Hidayatullah.com—Keputusan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat yang menyatakan khitan perempuan adalah sebagai ibadah yang dianjurkan agama (makrumah), dan disetujui Menteri Kesehatan (Menkes) Nafsiah Mboi rupanya masih belum memuaskan semua pihak.
Komnas Anti Kekerasan Terhadap Perempuan mengatakan khitan terhadap
perempuan wanita walaupun secara simbolis mengoles tetap dianggap tindak
kekerasan. Ketua sub-komisi pemantauan Komnas Anti Kekerasan, Arimbie
Heroepoetri, mengatakan khitan yang dilakukan berdasarkan tradisi
dilakukan karena stigma terhadap perempuan.
"Jangankan menyayat, langkah simbolis pun berangkat dari pandangan
yang merupakan stigma terhadap perempuan, bahwa perempuan tidak bersih
dan perlu disunat atau untuk mengelola libido yang besar sehingga perlu
disunat," kata Arimbi dikutip BBC Indonesia, Selasa (05/02/2013).
Meski ia mengakui berdasarkan pantauannya di sejumlah daerah di
Indonesia, khitan dengan cara mutilasi (memotong klitoris) tidak
ditemukan, ia tetap beranggapan khitan pada wanita, meski dioleh tetap
kekerasan.
"Lebih lagi, sunat dilakukan pada anak perempuan di bawah umur yang
belum punya suara terhadap badannya sendiri. Sehingga sunat dalam bentuk
simbol pun kami anggap kekerasan," tambah Arimbi.
Lebih jauh, Arimbi Heroepoetri bahkan mengecam MUI yang keanggotanya
dikenal wakil ulama dari berbagai organisasi Islam se Indonesia itu. Ia
bahkan mengatakan, MUI hanya ormas dan fatwanya tidak layak diikuti.
"Kita berbeda pendapat dengan MUI. Tetapi mereka bukan otorita resmi,
mereka ormas biasa, dan bukan panutan sebenarnya," kata Arimbi.
Otoritas Fatwa
Sementara itu, Wakil Sekjen Majelis Intelektual dan Ulama Muda
Indonesia (MIUMI), Fahmi Salim mengatakan, MUI meski berbadan ormas
dalam tatanan kehidupan umat Islam Indonesia ditempatkan sebagai
mufti/lembaga pemberi fatwa dalam persoalan yang dihadapi umat Islam.
Dan yang lebih penting, keberadaan MUI diakui sebagai satu-satunya
produk fatwa yang diserap oleh lembaga negara dan sistem hukum di
Indonesia.
“Posisi MUI secara faktual dan juridis umat tidak bisa diingkari oleh siapapun,” ujarnya kepada hidayatullah.com, Rabu (06/02/2013).
Selain itu, disbanding lembaga-lembaga yang mengecam MUI,
kredibilitas fatwa yang dikeluarkan MUI telah menjadi rujukan seluruh
umat Islam Indonesia, bahkan internasional.
“Kredibilitas fatwa-fatwa MUI telah menjadi rujukan bersama seluruh
umat dan ormas Islam di tanah air dan diakui dunia internasional,
sebagai representasi ulama Indonesia,” lanjutnya.
Sebelum ini, MUI Pusat telah mengeluarkan fatwa bahwa khitan bagi perempuan adalah "makrumah" atau ibadah yang dianjurkan.
Meski demikian MUI mengatakan tidak menganjurkan atau melarang.
Menurut Wakil Sekretaris Jenderal MUI, Amirsyah Tambunan, upaya
pelarangan khitan hanya akan mencederai hak beragama umat Islam.
“Kami tidak mewajibkan khitan perempuan, tapi melarangnya secara
mutlak itu jelas melanggar fitrah Islamiyah dari hak beribadah kami,”
demikian tegasnya dalam konferensi pers di kantor MUI, Senin
(21/01/2013) lalu.
Seperti diketahui, istilah khitan terhadap perempuan terjadi
perbedaan mendasar antara Islam dan aktivis feminisme dan gender.
Menurut Kiai Ma’ruf, khitan perempuan dalam Islam hanya membersihkan
sedikit saja bagian terluar klitoris.
Selain itu, Mufti Mesir Syeikh Ali Jum’ah juga pernah mengatakan, khitan pada wanita berbeda dengan khitan pada pria yang oleh kalangan feminisme disebut female genital mutilation (FGM).*
0 Komentar