dengan
Ummat Kristen, ummat Islam masih terlalu terlambat, ibarat berlomba dengan kaum
yang menggunakan kendaraan, sedang kita berjalan kaki.
Dengan demikian jarak
ketertinggalan Ummat muslim dari hari ke hari kian jauh, sehingga barangkali kondisi
ini dapat memicu kecemburuan sosial. Di sisi lain kemajuan yang diperoleh Ummat
Islam, terutama munculnya generasi muda cendekiawan merupakan saingan bagi
pihak Kristen yang walaupun dalam skala rendah, mereka melihatnya sebagai
ancaman yang membahayakan. Merasa adanya ancaman (yang sesungguhnya tak
seberapa besar), maka kerukunan yang selama ini terjalin mulai goyah. Pihak
Kristen melakukan aksi penghambatan dengan menutup peluang bagi yang Islam di
berbagai sektor strategis.
Ketidak adilan ini semakin
terasa, sementara yang Islam hanya dapat merasakan tetapi tidak ada upaya nyata
untuk mengatasi persaingan itu. Lebih diperparah lagi, bahwa barisan Ummat
Islam masih tercerai berai dan terjadi pendangkalan akidah yang kuat akibat
tipu daya dunia. (pz)
Sumber:
http://www.eramuslim.com
0 Komentar